بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

#TazkiyatunNufus

PASTI DIGANTIKAN DENGAN YANG LEBIH BAIK

Penulis: Ustadz Muhammad Yassir, Lc

Bekerja di tempat maksiat adalah haram hukumnya. Punya duit dari penghasilan haram adalah perbuatan tercela. Langkah berani yang harus kita lakukan bila masih berada di ruang lingkup pekerjaan haram adalah “Walk out”, keluar. Tidak ada kata lain.

Begitu pula anjuran kita pada orang lain, untuk keluar dari pekerjaan haram, mencari penghasilan yang halal.

Pernah kita mendengar, bahkan sering, ketika orang dinasihati untuk meninggalkan perbuatan haram atau pekerjaan yang haram, ia akan dijanjikan dengan hadis Rasulullah ﷺ yang berbunyi:

إنك لن تدع شيئا لله عز وجل إلا بدلك الله به ما هو خير لك منه “.

“Sungguh, jika kamu meninggalkan suatu hal karena Allah semata, maka Allah akan menggantikan untukmu yang lebih baik daripada itu.” [HR. Al Ashbahani dalam kitabnya At Targhib, Hadis dishahihkan oleh Al Bani]

Bahkan terkadang nasihat itu tidak berhenti hanya di situ saja, namun ikut menceritakan kisah-kisah orang lain. Seperti kisah temannya yang dulunya bekarja di bank, setelah dapat hidayah kemudian sadar hukumnya haram, ia pun keluar. Ternyata, kemudian ia bisa mendapatkan pekerjaan yang halal dengan penghasilan yang lebih besar.

Dan ditambah lagi kisah-kisah lainnya semisal dengan itu, yang mungkin kita sendiri pernah mendengarkannya.

Tapi, pernahkah terbayangkan jika orang yang anda nasihati tersebut ternyata setelah keluar dari pekerjaan haramnya, tetap tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih profit dari sebelumnya?

Kira-kira, apa komentar kita?

Perlu diketahui, bahwa di balik kisah-kisah yang kita ceritakan untuk menyemangati orang agar meninggalkan pekerjaan haram, ada satu poin yang harus terpatri di setiap dada orang Muslim:

  • Yaitu, harta halal walaupun secuil, jauh lebih baik dari pada segudang harta haram.
  • Berjalan di atas syariat Allah yang lurus, jauh lebih baik daripada bergelimangan dalam maksiat.

Maksudnya, memeroleh kembali pekerjaan halal dengan penghasilan lebih besar bukanlah suatu jaminan/kepastian yang akan di dapatkan oleh orang yang meninggalkan pekerjaan haram.

Contoh riil-nya adalah kisah seorang sahabat, Mush’ab bin Umair.

Kehidupan beliau di masa Jahiliyah penuh dengan kemewahan. Pakaian yang indah; bertaburkan minyak wangi harum semerbak; digemari oleh remaja putri Mekkah; ayah dan ibunya yang kaya raya siap memenuhi segala keinginannya.

Namun kita semua tahu bagaimana perubahan drastis terjadi dalam kehidupan beliau, setelah beliau memeluk agama Islam serta siap menerima syariat Allah dan Rasul-Nya ﷺ.

Terjadilah titik balik dari kehidupan dunianya. Bajunya berubah jadi compang-camping; penampilannya menjadi kumal bak seorang gelandangan.

Bahkan di akhir hayat beliau, saat mati syahid di Perang Badar, Rasulullah ﷺ menguburkan beliau sseraya berkata: “Dulu di Mekkah, tidak ada pemuda yang punya pakaian seindah dirimu, dan tidak ada yang berambut necis sepertimu. Namun sekarang engkau hanya dikuburkan dengan kain yang tidak cukup untuk menutupi sekujur tubuhmu”

Semua kegemerlapan dunia telah ditinggalkan Mush’ab bin Umair, karena kecintaannya kepada Allah dan Rasulullah ﷺ. Tidak ada yang indah menurut beliau, kecuali hanya kelezatan iman dalam dadanya.

Dari kisah ini, marilah kita bertanya:

Apakah Mush’ab bin Umair tidak memeroleh janji Rasulullah ﷺ, bahwa Allah akan mengganti yang lebih baik, jika meninggalkan sesuatu karena Allah semata??

Bukankah Mush’ab waktu ia masih kafir dalam kehidupan mewah dan kaya raya?? Kenapa ketika ia masuk Islam tidak bertambah kaya dan mewah??

Kira-kira apa jawaban kita terhadap pertanyaan tadi?

Saya akan membantu untuk menjawabnya dengan tegas:

  • “Mush’ab telah mendapatkan janji Rasulullah ﷺ.”
  • “Mush’ab telah memeroleh ganti yang lebih baik, yaitu Surga Allah.”
  • “Mush’ab telah meraih kemegahan yang lebih mewah, yaitu kemewahan lezatnya iman dalam dada.”
  • “Mush’ab telah memakai pakaian yang lebih baik, yaitu pakaian Surga.”
  • “Mush’ab telah disambut kerinduan yang lebih baik dari pada remaja Mekkah, yaitu kerinduan bidadari Surga.”

Kesimpulannya: “Mush’ab telah mendapatkan ganti yang lebih baik dari kehidupan dunianya, yaitu indahnya kehidupan abadi di Akhirat”

Apakah ada kehidupan yang lebih baik daripada Akhirat?? Tentu tidak ada sama sekali.

Maka, sudah semestinya, tujuan Akhiratlah yang menjadi sasaran utama setiap Muslim dan Mukmin. Balasan pertama yang diharapkan dari setiap amalannya adalah balasan di Akhirat, bukan balasan dunia semata. Walaupun tidak kita pungkiri, terkadang ada juga orang yang langsung mendapat balasan di dunia dengan segera.

Kalau keyakinan ini tertanam di setiap jiwa kaum Muslimin, maka tidak akan sulit mengubah pola hidup dari satu sudut ke sudut kehidupan lain, karena tujuan hidupnya bukan dunia tapi hidup Akhirat. Tidak akan banyak tuntutan balasan dan ganjaran dunia, karena pahala Akhirat harapan utamanya.

Bila ia disarankan untuk keluar dari pekerjaan haram, tidak akan ada selentingan pertanyaan: “Terus saya mau kerja apa?”

“Memang kalau saya keluar, saya bisa dapat penghasilan sebanyak ini lagi?”

Karena tujuan utama dia ketika meninggalkan pekerjaan haram adalah tidak mau bergelimangan dosa di dunia, agar tidak hidup sengsara di Akhirat kelak.

Katahuilah wahai saudaraku kaum Muslimin. Allah dan Rasul-Nya ﷺ telah memanggil kita ke negeri Akhirat. Sekarang tinggal sikap kita dalam menjawab panggilan ini. Kalau kita penuhi panggilan ini, kita gerakkan hati dan anggota tubuh kita untuk berangkat menuju negeri Akhirat, maka Allah akan menggantikan dunia kita dengan balasan kenikmatan seluas langit dan bumi, di Surga kelak.