Menghadiri Walimah Tanpa Diundang

Pertanyaan:

Apabila kita tidak diundang ke suatu walimahan, tetapi kita hanya diajak oleh orang yang diundang ke walimahan tersebut, apakah kita boleh ikut hadir ke walimahan tersebut padahal kita tidak diundang? Apa hukumnya kalau kita tetap ikut datang ke walimahan tersebut?

Jawaban:

Dibolehkan untuk datang ke walimah seseorang sementara kita tidak diundang, jika terpenuhi dua syarat:

  1. Mendapat izin dari tuan rumah.
  2. Tuan rumah tidak merasa keberatan untuk menerima tamu tak diundang tersebut.

Dari dua persyaratan di atas, syarat kedua adalah syarat terpenting. Karena kita boleh datang tanpa harus meminta izin tuan rumah jika diyakini orang yang mengundang tidak merasa keberatan dengan kedatangannya. Sebaliknya jika hanya diizinkan, namun tuan rumah diyakini merasa keberatan menerima kehadiran orang yang tidak diundang, maka orang tersebut tidak boleh ikut. Karena bisa jadi tuan rumah basa-basi, merasa tidak enak, malu, pekewoh ketika memberi izin.

Dari Abu Mas’ud Al Anshari radhiallahu ‘anhu, dia mengatakan, “Ada seorang Anshar yang bernama Abu Syu’aib. Suatu hari dia melihat tanda-tanda lapar di wajah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian dia perintahkan anaknya untuk membuatkan makanan dan mengundang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama empat sahabat lainnya. Namun ada seorang yang ikut (tanpa undangan). Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Anda mengundang kami lima orang, tapi ini ada satu orang yang ikut. Jika mau Anda bisa menginzinkan dan jika tidak akan aku tinggalkan (tidak diikutkan acara makan)’. Orang Anshar tersebut menjawab, “Aku izinkan.” (HR. Muslim)

Adapun dalil bolehnya menghadiri walimah sementara kita tidak diundang tanpa harus meminta izin jika diyakini tidak merasa keberatan, adalah kisah Abu Thalhah radhiallahu ‘anhu yang menyuruh istrinya Ummu Sulaim radhiallahu ‘anha untuk membuatkan makanan, karena Abu Thalhah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu lemah disebabkan rasa lapar. Anas radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Kemudian aku disuruh menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, aku berangkat dan bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid bersama banyak orang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Kamu disuruh Abu Thalhah? Acara makan-makan?‘ Anas menjawab, ‘Ya’. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada semua yang di masjid, ‘Berdiri semua‘. Kemudian kami berangkat bersama-sama.” (HR. Al Bukhari dan Muslim).

Sedangkan dalil terlarangnya makan harta orang lain kecuali jika pemiliknya ridha sepenuhnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

– Dari Abu Humaid As Sa’idi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak halal bagi seseorang untuk mengambil harta saudaranya tanpa kerelaan penuh dari pemiliknya.” (HR. Ahmad 23654, Syaikh Al Arnauth: Sanadnya shahih). Sebagian ulama menjadikan hadis ini dalil terlarangnya seseorang mengambil harta pemberian orang lain karena malu, sementara dia tahu bahwa sebenarnya dia tidak ingin memberikan hartanya. (lih. Fatwa Yas’alunak, Dr. Hissamuddin ‘Affanah).

– Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang menghadiri acara makan-makan padahal tidak diundang, maka dia masuk rumah sebagaimana pencuri dan pulang dalam keadaan membuat jengkel pemilik rumah.” Hadis ini dha’if, sebagaimana dijelaskan Al Hafidz Al Haitsami dan Syaikh Al Albani. Namun banyak ulama menjadikan hadis ini dalil terlarangnya menghadiri acara orang lain tanpa sepengetahuan pemilik acara. Syaikhul Islam ditanya tentang makna hadis ini, beliau memberikan jawaban:

“Makna hadis, bahwasanya orang yang mendatangi undangan tanpa izin pemilik acara, maka dia masuk ke acara tersebut secara diam-diam seperti pencuri, dan makan tanpa kerelaan tuan rumah, dan mereka malu untuk melarangnya, sehingga dia keluar seperti orang yang membuat marah tuan rumah, karena telah mengambil hartanya dengan paksa.” (Majmu’ Fatawa, 32:207).

Penulis kitab Al Mirqot mengatakan, “Kesimpulannya, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada umatnya akhlaq-akhlaq yang mulia dan melarang mereka dari akhlaq-akhlaq yang tercela. Tidak menghadiri undangan tanpa udzur menunjukkan sikap sombong, bodoh, dan tidak adanya kasih sayang dan rasa cinta (kepada yang mengundang, pen.). (Sebaliknya) menghadiri acara makan-makan tanpa undangan menunjukkan jiwa yang rakus, niat yang buruk, dan menyebabkan harga dirinya rendah. Maka sikap yang terpuji adalah sikap pertengahan di antara dua sikap di atas. (dinukil dari Aunul Ma’bud, 8:244).

 

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)