Sejarah Puasa Asyura

‘Asyura adalah hari kesepuluh pada bulan Muharrom [Syarah Shahih Muslim 8/12, Fathul Bari, Ibnu Hajar 4/671, Mukhtashor Shahih Muslim, al-Mundziri hal.163-Tahqiq al-Albani, al-Mughni 4/441, Subulus Salam, as-Shon’ani 2/671]. Dia adalah hari yang mulia, menyimpan sejarah yang mendalam, tak bisa dilupakan.

Ibnu Abbas berkata: “Nabi ﷺ tiba di Madinah dan dia mendapati orang-orang Yahudi sedang berpuasa A’syuro. Nabi ﷺ bertanya: “Puasa apa ini?” Mereka menjawab: “Hari ini adalah hari yang baik, hari di mana Allah telah menyelamatkan Bani Israil dari kejaran musuhnya. Maka Musa berpuasa sebagai rasa syukurnya kepada Allah. Dan kami-pun ikut berpuasa. Nabi ﷺ berkata: “Kami lebih berhak terhadap Musa daripada kalian”. Akhirnya Nabi ﷺ berpuasa dan memerintahkan manusia untuk berpuasa [HR. Bukhari: 2004, Muslim: 1130].

Nabi ﷺ dalam berpuasa ‘Asyura mengalami empat fase [Lathoiful Ma’arif hal.102-107]:

Fase pertama: Beliau ﷺ berpuasa di Mekkah dan tidak memerintahkan manusia untuk berpuasa.

Aisyah menuturkan: “Dahulu orang Quraisy berpuasa A’syuro pada masa jahiliyyah. Dan Nabi ﷺ pun berpuasa ‘Asyura pada masa jahiliyyah. Tatkala beliau ﷺ hijrah ke Madinah, beliau ﷺ tetap puasa ‘Asyura dan memerintahkan manusia juga untuk berpuasa. Ketika puasa Ramadhon telah diwajibkan, beliau ﷺ berkata: “Bagi yang hendak puasa silakan, bagi yang tidak puasa, juga tidak mengapa” [HR. Bukhari: 2002, Muslim: 1125]

Fase kedua: Tatkala beliau ﷺ datang di Madinah dan mengetahui bahwa orang Yahudi puasa ‘Asyura, beliau ﷺ juga berpuasa dan memerintahkan manusia agar puasa, sebagaimana keterangan Ibnu Abbas di muka. Bahkan Rasulullah ﷺ menguatkan perintahnya dan sangat menganjurkan sekali, sampai-sampai para sahabat melatih anak-anak mereka untuk puasa ‘Asyura.

Fase ketiga: Setelah diturunkannya kewajiban puasa Ramadhon, beliau ﷺ tidak lagi memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa A’syuro, dan juga tidak melarang, dan membiarkan perkaranya menjadi sunnah [Bahkan para ulama telah sepakat bahwa puasa ‘Asyura sekarang hukumnya sunnah tidak wajib. Ijma’at Ibnu Abdil Barr 2/798, Abdullah Mubarak Al Saif, Shahih Targhib wa Tarhib, al-Albani 1/438, Tuhfatul Ahwadzi, Mubarak Fury 3/524, Aunul Ma’bud, Syaroful Haq Azhim Abadi 7/121], sebagaimana hadis Aisyah yang telah lalu.

Fase keempat: Pada akhir hayatnya, Nabi ﷺ bertekad untuk tidak hanya puasa pada hari A’syuro saja, namun juga menyertakan hari tanggal 9 A’syuro, agar berbeda dengan puasanya orang Yahudi.

Ibnu Abbas berkata: “Ketika Nabi ﷺ puasa A’syuro dan beliau juga memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa, para sahabat berkata: “Wahai Rasululloh, hari Asyura adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashoro!! Maka Rasululloh ﷺ berkata: “Kalau begitu, tahun depan Insya Allah, kita puasa bersama tanggal sembilannyajuga”. Ibnu Abbas berkata: “Belum sampai tahun depan, beliau ﷺ sudah wafat terlebih dahulu” [HR. Muslim: 113].

Di antara keutamaan puasa ‘Asyura adalah: Menghapus dosa satu tahun yang lalu. Rasululloh ﷺ bersabda:

صِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ

Puasa ‘Asyura, aku memohon kepada Allah, agar dapat menghapus dosa setahun yang lalu [HR. Muslim: 1162].

Imam an-Nawawi berkata: “Keutamaannya menghapus semua dosa-dosa kecil. Atau boleh dikatakan menghapus seluruh dosa kecuali dosa besar” [Majmu’ Syarah al-Muhadzzab, an-Nawawi 6/279].

Wallahu a’alam.

 

Penulis: Ustadz Syahrul Fatwa bin Luqman (Penulis Majalah Al Furqon Gresik)

Untuk lengkapnya:

https://muslim.or.id/23090-keutamaan-puasa-asyura-dan-sejarahnya.html