بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

SERBA SERBI MAHAR YANG SESUAI SUNNAH

Oleh: Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq

 

Mahar adalah apa yang diberikan kepada istri berupa harta atau selainnya, dengan sebab pernikahan.

Hukum Keberadaan Mahar

Pertama:

Larangan Bermahal-mahal dalam Mahar

Terdapat larangan bermahal-mahal dalam mahar dalam sejumlah hadis. Di antaranya:

  1. Apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Hadrad al-Aslami, bahwa dia datang kepada Nabi ﷺ untuk meminta fatwa tentang wanita, maka beliau bertanya: “Berapa engkau memberi mahar kepadanya?” Ia menjawab: “Dua ratus Dirham.” Beliau ﷺ bersabda:

لَوْ كُنْتُمْ تَغْرِفُوْنَ مِنْ بَطْحَاءَ مَا زِدْتُمْ.

“Seandainya kalian mengambil dari Bathha’, niscaya kalian tidak menambah.” [HR. Ahmad (no. 15279), dan sanadnya Shahih].

  1. Ahmad meriwayatkan dari Nabi ﷺ:

إِنَّ مِنْ يَمْنِ الْمَرْأَةِ تَيْسِيْرُ صَدَاقُهَا وَتَيْسِيْرُ رَحِمُهَا.

“Di antara kebaikan wanita ialah memudahkan maharnya dan memudahkan rahimnya.” [HR. Ahmad (no. 23957), al-Hakim (II/181), ia men-shahihkannya dan menilainya sesuai dengan kriteria al-Bukhari dan Muslim, tapi keduanya tidak mengeluarkannya serta disetujui oleh adz-Dzahabi, dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiihul Jaami  (II/251) dan dalam al-Irwaa’ (VI/250)].

‘Urwah berkata: “Yaitu, memudahkan rahimnya untuk melahirkan.”

  1. Abu Dawud meriwayatkan dari ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu anhu, ia mengatakan: “Rasulullah ﷺ bersabda:

خَيْـرُ النِّكَـاحِ أَيْسَـرُهُ.

‘Sebaik-baik pernikahan ialah yang paling mudah.’” [HR. Abu Dawud (no. 2117) kitab an-Nikaah, al-Hakim (II/182), ia men-shahihkannya dan menilainya sesuai syarat Syaikhan (al-Bukhari-Muslim), dan Syaikh al-Albani menilainya sesuai syarat Muslim. Lihat al-Irwaa’ (VI/345)].

Dalam riwayat Ahmad:

إِنَّ أَعْظَمَ النَّكَـاحِ بَرَكَةً أَيَْسَرُهُ مُؤْنَةً.

“Pernikahan yang paling besar keberkahannya ialah yang paling mudah maharnya.” [HR. Ahmad (no. 24595)].

Di antara contoh yang harus kita ikuti dalam masalah meringankan mahar dan tidak bermahal-mahal di dalamnya ialah sebagai berikut:

Kedua:

Menikahkan Dengan Bacaan Alquran dan Tanpa Mahar (Harta)

Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi Radhiyallahu anhu, ia mengatakan: “Aku berada di tengah kaum di sisi Rasulullah ﷺ. Tiba-tiba seorang wanita berdiri lalu mengatakan: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya dia menghibahkan dirinya kepadamu, maka bagaimana pendapatmu mengenainya?’ (Dalam riwayat Malik: “Sesungguhnya aku menghibahkan diriku kepadamu”). Beliau tidak menjawabnya sedikit pun. Kemudian ia berdiri kembali lalu berkata: ‘Wahai Rasulullah, dia menghibahkan dirinya kepadamu, maka bagaimana pendapatmu mengenainya?’ Beliau tidak menjawabnya sedikit pun. Kemudian dia berdiri untuk ketiga kalinya lalu berkata: ‘Dia telah menghibahkan dirinya kepadamu, maka bagaimana pendapatmu mengenainya?’ Lalu seorang pria berdiri dan mengatakan: ‘Wahai Rasulullah, nikahkanlah aku dengannya?’ Beliau bertanya: ‘Apakah engkau memunyai sesuatu?’ Ia menjawab: ‘Tidak.’ Beliau bersabda: ‘Pergilah, lalu carilah walaupun cincin yang terbuat dari besi!’ Ia pun pergi dan mencari, kemudian datang seraya mengatakan: ‘Aku tidak mendapatkan sesuatu, dan tidak pula mendapatkan cincin dari besi.’ Beliau bertanya: ‘Apakah engkau hapal suatu surat dari Alquran?’ Ia menjawab: ‘Aku hapal ini dan itu.’ Beliau bersabda: ‘Pergilah, karena aku telah menikahkanmu dengannya, dengan mahar surat Alquran yang engkau hapal.’” [HR. Al-Bukhari (no. 5149) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1425) kitab an-Nikaah, at-Tirmidzi (no. 1114) kitab an-Nikaah, an-Nasa-i (no. 3280) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 3111) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1889) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 22292) kitab an-Nikaah, Malik (no. 1118) kitab an-Nikah, ad-Darimi (no. 2201) kitab an-Nikaah].

Ketiga:

Rasul ﷺ Merekomendasikan Pernikahan Dengan Mahar Emas Seberat Biji

Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Anas, bahwa ‘Abdurrahman bin ‘Auf menikahi seorang wanita dengan mahar seberat biji. Nabi ﷺ melihat keceriaan pengantin (padanya), lalu bertanya kepadanya, maka dia menjawab: “Aku menikahi seorang wanita dengan mahar seberat biji (emas).”[ HR. Al-Bukhari (no. 5148) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1427) kitab an-Nikaah, at-Tirmidzi (no. 1094) kitab an-Nikaah, an-Nasa-i (no. 2109) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1907) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 12274) kitab an-Nikaah, Malik (no. 1157) kitab an-Nikaah, ad-Darimi (no. 2204) kitab an-Nikaah]. Dalam riwayat lain bahwa ‘Abdurrahman bin ‘Auf menikah dengan mahar seberat biji emas.

Keempat:

Rasulullah ﷺ Mengajarkan Kepada Kita Kemudahan Dalam Mahar, Agar Kita Meneladaninya

Imam Abu Dawud meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, ia mengatakan: “Ketika ‘Ali menikah dengan Fathimah Radhiyallahu anhuma dan hendak menggaulinya, maka Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Berikanlah sesuatu kepadanya.’ Ia mengatakan: ‘Aku tidak memunyai sesuatu.’ Beliau bertanya: ‘Di mana baju besimu (دِرْعُكَ)?’ Lalu ia memberikan baju besinya kepada Fathimah, kemudian menggaulinya.’” [HR. Abu Dawud (no. 2126) kitab an-Nikaah, an-Nasa-i (no. 3375) kitab an-Nikaah, dan semua perawinya tsiqat].

Ad-dir’u adalah baju yang dipakai oleh orang yang berperang, untuk melindungi diri dari berbagai bahaya.

Kelima:

Kisah Seorang Wanita Yang Memberitahu Kaum Pria Dan Wanita Supaya Bersikap Toleran dalam Mahar

Imam an-Nasa-i meriwayatkan dari Tsabit, dari Anas, ia mengatakan: “Abu Thalhah meminang Ummu Sulaim, maka ia mengatakan: ‘Demi Allah, wahai Abu Thalhah, orang sepertimu tidak akan ditolak. Tetapi engkau adalah seorang kafir, sedangkan aku wanita Muslimah, dan tidak halal bagiku menikah denganmu. Jika engkau masuk Islam, maka itulah maharku dan aku tidak meminta selainnya.’ Lalu Abu Thalhah masuk Islam, dan itulah maharnya.”

Tsabit berkata: “Aku tidak mendengar seorang wanita pun yang lebih mulia maharnya daripada Ummu Sulaim, yaitu Islam. Lalu Abu Thalhah menggaulinya, dan dia melahirkan anak untuknya.” [HR. An-Nasa-i (no. 3341) kitab an-Nikaah, dan diShahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih an-Nasa-i (no. 3133)].

Keenam:

Mahar Pada Masa Rasulullah ﷺ

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia menuturkan, “Mahar kami ketika di tengah-tengah kami masih ada Rasulullah ﷺ ialah 10 Auqiyah (Ons) perak,’ sambil menggenggam dengan kedua tangannya, yaitu 400 Dirham.” [HR. An-Nasa-i (no. 3348), kitab an-Nikaah; Ahmad (no. 8589), dan ini adalah lafazhnya, dan diShahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih an-Nasa-i (no. 3140)].

Abu Dawud meriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ أَعْطَى فِيْ صَدَاقِ امْرَأَةٍ مِلْءَ كَفَّيْهِ سَوِيْقًا أَوْ تَمْرًا فَقَدِ اسْتَحَلَّ.

“Barang siapa yang memberi tepung gandum atau kurma sepenuh dua telapak tangannya untuk mahar seorang wanita, maka halal baginya untuk menggaulinya.” [HR. Muslim (no. 1405) kitab an-Nikaah; Abu Dawud (no. 2110) kitab an-Nikaah dan ini redaksi darinya, Ahmad (no. 14410). Makna ‘istahalla’ ialah halal baginya untuk menggaulinya].

Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia menuturkan: “Seseorang datang kepada Nabi ﷺ lalu mengatakan: ‘Aku menikah dengan seorang wanita dari Anshar.’ Nabi ﷺ bertanya kepadanya: ‘Apakah engkau telah melihatnya; sebab ada sesuatu di mata orang Anshar?’ Ia menjawab, ‘Aku telah melihatnya.’ Beliau bertanya: ‘Dengan mahar berapa engkau menikahinya?’ Ia menjawab: ‘Sebanyak 4 Auqiyah.’ Mendengar hal itu, beliau bersabda (keheranan): ‘Sebanyak empat Auqiyah! Seolah-olah menggali perak dari besarnya gunung ini. Kami tidak memunyai sesuatu yang dapat kami berikan kepada kalian. Tetapi semoga saja kami akan mengutusmu dalam suatu delegasi di mana engkau akan mendapatkan darinya.’ Lalu beliau mengutus suatu delegasi kepada Bani ‘Abs, dan beliau mengutus orang ini di antara mereka.” [HR. Muslim (no. 1424), kitab an-Nikaah; Abu Dawud (no. 3234) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 7783, 7919)].

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: “Artinya, larangan memerbanyak mahar ini bertalian dengan keadaan suami.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Seseorang dimakruhkan memberi mahar kepada wanita dengan suatu mahar yang menyulitkan dirinya sendiri, jika ia membayarkannya kontan, dan ia tidak mampu untuk melunasinya jika sebagai utang.” [Majmuu’ Fataawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/192)].

Imam at-Tirmidzi meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amir bin Rabi’ah, bahwa seorang wanita dari Bani Fazarah menikah dengan mahar sepasang sandal. Yakni, mahar dari suaminya berupa sepasang sandal yang dipakainya di kedua kakinya. Sepertinya suaminya adalah tukang sepatu. Maka Rasulullah ﷺ bertanya kepadanya: “Apakah engkau ridha terhadap diri dan hartamu dengan sepasang sandal?” Ia menjawab: “Ya.” Maka beliau ﷺ membolehkannya [HR. At-Tirmidzi (no. 1113), kitab an-Nikaah, dan ia mengatakan: “Hadis hasan Shahih,” Ibnu Majah (no. 1888), kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 15252)].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Disunnahkan meringankan mahar dan tidak melebihi mahar yang diperoleh para istri Nabi ﷺ dan anak-anaknya. ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma meriwayatkan dari Nabi ﷺ, bahwa beliau bersabda: ‘Wanita yang paling besar keberkahannya ialah yang paling ringan maharnya.’ Dari Ibnu ‘Abbas, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda: ‘Sebaik-baik mereka (wanita) ialah yang paling mudah maharnya.’ Dari al-Hasan al-Bashri, ia menuturkan: Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Nikahkanlah kaum wanita dengan kaum pria, tapi jangan bermahal-mahal dalam mahar.” ‘Umar bin al-Khaththab berkhutbah kepada manusia dengan pernyataannya: ‘Ingatlah, janganlah kalian bermahal-mahal dalam mahar wanita. Sebab, seandainya (bermahal-mahal dalam) mahar itu termasuk suatu kemuliaan di dunia, atau merupakan ketakwaan di sisi Allah, pastilah Nabi ﷺ orang yang paling utama di antara kalian (dalam hal ini). (Namun) beliau tidak pernah memberi mahar kepada seseorang dari istri-istrinya, dan tidak pula meminta mahar untuk seseorang dari putri-putrinya, lebih dari 12 Auqiyah (ons) perak.’ At-Tirmidzi menilainya sebagai hadis Shahih.” [Majmuu’ Fataawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/192)].

Ketujuh:

Sebagian Mahar Beliau ﷺ Kepada Istri-Istrinya (Ummahatul Mukminin)

Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya dari Abu Salamah bin ‘Abdirrahman Radhiyallahu anhu, ia mengatakan: “Aku bertanya kepada ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, bagaimana mahar para istri Nabi ﷺ? Ia menjawab: ‘Mahar beliau untuk istri-istrinya ialah 12 Auqiyah (yakni berupa perak), dan nasy. Tahukah engkau apakah nasy itu?’ Aku menjawab: ‘Tidak.’ Ia mengatakan: ‘Setengah Uqiyah, (sehingga berjumlah 12,5 Uqiyah) yaitu 500 Dirham. Itulah mahar Rasulullah ﷺ untuk istri-istrinya.’” [HR. Muslim (no. 1424) kitab an-Nikaah, an-Nasa-i (no. 3347) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 2105) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1886) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 24105), ad-Darimi (no. 2199) kitab an-Nikaah].

Kedelapan:

Khutbah ‘Umar bin al-Khaththab Tentang Mahar

Tatkala Khalifah ar-Rasyid ‘Umar bin al-Khaththab diangkat sebagai khalifah untuk mengurus berbagai urusan kaum Muslimiin, dan beliau mengetahui sebagian orang bermahal-mahal dalam mahar, maka beliau menaiki mimbar pada suatu hari, untuk memberikan khutbah di hadapan para Sahabat Nabi ﷺ, dengan khutbah yang sangat mendalam: “Wahai manusia, janganlah bermahal-mahal dalam mahar wanita. Sebab, seandainya (bermahal-mahal dalam) mahar itu merupakan kemuliaan di dunia, atau merupakan ketakwaan di sisi Allah, niscaya yang paling berhak melakukannya di antara kalian adalah Rasulullah ﷺ. Namun demikian, beliau tidak pernah memberi mahar kepada seorang pun dari istri-istrinya, dan tidak pula seorang dari putri-putrinya, lebih dari 12 Auqiyah -yakni 500 Dirham-. Seorang pria membayar mahal mahar seorang wanita, sehingga dia memusuhinya dalam hatinya, dan hingga dia mengatakan: ‘Aku terbebani peluh girbah [Girbah: Kantung air yang terbuat dari kulit binatang ternak yang telah disamak.-ed] untuk mendapatkanmu.”[ HR. At-Tirmidzi (no. 1114) kitab an-Nikaah, ia berkata: “Hadis Hasan Shahih.” Abu Dawud (no. 2106) kitab an-Nikaah, an-Nasa-i (no. 3349) kitab an-Nikaah, dan lafazh ini miliknya, Ibnu Majah (no. 1887) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 287), ad-Darimi (no. 2200) kitab an-Nikaah. Syaikh al-Albani menShahihkan-nya dalam Shahiih Ibni Maajah (no. 1532), al-Misykaat (no. 3204), as-Silsila-tush Shahiihah (no. 1834).] Yakni, aku terbebani dalam mendapatkanmu, berupa rasa penat dan berat, sehingga berpeluh seperti peluh girbah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Apa yang dilakukan sebagian orang yang tidak ramah, sombong dan riya,’ berupa memerbanyak mahar untuk tujuan riya dan bermegah-megahan, sebenarnya mereka tidak berniat mengambilnya dari suami, dan dia tidak pula berniat memberikannya kepada mereka. Ini adalah kemunkaran yang buruk, menyelisihi Sunnah, keluar dari syariat.” [Majmuu’ Fataawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/193)].

Di sini kami kemukakan pernyataan Syaikh ash-Shabuni: “Rasul ﷺ tidak menyatakan: ‘Jika datang kepada kalian orang yang memunyai jutaan Pound, orang yang memiliki gedung dan mobil, atau putera Fulan, dan Fulan.’ Tapi beliau menyatakan: ‘Siapa yang engkau ridhai agama dan akhlaknya.’ Agama dan akhlak adalah prinsip dan landasan dalam perkara pernikahan. Sedangkan harta adalah persoalan kedua yang tidak memunyai pengaruh dalam kebahagiaan rumah tangga.

Sebagaimana perkataan penya’ir:

‘Aku tidak melihat kebahagiaan karena mengumpulkan harta

Tetapi ketakwaan itulah kebahagiaan sejati.’” [Kitab az-Zawaaj al-Islaami al-Mubakkir (no. 109)].

Kesembilan:

Dianjurkan Bersegera Menyerahkan Mahar

Abu Dawud meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia mengatakan: “Rasulullah ﷺ memerintahkan kepadaku agar aku tidak memasukkan istri kepada suaminya, sebelum dia memberikan sesuatu kepadanya.” [HR. Abu Dawud (no. 2128) kitab an-Nikaah, dan Abu Dawud mengatakan bahwa Khaitsamah tidak pernah mendengar dari ‘Aisyah, dan semua perawinya tsiqat kecuali Syuraik, ia adalah shaduq yang sering melakukan kesalahan, Ibnu Majah (no. 1992) kitab an-Nikaah].

Menurut ulama, perintah ini adalah untuk anjuran

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Adapun yang dinukil dari sebagian Salaf, bahwa mereka memerbanyak pemberian mahar kepada wanita-wanita (yang mereka nikahi), itu tidak lain karena harta mereka berlimpah. Mereka mendahulukan penyerahan seluruh mahar sebelum menggauli. Mereka tidak menundanya sedikit pun. Dan siapa yang memunyai kemudahan dan memunyai harta lalu dia senang memberi istrinya mahar yang banyak, maka tidaklah mengapa.” [Majmuu’ Fataawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/195)].

Kesepuluh:

Mahar adalah Hak Istri Yang Tidak Boleh Diambil

Syariat yang bijak ini berkeinginan memelihara hak wanita dalam kepemilikan mahar tersebut. Rasulullah ﷺ mengancam siapa yang menyia-nyiakan hak ini dengan ancaman yang sangat keras. Al-Hakim meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ أَعْظَمَ الذُّنُوْبِ عِنْدَ اللهِ رَجُلٌ تَزَوَّجَ امْرَأَةً، فَلَمَّا قَضَـى حَـاجَتَهُ مِنْهَا طَلَّقَهَا، وَذَهَبَ بِمَهْرِهَـا، وَرَجُلٌ يَسْتَعْمِلَ رَجُلاً فَذَهَبَ بِأُجْرَتِهِ، وَآخَرَ يَقْتُلُ دَابَّةً عَبَثًا.

“Dosa paling besar di sisi Allah, ialah orang yang menikahi wanita, lalu ketika telah menyelesaikan hajatnya darinya, maka dia menceraikannya dan pergi dengan membawa maharnya. Orang yang memekerjakan seseorang, lalu pergi dengan membawa upahnya, dan seorang yang membunuh binatang dengan sia-sia.” [HR. Al-Hakim (II/182), dan menilainya sebagai hadis Shahih sesuai kriteria al-Bukhari serta disetujui oleh adz-Dzahabi; dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahiihah (no. 999)].

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً

“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” [An-Nisaa’/4: 4].

Yakni, pemberian dari Allah sebagai permulaan.

An-nihlah ialah pemberian dengan kerelaan hati.

Dia berfirman:

فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka dengan patut.” [An-Nisaa’/4: 25]

فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً

“Maka berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna).” [An-Nisaa’/4: 24].

Mahar adalah pemberian yang dilindungi, yang diwajibkan Allah untuk diberikan kepada wanita. Bukan sebagai imbalan sesuatu yang wajib dia berikan, kecuali memenuhi hak-hak suami istri, sebagaimana halnya dia tidak dapat digugurkan -walaupun wanita itu rela- kecuali setelah akad [‘Audatul Hijaab (II/298)].

Seandainya seorang pria telah menjalin akad dengan wanita, kemudian ditemukan padanya aib yang bisa membatalkan akad sebelum menyetubuhinya, maka wanita tidak mendapatkan apa-apa, jika si pria membatalkan akad. Adapun seandainya aib itu nampak setelah disetubuhi, dan ia hendak membatalkan akad, maka wanita itu mendapatkan mahar. Dan pria ini memunyai hak terhadap pihak yang menikahkannya, yaitu kedua orang tua istri atau walinya. Jika mereka menerima hal itu, maka apa yang ada di sisi Allah, itulah yang lebih baik dan lebih kekal, pada hari yang tiada bermanfaat, harta dan anak-anak, sebagaimana penjelasannya akan di-sebutkan dalam bab “Aib pada Wanita yang Dinikahi”.

Di sini muncul pertanyaan: Apakah seseorang boleh menikah dengan mahar putri atau saudara perempuannya?

Jawaban: Mahar putri atau saudara perempuannya adalah salah satu hak wanita tersebut dan salah satu bagian yang dimilikinya. Jika dia menghibahkannya kepadanya, atau sebagian darinya dengan kesadaran, maka hal itu secara syariat dibolehkan. Jika dia tidak menghibahkan kepadanya, maka tidak boleh ia mengambilnya, atau mengambil sesuatu darinya, karena mahar menjadi hak prerogatifnya. Bagi ayah wanita ini secara khusus bisa memiliki apa yang tidak merugikannya, dan tidak mengkhususkannya kepada sebagian anak-anaknya, karena Nabi ﷺ bersabda:

إِنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلْتُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ، وَإِنَّ أَوْلاَدَكُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ.

“Sesungguhnya, sebaik-baik apa yang kalian makan ialah (berasal) dari usaha kalian, dan sesungguhnya anak-anak kalian adalah (hasil) dari usaha kalian.” [HR. At-Tirmidzi (no. 1358) kitab al-Ahkaam, dan dia menilainya sebagai hadis hasan Shahih, Abu Dawud (no. 3530) kitab al-Buyuu’, an-Nasa-i (no. 4450), Ibnu Majah (no. 2290) kitab at-Tijaaraat, Ahmad (no. 25126), Mu’jamul Ausath (no. 4486, 4487). Dan lihat, Afraahunaa maa Lahaa wamaa ‘alaihaa wa Mu’aalajah Ba’dhazh Zhawaahir (hal. 137)]

Dalam sebuah riwayat an-Nasa-i:

إِنَّ أَوْلاَدَكُمْ مِنْ أَطْيَبِ كَسْبِكُمْ فَكُلُوْا مِنْ كَسْبِ أَوْلاَدِكُمْ.

“Sesungguhnya anak-anak kalian adalah salah satu usaha kalian yang terbaik. Maka makanlah dari usaha anak-anak kalian.” [HR. An-Nasa-i (no. 4449) kitab al-Buyuu’, at-Tirmidzi (no. 1358) kitab al-Buyuu’, Abu Dawud (no. 3528) kitab al-Buyuu’, Ibnu Majah (no. 2137) kitab at-Tijaaraat, dan diShahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih an-Nasa-i (no. 4145)].

 

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir – Bogor]

 

Sumber: