Qishash: Bentuk Kebijaksanaan dalam Hukum Islam

Oleh: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.

Qishash yang selama ini kita ketahui terkadang masih dianggap sebagai sesuatu yang sangat angker, menakutkan, dan tidak manusiawi, sehingga timbul sikap yang dinamakan “Islam Phobia“. Padahal, Allah subhanahu wa ta’ala mensifatkan Qishash dalam firman-Nya:

وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَاْ أُولِيْ الأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Dan dalam Qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, wahai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (QS. al-Baqarah: 179).

Imam asy-Syaukani menjelaskan ayat ini dengan menyatakan: “Maknanya, kalian memiliki jaminan kelangsungan hidup dalam hukum yang Allah subhanahu wa ta’ala syariatkan ini, karena bila seseorang tahu akan dibunuh secara Qishash apabila ia membunuh orang lain, tentulah ia tidak akan membunuh dan menahan diri dari memermudah dan terjerumus padanya.

Dengan demikian, hal itu seperti kedudukan jaminan kelangsungan hidup bagi jiwa manusia. Ini adalah satu bentuk Sastra (Balaghah) yang tinggi dan kefasihan yang sempurna. Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan Qishash yang sebenarnya adalah kematian sebagai jaminan kelangsungan hidup, ditinjau dari akibat yang ditimbulkannya, berupa tercegahnya manusia saling bunuh di antara mereka. Hal ini dalam rangka menjaga keberadaan jiwa mereka dan keberlangsungan khidupan mereka.

Allah subhanahu wa ta’ala juga menyampaikan ayat ini untuk Ulil Albab (Orang yang berakal), karena merekalah orang yang memandang jauh ke depan dan berlindung dari bahaya yang munculnya menyusul nanti. Adapun orang yang pandir, dia berpikiran pendek dan gampang emosi. Ketika amarah dan emosinya bergejolak, dia tidak memandang akibat yang muncul nantinya dan dia pun tidak memikirkan masa depannya.” [Fathu al-Qadir: 1/179, dinukil dari al-Mulakhash al-Fiqh: 2/471].

Dikarenakan bersikap terburu-buru dan tidak mengerti hakikat syariat yang Allah subhanahu wa ta’ala tetapkan, banyak orang bahkan kaum Muslimin yang belum mau menerima atau simpati atas penegakkan Qishash ini. Padahal, pensyariatan Qishash akan membawa kemaslahatan bagi manusia. Syaikh Prof. Dr. Shalih bin Fauzan menyatakan, “Pensyariatan Qishash berisi rahmat bagi manusia dan penjagaan atas darah mereka, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:

وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ

‘Dan dalam Qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu.‘ (QS. al-Baqarah: 179).

Sehingga, betapa jelek orang yang menyatakan bahwa Qishash itu sesuatu yang tidak berprikemanusiaan (biadab) dan keras. Mereka tidak melihat kepada kebiadaban pelaku pembunuhan ketika membunuh orang tak berdosa, ketika menebar rasa takut di daerah tersebut, dan ketika menjadikan para wanita janda, anak-anak menjadi yatim, serta hancurnya rumah tangga.

Mereka ini hanya merahmati pelaku kejahatan dan tidak merahmati korban yang tak berdosa. Sungguh jelek akal dan kedangkalan mereka. Allah berfirman:

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللّهِ حُكْماً لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ

‘Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?‘ (QS. al-Ma`idah: 50)” [Al-Mulakhash al-Fiqh: 2/475].

Untuk itu, penjelasan tentang Qishash ini sangat diperlukan, agar kaum Muslimin bisa mengerti keindahan dan rahmat yang ada dalam Qishash.

Definisi Qishash

Kata “Qishash” (قصاص) berasal dari bahasa Arab yang berarti “Mencari jejak”, seperti “Al-Qasas“. Sedangkan dalam istilah hukum Islam, maknanya adalah pelaku kejahatan dibalas seperti perbuatannya, apabila ia membunuh maka dibunuh dan bila ia memotong anggota tubuh maka anggota tubuhnya juga dipotong. [Asy-Syarhu al-Mumti’: 14/34].

Sedangkan Syaikh Prof. Dr. Shalih bin Fauzan mendefiniskannya dengan: “Al-Qishash adalah perbuatan (pembalasan) korban atau walinya terhadap pelaku kejahatan sama atau seperti perbuatan pelaku tadi.” [Al-Mulakhash al-Fiqh: 2/476].

Dapat disimpulkan bahwa Qishash adalah mengambil pembalasan yang sama atau serupa, mirip dengan istilah “Utang nyawa dibayar dengan nyawa”.

Dasar Pensyariatan Qishash

Qishash disyariatkan dalam Alquran dan as-sunnah, serta Ijma‘. Di antara dalil dari Alquran adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأُنثَى بِالأُنثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاء إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ . وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَاْ أُولِيْ الأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, Qishash diwajibkan atasmu berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka, barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (Diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabbmu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. Dan dalam Qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, wahai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (QS. al-Baqarah: 178-179).

Sedangkan dalil dari as-Sunnah di antaranya adalah hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ قُتِلَ لَهُ قَتِيلٌ فَهُوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ إِمَّا أَنْ يُفْدَى وَإِمَّا أَنْ يُقْتَل

“Barang siapa yang menjadi keluarga korban terbunuh maka ia memilih dua pilihan, bisa memilih Diyat dan bisa juga dibunuh (Qishash).” (HR. al-Jama’ah).

Sedangkan dalam riwayat at-Tirmidzi adalah dengan lafadz:

مَنْ قُتِلَ لَهُ قَتِيلٌ فَهُوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ إِمَّا أَنْ يَعْفُوَ وَإِمَّا أَنْ يَقْتُلَ

“Barang siapa yang menjadi keluarga korban terbunuh, maka ia memilih dua pilihan, bisa memilih memaafkannya dan bisa membunuhnya.” [HR. at-Tirmidzi, no. 1409].

Ayat dan hadis di atas menunjukkan bahwa wali (keluarga) korban pembunuhan dengan sengaja memiliki pilihan untuk membunuh pelaku tersebut (Qishash) bila menghendakinya. Bila tidak, bisa memilih Diyat dan pengampunan. Pada asalnya, pengampunan lebih utama, selama tidak mengantar kepada mafsadat (kerusakan) atau ada kemashlahatan lainnya [Lihat: al-Mulakhash al-Fiqh: 2/473 dan asy-Syarhu al-Mumti’: 14/34].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah me-rajih-kan, bahwa pengampunan tidak boleh diberikan pada Qatlu Al-Ghilah (pembunuhan dengan memerdaya korban) [Al-Mulakhash al-Fiqh: 2/473].

Sedangkan Ibnu al-Qayyim rahimahullah, ketika menyampaikan kisah al-’Urayinin, menyatakan, “Qatlu al-ghilah mengharuskan pembunuhan pelaku dilakukan secara had (hukuman), sehingga hukuman baginya tidak gugur dengan adanya pengampunan dan tidak dilihat kembali kesetaraan (mukafah). Inilah madzhab Ahli Madinah dan salah satu dari dua pendapat dalam Madzhab Ahmad, serta yang dirajihkan asy-Syaikh (Ibnu Taimiyah, pen) dan beliau rahimahullah berfatwa dengan pendapat ini.” [Lihat: Hasyiyah ar-Raudh al-Murbi’: 7/207].

Hikmah Pensyariatan Qishash

Allah al-Hakim menetapkan satu ketetapan syariat dengan hikmah yang agung. Hikmah-hikmah tersebut ada yang diketahui manusia dan ada yang hanya menjadi rahasia Allah subhanahu wa ta’ala. Demikian juga, dalam Qishash terdapat banyak hikmah, di antaranya:

  1. Menjaga masyarakat dari kejahatan dan menahan setiap orang yang akan menumpahkan darah orang lain. Yang demikian itu disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya:

وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَاْ أُولِيْ الأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Dan dalam qishas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, wahai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (QS. al-Baqarah: 179).

  1. Mewujudkan keadilan dan menolong orang yang terdzalimi, dengan memberikan kemudahan bagi wali korban untuk membalas kepada pelaku seperti yang dilakukan kepada korban. Karena itulah, Allah berfirman:

وَمَن قُتِلَ مَظْلُوماً فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَاناً فَلاَ يُسْرِف فِّي الْقَتْلِ إِنَّهُ كَانَ مَنْصُوراً

“Dan barang siapa dibunuh secara dzalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya. Tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.” (QS. al-Isra`: 33).

  1. Menjadi sarana taubat dan penyucian dari dosa yang telah dilanggarnya, karena Qishash menjadi kafarah (penghapus dosa) bagi pelakunya. Hal ini dijelaskan Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:

تُبَايِعُونِي عَلَى أَنْ لَا تُشْرِكُوا بِاللَّهِ شَيْئًا وَلَا تَسْرِقُوا وَلَا تَزْنُوا قَرَأَ عَلَيْهِمْ الْآيَةَ فَمَنْ وَفَّى مِنْكُمْ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَعُوقِبَ عَلَيْهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَسَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ فَهُوَ إِلَى اللَّهِ إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ

‘Berbai’atlah kepadaku untuk tidak berbuat syirik, tidak mencuri, dan tidak berzina.’ Beliau membacakan kepada mereka ayat, (lalu bersabda), ‘Barang siapa di antara kalian yang menunaikannya, maka pahalanya ada pada Allah subhanahu wa ta’ala. Dan barang siapa yang melanggar sebagiannya lalu dihukum, maka hukuman itu sebagai penghapus dosa baginya. (Adapun) barang siapa yang melanggarnya, lalu Allah tutupi, maka urusannya diserahkan kepada Allah. Bila Dia kehendaki, maka Dia mengadzabnya. Dan bila Dia menghendaki, maka Dia mengampuninya.” (Muttafaqun ‘alaihi).

Syarat Kewajiban Qishash

Secara umum, wali (keluarga) korban berhak menuntut Qishash, apabila syarat-syarat berikut ini telah terpenuhi:

  1. Jinayat (kejahatan)-nya termasuk yang disengaja. Ini merupakan ijma’ para ulama, sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah: “Para ulama ber-ijma’ bahwa Qishash tidak wajib, kecuali pada pembunuhan yang disengaja, dan kami tidak mengetahui adanya silang pendapat di antara mereka dalam kewajibannya (sebagai hukuman pada) pembunuhan dengan sengaja, apabila terpenuhi syarat-syaratnya.” [al-Mughni: 11/457].
  1. Korban termasuk orang yang terlindungi darahnya (‘ishmat al-maqtul) dan bukan orang yang dihalalkan darahnya, seperti orang kafir harbi dan pezina yang telah menikah. Hal ini karena Qishash disyariatkan untuk menjaga dan melindungi jiwa.
  2. Pembunuh atau pelaku kejahatan adalah seseorang yang mukalaf, yaitu berakal dan baligh. Ibnu Qudamah rahimahullah menyatakan, “Tidak ada silang pendapat di antara para ulama bahwa tidak ada Qishash terhadap anak kecil dan orang gila. Demikian juga orang yang hilang akal dengan sebab uzur, seperti tidur dan pingsan.” [al-Mughni: 11/481].
  3. At-takafu’ (kesetaraan) antara korban dan pembunuhnya ketika terjadi tindak kejahatan dalam sisi agama, merdeka, dan budak. Sehingga, seorang Muslim tidak di-Qishash dengan sebab membunuh orang kafir, dengan dasar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ يُقْتَلُ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ

“Tidaklah seorang Muslim dibunuh (di-Qishash) dengan sebab membunuh orang kafir.” [HR. al-Bukhari, no. 111].

  1. Tidak ada hubungan keturunan (melahirkan), dengan ketentuan korban yang dibunuh adalah anak pembunuh atau cucunya, dengan dasar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ يُقْتَلُ الوَالِدُ بِوَلَدِهِ

“Orangtua tidak di-Qishash dengan sebab (membunuh) anaknya.” [HR. Ibnu Majah no. 2661 dan dinilai shahih oleh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil no. 2214].

Syekh as-Sa’di rahimahullah ketika menjelaskan syarat diwajibkannya Qishash menyatakan: “Pembunuh bukan orangtua korban, karena orangtua tidak dibunuh dengan sebab membunuh anaknya.” [Minhaj as-Salikin, hal. 237].

Sedangkan bila anak membunuh orangtuanya, maka si anak tetap terkena keumuman kewajiban Qishash.

Syarat Pelaksanaan Qishash:

Apabila syarat-syarat kewajiban Qishash terpenuhi seluruhnya, maka syarat-syarat pelaksanaannya masih perlu dipenuhi. Syarat-syarat tersebut adalah:

  1. Semua wali (keluarga) korban yang berhak menuntut Qishash adalah mukalaf. Apabila yang berhak menuntut Qishash atau sebagiannya adalah anak kecil atau gila, maka hak penuntutan Qishash tidak bisa diwakilkan oleh walinya, sebab pada Qishash terdapat tujuan memuaskan (keluarga korban) dan pembalasan. Dengan demikian, pelaksanaan Qishash wajib ditangguhkan, dengan memenjarakan pelaku pembunuhan hingga anak kecil tersebut menjadi baligh atau orang gila tersebut sadar.

Hal ini dilakukan Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang memenjarakan Hudbah bin Khasyram dalam Qishash, hingga anak korban menjadi baligh. Hal in dilakukan di zaman para sahabat dan tidak ada yang mengingkarinya, sehingga seakan-akan menjadi ijma’ di masa beliau.

Apabila anak kecil atau orang gila membutuhkan nafkah dari para walinya, maka wali orang gila saja yang boleh memberi pengampunan Qishash dengan meminta diyaat, karena orang gila tidak jelas kapan sembuhnya, berbeda dengan anak kecil. [Lihat: al-Mulakhash al-Fiqh: 2/476].

  1. Kesepakatan para wali korban terbunuh dan yang terlibat Qishash dalam pelaksanaannya. Apabila sebagian mereka -walaupun hanya seorang- memaafkan si pembunuh dari Qishash, maka gugurlah Qishash tersebut [Lihat: asy-Syarhu al-Mumti’: 14/38].
  1. Aman dalam pelaksanaannya dari melampaui batas kepada selain pelaku pembunuhan, dengan dasar firman Allah subhanahu wa ta’ala:

وَمَن قُتِلَ مَظْلُوماً فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَاناً فَلاَ يُسْرِف فِّي الْقَتْلِ إِنَّهُ كَانَ مَنْصُوراً

“Dan barang siapa yang dibunuh secara dzalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya. Tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.” (QS. al-Isra`: 33).

Apabila Qishash menyebabkan sikap melampaui batas, maka hal tersebut terlarang, sebagaimana dijelaskan dalam ayat di atas. Dengan demikian, apabila wanita hamil akan di-Qishash, maka ia tidaklah di-Qishash hingga ia melahirkan anaknya, karena membunuh wanita tersebut dalam keadaan hamil akan menyebabkan kematian janinnya. Padahal janin tersebut belum berdosa. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى

“Dan seseorang tidak akan memikul dosa orang lain.” (QS. al-An’am: 164).

Siapakah Yang Berhak Melakukan Qishash?

Yang berhak melakukannya adalah yang memiliki hak, yaitu para wali korban, dengan syarat mampu melakukan Qishash dengan baik sesuai syariat. Apabila tidak mampu, maka diserahkan kepada pemerintah atau wakilnya. Hal ini tentunya dengan pengawasan dan naungan pemerintah atau wakilnya, agar dapat mencegah sikap melampai batas dalam pelaksanaannya, serta untuk memaksa pelaksana menunaikannya sesuai syariat [Lihat: asy-Syarhu al-Mumti’: 14/54 dan al-Mulakhash al-Fiqh: 2/478].

Demikianlah beberapa hukum seputar Qishash. Mudah-mudahan dapat memberikan pencerahan akan keindahan dan pentingnya menerapkan Qishash di masyarakat kita.

Wabillahit taufiq

Artikel: www.ibnuabbaskendari.wordpress.com Disalin ulang dari: www.EkonomiSyariat.com

Referensi:

  1. Imam Ibnu Qudamah, al-Mughni, tahqiq Abdullah bin Abdil Muhsin at-Turki, cetakan kedua, tahun 1413 H, penerbit Hajar.
  2. Shalih bin Fauzan al-Fauzan, al-Mulakhash al-Fiqh, cetakan kedua, tahun 1426 H, Jam’iyah Ihya` at-Turats al-Islami.
  3. Muhammad bin Shalih Ibnu Utsaimin, asy-Syarhu al-Mumti’ ‘ala Zad al-Mustaqni’, cetakan pertama, tahun 1428 H, Dar Ibnu al-Jauzi, KSA, 14/5.
  4. Muhammad Nashirudin al-Albani, Irwa’ al-Ghaalil, al-Maktab al-Islami.
  5. Lain-lain.

 

https://ibnuabbaskendari.wordpress.com/2011/07/10/Qishash-bentuk-kebijaksanaan-dalam-hukum-islam/