بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

SEJARAH ASALNYA BEDUG, BUKAN DARI NEGARA ISLAM

Pengertian

Bedug adalah alat musik tabuh seperti gendang. Bedug merupakan instrumen musik tradisional yang telah digunakan sejak ribuan tahun lalu, yang memiliki fungsi sebagai alat komunikasi tradisional, baik dalam kegiatan ritual keagamaan maupun politik.

Di Indonesia, sebuah bedug biasa dibunyikan untuk pemberitahuan mengenai waktu shalat atau sembahyang. Bedug terbuat dari sepotong batang kayu besar atau pohon enau sepanjang kira-kira satu meter atau lebih. Bagian tengah batang dilubangi sehingga berbentuk tabung besar. Ujung batang yang berukuran lebih besar ditutup dengan kulit binatang (kerbau, sapi atau banteng) yang berfungsi sebagai membran atau selaput gendang. Bila ditabuh, bedug menimbulkan suara berat, bernada khas, rendah, tetapi dapat terdengar sampai jarak yang cukup jauh.

Sejarah

Dari Cina

Bedug sebenarnya berasal dari India dan Cina. Berdasarkan legenda Cheng Ho dari Cina, ketika Laksamana Cheng Ho datang ke Semarang, mereka disambut baik oleh Raja Jawa pada masa itu. Kemudian ketika Cheng Ho hendak pergi dan hendak memberikan hadiah, raja dari Semarang mengatakan, bahwa dirinya hanya ingin mendengarkan suara bedug dari masjid. Sejak itulah, bedug kemudian menjadi bagian dari masjid, seperti di Negara Cina,Korea dan Jepang, yang memosisikan bedug di kuil-kuil sebagai alat komunikasi ritual keagamaan.

Asli Warisan Nusantara

Namun menurut Drs M Dwi Cahyono, arkeolog dari Universitas Negeri Malang yang melakukan studi bedug di Jawa bersama tim Sampoerna Hijau, pada masa prasejarah, nenek moyang kita juga sudah mengenal Nekara dan Moko, sejenis genderang dari perunggu. Pemakaiannya berhubungan dengan religi minta hujan.

Kata Bedug juga sudah disinggung dalam kidung Malat, sebuah karya sastra berbentuk kidung. Susastra kidung berisi cerita-cerita panji. Umumnya ditulis pada zaman Mahapahit, dari kurun waktu abad ke 14-16 Masehi. Dalam Kidung Malat dijelaskan, instrumen musik membrafaon bedug dibedakan antara bedug besar yang diberi nama teg-teg dengan bedug ukuran biasa.

Bedug pada masa itu berfungsi sebagai alat komunikasi dan penanda waktu seperti perang, bencana alam, atau hal mendesak lainnya. Dibunyikan pula untuk menandai tibanya waktu. Maka ada istilah dalam bahasa Jawa: wis wanci keteg. Artinya “sudah waktu siang” yang diambil dari waktu saat tegteg dibunyikan.

Cornelis De Houtman dalam catatan perjalanannya D’eerste Boek menjadi saksi keberadaan bedug yang sudah meluas pada abad ke-16. Ketika komandan ekspedisi Belanda itu tiba di Banten, ia menggambarkan di setiap perempatan jalan terdapat genderang yang digantung dan dibunyikan memakai tongkat pemukul yang ditempatkan di sebelahnya. Fungsinya sebagai tanda bahaya dan penanda waktu. Kesaksian ini jelas menunjuk pada bedug.

Kendati demikian, pengaruh Cina pun tidak dinafikan. Ditilik dari sisi konstruksi, teknik pemasangan tali/pasak untuk merekatkan selaput getar ke resonator pada bedug Jawa, mirip pada cara yang digunakan pada bedug di Asia Timur seperti Jepang, Cina, atau Korea. Bukti lain terlihat pada penampilan arca terakota yang ditemukan di situs Trowulan. Arca-arca prajurit berwajah Mongoloid itu tampak menabuh tabang-tabang, sejenis genderang yang terpengaruh budaya Timur Tengah. Kemungkinannya itulah instrumen musik yang dimainkan orang-orang Cina Muslim di ibukota Majapahit.

Menariknya, tabang-tabang sebenarnya merupakan instrumen musik yang sudah ada sejak masa Hindu-Budha. Di dalamnya ada pengaruh kuat dari India dan budaya Semit beragama Islam. Namun diperkenalkan dan dimainkan oleh masyarakat Cina Muslim.

Jadi, bedug bisa dikatakan contoh perwujudan akulturasi budaya Waditra (instrumen musik membrafon, di mana secara fisiografis terjadi perpaduan antara waditra membrafon etnik Nusantara dengan wadistra sejenis dari luar seperti India, Cina, dan Timur Tengah.

Di Indonesia, sebuah bedug biasa dibunyikan untuk pemberitahuan mengenai waktu salat atau sembahyang. Saat Orba berkuasa, bedug pernah dikeluarkan dari surau dan masjid karena mengandung unsur-unsur non-Islam. Bedug digantikan oleh pengeras suara. Hal itu dilakukan oleh kaum Islam modernis, namun warga NU melakukan perlawanan sehingga sampai sekarang dapat terlihat masih banyak masjid yang memertahankan bedug.

Fungsi

Fungsi Sosial: Bedug berfungsi sebagai alat komunikasi atau petanda kegiatan masyarakat, mulai dari ibadah, petanda bahaya, hingga petanda berkumpulnya sebuah komunitas.

Fungsi Estetika: Bedug berfungsi dalam pengembangan dunia kreatif, konsep, dan budaya material musikal.

Permainan (Seni Ngadulag)

Seni ngadulag berasal dari daerah Jawa Barat. Pada dasarnya, bedug memiliki fungsi yang sama seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Namun, tabuhan bedug di tiap-tiap daerah memiliki perbedaan dengan daerah lainnya, sehingga menjadikannya khas. Sehingga lahirlah sebuah istilah “Ngadulag” yang menunjuk pada sebuah keterampilan menabuh bedug. Kini keterampilan menabuh bedug telah menjadi bentuk seni yang mandiri yaitu seni Ngadulag (permainan bedug).

Di daerah Bojonglopang, Sukabumi, seni ngadulag telah menjadi sebuah kompetisi untuk mendapatkan penabuh bedug terbaik. Kompetisi terbagi menjadi 2 kategori, yaitu keindahan dan ketahanan. Keindahan mengutamakan irama dan ritme tabuhan bedug, sedangkan ketahanan mengutamakan daya tahan menabuh atau seberapa lama kekuatan menabuh bedug. Kompetisi ini diikuti oleh laki-laki dan perempuan.

Dari permainan inilah seni menabuh bedug mengalami perkembangan. Dahulu, peralatan seni menabuh bedug hanya terdiri dari bedug, kohkol, dan terompet. Tapi kini peralatannya pun mengalami perkembangan.

Selain yang telah disebutkan di atas, menabuh bedug kini juga dilengkapi dengan alat-alat musik seperti gitar, keyboard, dan simbal.

 

Sumber:

http://www.kesekolah.com/artikel-dan-berita/pendidikan/asal-usul-bedug.html

 

Sumber:

https://aslibumiayu.net/17028-memukul-bedug-atau-kentongan-sebelum-azan-itu-adalah-bidah-dan-bedug-termasuk-alat-musik-yang-diharamkan.html