Kita sangat membutuhkan hidayah Allah. Bagaimana mungkin seorang mukmin selalu meminta hidayah di setiap waktu, padahal dia telah mendapatkan hidayah?

Berbicara tentang hidayah berarti membahas perkara yang paling penting dan kebutuhan yang paling besar dalam kehidupan manusia. Betapa tidak, hidayah adalah sebab utama keselamatan dan kebaikan hidup manusia di dunia dan Akhirat. Sehingga barang siapa yang dimudahkan oleh Allah Ta’ala untuk meraihnya, maka sungguh dia telah meraih keberuntungan yang besar dan tidak akan ada seorang pun yang mampu mencelakakannya. Allah Ta’ala berfirman:

{مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِي وَمَنْ يُضْلِلْ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ}

“Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk (dalam semua kebaikan dunia dan Akhirat). Dan barang siapa yang disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang merugi (dunia dan Akhirat)” (QS al-A’raaf: 178).

Dalam ayat lain, Allah ta’ala juga berfirman:

{مَن يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُرْشِدًا}

“Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk (dalam semua kebaikan dunia dan Akhirat). Dan barang siapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapat seorang penolong pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya” (QS al-Kahf: 17).

Allah Ta’ala memerintahkan kepada kita dalam setiap rakaat sholat untuk selalu memohon kepada-Nya hidayah ke jalan yang lurus di dalam surah al-Fatihah, yang merupakan surah yang paling agung dalam Alquran [Sebagaimana dalam HR Ahmad (2/357) dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu dengan sanad yang Shahih], karena sangat besar dan mendesaknya kebutuhan manusia terhadap hidayah Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman:

{اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ}

“Berikanlah kepada kami hidayah ke jalan yang lurus”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Seorang hamba senantiasa kebutuhannya sangat mendesak terhadap kandungan doa (dalam ayat) ini, karena sesungguhnya tidak ada keselamatan dari siksa (Neraka) dan pencapaian kebahagiaan (yang abadi di Surga), kecuali dengan hidayah (dari Allah Ta’ala) ini. Maka, barang siapa yang tidak mendapatkan hidayah ini, berarti dia termasuk orang-orang yang dimurkai oleh Allah (seperti orang-orang Yahudi) atau orang-orang yang tersesat (seperti orang-orang Nasrani” [Kitab “Majmuu’ul fata-wa” (14/37)].

Lebih lanjut, Imam Ibnul Qayyim memaparkan hal ini dengan lebih terperinci, beliau berkata: “Seorang hamba sangat membutuhkan hidayah di setiap waktu dan tarikan nafasnya, dalam semua (perbuatan)yang dilakukan maupun yang ditinggalkannya. Karena hamba tersebut berada di dalam beberapa perkara yang dia tidak bisa lepas darinya:

  • Yang Pertama: Perkara-perkara yang dilakukannya (dengan cara) yang tidak sesuai dengan hidayah (petunjuk Allah Ta’ala) karena kebodohannya, maka dia butuh untuk memohon hidayah Allah kepada kebenaran dalam perkara-perkara tersebut.
  • Atau dia telah mengetahui hidayah (kebenaran) dalam perkara-perkara tersebut, akan tetapi dia mengerjakannya (dengan cara) yang tidak sesuai dengan hidayah secara sengaja, maka dia butuh untuk bertaubat dari (kesalahan) tersebut.
  • Atau perkara-perkara yang dia tidak mengetahui segi hidayah (kebenaran) padanya, baik dalam ilmu dan amal, sehingga luput darinya hidayah untuk mengenal dan mengetahui perkara-perkara tersebut (secara benar), serta untuk meniatkan dan mengerjakannya.
  • Atau perkara-perkara yang dia telah mendapat hidayah (kebenaran) padanya dari satu sisi, tapi tidak dari sisi lain, maka dia butuh kesempurnaan hidayah padanya.
  • Atau perkara-perkara yang dia telah mendapat hidayah (kebenaran) padanya secara asal (garis besar), tapi tidak secara detail, sehingga dia butuh hidayah (pada) perincian (perkara-perkara tersebut).
  • Atau jalan (kebenaran) yang dia telah mendapat hidayah kepadanya, tapi dia membutuhkan hidayah lain di dalam (menempuh) jalan tersebut. Karena hidayah (petunjuk) untuk mengetahui suatu jalan berbeda dengan petunjuk untuk menempuh jalan tersebut. Bukankah kita pernah mendapati seorang yang mengetahui jalan (menuju) kota tertentu yaitu jalur ini dan itu, akan tetapi dia tidak bisa menempuh jalan tersebut (tidak bisa sampai pada tujuan)? Karena untuk menempuh perjalanan itu sendiri membutuhkan hidayah (petunjuk) yang khusus, contohnya (memilih) perjalanan di waktu tertentu dan tidak di waktu lain, mengambil (persediaan) di tempat tertentu dengan kadar yang tertentu, serta singgah di tempat tertentu (untuk beristirahat) dan tidak di tempat lain. Petunjuk untuk menempuh perjalanan ini terkadang diabaikan oleh orang yang telah mengetahui jalur suatu perjalanan, sehingga (akibatnya) dia pun binasa dan tidak bisa mencapai tempat yang dituju.
  • Demikian pula perkara-perkara yang dia butuh untuk mendapatkan hidayah dalam mengerjakannya di waktu mendatang, sebagaimana dia telah mendapatkannya di waktu yang lalu.
  • Dan perkara-perkara yang dia tidak memiliki keyakinan benar atau salahnya (perkara-perkara tersebut), maka dia membutuhkan hidayah (untuk mengetahui mana yang) benar dalam perkara-perkara tersebut.
  • Dan perkara-perkara yang dia yakini bahwa dirinya berada di atas petunjuk (kebenaran) padanya, padahal dia berada dalam kesesatan tanpa disadarinya, sehingga dia membutuhkan hidayah dari Allah untuk meninggalkan keyakinan salah tersebut.
  • Dan perkara-perkara yang telah dikerjakannya sesuai dengan hidayah (kebenaran), tapi dia butuh untuk memberi bimbingan, petunjuk dan nasihat kepada orang lain untuk mengerjakan perkara-perkara tersebut (dengan benar). Maka ketidakpeduliannya terhadap hal ini akan menjadikannya terhalang mendapatkan hidayah sesuai dengan (kadar) ketidakpeduliannya, sebagaimana petunjuk, bimbingan dan nasihatnya kepada orang lain akan membukakan baginya pintu hidayah, karena balasan (yang Allah Ta’ala berikan kepada hamba-Nya) sesuai dengan jenis perbuatannya” [Kitab “Risaalatu Ibnil Qayyim” (hal. 8-9)].

Oleh karena itu, Imam Ibnu Katsir ketika menjawab pertanyaan sehubungan dengan makna ayat di atas: Bagaimana mungkin seorang mukmin selalu meminta hidayah di setiap waktu, baik di dalam sholat maupun di luar sholat, padahal dia telah mendapatkan hidayah. Apakah ini termasuk meminta sesuatu yang telah ada pada dirinya, atau tidak demikian?

Imam Ibnu Katsir berkata: “Jawabannya: tidak demikian. Kalaulah bukan karena kebutuhan seorang mukmin di siang dan malam untuk memohon hidayah, maka Allah tidak akan memerintahkan hal itu kepadanya. Karena sesungguhnya seorang hamba di setiap waktu dan keadaan sangat membutuhkan (pertolongan) Allah Ta’ala untuk menetapkan dan meneguhkan dirinya di atas hidayah-Nya, juga membukakan mata hatinya, menambahkan kesempurnaan dan keistiqamahan dirinya di atas hidayah-Nya. Sungguh seorang hamba tidak memiliki (kemampuan memberi) kebaikan atau keburukan bagi dirinya sendiri, kecuali dengan kehendak-Nya. Maka Allah Ta’ala membimbingnya untuk (selalu) memohon kepada-Nya di setiap waktu untuk menganugerahkan kepadanya pertolongan, keteguhan dan taufik-Nya. Oleh karena itu, orang yang beruntung adalah orang yang diberi taufik oleh Allah Ta’ala untuk (selalu) memohon kepadanya, karena Allah Ta’ala telah menjamin pengabulan bagi orang yang berdoa, jika dia memohon kepada-Nya, terutama seorang yang sangat butuh dan bergantung kepada-Nya (dengan selalu bersungguh-sungguh berdoa kepada-Nya) di waktu-waktu malam dan di tepi-tepi siang” [Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (1/50)].

 

Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, Lc., MA.

Artikel Muslim.or.id