بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

#Fikih_Jual_Beli

MENGENAL JUAL-BELI GHARAR

Menurut bahasa Arab, makna al-gharar adalah, al-khathr (pertaruhan) [Lihat Al-Mu’jam Al-Wasith, hal. 648]. Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan: al-gharar adalah yang tidak jelas hasilnya (majhul al-‘aqibah) []. Majmu Fatawa, 29/22]. Sedangkan menurut Syaikh As-Sa’di, al-gharar adalah al-mukhatharah (pertaruhan) dan al-jahalah (ketidak jelasan). Perihal ini masuk dalam kategori perjudian [Bahjah Qulub Al-Abrar wa Qurratu Uyuuni Al-Akhyaar Fi Syarhi Jawaami Al-Akhbaar, Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Tahqiq Asyraf Abdulmaqshud, Cet. II, Th 1992M, Dar Al-Jail. Hal.164].

Sehingga , dari penjelasan ini dapat diambil pengertian, yang dimaksud jual beli gharar adalah, semua jual beli yang mengandung ketidakjelasan; pertaruhan, atau perjudian [Al-Waaji Fi Fiqhu Sunnah wa Kitab Al-Aziz, Abdul Azhim Badawi, Cet. I, Th.1416H, Dar Ibnu Rajab, Hal. 332].

Hukum Gharar

Dalam syariat Islam, jual beli gharar ini terlarang. Dengan dasar sabda Rasulullah ﷺ dalam hadis Abu Hurairah yang berbunyi: “Artinya: Rasulullah ﷺ melarang jual beli al-hashah dan jual beli gharar.” [HR Muslim, Kitab Al-Buyu, Bab: Buthlaan Bai Al-Hashah wal Bai Alladzi Fihi Gharar, 1513]

Dalam sistem jual beli gharar ini terdapat unsur memakan harta orang lain dengan cara batil. Padahal Allah melarang memakan harta orang lain dengan cara batil, sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:

“Artinya: Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil. Dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah: 188)

“Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (Qs. An-Nisaa: 29)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan, dasar pelarangan jual beli gharar ini adalah larangan Allah dalam Alquran, yaitu (larangan) memakan harta orang dengan batil. Begitu pula dengan Nabi ﷺ, beliau melarang jual beli gharar ini [Majmu Fatawa, 29/22].

Pelarangan ini juga dikuatkan dengan pengharaman judi, sebagaimana ada dalam firman Allah:

“Artinya: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu, agar kamu mendapat keberuntungan.” (Qs. Al-Maidah: 90)

Sedangkan jula-beli gharar, menurut keterangan Syaikh As-Sa’di, termasuk dalam katagori perjudian. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah sendiri menyatakan: Semua jual beli gharar, seperti menjual burung di udara, onta dan budak yang kabur, buah-buahan sebelum tampak buahnya, dan jual beli al-hashaah, seluruhnya termasuk perjudian yang diharamkan Allah di dalam Alquran [Mukhtashar Al-Fatawa Al-Mishriyyah, Ibnu Taimiyyah, Tahqiq Abdulmajid Sulaim, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, hal. 342].

Hikmah Larangan Jual Beli Gharar

Di antara hikmah larangan julan beli ini adalah, karena nampak adanya pertaruhan dan menimbulkan sikap permusuhan pada orang yang dirugikan. Yakni bisa menimbulkan kerugian yang besar kepada pihak lain [Bahjah, Op.Cit, 165]. Larangan ini juga mengandung maksud untuk menjaga harta agar tidak hilang, dan menghilangkan sikap permusuhan yang terjadi pada orang, akibat jenis jual beli ini.

Pentingnya Mengenal Kaidah Gharar

Dalam masalah jual beli, mengenal kaidah gharar sangatlah penting, karena banyak permasalahan jual-beli yang bersumber dari ketidak jelasan dan adanya unsur taruhan di dalamnya. Imam Nawawi mengatakan: “Larangan jual beli gharar merupakan pokok penting dari kitab jual-beli. Oleh karena itu, Imam Muslim menempatkannya di depan. Permasalahan yang masuk dalam jual-beli jenis ini sangat banyak, tidak terhitung.” [Syarah Shahih Muslim, 10/156].

Jenis Gharar

Dilihat dari PERISTIWANYA, jual-beli gharar bisa ditinjau dari tiga sisi:

Pertama: Jual-beli barang yang belum ada (Ma’dum), seperti jual beli Habal Al Habalah (janin dari hewan ternak).

Kedua: Jual beli barang yang tidak jelas (majhul), baik yang Mutlak, seperti pernyataan seseorang: “Saya menjual barang dengan harga seribu Rupiah,” tetapi barangnya tidak diketahui secara jelas. Atau seperti ucapan seseorang: “Aku jual mobilku ini kepadamu dengan harga sepuluh juta,” namun jenis dan sifat-sifatnya tidak jelas. Atau bisa juga karena ukurannya tidak jelas, seperti ucapan seseorang: “Aku jual tanah kepadamu seharga lima puluh juta”, namun ukuran tanahnya tidak diketahui.

Ketiga: Jual-beli barang yang tidak mampu diserah terimakan. Seperti jual beli budak yang kabur, atau jual beli mobil yang dicuri [Catatan Penulis dari pelajaran Nailul Authar yang disampaikan Syaikh Abdulqayyum bin Muhammad As-Sahibaani di Fakultas Hadis Universitas Islam Madinah, Lihat juga Al-Fiqhu Al-Muyassar, Bagian Fiqih Mu’amalah, karya Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayaar, Prof. Dr Abdullah bin Muhammad Al-Muthliq dan Dr Muhammad bin Ibrahim Alimusaa, Cet. I, Th. 1425H, hal. 34].

KETIDAK JELASAN ini juga terjadi pada HARGA, BARANG dan pada AKAD JUAL BELINYA. Ketidak jelasan pada HARGA dapat terjadi karena jumlahnya, seperti segenggam Dinar. Sedangkan ketidak jelasan pada BARANG, yaitu sebagaimana dijelaskan di atas. Adapun ketidak-jelasan pada AKAD, seperti menjual dengan harga 10 Dinar bila kontan, dan 20 Dinar bila diangsur, tanpa menentukan salah satu dari keduanya sebagai pembayarannya [Catatan penulis dari pelajaran Bidayatul Mujtahid, oleh Syaikh Hamd Al-Hamaad, di Fakultas Hadis Universitas Islam Madinah, KSA].

Syaikh As-Sa’di menyatakan: “Kesimpulan jual-beli gharar kembali kepada jual-beli Ma’dum (belum ada wujudnya), seperti habal al habalah dan as-sinin, atau kepada jual-beli yang tidak dapat diserahterimakan, seperti budak yang kabur dan sejenisnya, atau kepada ketidak-jelasan, baik mutlak pada barangnya, jenisnya atau sifatnya.” [Bahjah, Op.Cit,. 166].

Gharar Yang Diperbolehkan

Jual-beli yang mengandung gharar, menurut HUKUMNYA ada tiga macam:

[1]. Yang disepakati larangannya dalam jual-beli, seperti jual-beli yang belum ada wujudnya (ma’dum).

[2]. Disepakati kebolehannya, seperti jual-beli rumah dengan pondasinya, padahal jenis dan ukuran serta hakikat sebenarnya tidak diketahui. Hal ini dibolehkan karena kebutuhan dan karena merupakan satu kesatuan, tidak mungkin lepas darinya.

[3]. Gharar yang masih diperselisihkan, apakah diikutkan pada bagian yang pertama atau kedua? Misalnya ada keinginan menjual sesuatu yang terpendam di tanah, seperti wortel, kacang tanah, bawang dan lain-lainnya.

Walaupun gharar asalnya terlarang, namun ada beberapa jual beli bentuk gharar yang dibolehkan, asalkan memenuhi beberapa syarat berikut ini:

  1. Yang mengandung spekulasi kerugian yang sedikit. Sebagaimana Ibnu Rusyd berkata:

الفقهاء متّفقون على أنّ الغرر الكثير في المبيعات لا يجوز وأنّ القليل يجوز

“Para pakar fikih sepakat bahwa gharar pada barang dagangan yang mengandung kerugian yang banyak itulah yang tidak boleh. Sedangkan jika hanya sedikit, masih ditolerir (dibolehkan)”.

  1. Merupakan ikutan dari yang lain, bukan ashl (pokok). Jika kita membeli janin dalam kandungan hewan ternak, itu tidak boleh. Karena ada gharar pada barang yang dibeli. Sedangkan jika yang dibeli adalah yang hewan ternak yang bunting dan ditambah dengan janinnya, maka itu boleh.
  1. Dalam keadaan hajat (butuh). Semacam membeli rumah di bawahnya ada pondasi, tentu kita tidak bisa melihat kondisi pondasi tersebut, artinya ada gharar. Namun tetap boleh membeli rumah walau tidak terlihat pondasinya karena ada hajat ketika itu.
  2. Pada akad tabarru’at (yang tidak ditarik keuntungan), seperti dalam pemberian hadiah. Kita boleh saja memberi hadiah pada teman dalam keadaan dibungkus sehingga tidak jelas apa isinya. Ini sah-sah saja. Beda halnya jika transaksinya adalah mu’awadhot, ada keuntungan di dalamnya semacam dalam jual beli.

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian tersebut di atas, menjadi jelaslah, bahwa tidak semua jual-beli yang mengandung unsur gharar dilarang. Permasalahan ini, sebagaimana nampak dari pandangan para ulama, karena permasalahan yang menyangkut gharar ini sangat luas dan banyak. Dengan mengetahui pandangan para ulama, mudah-mudahan Allah membimbing kita dalam tafaqquh fiddin, dan lebih dalam mengenai persoalan halal dan haram.

Wabillahit Taufiq.

 

Sumber:

Tulisan berjudul: “Jual Beli Gharar” yang ditulis oleh: Ustadz Abu Asma Kholid Syamhudi (https://almanhaj.or.id/2649-jual-beli-gharar.html)

Tulisan berjudul: “Bentuk Jual Beli yang Terlarang (1)” yang ditulis oleh: Muhammad Abduh Tuasikal  (https://rumaysho.com/2314-bentuk-jual-beli-yang-terlarang-1.html)