بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

#StopBid’ah

MENGAPA MAULID NABI DIKATEGORIKAN SEBAGAI BID’AH?

Segala puji hanyalah milik Allah. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah ﷺ. Wa ba’du.

Rabi’ul Awwal ini banyak kaum Muslimin yang merayakan Maulid Nabi. Telah banyak pula tulisan yang menjelaskan, bahwa perayaan Maulid TIDAK ADA tuntunannya di dalam Islam. Dengan memohon pertolongan Allah, sedikit bahasan ini akan memaparkan alas an, mengapa Maulid dikategorikan sebagai bid’ah, sehingga TIDAK seyogyanya seorang Muslim merayakannya. Semoga Allah memberi taufik kepada kita semua.

Pengertian Ringkas Bid’ah

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan: “Yang dimaksud dengan bid’ah adalah setiap perbuatan yang diada-adakan dalam agama, yang TIDAK ADA DALIL yang menunjukkan disyariatkannya perbuatan tersebut” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2/127)

Berdasarkan pengertian di atas, maka ada dua poin penting yang dapat diambil:

  1. Bid’ah hanya berkaitan dengan masalah agama
  2. Bid’ah adalah perbuatan yang tidak ada dasarnya dalam agama.

Mengapa Maulid Dikategorikan Sebagai Bid’ah?

Tentu bagi saudara kita yang merayakannya, Maulid adalah ibadah dan perayaan yang sangat agung, yang dapat mendatangkan keridhoan Allah Ta’ala dan syafaat Rasul-Nya ﷺ. Maulid Nabi adalah perayaan yang rutin digelar setiap tahunnya, sehingga Maulid Nabi termasuk hari ‘Ied di mana banyak dari kaum Muslimin berkumpul di hari tersebut.

Definisi ‘Ied

Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan: “’Ied adalah istilah yang diambil, karena berulangnya sesuatu untuk sebuah perkumpulan besar. Bisa jadi yang berulang adalah tahun, pekan, bulan, atau semisalnya” (Fathul Majid, hal. 267)

Dengan demikian, Maulid dapat dikategorikan sebagai hari ‘Ied, berdasarkan pengertian di atas, karena kesesuaian sifat-sifatnya, sama-sama rutin dan sama-sama merupakan perkumpulan besar kaum Muslimin.

Penentuan Ibadah Atau Hari ‘Ied Kaum Muslimin Membutuhkan Dalil

Akan tetapi, untuk menentukan suatu hari itu adalah ‘Ied atau bukan, maka membutuhkan dalil dari Alquran atau As Sunnah.

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan: “Tidaklah disyariatkan bagi kaum Muslimin untuk menjadikan (suatu hari sebagai) ‘Ied, kecuali yang ditetapkan oleh syariat sebagai hari ‘Ied. Hari ‘Ied (yang ditetapkan syariat) tersebut adalah ‘Iedul Fithri, ‘Iedul Adha, hari-hari Tasyrik di mana ketiga ‘Ied tersebut adalah ‘Ied tahunan, serta Jumat, di mana Jumat adalah ‘Ied pekanan. Selain dari hari-hari ‘Ied tersebut, maka menetapkan suatu hari sebagai hari ‘Ied yang lain adalah kebid’ahan yang tidak ada asalnya dalam syariat” (Latho-if Al Ma’arif, hal. 228)

Adakah dalil dianjurkannya Maulid?

Sayangnya tidaklah kita temukan satu dalil pun yang menunjukkan disyariatkannya Maulid Nabi setelah sempurnanya Islam. Tidak ada hadis Nabi, riwayat sahabat, serta ucapan Empat Imam Mazhab yang menunjukkan dianjurkannya merayakan Maulid Nabi.

Kesimpulan Hukum Maulid

Oleh karena itulah, dengan melihat definisi bid’ah di atas, serta melihat penjelasan tentang ‘Ied sebelumnya, maka yang dapat kita simpulkan adalah:

Maulid adalah sebuah perayaan rutin (‘Ied) yang tidak memiliki landasan sama sekali dalam agama sehingga tergolong perbuatan baru yang diada-adakan (baca: BID’AH).

Inilah alasan pokok mengapa Maulid dikategorikan sebagai bid’ah. Maulid adalah perkara baru dalam agama, yang tidak ada dasarnya sama sekali, sedangkan Rasulullah ﷺ bersabda:

و إياكم و محدثات الأمور فإن كل بدعة صلالة

“Waspadalah kalian dari perkara-perkara baru (dalam agama), karena sesungguhnya semua bid’ah itu sesat” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, beliau berkata: “Hadis ini Hasan Shahih”)

Terdapat Kemiripan dengan Perayaan Orang Kafir

Selain tidak memiliki landasan agama, perayaan Maulid Nabi juga menyerupai perayaan yang diadakan oleh orang Nasrani, yang merayakan hari kelahiran Nabi ‘Isa ‘alaihis salam, sehingga dikategorikan sebagai bid’ah.

Imam As Suyuthi rahimahullah berkata: “Termasuk ke dalam perbuatan bid’ah yang mungkar adalah: Menyerupai orang kafir dan menyamai mereka dalam hari raya mereka dan perayaan mereka yang terlaknat, sebagaimana yang dilakukan banyak orang awam dari kaum Muslimin, yang turut serta dalam perayaan orang Nasrani pada Khamis al Baydh [biasa disebut Maundy Thursday atau Kamis Putih adalah perayaan yang dilakukan orang Nasrani untuk memperingati peristiwa ‘Perjamuan terakhir’ sebelum Yesus disalib] dan lainnya” (Al Amru bil Ittiba’, hal. 141, dinukil dari ‘Ilmu Ushul Al Bida’, hal. 80)

Mungkin Saja Nabi dan Para Sahabat Melakukannya Jika Mau

Akan semakin menambah keyakinan kita untuk mengatakan, bahwa Maulid adalah bid’ah, jika melihat perkataan Ibnu Taimiyyah berikut ini.

Beliau rahimahullah berkata: “Sesungguhnya para salaf tidak merayakannya (Maulid Nabi-pen), padahal ada faktor pendorong untuk merayakannya, dan juga tidak ada halangan untuk merayakannya. Seandainya perbuatan itu isinya murni kebaikan, atau mayoritas isinya adalah kebaikan, niscaya para salaf radhiyallahu ‘anhum lebih berhak untuk merayakannya. Karena mereka adalah orang yang lebih besar kecintaannya dan pengagungannya kepada Rasulullah ﷺ dibandingkan kita. Mereka -para salaf- lebih semangat untuk berbuat kebaikan” (lihat Iqtidho Shirothil Mustaqim, 2/612-616, dinukil dari Al Bida’ Al Hauliyah, hal. 198)

Seandainya Rasulullah ﷺ, para sahabat, tabi’in, maupun Empat Imam Mazhab mau merayakan Maulid Nabi, tentu mudah bagi mereka untuk merayakannya. Faktor pendorong merayakan Maulid sudah ada, yakni kecintaan mereka kepada Nabi ﷺ yang teramat besar, ditambah lagi tidak ada faktor yang menghalangi mereka untuk merayakannya. Namun, mengapa mereka tidak merayakannya? Bayangkan, apa susahnya merayakan Maulidan? Hal ini semata karena keyakinan mereka, bahwa Maulid bukanlah ajaran Rasul yang mulia ﷺ.

Penutup

Sebagai penutup, marilah sejenak kita renungi bersama kisah berikut ini:

Suatu ketika, Sa’id Ibnul Musayyib rahimahullah melihat seseorang yang shalat lebih dari dua rakaat setelah terbitnya fajar. Orang tersebut memerbanyak ruku’ dan sujud. Kemudian beliau melarang orang tersebut meneruskan sholatnya. Orang tersebut pun berkata: “Hai Abu Muhammad (panggilan Sa’id Ibnul Musayyib-pen)! Apakah Allah akan menyiksa aku karena sholatku?” Beliau menjawab: “Tidak. Akan tetapi Allah akan menyiksamu karena kamu menyelisihi sunnah!”

Syaikh Al Albani berkomentar: “Ini adalah jawaban yang sangat indah dari Sa’id Ibnul Musayyib rahimahullahu Ta’ala. Jawaban ini adalah senjata ampuh bagi orang yang gemar berbuat bid’ah, yang menganggap baik banyak bid’ah dengan alasan isinya adalah zikir dan sholat! Mereka pun mengingkari Ahlus Sunnah dengan memanfaatkan alasan tersebut. Mereka menuduh bahwa Ahlus Sunnah mengingkari zikir dan sholat! Padahal sejatinya, yang mereka ingkari adalah penyelisihan mereka terhadap sunnah dalam berzikir, sholat, dan sejenisnya” (Irwa-ul Ghalil, 2/236, dinukil dari ‘Ilmu Ushul Al Bida’, hal. 71-72)

Itulah, yang Ahlus Sunnah ingkari bukanlah zikir dan sholat itu sendiri, akan tetapi penyelisihan terhadap sunnah itulah yang menjadi poin penting pembahasan ini. Bagaimana tidak? Menyelisihi sunnah berarti menyelisihi Rasulullah ﷺ. Padahal Allah Ta’ala memerintahkan kita semua untuk selalu meneladani beliau ﷺ. Semoga Allah Subhaanahu wa Ta’ala memberi petunjuk kepada kita semua dan membimbing kita untuk senantiasa berpegang kepada Alquran dan As Sunnah.

Ya Allah, kami memohon kepada-Mu hidayah, ketakwaan, kehormatan, dan kecukupan. Sesungguhnya Engkau adalah Dzat Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa

Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada Rasulullah ﷺ. Wallahu a’lam.

Penulis: Yananto Sulaimansyah

[Artikel Muslim.Or.Id]

 

https://Muslim.or.id/11394-mengapa-Maulid-nabi-dikategorikan-sebagai-bidah.html