Siapa yang Sah & Lebih Berhak Menjadi Imam?

Jika di suatu masjid terdapat Imam Rawatibnya, maka yang lebih berhak menjadi imam adalah Imam Rawatib yang ditunjuk oleh penguasa atau pengurus masjid. Kalau tidak ada, maka yang didahulukan ialah orang yang lebih banyak memiliki hafalan Alqurann dan lebih memahami hukum Islam. Apabila di kalangan para jamaah setara, maka didahulukan yang lebih pandai dan lebih mengetahui tentang sunnah-sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apabila juga setara, maka didahulukan orang yang lebih dahulu berhijrah. Apabila sama juga, maka didahulukan yang lebih tua usianya [Shahih Fiqh Sunnah, 1/523].

Ini semua berdasarkan pada beberapa hadis di bawah ini:

1). Hadis Abu Sa’id al Khudri:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانُوا ثَلَاثَةً فَلْيَؤُمَّهُمْ أَحَدُهُمْ وَأَحَقُّهُمْ بِالْإِمَامَةِ أَقْرَؤُهُمْ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila mereka tiga orang, maka hendaklah seorang dari mereka menjadi imam sholat mereka, dan yang paling berhak menjadi imam adalah yang paling baik bacaan Alqurannya” [HR Muslim 672]

2). Hadis Abu Mas’ud al Anshari, ia menyatakan:

قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ وَأَقْدَمُهُمْ قِرَاءَةً فَإِنْ كَانَتْ قِرَاءَتُهُمْ سَوَاءً فَلْيَؤُمَّهُمْ أَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَلْيَؤُمَّهُمْ أَكْبَرُهُمْ سِنًّا وَلَا تَؤُمَّنَّ الرَّجُلَ فِي أَهْلِهِ وَلَا فِي سُلْطَانِهِ وَلَا تَجْلِسْ عَلَى تَكْرِمَتِهِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا أَنْ يَأْذَنَ لَكَ أَوْ بِإِذْنِهِ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada kami: “Hendaknya yang menjadi imam sholat suatu kaum adalah yang paling hafal Alquran dan paling baik bacaannya. Apabila dalam bacaan mereka sama, maka yang berhak menjadi imam adalah yang paling dahulu hijrahnya. Apabila mereka sama dalam hijrah, maka yang berhak menjadi imam adalah yang paling tua. Janganlah kalian menjadi imam atas seseorang pada keluarga dan kekuasaannya, dan jangan juga menduduki permadani di rumahnya, kecuali ia mengizinkanmu atau dengan izinnya” [HR Muslim dalam Shahih-nya, kitab al Masaajid wa Mawadhi’ sholat, Bab Man Ahaqqu bil Imamah, no. 1709]

Namun demikian, hal ini tidak termasuk syarat sahnya sholat berjamaah, karena seseorang diperbolehkan menjadi imam bagi orang yang lebih berhak menjadi imam darinya, sebagaimana kisah Nabi. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah sholat di belakang Abu Bakar sebagaimana dijelaskan dalam hadis ‘Aisyah, ia berkata:

لَمَّا مَرِضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَضَهُ الَّذِي مَاتَ فِيهِ فَحَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَأُذِّنَ فَقَالَ مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ فَقِيلَ لَهُ إِنَّ أَبَا بَكْرٍ رَجُلٌ أَسِيفٌ إِذَا قَامَ فِي مَقَامِكَ لَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ وَأَعَادَ فَأَعَادُوا لَهُ فَأَعَادَ الثَّالِثَةَ فَقَالَ إِنَّكُنَّ صَوَاحِبُ يُوسُفَ مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ فَخَرَجَ أَبُو بَكْرٍ فَصَلَّى فَوَجَدَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ نَفْسِهِ خِفَّةً فَخَرَجَ يُهَادَى بَيْنَ رَجُلَيْنِ كَأَنِّي أَنْظُرُ رِجْلَيْهِ تَخُطَّانِ مِنْ الْوَجَعِ فَأَرَادَ أَبُو بَكْرٍ أَنْ يَتَأَخَّرَ فَأَوْمَأَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ مَكَانَكَ ثُمَّ أُتِيَ بِهِ حَتَّى جَلَسَ إِلَى جَنْبِهِ

“Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit di akhir hayatnya, lalu datanglah waktu sholat dan Bilal telah beradzan, maka beliau berkata: “Perintahkan Abu Bakar agar mengimami sholat,” Lalu ada yang berkata kepada beliau: “Sungguh Abu Bakr seorang yang lembut hati. Apabila menggantikan kedudukanmu, ia tidak dapat mengimami orang banyak”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulangi lagi (perintahnya) dan mereka pun mengulangi (pernyataan tersebut). Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulanginya yang ketiga kali dan berkata: “Kalian ini seperti wanita-wanita dalam kisah Yusuf [Maksudnya diserupakan dengan para wanita dalam kisah Nabi Yusuf, yaitu mereka menyembunyikan hakikat yang ada di hatinya, dan menampakkan sesuatu yang lain dari kenyataan yang sesungguhnya]. Perintahkan Abu Bakar agar mengimami orang sholat.” Lalu Abu Bakar berangkat dan mengimami sholat. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merasakan sakitnya agak ringan, lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dengan bersandar pada dua orang, seakan-akan aku melihat kakinya gontai (tidak mantap dalam melangkah) karena rasa sakit. Lalu Abu Bakar ingin mundur, maka beliau memberikan isyarat untuk tetap di tempatnya, kemudian mendatanginya dan duduk di sebelah Abu Bakar” [HR al Bukhari, kitab al Adzan, Hadis 2641]

Hadis ini, secara jelas menunjukkan bolehnya seseorang mengimami orang yang lebih berhak menjadi imam darinya. Wallahu a’lam.

Siapakah yang Sah Menjadi Imam?

Semua orang yang sah sholatnya, ia dapat menjadi imam atau sah menjadi imam dalam sholat. Namun ada orang-orang yang dianggap oleh sebagian orang tidak pantas menjadi imam, padahal mereka sah menjadi imam, di antaranya:

1). Orang Buta

Orang buta memiliki kedudukan yang sama dengan orang yang melihat. Dia dapat dijadikan imam dalam sholat. Hal ini didasarkan pada hadis Mahmud bin ar Rabi’:

أَنَّ عِتْبَانَ بْنَ مَالِكٍ كَانَ يَؤُمُّ قَوْمَهُ وَهُوَ أَعْمَى

“Sesungguhnya ‘Itbaan bin Malik, dahulu mengimami sholat kaumnya” [Muttafaqun ‘alaihi]

Dan pernyataan Aisyah:

اسْتُخْلِفَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُوْمٍ عَلَى الْمَدِيْنَةِ يُصَلِّيْ بِالنَّاسِ

“Ibnu Umi Maktum dijadikan pengganti (Rasulullah) di Madinah mengimami sholat penduduknya” [HR Ibnu Hibban dan Abu Ya’la. Dikatakan penulis kitab Shahih Fiqhus Sunnah, bahwa hadis ini Shahih Li Ghairihi]

2). Hamba Sahaya atau Yang Telah Dimerdekakan

Keabsahannya didasarkan kepada pernyataan Ibnu Umar yang berbunyi:

لَمَّا قَدِمَ الْمُهَاجِرُونَ الْأَوَّلُونَ الْعُصْبَةَ مَوْضِعٌ بِقُبَاءٍ قَبْلَ مَقْدَمِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَؤُمُّهُمْ سَالِمٌ مَوْلَى أَبِي حُذَيْفَةَ وَكَانَ أَكْثَرَهُمْ قُرْآنًا

“Ketika kaum Muhajirun yang awal-awal datang ke al ‘Ushbah, suatu tempat di Quba’; sebelum kedatangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang menjadi imam sholat mereka adalah Saalim maula Abu Hudzaifah. Dan dialah yang terbanyak hafalan Alqurannya” [HR al Bukhari dalam Shahih-nya, kitab al Adzan, Bab Imamatul al ‘Abdi wal Maula, no. 651]

3). Anak Kecil yang Mumayyiz

Hal ini didasarkan pada pernyataan Amru bin Salamah yang berbunyi:

فَلَمَّا كَانَتْ وَقْعَةُ أَهْلِ الْفَتْحِ بَادَرَ كُلُّ قَوْمٍ بِإِسْلَامِهِمْ وَبَدَرَ أَبِي وَ قَوْمِي بِإِسْلَامِهِمْ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ جِئْتُكُمْ وَاللَّهِ مِنْ عِنْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَقًّا فَقَالَ صَلُّوا صَلَاةَ كَذَا فِي حِينِ كَذَا وَصَلُّوا صَلَاةَ كَذَا فِي حِينِ كَذَا فَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْثَرُكُمْ قُرْآنًا فَنَظَرُوا فَلَمْ يَكُنْ أَحَدٌ أَكْثَرَ قُرْآنًا مِنِّي لِمَا كُنْتُ أَتَلَقَّى مِنْ الرُّكْبَانِ فَقَدَّمُونِي بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَأَنَا ابْنُ سِتٍّ أَوْ سَبْعِ سِنِينَ

“Ketika terjadi penaklukkan penduduk kota Makkah, maka setiap kaum bersegera masuk Islam dan bapak dan kaumku segera masuk Islam. Ketika datang, ia berkata: “Demi Allah, aku membawa kepada kalian dari sisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebuah kebenaran.” Lalu ia berkata:”Lakukanlah sholat ini, pada waktu ini, dan sholat itu pada waktu itu. Apabila datang waktu sholat, hendaklah salah seorang kalian beradzan, dan yang mengimami sholat kalian adalah yang paling banyak hafalan Alqurannnya.” Lalu mereka melihat, dan tidak mendapati seorang pun yang lebih banyak hafalannya dariku, karena aku sering menemui orang yang datang. Maka mereka menunjukku sebagai imam sholat, padahal usiaku baru enam atau tujuh tahun” [HR al Bukhari]

4). Orang Fasiq yang Tidak Keluar dari Islam

Hal ini didasarkan pada dalil Naqli dan Aqli, di antaranya:

4a. Keumuman sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ

“Hendaknya yang menjadi imam sholat suatu kaum adalah yang paling hafal Alquran” [HR Muslim dalam Shahih-nya, kitab al Masaajid wa Mawadhi’ sholat, Bab Man Ahaqqu bil Imamah, no. 1709].

Hal ini mencakup fasiq, dan yang lainnya.

4b. Kekhususan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada pemimpin dzalim, yang sholat di luar waktunya:

صَلُّوا الصَّلَاةَ لِوَقْتِهَا وَاجْعَلُوا صَلَاتَكُمْ مَعَهُمْ نَافِلَةً

“sholatlah kalian pada waktunya, dan jadikanlah sholat kalian bersama mereka sebagai nafilah (sunnah)”. [HR Muslim dalam Shahih-nya, kitab al Masaajid, Bab Karahiyat Ta’khir ash sholat, no. 1033]

4c. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

يُصَلُّونَ لَكُمْ فَإِنْ أَصَابُوا فَلَكُمْ وَإِنْ أَخْطَئُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ

“Mereka mengimami kalian sholat. Apabila mereka benar, maka kalian mendapatkan pahalanya. Dan apabila mereka salah, kalian tetap mendapatkan pahalanya, dan dosanya ditanggung oleh mereka”. [HR al Bukhari dalam Shahih-nya, kitab al Adzan, Bab Idza lam Yutim al Imam wa Atamma Man Khalfaha, no. 653]

4d. Amalan para sahabat pada zaman al Hajaj bin Yusuf ats Tsaqafi, di antaranya Ibnu ‘Umar yang sholat di belakang al Hajjaj, sedangkan al Hajjaj adalah seorang fasiq.

4e. Sedangkan dalil aqli, dikatakan, semua yang sholatnya sah, maka sah juga menjadi imam. Tidak ada dalil yang membedakan antara keabsahan sholat dengan keabsahan imam. Selama ia masih sholat bagaimana kita tidak sholat di belakangnya. Karena apabila ia bermaksiat, maka maksiatnya kembali kepadanya sendiri.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan: “Orang Fasiq dan Mubtadi’, sholatnya sah. Apabila makmum sholat di belakangnya, maka sholatnya tidak batal. Namun dimakruhkan oleh orang yang memakruhkan sholat di belakangnya, karena amar makruf nahi mungkar wajib. Oleh karena itu, orang yang menampakkan bid’ah atau kefajiran, ia tidak boleh menjadi Imam Rawatib bagi kaum Muslimin, karena ia pantas diberi pelajaran hingga bertaubat. Apabila memungkinkan, (boleh) memboikotnya hingga ia bertaubat, maka hal itu baik. Apabila sebagian orang tertentu tidak sholat di belakangnya dan sholat di belakang orang lain memiliki pengaruh hingga ia bertaubat, atau dipecat, atau orang-orang berhenti melakukan dosa sepertinya, maka yang seperti ini baik, apabila meninggalkan sholat di belakangnya memiliki maslahat dan tidak kehilangan jamaah dan Jumat. Adapun bila tidak sholat di belakangnya menyebabkan makmum kehilangan Jumat dan jamaah, maka di sini tidak meninggalkan sholat di belakang mereka, kecuali mubtadi’ yang menyelisihi para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam” [Majmu’ Fatawa, 23/354].

Demikianlah yang dirajihkan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ketika menyatakan, bahwa pendapat yang rajih adalah sah sholat di belakang orang fasiq. Sehingga, apabila seorang sholat di belakang imam yang mencukur jenggot atau merokok atau memakan riba atau pezina atau pencuri, maka sholatnya tetap sah [Syarhul Mumti’, 4/308].

5). Orang yang Belum Diketahui Apakah Fasiq ataukah Tidak

Dalam permasalahan ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Seseorang diperbolehkan melakukan sholat lima waktu dan Jumat serta yang lainnya, di belakang orang yang belum diketahui kebid’ahan dan kefasikannya, menurut kesepakatan imam fiqih yang empat dan selain mereka dari imam-imam kaum Muslimin. Bukan menjadi syarat bagi seorang makmum harus mengetahui i’tikad (keyakinan) imamnya, dan tidak pula mengujian, hingga menanyakan ‘Apa yang engkau yakini?’.” [Majmu’ Fatawa, 23/351].

Dengan demikian, apabila sah sholat di belakang orang fasiq, maka sholat di belakang orang yang belum jelas kefasikannya lebih pantas untuk disahkan.

6). Wanita Menjadi Imam untuk Kaum Wanita

Hal ini dilakukan sebagian sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya ‘Aisyah dan Ummu Salamah, dan tidak ada seorang sahabat pun yang mengingkarinya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

 

Penulis: Ustadz Abu Asma Kholid Syamhudi

Untuk lengkapnya: https://almanhaj.or.id/2612-memahami-posisi-imam-dan-mamum-dalam-sholat-berjamaah.html