Mengingkari Kebathilan Tidak Boleh Dengan Cara Yang Bathil Juga

“Kedzaliman akan terus ada. Bukan karena banyaknya orang-orang jahat, tapi karena diamnya orang baik”.

Banyak yang menyebarkan perkataan di atas dan menyandarkannya pada Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu ‘anhu. Namun setelah kami cari dan kami periksa, tidak ditemukan sumber dan referensi sama sekali. Bahkan tidak kami temukan riwayat dari Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu ‘anhu yang bunyinya demikian. Yang benar, perkataan tersebut adalah dari Marthin Luther King Jr., yang lengkapnya berbunyi:

“It may well be that we will have to repent in this generation. Not merely for the vitriolic words and the violent actions of the bad people, but for the appalling silence and indifference of the good people who sit around and say, “Wait on time.”

Sumber: http://www.goodreads.com/quotes/803418-it-may-well-be-that-we-will-have-to-repent

Dan kami menyangka, orang-orang yang menyandarkan perkataan tersebut kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu ‘anhu mungkin bermaksud ingin menukil perkataan lain yang maknanya mirip:

حين سكت أهل الحق عن الباطل توهم أهل الباطل أنهم على حق

“Ketika Ahlul Haq diam terhadap kebatilan, maka Ahlul Batil akan mengira mereka berada dalam kebenaran”

Yang di kalangan orang Arab, perkataan ini memang sering dinisbatkan kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu ‘anhu. Namun juga sekali lagi, kami TIDAK bisa menemukan sumber dan referensi perkataan ini. Bahkan Dewan Fatwa Islamweb mengatakan:

 

فلم نقف على هذا القول منسوبا إلى علي ـ رضي الله عنه ـ فيما تيسر لنا البحث فيه مما حولنا من مراجع الأثر وغيره ومعنى هذا القول في الجملة سليم، فإذا ترك الباطل قوي واستأسد، وإذا تصدى له أهل الحق تلاشى واضمحل

 

“Kami TIDAK menemukan penisbatan perkataan tersebut kepada Ali radhiallahu’anhu, sebatas dari penelusuran yang kami lakukan dalam kitab-kitab riwayat atsar dan yang lainnya. Adapun makna dari perkataan ini benar. Jika kebatilan dibiarkan, ia akan menguat dan kokoh. Jika Ahlul Haq melawannya, ia akan pudar dan sirna”.

Sumber: http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=209992

 

Dan peneliti dari web Laa Tansyur juga menyebutkan:

 

وهذه المقولة كذب على علي ليس لها أصل عنه ووجدت عدد من الباحثين لم يقفوا لها على أصل ومعناها صحيح لا شيء فيه

“Perkataan ini merupakan KEDUSTAAN terhadap Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu ‘anhu, tida ada asalnya sama sekali. Dan saya dapati bahwa beberapa peneliti menegaskan mereka tidak menemukan sumber perkataan ini sama sekali. Adapun maknanya benar, tidak ada masalah sama sekali”

 

Sumber: http://la-tnshor.blogspot.co.id/2014/09/2.html

Maka jelaslah bahwa TIDAK BENAR jika perkataan ini dinisbatkan kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu ‘anhu.

 

Adapun mengenai maknanya, secara umum benar, bahwa tidak boleh diam terhadap kebatilan dan wajib mengingkarinya. Namun masalahnya, perkataan di atas sering dijadikan oleh sebagian orang untuk melakukan aksi-aksi yang tidak sesuai dengan tuntunan syariat, hanya bermodalkan niat dan semangat untuk mengingkari kebatilan. Tentu mengingkari kebatilan tidak boleh dengan cara yang batil juga.

Sebenarnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sudah mengisyaratkan hal ini dalam sabdanya:

 

مَن رأى مِنكُم مُنكرًا فليغيِّرهُ بيدِهِ ، فإن لَم يَستَطِع فبِلسانِهِ ، فإن لم يستَطِعْ فبقَلبِهِ . وذلِكَ أضعَفُ الإيمانِ

“Barang siapa melihat kemungkaran maka ingkarilah dengan tangannya. Jika tidak sanggup, maka dengan lisannya. Jika tidak sanggup, maka dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemahnya iman” (HR. Muslim).

 

Ternyata tidak semua kemungkaran disikapi dengan sikap sikap, namun tergantung keadaan dan kemampuan; terkadang dengan tangan, terkadang dengan lisan dan terkadang hanya bisa dengan hati. Bahkan terkadang diam itu adalah sikap yang benar. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 

من كان يؤمنُ باللهِ واليومِ الآخرِ فليقُلْ خيرًا أو ليصمُتْ

“Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka berkatalah yang baik, atau diam” (HR. Bukhari-Muslim).

 

Jika melihat kemungkaran dan tidak mampu mengingkari dengan tangan dan tidak mampu berkata yang baik untuk menghilangkan atau mengurangi kemungkaran tersebut, maka DIAM adalah sikap yang benar. Ingkari dengan hati. Bahkan jika nekat mengingkari dengan lisan yang tidak baik, kemungkaran akan semakin menjadi.

Oleh karena ini beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

 

من صمَت نجا

“Yang diam, ia selamat” (HR. Tirmidzi, dishahihkan Al Albani dalam Shahih AtTirmidzi)

 

Maksudnya diam dari berkata tanpa ilmu, berkata yang dusta, berkata yang menimbulkan mudharat lebih besar dari maslahatnya.

 

Wallahu a’lam.

Penulis: Yulian Purnama