بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْمِ 
SIAPA YANG BERHAK MENJADI IMAM DAN BEBERAPA ADAB BERKAITAN DENGANNYA
 
Pertama: Menimbang Diri, Apakah Dirinya Layak Menjadi Imam untuk Jamaah, atau Ada yang Lebih Afdhal Darinya?
 
Penilaian ini tentu berdasarkan sudut pandang syariat. Di antara yang harus menjadi penilaiannya ialah: [Kitab Akhtha-ul Mushallin, Syaikh Masyhur Hasan Al Salman, halaman 1/151]
 
a). Jika seseorang sebagai tamu, maka yang berhak menjadi imam ialah tuan rumah, jika tuan rumah layak menjadi imam.
 
b). Penguasa lebih berhak menjadi imam, atau yang mewakilinya. Maka tidaklah boleh maju menjadi imam, kecuali atas izinnya. Begitu juga orang yang ditunjuk oleh penguasa sebagai imam, yang disebut dengan Imam Rawatib.
 
c). Kefasihan dan kealiman dirinya. Maksudnya, jika ada yang lebih fasih dalam membawakan bacaan Alquran dan lebih alim, sebaiknya dia mendahulukan orang tersebut. Hal ini ditegaskan oleh hadis yang diriwayatkan Abi Mas`ud Al Badri radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah ﷺ bersabda:
 
يَؤُمُّ اْلقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ ، فَإِنْ كَانُوْا فِى الْقِرَاءَةِ سَوَاءٌ فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ ، فَإِنْ كَانُوْا فِى السُّنَّةِ سَوَاءٌ فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً ، فَإِنْ كَانُوْا فِى اْلهِجْرَةِ سَوِاءٌ فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا (وَفِى رِوَايَةٍ: سِنًّا)، وَ لاََ يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِه (وفى رواية: فِي بَيْتِهِ) وَ لاَ يَقْعُدْ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ
 
“Yang (berhak) menjadi imam (suatu) kaum, ialah yang paling pandai membaca Kitabullah. Jika mereka dalam bacaan sama, maka yang lebih mengetahui tentang sunnah. Jika mereka dalam sunnah sama, maka yang lebih dahulu hijrah. Jika mereka dalam hijrah sama, maka yang lebih dahulu masuk Islam (dalam riwayat lain: umur). Dan janganlah seseorang menjadi imam terhadap yang lain di tempat kekuasaannya (dalam riwayat lain: di rumahnya). Dan janganlah duduk di tempat duduknya, kecuali seizinnya” [HR Muslim 2/133. Lihat Irwa` Ghalil 2/256-257]
 
d). Seseorang tidak dianjurkan menjadi imam apabila jamaah tidak menyukainya. Dalam sebuah hadis disebutkan:
 
ثََلاثَةٌ لاَ تَرْتَفِعُ صَلاَتُهُمْ فَوْقَ رُؤُوْسِهِمْ شِبْرًا: رَجُلٌ أَمَّ قَوْمًا وَهمْ لََهُ كَارِهُوْنَ…
 
“Tiga golongan yang tidak terangkat shalat mereka lebih satu jengkal dari kepala mereka: (Yaitu) seseorang menjadi imam suatu kaum yang membencinya.” [HR Ibnu Majah no. 971. Berkata Syaikh Khalil Makmun Syikha: “Sanad ini Shahih, dan rijalnya tsiqat.” Hadis ini juga diriwayatkan melalui jalan Thalhah, Abdullah bin Amr dan Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu. Berkata Shiddiq Hasan Khan: “Dalam bab ini, banyak hadis dari kelompok sahabat saling menguatkan satu sama lain.” (Lihat Ta`liqatur Radhiyah, halaman 1/336]
 
Berkata Shiddiq Hasan Khan rahimahullah:
“Zahir hadis yang menerangkan hal ini, bahwa tidak ada perbedaan antara orang-orang yang membenci dari orang-orang yang mulia (ahli ilmu, pent), atau yang lainnya. Maka dengan adanya unsur kebencian, dapat menjadi uzur bagi yang layak menjadi imam untuk meninggalkannya”.
 
Kebanyakan kebencian yang timbul, terkhusus pada zaman sekarang ini, berasal dari permasalahan dunia. Jika ada di sana dalil yang mengkhususkan kebencian, karena kebencian (didasarkan, red.) karena Allah, seperti seseorang membenci orang yang bergelimang maksiat, atau melalaikan kewajiban yang telah dibebankan kepadanya, maka kebencian ini bagaikan kibrit ahmar (ungkapan untuk menunjukkan sesuatu yang sangat langka, pen.). Tidak ada hakikatnya kecuali pada bilangan tertentu dari hamba Allah. (Jika) tidak ada dalil yang mengkhususkan kebencian tersebut, maka yang lebih utama, bagi siapa yang mengetahui, bahwa sekelompok orang membencinya -tanpa sebab atau karena sebab agama- agar tidak menjadi imam untuk mereka, pahala meninggalkannya lebih besar dari pahala melakukannya. [Ta`liqatur Radhiyah, halaman 1/337-338]
 
Berkata Ahmad dan Ishaq:
“Jika yang membencinya satu, dua atau tiga, maka tidak mengapa ia shalat bersama mereka, hingga dibenci oleh kebanyakan kaum.” [Lihat Dha`if Sunan Tirmizi, halaman 39]
 
Kedua: Seseorang Yang Menjadi Imam Harus Mengetahui Hukum-Hukum yang Berkaitan dengan Shalat, Dari Bacaan-Bacaan Shalat yang Shahih, Hukum-Hukum Sujud Sahwi dan Seterusnya
 
Karena seringkali kita mendapatkan seorang imam memiliki bacaan yang salah, sehingga mengubah makna ayat, sebagaimana yang pernah penulis dengar dari sebagian imam sedang membawakan surat Al Lumazah, dia mengucapkan ”Allazi jaama`a maalaw wa `addadah”, dengan memanjangkan “Ja”, sehingga artinya berubah dari arti ‘mengumpulkan’ harta, menjadi ‘menyetubuhi’nya. Na`uzubillah.
 
Sebagaimana yang dikisahkan kepada penulis, bahwa seorang imam berdiri setelah rakaat keempat pada shalat Rubaiah (empat rakaat). Ketika dia berdiri, maka bertasbihlah para makmun yang berada di belakangnya, sehingga membuat masjid menjadi riuh. Tasbih makmum malah membuat imam bertambah bingung. Apakah berdiri atau bagaimana!? Setelah lama berdiri, hingga membuat salah seorang makmun menyeletuk: ”Rakaatnya bertambaaah, Pak!!” Lihat, bagaimana imam dan makmum tersebut tidak mengetahui tata cara shalat yang benar.
 
Ketiga: Mentakhfif Shalat
Yaitu mempersingkat shalat demi menjaga keadaan jamaah dan untuk memudahkannya. Batasan dalam hal ini ialah mencukupkan shalat dengan hal-hal yang wajib dan yang sunat-sunat saja, atau hanya mencukupkan hal-hal yang penting dan tidak mengejar semua hal-hal yang dianjurkan[10]. Di antara nash yang menerangkan hal ini, ialah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
 
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِلنَّاسِ فَلْيُخَفِّفْ فَإِنَّ فِيْهِمُ السَّقِيْمَ وَ الضَّعِيْفَ وَ اْلكَبِيْرَ، وَ إِذَا صَلَّى لِنَفْسِهِ فَلْيُطِلْ مَا شَاءَ
 
“Jika salah seorang kalian shalat bersama manusia, maka hendaklah (dia) mentakhfif, karena pada mereka ada yang sakit, lemah dan orang tua. (Akan tetapi), jika dia shalat sendiri, maka berlamalah sekehandaknya.” [HR Bukhari, Fathul Bari, 2/199, no. 703]
 
Akan tetapi perlu diingat, bahwa takhfif merupakan suatu perkara yang relatif. Tidak ada batasannya menurut syariat atau adat. Bisa saja menurut sebagian orang pelaksanaan shalatnya terasa panjang, sedangkan menurut yang lain terasa pendek, begitu juga sebaliknya. Oleh karenanya, hendaklah bagi imam -dalam hal ini- mencontoh yang dilakukan Nabi ﷺ, bahwa penambahan ataupun pengurangan yang dilakukan beliau ﷺ dalam shalat kembali kepada mashlahat. Semua itu hendaklah dikembalikan kepada sunnah, bukan pada keinginan imam, dan tidak juga kepada keinginan makmum. [Shalatul Jamaah, halaman 166-167]
 
Keempat: Kewajiban Imam untuk Meluruskan dan Merapatkan Shaf
Ketika shaf dilihatnya telah lurus dan rapat, barulah seorang imam bertakbir, sebagaimana Nabi ﷺ mengerjakannya.
 
Dari Nu`man bin Basyir Radhiyallahu ‘anhu berkata:
”Adalah Rasulullah ﷺ meluruskan shaf kami. Seakan-akan beliau meluruskan anak panah. Sampai beliau melihat, bahwa kami telah memenuhi panggilan beliau. Kemudian suatu hari beliau keluar (untuk shalat). Beliau berdiri, dan ketika hendak bertakbir, nampak seseorang kelihatan dadanya maju dari shaf. Beliau pun berkata:
 
لَتُسَوُّنَّ صُفُوْفَكُْم أَوْ لَيُخَالِفُنَّ الله ُبَيْنَ وُجُوْهِكُمْ
 
“Hendaklah kalian luruskan shaf kalian, atau Allah akan memecah-belah persatuan kalian” [HR Muslim no. 436]
 
Adalah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu mewakilkan seseorang untuk meluruskan shaf. Beliau tidak akan bertakbir hingga dikabarkan, bahwa shaf telah lurus. Begitu juga Ali dan Utsman radhiyallahu ‘anhuma melakukannya juga. Ali sering berkata, ”Maju, wahai Fulan! Ke belakang, wahai Fulan!” [Lihat Jami` Tirmidzi, 1/439; Muwaththa`, 1/173 dan Al Umm, 1/233]
 
Salah satu kesalahan yang sering terjadi, seorang imam menghadap Kiblat dan dia mengucapkan dengan suara lantang,”Rapat dan luruskan shaf,” kemudian dia langsung bertakbir. Kita tidak tahu, apakah imam tersebut tidak tahu arti rapat dan lurus. Atau rapat dan lurus yang dia maksud berbeda dengan rapat dan lurus yang dipahami oleh semua orang?!
 
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Adalah salah seorang kami menempelkan bahunya ke bahu kawannya, kakinya dengan kaki kawannya.” Dalam satu riwayat disebutkan, “Aku telah melihat salah seorang kami menempelkan bahunya ke bahu kawannya, kakinya dengan kaki temannya. Jika engkau lakukan pada zaman sekarang, niscaya mereka bagaikan keledai liar (tidak suka dengan hal itu, pen).” [HR Abu Ya`la dalam Musnad, no. 3720 dan lain-lain, sebagimana dalam Silsilah Shahihah, no. 31]
 
Oleh karenanya, Busyair bin Yasar Al Anshari berkata, dari Anas radhiyallahu ‘anhu:
“Bahwa ketika beliau datang ke Madinah, dikatakan kepadanya, ’Apa yang engkau ingkari pada mereka semenjak engkau mengenal Rasulullah ﷺ ?’ Beliau menjawab,’Tidak ada yang aku ingkari dari mereka, kecuali mereka tidak merapatkan shaf’.” [HR Bukhari no. 724, sebagaimana dalam kitab Akhtha-ul Mushallin, Syaikh Masyhur Hasan, halaman 207]
 
Berkata Syaikh Masyhur bin Hasan hafizhahullah:
“Jika para jamaah tidak mengerjakan apa yang dikatakan oleh Anas dan Nu`man radhiyallahu ‘anhu, maka celah-celah tetap ada di shaf. Kenyataanya, jika shaf dirapatkan, tentu shaf dapat diisi oleh dua atau tiga orang lagi. Akan tetapi jika mereka tidak melakukannya, niscaya mereka akan jatuh ke dalam larangan syariat. Di antaranya;
 
a). Membiarkan celah untuk setan dan Allah Azza wa Jalla putuskan perkaranya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda:“Luruskanlah shaf kalian, dan luruskanlah pundak-pundak kalian, dan tutuplah celah-celah. Jangan biarkan celah-celah tersebut untuk setan. Barang siapa yang menyambung shaf, niscaya Allah akan menyambung (urusan)nya. Barang siapa yang memutuskan shaf, niscaya Allah akan memutus (urusan)nya.” [HR Abu Daud dalam Sunan, no. 666, dan lihat Shahih Targhib Wa Tarhib, no. 495]
 
b). Perpecahan hati dan banyaknya perselisihan di antara jamaah
 
c). Hilangnya pahala yang besar, sebagaimana diterangkan dalam hadis Shahih, di antaranya sabda Rasulullah ﷺ:
 
إِنَّ الله َوَ مَلائِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الَّذِيْنَ يَصِلوُْنَ الصُّفُوْفَ
 
“Sesungguhnya Allah dan Malaikat-Nya mendoakan kepada orang yang menyambung shaf” [HR Ahmad dalam Musnad, 4/269, 285,304 dan yang lainnya. Hadisnya Shahih [Lihat Akhtha-ul Mushallin, halaman 210-211]
 
Kelima: Meletakkan Orang-Orang yang Telah Baligh dan Berilmu
Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah ﷺ:
 
لِيَلِيَنِيْ مِنْكُمْ أُوْلُوْا اْلأَحْلاَمَ وَ النُّهَى ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ وَلاَ تَخْتَلِفُوْا فَتَخْتَلِفَ قُلُوْبُكُمْ وَإِيَّاكُمْ وَ هَيْشَاتُ اْلأَسْوَاقِ
 
“Hendaklah yang mengiringiku orang-orang yang telah baligh dan berakal, kemudian orang-orang setelah mereka, kemudian orang-orang setelah mereka. Dan janganlah kalian berselisih, niscaya berselisih juga hati kalian. Dan jauhilah oleh kalian suara riuh seperti di pasar.” [HR Muslim no. 432 dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih, no. 1572].
 
Keenam: Menjadikan Sutrah (Pembatas) Ketika Hendak Shalat
Hadis yang menerangkan hal ini sangat mashur. Di antaranya hadis Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu:
 
لاَ تُصَلِّ إِلاََّ إِلَى سُتْرَةٍ ، وَ لاََ تَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْكَ، فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ، فَإِنَّ مَعَهُ القَرِيْنَ
 
“Janganlah shalat, kecuali dengan menggunakan sutrah (pembatas). Dan jangan biarkan seseorang lewat di hadapanmu. Jika dia tidak mau, maka laranglah dia, sesungguhnya dia bersamanya jin.” [HR Muslim no. 260 dan yang lain]
 
Sedangkan dalam shalat berjamaah, maka kewajiban mengambil sutrah ditanggung oleh imam. Hal ini tidak perselisihan di kalangan para ulama. [Fathul Bari, 1/572]
 
Nabi ﷺ telah menerangkan, bahwa lewat di hadapan orang yang shalat merupakan perbuatan dosa. Beliau ﷺ bersabda:
“Jika orang yang lewat di hadapan orang shalat mengetahui apa yang dia peroleh (dari dosa, pen), niscaya (dia) berdiri selama empat puluh, (itu) lebih baik daripada melewati orang yang sedang shalat tersebut.”
 
Salah seorang rawi hadis bernama Abu Nadhar berkata: “Aku tidak tahu, apakah (yang dimaksud itu, red.) empat puluh hari atau bulan atau tahun. [HR Bukhari 1/584 no. 510 dan Muslim 1/363 no. 507]
 
Pembatas yang sah untuk dijadikan sutrah adalah setinggi beban unta, yaitu kira-kira satu hasta. [Lihat Akhtha-ul Mushallin, halaman 83]
 
Ketujuh: Menasihati Jamaah, Agar Tidak Mendahului Imam dalam Ruku’ Atau Sujudnya, Karena (Seorang) Imam Dijadikan untuk Diikuti
 
Imam Ahmad berkata:
“Imam (adalah) orang yang paling layak dalam menasihati orang-orang yang shalat di belakangnya, dan melarang mereka dari mendahuluinya dalam ruku’ atau sujud. Janganlah mereka ruku’ dan sujud serentak (bersamaan) dengan imam. Akan tetapi, hendaklah memerintahkan mereka agar rukuk dan sujud mereka, bangkit dan turun mereka (dilakukannya) setelah imam. Dan hendaklah dia berbaik dalam mengajar mereka, karena dia bertanggung jawab kepada mereka dan akan diminta pertanggungjawaban besok. Dan seharusnyalah imam meperbaiki shalatnya, menyempurnakan serta memperkokohnya. Dan hendaklah hal itu menjadi perhatiannya, karena jika dia mendirikan shalat dengan baik, maka dia pun memperoleh ganjaran yang serupa dengan orang yang shalat di belakangnya. Sebaliknya, dia berdosa seperti dosa mereka, jika dia tidak menyempurnakan shalatnya.” [Kitab Shalat, halaman 47-48, nukilan dari kitab Akhtha-ul Mushallin, halaman 254]
 
Kedelapan: Dianjurkan bagi imam, ketika dia ruku’ agar memanjangkan sedikit rukunya, manakala merasa ada yang masuk, sehingga (yang masuk itu) dapat memperoleh satu rakaat, selagi tidak memberatkan makmum, karena kehormatan orang-orang yang makmum lebih mulia dari kehormatan orang yang masuk tersebut.
 
Wallahu `a`lam.
 
 
Penulis: Ustadz Armen Halim Naro rahimahullah
 
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun VII/1424H/2003M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
 
Ikuti kami selengkapnya di:
WhatsApp: +61 (450) 134 878 (silakan mendaftar terlebih dahulu)
Website: https://nasihatsahabat.com/
Facebook: https://www.facebook.com/nasihatsahabatcom/
Instagram: NasihatSahabatCom
Telegram: https://t.me/nasihatsahabat
Pinterest: https://id.pinterest.com/nasihatsahabat
#syaratmenjadiimamshalat #sholat #shalat #salat #solat #syaratsahnyaimam #shalatberjamaah #adabimam #imamshalat #sifatshalatNabi #shifatshalatNabi #SyaratSahnyaJadiImamShalatJamaah