بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

#ManhajSalaf
MENGAPA SAYA KELUAR DARI WAHDAH ISLAMIYAH?

  • Penulis: Abu Abdillah Sofyan Chalid bin Idham Ruray (Mantan Kader & Da’i Wahdah Islamiyah Makassar)
  • Editor: Al-Ustadz Abdul Qodir
  • Muroja’ah: Al-Ustadz Dzulqarnain

Pada risalah ringkas ini, insya Allah, saya akan menjelaskan latar belakang, kenapa saya keluar dari Wahdah Islamiyah (WI) yang berpusat di Makassar. Dengan harapan, semoga yang sedikit ini bisa menjadi nasihat kepada mereka yang masih setia bersama WI secara khusus, dan kepada kaum Muslimin secara umum.
Namun risalah yang ringkas ini bukanlah sebuah rincian ilmiah yang disertai dalil-dalil dan penjelasan para ulama tentang penyimpangan-penyimpangan WI. Tetapi hanyalah merupakan pengungkapan bukti-bukti yang dilihat oleh mata kepala dan didengar oleh telinga, baik itu berupa penyimpangan itu sendiri, maupun sekadar syawahid (penguat)nya. Sebab rincian pembahasan ilmiahnya telah sangat jelas dipaparkan oleh beberapa asatidzah (para ustadz). Di antaranya:

  • Nasihat Ilmiah tentang Kesesatan Wahdah Islamiyah, Al-Ustadz Dzulqarnain
  • Bantahan Manhaj Muwazanah, Al-Ustadz Abu Karimah Askari
  • Bantahan Istidlal Manhaj Muwazanah, Al-Ustadz Luqman Jamal, Lc
  • Bantahan kepada Ustadz Muhammad Ihsan Zainuddin, Lc, oleh Al-Ustadz Abu Fa’izah Abdul Qodir, Lc
  • Bantahan kepada Ustadz Jahada Mangka, Lc, oleh Al-Ustadz Abu Fa’izah Abdul Qodir, Lc

Sampai hari ini saya masih mengira, sebagian besar Asatidzah WI belum mendengarkan, atau membaca, secara seksama, penjelasan dari asatidzah Salafiyyin di atas. Karena saya berprasangka baik -Insya Allah, apabila mereka mencoba memahami dengan baik argumen-argumen ilmiah yang ada dalam nasihat-nasihat tersebut, maka, Insya Allah, mereka akan mengakui kebenarannya  [1].
Risalah ringkas ini sekadar mengingatkan beberapa perkara:
Pertama, penyimpangan-penyimpangan dalam tubuh WI yang diingatkan oleh asatidzah Salafiyin adalah benar-benar ada.
Kedua, para anggota dan simpatisan WI, semoga Allah Ta’ala memberikan hidayah kepadaku dan kepada kalian semuanya, hendaklah mendengarkan atau membaca dengan seksama dan penuh kejujuran, semua argumen-argumen ilmiah yang ada dalam nasihat-nasihat saudara kalian (asatidzah Salafiyin), yang menginginkan keselamatan kalian, Insya Allah.
Sebelumnya, perlu saya tekankan bahwa ini merupakan nasihat, Insya Allah. Tidak ada yang saya inginkan kecuali perbaikan sesuai yang saya mampu. Sebab di antara syubhat kalangan WI ketika ada orang yang menasihati mereka, mereka akan membantahnya pertama kali dengan menyalahkan cara menasihatinya, dan membesar-besarkan perkara ini kepada anggota-anggotanya. Di antara bentuknya:
Pertama: Perkataan mereka: “Tidak boleh membeberkan penyimpangan-penyimpangan WI secara terang-terangan, sebab itu artinya ghibah dan membuka aib saudara sendiri”.
Jawaban:
Sebagaimana telah dimaklumi dari penjelasan para Ulama, di antaranya al-Imam an-Nawawi rahimahullah dalam kitabnya Riyadhus Shalihin  [2], bahwa ghibah tidak semuanya terlarang. Ghibah untuk membongkar penyimpangan suatu kaum, agar mereka meninggalkan penyimpangan tersebut, bukanlah ghibah yang terlarang. Kalau pun mereka tidak meninggalkannya, maka itu menjadi nasihat kepada kaum Muslimin, agar berhati-hati dengan kaum tersebut, serta penyimpangan yang ada pada mereka.
Ketika penyimpangan-penyimpangan tersebut telah tersebar luas, bahkan sebagiannya tersebar melalui media internet dan lainnya, maka perlu untuk menyingkap penyimpangan-penyimpangan tersebut juga secara luas, agar lebih merata penyampaiannya.
Kedua: Perkataan mereka: “Sebenarnya tidak ada perbedaan pendapat antara WI dan Salafy. Yang ada hanya beda pendapatan”.
Jawaban:
Perkataan ini adalah akhlak yang tidak terpuji, karena berprasangka buruk dan mengandung tuduhan jelek kepada saudara sesama Muslim.
Seorang Salafy sejati, Insya Allah, dalam nasihatnya tidaklah menginginkan dunia dari WI dan lainnya, serta tidak pula ingin seperti WI atau melebihi WI dalam hal keduniaan, ketika menasihati WI.
Insya Allah, saya akan menjelaskan di antara perbedaan WI dengan Salafy, yang menjadi sebab kenapa saya keluar dari WI.
Ketiga: Perkataan mereka: “Dengan membeberkan kepada publik penyimpangan-penyimpangan yang ada pada WI agar masyarakat menjauhinya, berarti Anda telah berbuat zalim kepada WI. Apalagi Anda pernah menjadi santri di WI” [3].
Jawaban:
Justru sebaliknya, ketika saya menyampaikan nasihat ini dengan terang-terangan kepada publik, maka sungguh, insya Allah, ini menunjukkan kecintaan saya kepada WI, khususnya para asatidzah yang pernah membimbing saya dalam mengenal dasar-dasar kewajiban berpegang teguh dengan agama [4].
Di sini saya ingin membalik dan mengubah logika yang selama ini umumnya diyakini oleh orang-orang WI, yaitu bahwa menyingkap penyimpangan-penyimpangan seseorang adalah kezaliman terhadapnya. Padahal justru itulah hakikat kecintaan seorang Muslim kepada saudaranya. Karena seorang Muslim tidak akan diam melihat saudaranya terus dalam penyimpangan, yang mengakibatkan murka Allah atasnya. Demikian pula, apabila semakin banyak yang mengikuti penyimpangan tersebut, maka semakin besar pula beban dosa yang ditanggungnya. Jadi, mengingatkan penyimpangan dan kesalahannya agar dosanya tidak menumpuk, merupakan bentuk kecintaan hakiki seorang Muslim kepada Muslim lainnya.
Dari sini akan nampak kedalaman pemahaman Salaful Ummah. Saat para ulama salaf mengingatkan penyimpangan para ahli bid’ah, mereka memahami dan menyadari, bahwa peringatan itu adalah bentuk nushroh (pertolongan) [5], dan mahabbah (kecintaan) mereka kepada orang-orang yang diingatkan, dan umat itu sendiri, sebagaimana dalam atsar-atsar berikut:
Abu Shalih al-Farra’ rahimahullah berkata: “Aku menceritakan kepada Yusuf bin Asbath tentang Waki’, bahwasannya beliau terpengaruh sedikit dengan perkara fitnah ini” [6]. Maka dia (Yusuf bin Asbath) berkata: “Dia serupa dengan gurunya, yaitu Shalih bin Hay”. Aku pun berkata kepada Yusuf: “Apakah kamu tidak takut perkataanmu ini merupakan ghibah?” Beliau menjawab: “Kenapa begitu wahai orang dungu? Justru saya lebih baik bagi mereka dibanding ibu dan bapak mereka sendiri. Saya melarang manusia dari mengamalkan kebid’ahan mereka, karena bisa mengakibatkan semakin banyaknya dosa-dosa para pengajak kepada bid’ah tersebut. Adapun yang memuji mereka justru lebih membahayakan mereka”.  [Lihat At-Tahdzib 2/249 no. 516 sebagaimana dalam Lamud Durril Mantsur Minal Qoulil Ma’tsur, karya Abu Abdillah Jamal bin Furaihan al-Haritsiy, Muraja’ah: As-Syaikh Sholih Al-Fauzan –hafizhahullah-, (hal. 27)]
Demikianlah di antara syubhat WI. Semoga bisa dipahami jawabannya dengan baik, meskipun hanya ringkas.
Lalu Mengapa Saya Keluar Dari WI?
Tentu Jawabannya sudah bisa diketahui, yaitu karena adanya penyimpangan-penyimpangan dari Manhaj Salaf, Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam tubuh WI. Dengan perkara tersebut, teramat sulit untuk mengategorikan WI sebagai Jam’iyyah Salafiyyah Sunniyyah. Sebab Ahlus Sunnah dikenal dengan prinsip-prinsip mereka, sebagaimana pula Ahlul Bid’ah dikenal karena penyimpangan mereka dari prinsip-prinsip Ahlus Sunnah.
Apakah Itu Berarti Saya Mengatakan Bahwa WI Itu Ahlul Bid’ah?
Jawaban: Bukan hak saya mengatakan itu, tetapi hak para ulama ataupun asatidzah yang benar-benar mendalam ilmunya.
Kalau Begitu Haruskah Saya Keluar Dari WI?
Jawaban: Karena saya khawatir, meskipun saya tidak memastikannya, jangan sampai WI termasuk dalam 72 golongan Ahlul Bid’ah yang ke Neraka, wal ‘iyadzu billah. Maka saya pun keluar dari WI, sebab mengingat beberapa perkara dan pertimbangan yang kami akan sebutkan:
Pertama, adanya penyimpangan-penyimpangan dari Manhaj al-Firqotun Najiyah (satu golongan yang selamat ke Surga) dalam dakwah WI.
Kedua, hampir seluruh, kalau saya tidak salah ingat mungkin seluruhnya, yang menisbatkan diri kepada Manhaj Salaf di negeri ini selain WI, yang mengenal WI dan pernah saya temui, baik yang membolehkan ta’awun dengan Jam’iyyahIhyaut Turots al-Kuwaitiyyah, maupun yang tidak membolehkannya, baik alumni Madinah maupun Yaman dan lainnya, semuanya men-tahdzir dari WI. Sehingga dengan taufik dari Allah ta’ala, pada 2007 saya mulai memelajari tentang WI dan memelajari Manhaj Salaf dari asatidzah selain dari WI. Akhirnya dengan penuh keyakinan saya memutuskan berlepas diri dari WI.
Wabillahit taufiq walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin wa shollallahu ala nabiyyina alih wa shohbih ajma’in..
Wallohu A’la wa A’lam, wa Huwal Musta’an
 
Catatan Kaki:
[1] Di antara alasan kenapa saya masih menyangka dengan sangkaan yang kuat, bahwa kebanyakan orang-orang WI belum mendengarkan atau membaca dengan seksama nasihat-nasihat Asatidzah Salafiyin adalah karena:
a) Belum ada perubahan atau rujuk dari keseluruhan penyimpangan tersebut, kecuali orang-orang yang mendapat hidayah, insya Allah Ta’ala.
b) Masih membantah dengan alasan-alasan yang sebenarnya sudah terbantah, seperti ucapan mereka, bahwa Al-Ustadz Dzulqarnain memermasalahkan tingkatan (tadrij) dalam tarbiyah WI, padahal sudah ada penjelasannya dalam CD Nasihat Ilmiah pada bagian Tanya Jawab, bahwa yang beliau kritik sebenarnya bukan masalah tingkatannya, tetapi dalam mengatur tingkatan tersebut, WI mendasarkan pada kadar loyalitas kader kepada WI. Dan saya memiliki pengalaman pribadi yang berhubungan dengan ini. Contoh lain: WI selalu menggembar-gemborkan, bahwa asatidzah Salafiyin takut untuk berdialog dengan WI. Padahal ada alasan-alasan syari, kenapa asatidzah Salafiyin tidak mau melakukan itu, dan telah dijelaskan secara detail dalam CD Nasihat Ilmiah pada bagian pembukaan. Contoh lain lagi: Mereka masih terus menyebut Salafy di Makassar dengan istilah Manis, padahal dalam CD yang sama pada bagian Tanya Jawab, Al-Ustadz Dzulqarnain juga telah menjelaskan, bahwa penyebutan Manis tidak pernah diridhoi oleh pihak Salafy (dan ini juga menyerupai tashnif yang mereka cela).
Namun masih ada kejanggalan. Apakah memang mereka belum tahu, bahwa ucapan-ucapan mereka telah terbantah? Ataukah mereka telah tahu, namun hanya ingin melakukan talbis, sebab CD dan makalah tentang kritikan terhadap WI dengan mudahnya bisa didapatkan, wallahu a’lam.
[2] Al-Imam an-Nawawy rahimahullah berkata:

باب مَا يباح من الغيبة

اعْلَمْ أنَّ الغِيبَةَ تُبَاحُ لِغَرَضٍ صَحيحٍ شَرْعِيٍّ لا يُمْكِنُ الوُصُولُ إِلَيْهِ إِلاَّ بِهَا ، وَهُوَ سِتَّةُ أسْبَابٍ:

الأَوَّلُ: التَّظَلُّمُ ، فَيَجُوزُ لِلمَظْلُومِ أنْ يَتَظَلَّمَ إِلَى السُّلْطَانِ والقَاضِي وغَيرِهِما مِمَّنْ لَهُ وِلاَيَةٌ ، أَوْ قُدْرَةٌ عَلَى إنْصَافِهِ مِنْ ظَالِمِهِ ، فيقول: ظَلَمَنِي فُلاَنٌ بكذا .

الثَّاني: الاسْتِعانَةُ عَلَى تَغْيِيرِ المُنْكَرِ ، وَرَدِّ العَاصِي إِلَى الصَّوابِ ، فيقولُ لِمَنْ يَرْجُو قُدْرَتهُ عَلَى إزالَةِ المُنْكَرِ: فُلانٌ يَعْمَلُ كَذا ، فازْجُرْهُ عَنْهُ ونحو ذَلِكَ ويكونُ مَقْصُودُهُ التَّوَصُّلُ إِلَى إزالَةِ المُنْكَرِ ، فَإنْ لَمْ يَقْصِدْ ذَلِكَ كَانَ حَرَاماً .

الثَّالِثُ: الاسْتِفْتَاءُ ، فيقُولُ لِلمُفْتِي: ظَلَمَنِي أَبي أَوْ أخي ، أَوْ زوجي ، أَوْ فُلانٌ بكَذَا فَهَلْ لَهُ ذَلِكَ ؟ وَمَا طَريقي في الخلاصِ مِنْهُ ، وتَحْصيلِ حَقِّي ، وَدَفْعِ الظُّلْمِ ؟ وَنَحْو ذَلِكَ ، فهذا جَائِزٌ لِلْحَاجَةِ ، ولكِنَّ الأحْوطَ والأفضَلَ أنْ يقول: مَا تقولُ في رَجُلٍ أَوْ شَخْصٍ ، أَوْ زَوْجٍ ، كَانَ مِنْ أمْرِهِ كذا ؟ فَإنَّهُ يَحْصُلُ بِهِ الغَرَضُ مِنْ غَيرِ تَعْيينٍ ، وَمَعَ ذَلِكَ ، فالتَّعْيينُ جَائِزٌ كَمَا سَنَذْكُرُهُ في حَدِيثِ هِنْدٍ إنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى .

الرَّابعُ: تَحْذِيرُ المُسْلِمينَ مِنَ الشَّرِّ وَنَصِيحَتُهُمْ ، وذَلِكَ مِنْ وُجُوهٍ:

مِنْهَا جَرْحُ المَجْرُوحينَ مِنَ الرُّواةِ والشُّهُودِ وذلكَ جَائِزٌ بإجْمَاعِ المُسْلِمينَ ، بَلْ وَاجِبٌ للْحَاجَةِ .

ومنها: المُشَاوَرَةُ في مُصاهَرَةِ إنْسانٍ أو مُشاركتِهِ ، أَوْ إيداعِهِ ، أَوْ مُعامَلَتِهِ ، أَوْ غيرِ ذَلِكَ ، أَوْ مُجَاوَرَتِهِ ، ويجبُ عَلَى المُشَاوَرِ أنْ لا يُخْفِيَ حَالَهُ ، بَلْ يَذْكُرُ المَسَاوِئَ الَّتي فِيهِ بِنِيَّةِ النَّصيحَةِ

ومنها: إِذَا رأى مُتَفَقِّهاً يَتَرَدَّدُ إِلَى مُبْتَدِعٍ ، أَوْ فَاسِقٍ يَأَخُذُ عَنْهُ العِلْمَ ، وخَافَ أنْ يَتَضَرَّرَ المُتَفَقِّهُ بِذَلِكَ ، فَعَلَيْهِ نَصِيحَتُهُ بِبَيانِ حَالِهِ ، بِشَرْطِ أنْ يَقْصِدَ النَّصِيحَةَ ، وَهَذا مِمَّا يُغلَطُ فِيهِ . وَقَدْ يَحمِلُ المُتَكَلِّمَ بِذلِكَ الحَسَدُ ، وَيُلَبِّسُ الشَّيطانُ عَلَيْهِ ذَلِكَ ، ويُخَيْلُ إِلَيْهِ أنَّهُ نَصِيحَةٌ فَليُتَفَطَّنْ لِذلِكَ.

وَمِنها: أنْ يكونَ لَهُ وِلايَةٌ لا يقومُ بِهَا عَلَى وَجْهِها: إمَّا بِأنْ لا يكونَ صَالِحاً لَهَا ، وإما بِأنْ يكونَ فَاسِقاً ، أَوْ مُغَفَّلاً ، وَنَحوَ ذَلِكَ فَيَجِبُ ذِكْرُ ذَلِكَ لِمَنْ لَهُ عَلَيْهِ ولايةٌ عامَّةٌ لِيُزيلَهُ ، وَيُوَلِّيَ مَنْ يُصْلحُ ، أَوْ يَعْلَمَ ذَلِكَ مِنْهُ لِيُعَامِلَهُ بِمُقْتَضَى حالِهِ ، وَلاَ يَغْتَرَّ بِهِ ، وأنْ يَسْعَى في أنْ يَحُثَّهُ عَلَى الاسْتِقَامَةِ أَوْ يَسْتَبْدِلَ بِهِ .

الخامِسُ: أنْ يَكُونَ مُجَاهِراً بِفِسْقِهِ أَوْ بِدْعَتِهِ كالمُجَاهِرِ بِشُرْبِ الخَمْرِ ، ومُصَادَرَةِ النَّاسِ ، وأَخْذِ المَكْسِ ، وجِبَايَةِ الأمْوَالِ ظُلْماً ، وَتَوَلِّي الأمُورِ الباطِلَةِ ، فَيَجُوزُ ذِكْرُهُ بِمَا يُجَاهِرُ بِهِ ، وَيَحْرُمُ ذِكْرُهُ بِغَيْرِهِ مِنَ العُيُوبِ ، إِلاَّ أنْ يكونَ لِجَوازِهِ سَبَبٌ آخَرُ مِمَّا ذَكَرْنَاهُ .

السَّادِسُ: التعرِيفُ ، فإذا كَانَ الإنْسانُ مَعْرُوفاً بِلَقَبٍ ، كالأعْمَشِ ، والأعرَجِ ، والأَصَمِّ ، والأعْمى ، والأحْوَلِ ، وغَيْرِهِمْ جاز تَعْرِيفُهُمْ بذلِكَ ، وَيَحْرُمُ إطْلاقُهُ عَلَى جِهَةِ التَّنْقِيصِ ، ولو أمكَنَ تَعْريفُهُ بِغَيرِ ذَلِكَ كَانَ أوْلَى ، فهذه ستَّةُ أسبابٍ ذَكَرَهَا العُلَمَاءُ وأكثَرُها مُجْمَعٌ عَلَيْهِ ، وَدَلائِلُهَا مِنَ الأحادِيثِ الصَّحيحَةِ مشهورَةٌ .

(Dari Al-Maktabah Asy-Syaamilah).
[3] Kalimat yang saya tebalkan adalah perkiraan kemungkinan yang akan dikatakan kepada saya, setelah mengeluarkan risalah ringkas ini. Wallahu A’lam.
[4] Walaupun telah kita ketahui bersama, bahwa pada sebagian bimbingan itu terdapat penyimpangan.  [ed]
[5] Sehingga mereka selamat dari kezalimannya.  [ed]
[6] Yaitu fitnah Khawarij
 
Sumber: https://www.facebook.com/notes/ilham-abu-shofiyyah/mengapa-saya-keluar-dari-wahdah-islamiyah/10150107166253986/