بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

#SayNoToRiba
RIBA DALAM KEGIATAN MAKAN BERSAMA
Langsung saja saya berikan ilustrasi
Ali: ”Assalamu ‘alaykum. Adi lagi di mana?
Adi: Wa ‘alaykumus salam warahmatullah. Lagi di pasar nih.
Ali: Oya kebetulan. Tolong belikan rambutan 1kg. Nanti sampai rumah diganti uangnya.
Adi: Ok deh
Ali: Ya udah itu aja saja. Assalamu ‘alaykum.
Adi: Wa ‘alaykumus salam warahmatullah ‎
(Sudah sampai rumah Ali)
Adi: Assalamu ‘alaykum
Ali: Wa’alaykumus salam
Adi: Ini pesanannya.
Ali: Syukron. Ayo kita makan sama-sama. Tenang saja nanti diganti uangnya.
Kemudian Adi dan Ali makan rambutan bersama-sama. Maka Adi telah makan riba.
Apakah ini benar, bahwa Adi telah memakan riba?
Jawaban:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Mengambil keuntungan sekecil apapun dari transaksi utang piutang, dilarang dalam Islam, sebagaimana yang dinyatakan oleh Fudhalah bin Ubaid radhiyallahu ‘anhu:

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا

“Semua utang yang menghasilkan manfaat, statusnya riba” (HR. al-Baihaqi dengan sanadnya dalam al-Kubro)
Termasuk di antaranya adalah hadiah dan pemberian sebelum utang lunas. Meskipun bentuknya jasa.
Sahabat Abdullah bin Sallam pernah mengatakan:

إِذَا كَانَ لَكَ عَلَى رَجُلٍ حَقٌّ فَأَهْدَى إِلَيْكَ حِمْلَ تِبْنٍ ، أَوْ حِمْلَ شَعِيرٍ أَوْ حِمْلَ قَتٍّ ، فَلاَ تَأْخُذْهُ ، فَإِنَّهُ رِبًا

“Apabila kamu mengutangi orang lain, kemudian orang yang diutangi memberikan fasilitas membawakan jerami, gandum, atau pakan ternak, maka janganlah menerimanya, karena itu riba.” (HR. Bukhari 3814).
Dalam riwayat lain, nasihat Abdullah bin Sallam ini beliau sampaikan kepada Abu Burdah, yang ketika itu tiba di Iraq. Dan di sana ada tradisi, siapa yang berutang maka ketika melunasi, dia harus membawa sekeranjang hadiah.

إِنَّكَ فِى أَرْضٍ الرِّبَا فِيهَا فَاشٍ وَإِنَّ مِنْ أَبْوَابِ الرِّبَا أَنَّ أَحَدَكُمْ يَقْرِضُ الْقَرْضَ إِلَى أَجْلٍ فَإِذَا بَلَغَ أَتَاهُ بِهِ وَبِسَلَّةٍ فِيهَا هَدِيَّةٌ فَاتَّقِ تِلْكَ السَّلَّةَ وَمَا فِيهَا

“Saat ini kamu berada di daerah yang riba di sana tersebar luas. Di antara pintu riba adalah, jika kita memberikan utang kepada orang lain sampai waktu tertentu, jika jatuh tempo tiba, orang yang berutang membayarkan cicilan dan membawa sekeranjang berisi buah-buahan, sebagai hadiah. Hati-hatilah dengan keranjang tersebut dan isinya.” (HR. Baihaqi dalam Sunan Kubro).
Hanya saja, ada catatan yang perlu kita perhatikan, bahwa:
‘Utang tidak memutus silaturrahmi’
‘Utang tidak memutus hubungan baik seseorang dengan kawannya’
Dan seterusnya.
Karena itu, siapa yang punya kebiasaan baik dengan saudaranya, seperti saling memberi hadiah atau saling membantu dalam berbagai urusan, jangan sampai kebiasaan ini dihentikan gara-gara utang.
 
Nabi ﷺ bersabda:

تَهَادُوا تَحَابُّوا

“Lakukanlah saling menghadiahilah, niscaya kalian saling mencintai.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad 594 dan dihasankan al-Albani).
Karena itulah, kaitannya hadiah dengan akad utang piutang dibagi menjadi dua:
[1] Hadiah yang diberikan karena latar belakang akad utang piutang. Andai tidak berlangsung akad utang-piutang, tentu tidak akan akan ada hadiah.
[2] Hadiah yang tidak ada hubungannya dengan akad utang piutang, meskipun keduanya kadang melakukan akad utang piutang. Misalnya, kakak adik, mereka sudah terbiasa saling memberi hadiah ketika lebaran. Suatu ketika adik utang ke kakak. Dan ketika lebaran, mereka saling memberi hadiah, meskipun utang adik belum lunas.
Tapi kita bisa memahami, hadiah yang ada dalam hal ini sama sekali TIDAK ADA KAITANNYA dengan transaksi utang piutang. Hadiah yang sudah terjadi karena kebiasaan sebelumnya.
Hadiah ini diperbolehkan, meskipun utang belum lunas. Karena sudah menjadi kebiasaan sebelumnya, sehingga tidak ada hubungannya dengan utang piutang.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:

إِذَا أَقْرَضَ أَحَدُكُمْ قَرْضًا فَأَهْدَى لَهُ أَوْ حَمَلَهُ عَلَى الدَّابَّةِ فَلاَ يَرْكَبْهَا وَلاَ يَقْبَلْهُ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ جَرَى بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ قَبْلَ ذَلِكَ

“Apabila kalian mengutangkan sesuatu kepada orang lain, kemudian (orang yang berutang) memberi hadiah kepada yang mengutangi, atau memberi layanan berupa naik kendaraannya (dengan gratis), janganlah menaikinya dan jangan menerimanya, kecuali jika sudah terbiasa mereka saling memberikan hadiah sebelumnya.” (HR. Ibnu Majah 2432)
Karena sekali lagi, utang tidak memutus silaturrahmi. Jangan sampai gara-gara utang, justru mereka saling tegang, tidak bisa cair, tidak semakin akrab, dan kaku terhadap jamuan.
Bagaimana dengan Kasus Talangan Jajan?
Kasus di atas, seperti yang umum di masyarakat kita, TIDAK ADA KAITANNYA dengan utang piutang. Dalam arti, mereka sudah terbiasa melakukannya, meskipun mereka tidak terlibat dalam akad utang piutang. Sehingga makan bersama di sini, sama sekali tidak ada hubungannya dengan utang.
Insya Allah dibolehkan, dan bukan riba.
Allahu a’lam
 
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
Sumber: https: //konsultasisyariah.com/29299-riba-dalam-kegiatan-makan-bersama.html