بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْمِ
MENGENAL IJMA SEBAGAI DASAR HUKUM AGAMA
 
Islam adalah agama yang terbangun di atas dasar ilmu. Ia mendidik pemeluknya untuk tidak berkeyakinan maupun beramal dalam urusan agama, melainkan dengan:
– Imu yang dapat dipertanggung jawabkan,
– Memiliki pondasi dan dasar yang sah, dan
– Dapat dipastikan melalui jalur wahyu.
Argumen dan alasan beragama tersebut dikenal sebagai dalil.
 
Dalil dalam Islam dasarnya adalah wahyu Alquran dan Sunnah Rasulullah ﷺ (sabda, perbuatan, dan pengakuannya), yang telah dikukuhkan oleh Alquran sebagai dasar agama yang sepadan dan seiring dengannya, dan sama sekali tak bertentangan. Di bawah itu terdapat dalil-dalil lain yang diakui oleh Alquran dan Sunnah. Sebagian besarnya diperselisihkan keabsahannya oleh para ulama, namun ada yang disepakati, yaitu Ijma.
 
Apa Itu Ijma?
Ijma didefinisikan oleh para ulama dengan beragam ibarat. Namun secara ringkasnya dapatlah dikatakan sebagai berikut:
”Kesepakatan seluruh Ijma ulama mujtahid pada satu masa setelah zaman Rasulullah ﷺ atas sebuah perkara dalam agama.” Dan yang dapat dipertanggung jawabkan adalah yang terjadi di zaman sahabat, tabiin (setelah sahabat), dan tabi’ut tabiin (setelah tabiin). Karena setelah zaman mereka, para ulama telah berpencar dan jumlahnya banyak, dan perselisihan semakin banyak, sehingga tak dapat dipastikan, bahwa semua ulama telah bersepakat.
 
Syarat Ijma
Berdasarkan definisi di atas dapatlah disebutkan syarat-syarat sebuah Ijma itu bisa disahkan dan berlaku jika:
 
1. Terjadinya kesepakatan
2. Kesepakatan seluruh ulama Islam
3. Waktu kesepakatan setelah zaman Rasulullah ﷺ, meskipun hanya sebentar saja kesepakatan terjadi
4. Yang disepakati adalah perkara agama
 
Bila seluruh perkara di atas terpenuhi, maka ia menjadi Ijma yang tak boleh diselisihi setelahnya, dan menjadi landasan hukum dalam Islam. Siapa yang menyelisihinya maka ia menyimpang, meskipun berasal dari mereka yang dulunya ikut bersepakat di dalamnya.
 
Keabsahan Ijma
 
Dalil Alquran
 
1. Allah taala berfirman:
 
وكذلك جعلناكم أمة وسطا لتكونوا شهداء على الناس ويكون الرسول عليكم شهيدا
 
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia, dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas kalian” [QS. Al-Baqoroh: 143]
 
Saksi di atas bersifat umum mencakup kesaksian akan apa yang diperbuat manusia, dan kesaksian akan hukum perbuatan mereka. Di Akhirat kelak umat Islam bersaksi, bahwa manusia telah melakukan perbuatan begini dan begitu. Dan juga bersaksi, bahwa perbuatan tersebut salah ataupun benar. Sedangkan saksi ucapannya mesti diterima.
 
2. Allah taala juga berfirman:
 
ومن يشاقق الرسول من بعد ما تبين له الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصله جهنم وساءت مسيرا
 
“Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan ia leluasa pada kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” [QS. An-Nisa: 115]
 
Ayat di atas menjelaskan, bahwa kesesatan ada di luar ajaran Rasul dan jalan orang-orang beriman. Maka jika ajaran Rasul (wahyu) atau kesepakatan kaum Mukmin diikuti, mestilah akan terhindar dari kesesatan.
 
3. Allah taala juga berfirman:
 
فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله ورسوله إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر ذلك خير وأحسن تأويلا
 
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang suatu perkara, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [QS. An-Nisa: 59]
 
Ayat di atas memerintahkan agar mengembalikan segala yang diperselisihkan kepada Alquran dan Assunnah. Jika tidak ada perselisihan, maka tentu tak ada kelaziman untuk harus mencari-cari dalil teksnya.
 
Dalil Assunnah
 
1. Sabda Nabi ﷺ:
 
لا تجتمع أمتي على ضلالة
 
“Umatku tidak akan bersepakat di atas kesesatan.” [HR. Tirmidzi dan Abu Dawud, derajatnya Hasan menurut Syeikh Albani]
 
2. Dan juga sabdanya ﷺ:
 
فمن رأيتموه فارق الجماعة أو يريد أن يفرق بين أمة محمد صلى الله عليه وسلم، وأمرهم جميع، فاقتلوه كائنا من كان، فإن يد الله مع الجماعة
 
“Siapa saja yang kalian pandang meninggalkan jamaah atau ingin memecah belah umat Muhammad ﷺ, sedangkan dalam perkara tersebut mereka sepakat, maka bunuhlah ia siapa pun gerangannya, karena sesungguhnya tangan Allah bersama jamaah” [HR. Ibnu Hibban dan lainnya, derajatnya sahih menurut Syeikh Albani]
 
Dalil di atas meskipun berbicara mengenai pemberontak pemerintahan yang sah, namun ia menjadi bukti betapa kuatnya pengaruh Ijma dalam Islam.
 
Dalil Logika
 
Secara logika dapatlah dikatakan, bahwa Ijma umat Islam bisa saja salah dan bisa saja benar. Jika benar maka tak pelak ia merupakan dalil. Namun jika salah, maka bagaimana mungkin mereka semua salah, sedang mereka adalah sebaik-baik umat manusia? Artinya jika umat Islam telah sepakat, maka kebenaran pasti terdapat padanya.
 
Haruskan Ijma Beriringan dengan Dalil Lain?
Tidak ada perkara yang disepakati hukumnya dalam Islam melainkan perkara tersebut mesti terdapat dalil wahyu yang menyebutkannya secara tersirat maupun tersurat. Ini adalah pendapat Jumhur Ulama dan kuat dari segi argumen. Sebab, hak menentukan hukum adalah hak prerogatif (khusus) bagi Allah dan Rasul-Nya ﷺ.
 
Hanya saja Allah memberi sebuah jaminan, bahwa apa yang disepakati oleh umat Rasulullah ﷺ tidak akan melenceng dari jalur wahyu-Nya. Itulah mengapa terkadang ketika seorang ulama sedang berijtihad, ia mempertanyakan keabsahan sebuah Ijma yang dinukilkan kepadanya dengan dalih, bahwa ini berbenturan dengan Alquran ataupun Sunnah.
 
Oleh karena itu perlu untuk dimaklumi, bahwa TIDAK ADA Ijma yang bertentangan dengan dalil Alquran ataupun Sunnah. Jika sekiranya didapatkan, maka kemungkinannya adalah dalil tersebut tidak sahih, atau dalil tersebut salah difahami, atau dalil tersebut telah dihapus hukumnya, atau justru Ijma tersebut sebenarnya cacat karena ada perselisihan yang tak kita ketahui, atau nukilannya tidak sahih.
 
Mengapa Mesti Memakai Ijma?
 
Jika Ijma mesti berbaringan dengan dalil lantas mengapa harus ada Ijma? Jawabannya adalah:
 
1. Karena terkadang ada permasalahan yang dalilnya tersembunyi atau tak dinukilkan kepada kita karena sebab tertentu. Maka sebagai bentuk penjagaan Allah terhadap syariatnya Dia mencukupkan bagi hamba-Nya untuk berbuat hanya dengan berasaskan Ijma.
2. Terkadang dalam sebuah permasalahan yang sudah terdapat dalil padanya masih terdapat perselisihan. Bisa karena perbedaan pemahaman terhadap dalil tersebut, atau karena faktor lainnya. Maka Ijma berfungsi untuk menutup perselisihan tersebut dan memastikan satunya pemahaman.
 
Bagaimana Mengetahui Ijma Pada Suatu Permasalahan?
 
Ijma dapat diketahui dengan menyaksikan sendiri terjadinya Ijma bilamana Ijma tersebut terjadi pada zamannya. Adapun bila Ijma tersebut telah berlalu masanya, maka dapat diketahui dengan dua cara:
 
1. Mencari teks nukilan dari para ulama yang menyatakan bahwa Ijma terdapat dalam masalah ini dan ini, atau yang semacam itu. Dan itu bisa didapat dalam buku-buku berikut:
• Menelaah buku-buku yang menghimpun masalah Ijma ataupun masalah khilaf (perselisihan). Seperti Al-Ijma karya Imam Ibnul Mundzir, atau Marotibul Ijma karya Imam Ibnu Hazm,
• Menelaah buku-buku fikih yang menghimpun pendapat-pendapat lintas mazhab. Biasa akan disebutkan dalam permasalahan ini adalah para ulama bersepakat, bahwa hukumnya begini, atau para ulama berselisih menjadi sekian pendapat.
 
2. Melakukan penelitian dan pencarian sendiri guna menyimpulkan, bahwa suatu masalah terdapat Ijma ataukah perselisihan. Hal ini tentunya membutuhkan keahlian, kelengkapan referensi, dan waktu yang tak sedikit. Dan tak bisa dilakukan segenap orang.
 
Wallahu a’lam bisshawab
 
 
Referensi:
 
• Al Ijma fis Syari’ah Al Islamiyyah, Rusydi ‘Ulyan, Majalah Univeritas Islam Madinah (tahun 10, edisi 1)
• Al Ushul min ‘Ilmil Ushul, Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Dar Ibnul Jauzi, 1426H
• Al ‘Aqidah Al Qashithiyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimyyah, penerbit Adwaus Salaf Riyadh, cetakan kedua 1420H
• Al Madzhab fi ‘Ilmi Ushulil Fiqhi Al Muqarin, ‘Abdul Karim bin Ali An Namlah, Maktabah Ar Rusyd Riyadh, cetakan pertama 1420H.
• Taisir ‘Ilmi Ushulil Fiqhi, ‘Abdullah bin Yusuf Al Jadi’ Al ‘Anazi, Muassasah Ar Rayyan Beirut, cetakan pertama 1428H
• Raudhatun Nazhir wa Jannatul Manazhir, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, Muassasah Ar Rayyan, cetakan kedua, 1423H
 
 
Diringkas dari tulisan berjudul: “MENGENAL IJMA’ SEBAGAI DASAR HUKUM AGAMA” yang ditulis oleh Muhammad Izzi dan murajaah oleh Ustadz Sanusin Muhammad, MA.
 
Ikuti kami selengkapnya di:
WhatsApp: +61 (450) 134 878 (silakan mendaftar terlebih dahulu)
Website: https://nasihatsahabat.com/
Facebook: https://www.facebook.com/nasihatsahabatcom/
Instagram: NasihatSahabatCom
Telegram: https://t.me/nasihatsahabat
Pinterest: https://id.pinterest.com/nasihatsahabat
 
#Ijma #kesepakatanparaulama #arti #definisi #makna #dalilIjma #mengenalijmasebagaidasarhukumagama