بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

KEUTAMAAN 10 HARI PERTAMA DZULHIJJAH BESERTA DALIL-DALILNYA

Sebuah karunia Allah subhaanahu wa ta’aalaa yang sangat besar, disediakan untuk hamba-hamba-Nya yang beriman, musim-musim untuk memerbanyak amal saleh. Dengan hikmah-Nya, Allah melebihkan zaman atau waktu tertentu untuk beramal saleh. Beberapa amalan di dalamnya dilipatkan. Di antara musim-musim tersebut adalah sepuluh hari (pertama) Dzulhijjah, yang keutamaannya dinyatakan dalam dalil-dalil dari Alquran dan Sunnah:

1. Firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa:

وَالْفَجْر وَلَيَالٍ عَشْر الفجر

“Demi fajar dan malam yang sepuluh” (QS. Al Fajr[89]:1-2)

Kebanyakan ahli tafsir (di antaranya Ibnu Abbas, Abdullah bin az Zubair dan Mujahid) menafsirkan, bahwa makna “Malam yang Sepuluh”, adalah sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Sumpah Allah subhaanahu wa ta’aalaa atas waktu tersebut menunjukkan keagungan dan keutamaannnya. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 4/535 dan Zaadul Maad1/56).

Imam IbnuKatsir Rahimahullah menjelaskan maknanya:

واللياليالعشر: المراد بها عشر ذي الحجة. كما قاله ابن عباس، وابن الزبير، ومجاهد، وغيرواحد من السلف والخلف.

(Dan demi Malam yang Sepuluh): maksudnya adalah sepuluh hari (pertama) Dzulhijjah. Sebagaimana dikatakan Ibnu Abbas, Ibnu Az Zubair, Mujahid dan beberapa ulama lain dari kalangan Salaf dan Khalaf. (TafsirAl Quran Al ‘Azhim, 8/390. Dar Ath Thaybah)

2. Allah subhaanahu wa ta’aalaa berfirman:

لِيَشْهَدُوامَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ

“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka, dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan, atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak.” (QS. AlHajj [22]: 28)

Ibnu Abbas menjelaskan, bahwa “(Yang dimaksud hari-hari yang telah ditentukan adalah) 10 hari pertama (Dzulhijjah).” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir).

3. Shahabat Ibnu Abbas radliyallahu ‘‘anhuma meriwayatkan bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda:

«مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَىاللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ». يَعْنِى أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوا: يَارَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ. قَالَ «وَلاَ الْجِهَادُفِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْمِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ».

“Tidak ada hari-hari yang di dalamnya amalan saleh, yang paling dicintai oleh Allah, kecuali hari-hari ini, yaitu sepuluh hari pertama Dzulhijjah” Para shahabat bertanya: “Wahai Rasulullah: Tidak juga jihad (lebih utama dari itu)? Beliau menjawab: “Tidak juga jihad. Kecuali seseorang yang keluar berjihad dengan jiwa dan hartanya, kemudian kembali tanpa membawa sesuatu pun” (HSR. Abu Daud 2440, At Tirmidzi 757, Ibnu Majah 1727, Shahih Ibnu Hibban 324 dan Shahih Ibnu Khuzaimah 2865).

Dalam Shahih Bukhari (926) diriwayatkan dengan lafadz:

مَاالْعَمَلُ فِي أَيَّامٍ أَفْضَلَ مِنْهَا فِي هَذِهِ. قَالُوا: وَلَا الْجِهَادُ؟قَالَ: وَلَا الْجِهَادُ، إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ يُخَاطِرُ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِفَلَمْ يَرْجِعْ بِشَيْءٍ.

“Tidak ada amal perbuatan yang lebih utama dari (amal yang dilakukan pada) sepuluh hari bulan Dzulhijjah, Para shahabat bertanya: “Tidak juga jihad (lebih utama dari itu)?”, Beliau menjawab: “Tidak juga jihad. Kecuali seseorang yang keluar berjihad dengan jiwanya dan hartanya, kemudian kembali tanpa membawa sesuatu pun.”

Imam Nawawi dalam Riyadhush Shalihin menempatkan hadis ini dalam bab ke 226 dengan judul:“Keutamaan Puasa dan (Ibadah-Ibadah) Lainnya Pada Sepuluh Hari Pertama Di Bulan Dzulhijjah.”

Imam Ibnu Rajab Al Hambali menuturkan: “Hadis Ibnu ‘Abbas di atas menunjukkan, bahwa amalan di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah lebih dicintai oleh Allah, dari pada hari-hari lainnya, tanpa ada pengecualian.” (Lathaaiful Ma’aarif, 295).

4. Imam Ahmad -rahimahullah- meriwayatkan dalam Musnad-nya, dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda:

مَامِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ وَلَا أَحَبُّ إِلَيْهِ الْعَمَلُ فِيهِنَّمِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ الْعَشْرِ فَأَكْثِرُوا فِيهِنَّ مِنْ التَّهْلِيلِوَالتَّكْبِيرِ وَالتَّحْمِيدِ

“Tidak ada hari-hari yang lebih agung, dan amal saleh yang lebih dicintai oleh Allah padanya, melebihi sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Maka perbanyaklah pada hari itu Tahlil (Laa ilaaha Illallaah), Takbir (Alloohu Akbar) dan Tahmid (Alhamdulillaah).” (HR Ahmad 6154, Syu’aib al Arnauth mengatakan: Ini hadis Shahih).

5. Di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Qurath Radliyallahu ‘anhu beliau berkata, Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّأَعْظَمَ الأَيَّامِ عِنْدَ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَوْمُ النَّحْرِ ثُمَّيَوْمُ الْقَرِّ

”Sesungguhnya hari yang paling agung di sisi Allah tabaaroka wa ta’aalaa adalah hari An Nahr (Idul Adha) kemudian Yaumul Qorr (satu hari setelah hari An Nahr).” (HSR. AbuDaud 1765, Ibnu Hibban, 2811 Ibnu Khuzaimah 2866, al Hakim 7522. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadis ini Shahih. Syaikh al A’zhami mengatakan sanadnya Shahih).

Imam Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan: “Ini menunjukkan, bahwa amalan Mafdhul (yang kurang keutamaannya), jika dilakukan di waktu afdhal (lebih utama) untuk beramal, maka itu akan mengimbangi dan melebihi amalan Afdhal (amalan utama), yang dikerjakan di waktu-waktu lainnya, karena pahalanya yang akan dilipat gandakan.” (Lathaaiful Ma’aarif, 289).

Al Hafidz IbnuHajar menjelaskan dalam kitabnya Fathul Baari (Syarah Shahih Bukhari): “Tampaknya sebab mengapa sepuluh hari Dzulhijjah diistimewakan, adalah karena pada hari-hari tersebut merupakan waktu berkumpulnya ibadah-ibadah utama; yaitu sholat, shaum, sedekah dan haji, yang (semua) ini tidak terdapat pada hari-hari yang lain.” (FathulBaari, 2/460).

Jika seseorang bertanya: ”Manakah yang afdhal (lebih utama), sepuluh hari terakhir Ramadhan ataukah sepuluh hari pertama Dzulhijjah?”

Imam Ibnul Qayyim –rahimahullah- menjelaskan, “Jika dilihat pada waktu malamnya, maka sepuluh terakhir Ramadhan lebih utama. Dan jika dilihat waktu siangnya, maka sepuluh hari pertama Dzulhijjah lebih utama” (Lihat Zaadul Ma’ad 1/57).

Sepuluh malam terakhir Ramadhan menjadi lebih utama, karena adanya Lailatul Qadr. Dan Lailatul Qadr ini merupakan bagian dari waktu malamnya. Sedangkan sepuluh hari (pertama) Dzulhijjah menjadi lebih utama karena siangnya, yang di siang tersebut terdapat Yaumun Nahr (Hari Berkurban), hari ‘Arafah dan hari Tarwiyah (hari kedelapan Dzulhijjah).

Bagaimana Para Ulama Kita Mengisi 10 Hari Pertama Bulan Dzulhijjah?

Mari kita simak apa yang dilakukan oleh rowi hadis setelah mengetahui keutamaan yang begitu besar tersebut.

كاَنَسَعِيدُ بْنُ جُبَيْر إِذَا دَخَلَ أَيَّامَ اْلعَشْرِ اجْتَهَدَ اجْتِهَادًاشَدِيدًا حَتَّى ما يَكَادُ يَقْدِرُ عَلَيْهِ

“Adalah Sa’idbin Jubair –rahimahullah- (beliau yang meriwayatkan hadis Ibnu Abbas), jika datang sepuluh hari pertama Dzulhijjah, beliau sangat bersungguh-sungguh hingga hampir saja dia tidak mampu (melaksanakannya)” (HSR.Darimi, 1774 dan Al Baihaqi dan Syu’abul Iman 3476, dengan sanad yang Hasan.Lihat Irwaul Ghalil, 3/398 dan Shahih at Targhib wat Tarhib, 1248).

Sa’id bin Jubair –rahimahullah- juga mengatakan: “Jangan kalian matikan lampu rumah kalian pada malam-malam sepuluh hari pertama Dzulhijjah.” Agar bisa terus beribadah. (Hilyatul Awliya’ 4/281 dan Siyar A’laam an Nubala’ 4/326).

Para ulama Salaf dahulu, sangat mengagungkan sepuluh hari pertama Dzulhijjah ini. Mereka berusaha untuk tidak berbuat kesalahan dan dosa. Bahkan ketika menyebutkan hadis Dha’if (Lemah), di antara mereka ada yang berusaha untuk menghindar. Tidak mau menyebutkannya. Memilih untuk melakukannya setelah 10 hari pertama ini berlalu.

Al Bardza’i menyebutkan dalam bukunya yang berisi pertanyaan-pertanyaannya kepada Imam Abu Zur’ah ar Raazi. Beliau berkata: “Saya bertanya kepada Imam Abu Zur’ah tentang hadis Ibnu Abi Haalah yang berisi sifat Nabi ﷺ pada 10 hari pertama Dzulhijjah. Beliau enggan membacakannya kepadaku. Beliau mengatakan: “Di dalamnya ada perkataan (pembahasan) yang saya takut kalau itu tidak Shahih.” Ketika saya desak, beliau menjawab: “Tundalah sampai keluar dari 10 hari pertama Dzulhijjah, karena saya tidak senang menyampaikan hadis seperti ini pada 10 hari pertama ini.” Maksudnya hadis Abu Ghassaan dari Jami’ bin Umar. (Abu Zur’ah ar Raazi Wa Juhuduhu Fis Sunnah Annabawiyah Ma’a Tahqiq Kitabihi Adl Dlu’afaa Wa Ajwibati Abi Zur’ah ‘Alasu-Aalaat Al Bardza’i, 2/550-551).

Ini semua menunjukkan, bahwa 10 hari pertama Dzulhijjah memiliki keutamaan yang sangat besar, sehingga sangat layak untuk kita berikan perhatian lebih, dibanding hari-hari lain.

Amalan Pada 10 Hari Pertama Dzulhijjah

Ada beberapa amalan yang dianjurkan untu dikerjakan pada 10 hari pertama Dzulhijjah ini, antara lain:

1. Melaksanakan Ibadah Haji dan Umrah

Amal ini adalah yang paling utama, berdasarkan berbagai hadis Shahih yang menunjukkan keutamaannya, antara lain sabda Nabi ﷺ:

الْعُمْرَةُإِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا، وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَلَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ.

“Antara satu umrah sampai umrah berikutnya adalah penghapus (dosa-dosa yang dikerjakan) di antara keduanya. Dan haji mabrur tidak ada balasan baginya, kecuali Surga.” (HR.Bukhari no. 1773 dan Muslim no. 1349).

Shadaqah bin Yasaaar mengatakan: Saya mendengar Ibnu Umar radliyallaahu ‘anhuma berkata: “Umrah pada 10 hari awal Dzulhijjah lebih saya cintai dari pada umrah di 10 hari yang lain.” Kemudian saya ceritakan kepada Nafi’ tentang hal ini, lalu beliau pun berkata: “Ya, umrah yang di dalamnya ada Hadyu (menyembelih binatang sembelihan) atau puasa, lebih saya sukai daripada umrah yang tidak ada Hadyu atau puasa.”

Abu Ma’n berkata: “Saya melihat Jabir bin Zaid dan Abul ‘Aliyah mengerjakan umrah pada10 hari awal Dzulhijjah.”

Bagi jamaah haji Indonesia program regular, yang berangkat pada kloter-kloter (kelompok terbang) akhir di gelombang pertama dan gelombang kedua, serta sebagian jamaah haji khusus (ONH plus), berkesempatan melaksanakan umrah untuk haji Tamattu’nya pada awal bulan Dzulhijjah. Karena mereka masuk ke Mekah antara tanggal 1 sampai 4 Dzulhijjah, sehingga umrah dan hajinya dilaksanakan di bulan Dzulhijjah.

2. Berpuasa Selama Hari-Hari Tersebut

Yaitu antara 1 sampai 9 Dzulhijjah, atau pada sebagiannya, terutama pada hari Arafah (9 Dzulhijjah). Tidak diragukan lagi bahwa puasa adalah jenis amalan yang paling utama, dan yang dipilih Allah untuk diri-Nya. Disebutkan dalam Hadis Qudsi:

الصَّوْمُلِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَأَكْلَهُ وَشُرْبَهُ مِنْ أَجْلِي

“Puasa itu adalah untuk-Ku, dan Aku lah yang akan membalasnya. Dia meninggalkan syahwat, makanan dan minumannya, semata-mata karena Aku.” (HR.Bukhari no. 7492 dan Muslim no. 1151)

Diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri radliyallaahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:

مَامِنْ عَبْدٍ يَصُوْمُ يَوْمًا فِي سَبِيْلِ اللَّهِ إِلاَّ بَاعَدَ اللَّهُبِذَلِكَ الْيَوْمِ وَجْهَهُ عَنْ النَّارِ سَبْعِيْنَ خَرِيْفًا

“Tidaklah seorang hamba berpuasa sehari di jalan Allah, melainkan Allah pasti menjauhkan dirinya dengan puasanya itu dari api Neraka, selama tujuh puluh tahun.” (HR.Bukhari no. 2840 dan Muslim no. 1153).

Adapun dalil yang menunjukkan keutamaan puasa pada awal Dzulhijjah adalah hadis dari Hunaidah bin Kholid, dari istrinya, bahwa salah seorang istri Nabi ﷺ mengatakan:

قَالَتْكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَصُومُ تِسْعَ ذِى الْحِجَّةِ وَيَوْمَعَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَالشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ.

“Rasulullah ﷺ biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya, …”(HR. Ahmad no. 22334, Abu Daud no. 2437 dan Baihaqi 4/284-285. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadis ini Shahih)

Imam IbnuRajab rahimahullah menyebutkan, di antara shahabat yang mempraktikkan puasa selama sembilan hari pertama bulan Dzulhijah adalah Ibnu‘Umar. (Lathaa-iful Ma’aarif, 289).

Abdullah bin‘Aun menceritakan bahwa Imam Muhammad bin Sirin dahulu puasa pada sembilan hari pertama Dzulhijah.

Laits bin Abi Sulaim mengatakan, bahwa Imam Mujahid biasa berpuasa pada sembilan hari pertama Dzulhijah.

Isa bin Ali binAbdillah bin Abbas (cucu dari Ibnu Abbas, sahabat yang meriwayatkan hadis di atas) juga biasa berpuasa pada sembilan hari pertama Dzulhijah.

Sedangkan keutamaan puasa hari Arafah, Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Qatadah rahimahullah, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

صِيَامُيَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِيْقَبْلَه وَالسَّنَةَ الَّتِيْ بَعْدَهُ

“Berpuasa pada hari Arafah karena mengharap pahala dari Allah, melebur dosa-dosa setahun sebelum dan sesudahnya.” (HR. Muslim, no. 1162).

Ada yang menyebutkan bahwa terdapat hadis yang menyatakan: “Orang yang berpuasa pada hari Tarwiyah, maka baginya pahala puasa satu tahun.” Namun hadis ini hadis Palsu, sebagaimana ditegaskan oleh Ibnul Jauzy (Al Maudlu’at 2/198), As Syaukani(Al Fawaidul Majmu’ah).

Oleh karena itu, tidak perlu berniat khusus untuk berpuasa pada 8 Dzul Hijjah, karena hadisnya Dhaif. Namun jika berpuasa karena mengamalkan keumuman hadis Shahih di atas, maka diperbolehkan. (Disarikan dari Fatwa Yas-aluunaka, Syaikh Hussamuddin ‘Affaanah).

Pada hari-hari ini juga boleh digunakan untuk meng-qadha puasa Ramadan, bagi yang masih punya utang puasa Ramadan.

Umar bin Khaththab berkata:

لابأس بقضاء رمضان في العشر.

“Tidak mengapa meng-qadha puasa Ramadan pada 10 hari pertama Dzulhijah.”

Imam Hasan al Bashri tidak menyukai puasa sunnah, padahal masih ada tanggungan puasa Ramadan, kecuali jika dikerjakan pada 10 hari pertama bulan Dzulhijah.

3. Takbir dan Dzikir Pada Hari-Hari Tersebut

Sebagaimana firman Allah Ta’aalaa:

وَيَذْكُرُوااسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ

“… dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan…”(QS.Al-Hajj [22]: 28).

Para ahl tafsir menafsirkan ‘Hari-hari yang telah ditentukan’ dengan sepuluh hari dari Dzulhijjah. Karena itu, para ulama menganjurkan untuk memerbanyak dzikir pada hari-hari tersebut, berdasarkan hadis dari Ibnu Umar rahimahullah: “Maka perbanyaklah pada hari-hari itu Tahlil, Takbir dan Tahmid.” (HR Ahmad 6154, Syu’aib al Arnauth mengatakan: Ini hadis Shahih).

Imam Bukhari rahimahullah menuturkan, bahwa Ibnu Umar dan Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhuma keluar ke pasar pada sepuluh hari tersebut, seraya mengumandangkan takbir, lalu orang-orang pun mengikuti takbirnya.

Tsabit al Bunani menceritakan, bahwa orang-orang mengumandangkan takbir pada 10 hari pertama tersebut.

Dan Ishaq rahimahullah, meriwayatkan dari Fuqaha’ Tabi’in, bahwa pada hari-hari ini mereka mengucapkan:

اللهُأَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُأَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

Allahu Akbar .. . Allahu Akbar . . . Laa Ilaaha Illallah . . .Wallahu Akbar . . . AllahuAkbar . . Walillahil Hamd.

“Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Tidak ada Ilah (Sembahan) Yang Haq selain Allah. Dan Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, segala puji hanya bagi Allah.”

Dianjurkan untuk mengeraskan suara dalam bertakbir ketika berada di pasar, rumah, jalan,masjid dan lain-lainnya sebagaimana firman Allah:

وَلِتُكَبِّرُوااللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ

“Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu…”. (QS.Al-Baqarah [2]: 185).

Imam Mujahid pernah mendengar seseorang bertakbir pada 10 hari pertama Dzulhijjah. Kemudian beliau berkata: “Mengapa tidak mengeraskan takbirnya?” Kemudian orang tersebut mengeraskan takbirnya di masjid. Maka orang-orang di masjid juga bertakbir, sehingga gema takbir menggetarkan masjid. Kemudian suaranya terdengar sampai orang-orang yang berada di lembah, bahkan sampai terdengan ke penduduk Abthah. Kemudian penduduk Abthah juga mengumandangkan takbir, sehingga membahana di wilayah tersebut. Semua takbir tersebut asalnya adalah dari satu orang.

Masing-Masing Orang Bisa Bertakbir Sendiri-Sendiri

Diriwayatkan dari Imam Mujahid, bahwa beliau tidak menyukai membaca Alquran saat Thawaf di10 hari pertama Dzulhijjah. Beliau lebih menyukai Wasbih, Tahlil dan Takbir. Beliau berpendapat, tidak mengapa membaca Alquran sebelum atau sesudah 10 hari pertama Dzulhijjah.

Boleh berdzikir dengan dzikir yang mudah dilakukan, seperti: Tasbih, Tahmid, Istighfar dan doa-doa lainnya yang disyariatkan.

4. Bertaubat

Bertaubat serta meninggalkan segala maksiat dan dosa, sehingga akan mendapatkan ampunan dan rahmat. Maksiat adalah penyebab terjauhkan dan terusirnya hamba dari Allah. Dan ketaatan adalah penyebab dekat dan cinta kasih Allah kepadanya. Disebutkan dalam hadis dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, bahwasanya Nabi ﷺ bersabda:

إِنَّاللَّهَ يَغَارُ، وَغَيْرَةُ اللهِ أَنْ يَأْتِيَ الْمُؤْمِنُ مَا حَرَّمَ اللهُ

“Sesungguhnya Allah itu cemburu. Dan kecemburuan Allah itu manakala seorang Mukmin melakukan apa yang diharamkan Allah terhadapnya.” (HR. Bukhari4822 dan Muslim 2761).

Taubat adalah kembali kepada Allah ta’aalaa dan meninggalkan apa saja yang dibenci-Nya, yang nampak maupun yang tersembunyi, sebagai bentuk penyesalan atas perbuatan buruk yang telah lalu, meninggalkan seketika itu juga, bertekad untuk tidak mengulanginya, dan beristiqamah di atas kebenaran dengan melaksanakan apa-apa yang dicintai oleh Allah ta’aalaa.

5. Memerbanyak Beramal Saleh

Memerbanyak beramal saleh, berupa ibadah sunnah seperti: sholat, sedekah, jihad,membaca Alquran, Amar Ma`Ruf – Nahi Munkar dan lain sebagainya. Sebab amalan-amalan tersebut pada hari itu dilipat gandakan pahalanya. Bahkan amal ibadah yang tidak utama, bila dilakukan pada hari itu, akan menjadi lebih utama dan dicintai Allah, daripada amal ibadah pada hari lainnya, meskipun merupakan amal ibadah yang utama. Sekalipun jihad yang merupakan amal ibadah yang amat utama, kecuali jihad orang yang tidak kembali dengan harta dan jiwanya.

6. Bertakbir Mutlak

Disyariatkan pada hari-hari itu Takbir Mutlak (Tidak terikat waktu), yaitu pada setiap saat, siang ataupun malam, sampai sholat Ied. Dimulai sejak 1 Dzulhijjah sampai menjelang Maghrib pada 13 Dzulhijjah. Disyariatkan pula Takbir Muqayyad, yaitu yang dilakukan setiap selesai sholat fardhu, yang dilaksanakan dengan berjamaah; bagi selain jamaah haji, dimulai dari sejak Zuhur hari raya Kurban, terus berlangsung hingga sholat Ashar pada akhir hari Tasyrik. (Ini pendapat Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin). Pendapat lain menyatakan, bahwa Takbir Muqayyad (yang terikat waktu) dimulai sejak setelah sholat Subuh 9 Dzulhijjah sampai setelah sholat Ashar 13 Dzulhijjah. Maka berjumlah 23 sholat. (al Majmu’ Syarah Muhadzdzab 5/40).

Perbedaan antara Takbir Mutlak dan Takbir Muqayyad ialah, bahwa Takbir Mutlak dilakukan pada setiap waktu (pagi, siang sore atau malam), sedangkan Takbir Muqayyad dilakukan setiap selesai dari sholat lima waktu pada hari raya Idul Adha saja.Takbir Mutlak pada hari raya Idul Adha dimulai semenjak masuk bulan Dzulhijjah sampai akhir hari Tasyrik, yaitu pada hari ketiga setelah Id. Adapun pada hari raya Idul Fitri, semenjak masuk Syawwal sampai ditegakkannya sholat Idul Fitri.Takbir Muqayyad, sebagaimana dikatakan para ulama, dilakukan setelah selesai sholat fajar (Subuh) pada hari ‘Arafah, sampai berakhirnya hari-hari Tasyrik .(Lihat Majmu’ Fatawa wa Rasa`il Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin no. 5831).

7. Berkurban pada Hari Raya Kurban dan Hari-hari Tasyrik

Hal ini adalah sunnah Nabi Ibrahim alaihissalam, yakni ketika Allah ta’aalaa menebus putranya dengan sembelihan yang agung. Diriwayatkan bahwa

أَنَّالنَّبِيَّ ضَحَّى بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ، ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ،وَسَمَّى وَكَبَّرَ وَوَضَعَ رِجْلَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا

“Nabi ﷺ berkurban dengan menyembelih dua domba jantan berwarna putih dan bertanduk. Beliau sendiri yang menyembelihnya dengan menyebut nama Allah dan bertakbir, serta meletakkan kaki beliau di sisi tubuh domba itu.” (HR. Bukhari 5565 Muslim 1966).

8. Tidak Mencabut atau Memotong Rambut dan Kuku Bagi Orang yang Hendak Berkurban

Diriwayatkan oleh Imam Muslim (No. 1977) dan lainnya, dari Ummu Salamah radliyallahu ‘anha bahwa Nabi ﷺ bersabda:

إِذَارَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِيْ الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَفَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ

“Jika kamu melihat hilal bulan Dzulhijjah, dan salah seorang di antara kamu ingin berkurban, maka hendaklah ia menahan diri dari (memotong) rambut dan kukunya.”

Dalam riwayat lain:

فَلاَيَأْخُذْ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَارِهِ حَتَّى يُضَحِّيَ

“Maka janganlah ia mengambil sesuatu dari rambut atau kukunya, sehingga ia berkurban.”

Hal ini,mungkin untuk menyerupai orang yang menunaikan ibadah haji, yang membawa hewan kurbannya.

وَلَاتَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ

“… dan jangan kamu mencukur (rambut) kepala-mu, sebelum kurban sampai di tempat penyembelihannya …”. (QS. Al-Baqarah [2]: 196].

Larangan ini,menurut zahirnya, hanya dikhususkan bagi orang yang berkurban saja, tidak termasuk istri dan anak-anaknya, kecuali jika masing-masing dari mereka berkurban. Dan diperbolehkan membasahi rambut serta menggosoknya, meskipun terdapat beberapa rambutnya yang rontok.

9. Melaksanakan Sholat Idul Adha dan Mendengarkan Khutbahnya

Setiap muslim hendaknya memahami hikmah disyariatkannya hari raya ini. Hari ini adalah hari bersyukur dan beramal kebajikan. Maka janganlah dijadikan sebagai hari keangkuhan dan kesombongan. Janganlah dijadikan kesempatan bermaksiat dan bergelimang dalam kemungkaran seperti: main judi, mabuk-mabukan dan sejenisnya, yang mana akan menyebabkan terhapusnya amal kebajikan yang dilakukannya selama sepuluh hari pertama sebelumnya.

10. Selain hal-hal yang telah disebutkan di atas, hendaknya setiap Muslim dan Muslimah mengisi hari-hari ini dengan melakukan ketaatan, dzikir dan syukur kepada Allah, melaksanakan segala kewajiban dan menjauhi segala larangan; memanfaatkan kesempatan ini dan berusaha memeroleh kasih sayang Allah agar mendapat ridha-Nya.

Beberapa ulama terdahulu mengisi sebagian waktu mereka dengan mengajar. Seperti yang dilakukan oleh Abdullah bin az Zubair radliyallahu ‘anhuma. Beliau mengajarkan tentang haji antara Zuhur sampai Ashar.

Ada yang mengisi dengan I’tikaf (memerbanyak ibadah di masjid). Al Hafidz Ibnu ‘Asakir ber-i’tikaf pada Ramadan dan 10 hari pertama Dzulhijjah.

Semoga Allah melimpahkan taufik-Nya dan menunjuki kita kepada jalan yang lurus. Dan shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad, kepada keluarga dan para sahabatnya.

(Disarikan dari makalah Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin dengan beberapa penambahan dan pengurangan).