بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْمِ
PENJELASAN MAHAR PERNIKAHAN DALAM ISLAM
 
Mahar atau mas kawin yang dalam kitab-kitab fikih disebut dengan shidaq adalah sesuatu yang wajib, sebab nikah atau wat’i (bersetubuh). Dari ta’rif (definisi) shidaq itu sendiri, dapat kita ketahui, bahwa hukum mahar atau mas kawin dalam Islam adalah wajib. Disunnahkan menyebutkan mas kawin di dalam akad. Boleh juga tidak menyebutkan mas kawinnya, tetapi dihukumi makruh, seperti yang diterangkan oleh Imam Al-Maawardiy dan Al-Mutawalliy dan Ulama lain, selain kedua beliau.
 
Mahar adalah tanda kesungguhan seorang laki-laki untuk menikahi seorang wanita. Dalil wajibnya mahar ditunjukkan antara lain dalam firman Allah:
 
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
 
“Berikanlah mahar (maskawin) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang wajib. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” [QS. An-Nisa’ : 4]
Dalam ayat tersebut Allah memerintahkan memberikan mahar kepada wanita yang hendak dinikahi. Maka hal tersebut menunjukkan bahwa mahar merupakan syarat sah pernikahan. Pernikahan tanpa mahar berarti pernikahan tersebut tidak sah, meskipun pihak wanita telah rida untuk tidak mendapatkan mahar.
 
Dalam ayat lain, Allah berfirman:
 
“Dan tidak ada dosa bagi kalian menikahi mereka, apabila kalian membayar kepada mereka mahar-mahar mereka.” [QS. Al-Mumtahanah: 10]
 
Nabi ﷺ tidak membolehkan terjadinya pernikahan tanpa adanya mahar sama sekali. Hal ini ditunjukkan dengan sangat jelas dalam hadis Sahl bin Sa’d tentang wanita yang menghibahkan dirinya kepada Rasulullah ﷺ, namun beliau ﷺ tidak menginginkan wanita tersebut. Hingga ada salah seorang lelaki yang hadir dalam majelis tersebut meminta agar beliau ﷺ menikahkannya dengan wanita tersebut. Rasulullah ﷺ bertanya:
 
هَلْ عِنْدَكَ مِنْ شَيْءٍ؟ قَالَ: لاَ وَاللهِ، يَا رَسُوْلَ اللهِ. فَقالَ: اذْهَبْ إِلَى أَهْلِكَ، فَانْظُرْ هَلْ تَجِدُ شَيْئًا. فَذَهَبَ ثُمَّ رَجَعَ فَقَالَ: لاَ وَاللهِ، مَا وَجَدْتُ شَيْئًا. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ n: انْظُرْ وَلَوْ خَاتَماً مِنْ حَدِيْدٍ. فَذَهَبَ ثُمَّ رَجَعَ، فَقَالَ: لاَ وَاللهِ، يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَلاَ خَاتَماً مِنْ حَدِيْدٍ، وَلَكِنْ هَذَا إِزَارِي – قَالَ سَهْلٌ: مَا لَهُ رِدَاءٌ– فَلَهَا نِصْفُهُ. فَقاَلَ رَسُوْلُ اللهِ n: مَا تَصْنَعُ بِإِزَارِكَ، إِنْ لَبِسْتَهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهَا مِنْهُ شَيْءٌ، وَإِنْ لَبِسَتْهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْكَ مِنْهُ شَيْءٌ. فَجَلَسَ الرَّجُلُ حَتَّى إِذَا طَالَ مَجْلِسَهُ قَامَ، فَرَآهُ رَسُوْلُ للهِ n مُوَالِيًا فَأَمَرَ بِهِ فَدُعِيَ، فَلَمَّا جَاءَ قَالَ: مَاذَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ؟ قال: مَعِيْ سُوْرَةُ كَذَا وَسُوْرَة كَذَا –عَدَّدَهَا- فَقاَلَ: تَقْرَؤُهُنَّ عَنْ ظَهْرِ قَلْبِكَ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: اذْهَبْ، فَقَدْ مَلَّكْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ
 
“Apakah engkau punya sesuatu untuk dijadikan mahar?” “Tidak demi Allah, wahai Rasulullah,” jawabnya. “Pergilah ke keluargamu. Lihatlah, mungkin engkau mendapatkan sesuatu,” kata Rasulullah ﷺ. Laki-laki itu pun pergi. Tak berapa lama ia kembali, “Demi Allah, saya tidak mendapatkan sesuatu pun,” ujarnya. Rasulullah ﷺ bersabda: “Lihatlah lagi dan carilah, walaupun hanya berupa cincin dari besi.” Laki-laki itu pergi lagi, kemudian tak berapa lama ia kembali, “Demi Allah, wahai Rasulullah! Saya tidak mendapatkan, walaupun cincin dari besi, tapi ini izar (sarung) saya –kata Sahl, “Laki-laki itu tidak memiliki rida (kain penutup tubuh bagian atas)”– setengahnya untuk wanita yang ingin kuperistri itu.” Kata Rasulullah ﷺ, “Apa yang dapat kau perbuat dengan izarmu? Jika engkau memakainya, berarti tidak ada sama sekali izar tersebut pada istrimu. Jika ia (istrinya -pent) memakainya, berarti tidak ada sama sekali izar tersebut padamu.”
 
Laki-laki itu pun duduk, hingga tatkala telah lama duduknya, ia bangkit. Rasulullah ﷺ melihatnya berbalik pergi, maka beliau ﷺ memerintahkan seseorang untuk memanggil laki-laki tersebut. Ketika ia telah ada di hadapan Rasulullah ﷺ, beliau ﷺ bertanya, “Apa yang kau hafal dari Alquran?” “Saya hafal surah ini dan surah itu,” jawabnya. “Benar-benar engkau menghafalnya di dalam hatimu?” tegas Rasulullah ﷺ. “Iya,” jawabnya. “Bila demikian, pergilah, sungguh aku telah menikahkan engkau dengan wanita ini dengan mahar berupa surah-surah Alquran yang engkau hafal,” kata Rasulullah ﷺ. [HR. Al-Bukhari no. 5087 dan Muslim no. 3472]
 
Ibnu Abbas mengabarkan, bahwa ketika Nabi ﷺ menikahkan ‘Ali bin Abi Thalib dengan putri beliau Fathimah, beliau ﷺ meminta ‘Ali agar memberikan sesuatu kepada Fathimah sebagai mahar. Ketika Ali mengatakan, “Saya tidak memiliki apa-apa.” Rasulullah ﷺ bertanya, “Mana pakaian besi Al-Huthamiyyah-mu?” Ali pun memberikan pakaian besi tersebut sebagai mahar pernikahannya dengan Fathimah. [HR. Abu Dawud no. 2125, Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih Abi Dawud mengatakan hadits ini Hasan Shahih]
 
Hadis di atas juga menunjukkan disenanginya penyerahan mahar sebelum dukhul. Dalam Ensiklopedi Fikih dinyatakan:
 
أَنَّ ذِكْرَ الْمَهْرِ فِي الْعَقْدِ لَيْسَ شَرْطًا لِصِحَّةِ النِّكَاحِ فَيَجُوزُ إِخْلاَءُ النِّكَاحِ عَنْ تَسْمِيَتِهِ بِاتِّفَاقِ الْفُقَهَاءِ
 
Menyebut mahar ketika akad bukanlah syarat sah nikah. Karena itu, boleh nikah tanpa menyebut mahar dengan sepakat ulama. [Mausu’ah fiqhiyah Kuwaitiyah, 39:151]
 
Hanya saja, penyebutan mahar dalam akad nikah akan semakin menenangkan kedua belah pihak, terutama keluarga.
Wallahu a’lam.
 
 Sumber:
KonsultasiSyariah.Com
Almanhaj.Or.id