بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

#KisahMuslim

KONSEP CINTA

Akhi, tahukah engkau tentang konsep cinta hakiki?

Mungkin selama ini, realita saat ini, konsep cinta yang sering kita saksikan identik dengan uang, intrik, putus-nyambung yang tak jelas, romantis dan air mata yang dipaksakan, perceraian, perselingkuhan, retak, ruwet, menyakitkan, buta, dan gelap. Konsep-konsep cinta yang indah dan penuh dinamika perjuangan hanya ada dalam film, sinetron, novel, cerita fiksi, bayangan kawula muda, khayalan pujangga, dan dendangan para penyair. Konsep cinta pun seolah menyakitkan, pahit, atau indah dalam khayalan.

Maka jika engkau bertanya, adakah konsep cinta hakiki dalam dunia nyata? Inilah jawabannya! Inilah kisah yang memuat konsep cinta hakiki, terlahir dari relung hati, tanpa paksaan, dan terikat benang Ilahi.

Kisah ini bermula saat Rasulullah ﷺ iba melihat salah seorang sahabatnya. Julaibib namanya. Ia adalah manusia yang tak pernah dirasakan keberadaannya, meskipun di zaman sahabat sekalipun. Perawakannya kerdil. Warnanya bagaikan arang. Wajahnya diungkapkan dalam bahasa Arab dengan lafal “Damim”. Artinya bukan sekedar buruk rupa, tapi buruk rupa yang mengerikan. Karenanya orang-orang tak berminat berdekat-dekat dengannya. Bahkan sekadar untuk mengingatnya, apalagi menanyakan kabarnya. Atau merasakan segala gejolaknya. Keberadaannya bagaikan tiada. Ia itu miskin, kusut, dan tak memiliki nasab yang jelas. Ia terasing, walau di negeri sendiri. Meskipun di zaman terbaik, zaman sahabat.

Rasa iba Rasulullah ﷺ menjadi berkuadrat, karena Julaibib tak pernah memerdulikan keterasingannya. Ia acuh atas sikap manusia kepadanya. Yang ia pikirkan hanyalah, bagaimana cara memenuhi panggilan Allah untuk shalat. Bagaimana cara memenuhi panggilan Rasulullah ﷺ untuk berjihad. Itu saja!

Hingga akhirnya rasa iba menggerakkan kaki Rasulullah ﷺ yang mulia, untuk berkunjung ke rumah salah seorang sahabat Anshari.

“Sahabat, maukah engkau nikahkan putrimu?” tanya Rasulullah ﷺ.
“Sungguh!? Betapa mulianya tawaran darimu, duhai Rasulullah,” jawab Anshari.
“Namun bukan untukku.”
“Lantas?”
“Sahabatku, Julaibib.”

Mendengar nama Julaibib, Anshari bagaikan terserang demam tingkat tinggi. Lesu bukan main. Semangat nan riang yang tadi terpancar indah dari wajahnya seolah menjadi mendung dan gelap. Saking gelapnya, ia sampai tak sadar, bahwa yang meminang untuk Julaibib adalah Rasulullah ﷺ sendiri. Padahal, apakah pantas rekomendasi Rasulullah ﷺ ditolak? Begitulah. Bukan salah Anshari, juga istrinya nanti. Namun karena jeleknya imej Julaibib, sampai membuat Anshari lupa, bahwa yang datang meminang adalah Rasulullah ﷺ sendiri. Dan kemungkinan besarnya, Allah mengampuni sahabat tadi. Sebab kesalahan seseorang saat batinnya tidak karuan, seperti terlalu gembira, terlampau sedih, begitu tertekan, dan semisalnya, akan diampuni oleh Allah. Terlebih ia, juga istrinya, adalah sahabat Rasulullah ﷺ. Bukankah orang yang saking gembiranya berkata: “Ya Allah, Engkau hambaku, sedang aku adalah Rabb-Mu” diampuni oleh Allah!?

Rasulullah ﷺ pun manusia bijak bestari. Beliau ﷺ paham sahabatnya. Memang butuh ketegaran sebesar-besarnya untuk menerima Julaibib masuk ke dalam anggota keluarganya. Makanya, saat Anshari berkata: “Bolehkah aku musyawarahkan kepada ibunya terlebih dahulu, wahai Rasulullah,” — Tentu ekspresi pesimis–. Rasulullah ﷺ mengiyakan dan pamit pulang.

“Hah! Julaibib!? Aneh!” teriak sang istri Anshari, mendengar berita yang dibawa sang suami. Ia tidak bisa membayangkan putrinya yang cantik jelita, ayu menawan bersanding dengan si “Damim”. “Aneh! Pokoknya aneh!” Bahkan sang istri mengucapkan kata ‘aneh’ sampai tiga kali.

Dari balik kamar, ternyata sang putri mendengar percakapan kedua orang tuanya. Sang putri terlihat cemas, gusar, galau.

“Ayahanda..Ibunda..,” kata sang putri sesaat sebelum ayahnya beranjak menemui Rasulullah ﷺ hendak menyampaikan permohonan maaf, tidak bisa menerima lamaran beliau ﷺ. Ternyata sang putri mendengarkan percakapan kedua orang tuanya tanpa sepengetahuan keduanya. Dari tadi ia terlihat cemas, gusar, galau.

“Pantaskah kita menolak pinangan Rasulullah ﷺ?”

Ayah ibunya terdiam. Dramatis!

Kata-kata itu tepat membasahi kalbu mereka berdua. Menyadarkan, bahwa apa yang hendak mereka berdua lakukan kurang tepat. Kurang diberkahi.

“Jika beliau ﷺ rida dengan pilihan tersebut, bukankah sebaiknya engkau berdua nikahkan aku saja dengan lelaki itu?” lanjut sang putri meyakinkan.

“Rasulullah ﷺ tidak akan pernah menyia-nyiakanku.” Luar biasa! Rangkaian kata yang tidak keluar, kecuali dari kalbu Mukmin, shadiq, hazim. Seketika kedua orang tuanya pun tersadar.

“Engkau benar, putriku.”

Maka diberlangsungkanlah pernikahan antara Julaibib dengan Sang Putri.

Jika kita merasa hidup kita sengsara, seharusnya kita malu dengan Julaibib. Sesengsara-sesengsaranya kita, coba bandingkan dengan…ah, janganlah! Memang tabiat kita suka mengeluh. Tidak mau disalahkan! Selalu bersembunyi di balik kalimat: ‘tapi kan–tapi kan’.

Selepas peristiwa menggegerkan Julaibib dengan sang putri Anshari itu,  setidaknya menggegerkan menurut kita, tetap saja Julaibib tak dikenal. Mungkin berbeda dengan kita, kalau dapat anak juragan herbal kaya raya yang cantiknya bukan buatan. Atau, kalau dapat anak ustadz kondang yang sering safari dakwah hampir ke seluruh pelosok nusantara. Kadang-kadang kita terkena sindrom sok terkenal, menumpang figur mertua kita. Astaghfirullah! Julaibib? Tetap dalam keterasingan.

Waktu itu, kaum Muslimin baru saja mendapatkan kemenangan dari Allah subhanahu wa ta’ala. Tiba-tiba saja Rasulullah ﷺ bertanya kepada para sahabatnya: “Tidakkah kalian kehilangan seseorang?”

Serta merta para sahabat berebutan menjawab, seolah yang mereka sebutkan namanya akan mendapat kabar gembira dari beliau. “Iya, iya, ya Rasulullah. Aku kehilangan si Fulan dan si Fulan.”

Rasulullah ﷺ bergeming dari jawaban mereka: “Tidakkah kalian kehilangan seseorang?”

“Saya, saya, ya Rasulullah. Saya kehilangan si Fulan dan si Fulan,” para sahabat dengan sangat antusias menjawab dengan seribu satu harapan dari Rasulullah ﷺ.

Namun beliau ﷺ tetap bergeming. Tetap menyiratkan wajah terpukul kehilangan. Dengan nada parau, beliau ﷺ ulangi pertanyaan beliau, “Tidakkah kalian kehilangan seseorang?”

Suasana menjadi hening. Para sahabat yang tadinya sangat antusias sekarang terdiam seribu bahasa, merasa bersalah. Mereka merasa, semakin mereka menjawab, akan semakin membuat Rasulullah ﷺ sedih dan terpukul.

Maka Rasulullah ﷺ tidak sanggup lagi menahan kesedihannya: “Aku kehilangan Julaibib.”

Deg.!! Mereka baru sadar, bahwa di tengah-tengah mereka ada yang bernama Julaibib. Seketika nama itu benar-benar menohok hati para sahabat. Seakan mereka ingin mengutuk diri sendiri, akibat lancang terhadap seseorang yang sangat dimuliakan Rasulullah ﷺ. Mereka benar-benar ingin menangis. Menangisi diri sendiri.

“Tolong carikan sahabatku Julaibib,” pinta Rasulullah ﷺ sendu.

Segera para sahabat mencari Julaibib demi menebus kesalahan mereka. Akhirnya para sahabat menemukan jasad beliau berada di tengah bangkai tujuh orang musyrik.

Rasulullah ﷺ bersabda: “Dengan hebat dia membunuh tujuh musyrik ini. Mereka pun membunuhnya.”

Setelah bersabda demikian, Rasullah ﷺ semakin terisak-isak. Menambah suasana semakin sedih, mengharu biru, dan menyayat hati para sahabat yang semakin merasa bersalah.

Dengan tangannya yang mulia, Rasulullah ﷺ mengangkat kepala Julaibib dan menyandarkannya ke dada Rasulullah ﷺ. “Sungguh Julaibib dariku dan aku dari Julaibib.”

Rasulullah ﷺ terus mendekap Julaibib, yang membuat para sahabat semakin menangis tersedu-sedu, sembari menunggu sahabat selesai menggali liang kubur untuk beliau.

Julaibib, semoga Allah meridhainya. Sangat indah perjalanan beliau. Hidup tak disebut, meninggal semerbak wangi namanya.

Bagaimana istri beliau? Disebutkan beliau adalah janda paling dermawan sekota Madinah.

Janda? Iya, kawan. Pergaulan Julaibib kepada istri beliau sangatlah menyenangkan. Membuat istri beliau tidak ingin menikah lagi setelah wafatnya. Berharap tetap menjadi istri Julaibib, di Surga kelak.

 

Sumber Referensi:

  • – Shahih Muslim.
  • – Mustard Ahmad

Buah Goresan: Abu Uzair Khairul Huda (kelas 10)