بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

#DakwahManhaj

#DakwahTauhid

KETIMPANGAN MANHAJ MUWAZANAH

  • Syubhat Manhaj Muwazanah dan Bantahannya
  • Peringatan Akan Sesatnya Manhaj Ini

Sebagian orang menggunakan kaidah Muwazanah dalam menyikapi tahzir dan kritikan terhadap orang yang mereka bela. Pengertian Muwazanah sendiri adalah menimbang antara kebaikan dan keburukan ketika mengritik dan men-tahdzir (memeringatkan) penyimpangan dan kesalahan seseorang.

Untuk itu, ada baiknya kita mengetahui perkataan para Ulama Salaf Ahlussunnah Wal Jama’ah mengenai kaidah Muwazanah ini. Semoga bermanfaat, barokallohu fiik.

Syubhat Manhaj Muwazanah

Zaid Az-Zaid berkata: “Alquran dan Sunnah telah mengajarkan kepada kita manhaj (Muwazanah) ini, di antaranya firman Allah.

“Artinya: Di antara Ahli Kitab, ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu. Dan di antara mereka ada orang, yang jika kamu memercayakan kepadanya satu Dinar, tidak dikembalikannya padamu, kecuali jika kamu selalu menagihnya” [Ali-Imran: 75]

Celaan di atas diiringi, bahkan didahului oleh pujian, dan penjelasan keadaan sebagian Ahli Kitab, dan pengakuan, bahwa sebagian mereka menunaikan amanah! [Dhawabith Raiisiyyah oleh Zaid Az-Zaid! Sebagaimana dalam Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah oleh Abu Ibrahim Al-Adnani hal. 43 dan semakna dengan ini perkataan Ahmad Shouyan dalam Manhaj Ahli Sunnah wal Jama’ah Fi Taqwimir Rijal wa Muallafatihim sebagaimana dalam Manhaj Ahlis Sunnah wal Jama’ah Fi Naqdir Rijal wal Kutub wath Thowaif oleh Syaikhuna Al-Allamah Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hal. 49].

Bantahan Manhaj Muwazanah

Berkata Syaikhuna Al-Allamah Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali membantah syubhat ini:

Pertama

Sepanjang sepengetahuanku, tidak ada seorang pun yang mengatakan, bahwa ayat ini menunjukkan atas Muwazanah, antara kebaikan dan kejelekan, atau yang semakna dengan ibarat ini. Dan tidak selayaknya seorang Muslim keluar dari fikih salaf dan pemahaman mereka.

Kedua

Yang dipahami oleh para ulama tafsir dari ayat di atas adalah peringatan kepada umat Islam dari kejelekan Ahli Kitab, sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam Qurthubi di dalam Tafsirnya 4/116: Allah mengabarkan, bahwa di antara Ahli Kitab ada yang amanat dan ada yang pengkhianat, sedangkan orang-orang yang beriman tidak bisa memilah-milah mereka, maka selayaknya menjauhi Ahli Kitab semuanya.

Ketiga

Di dalam kitab dan Sunnah, banyak didapati nash yang banyak sekali dalam mencela orang-orang Yahudi dan Nasrani, yang tidak menyebutkan kebaikan dan kejelekan mereka sekaligus, seperti firman Allah:

“Artinya: Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang batil. Dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui” [Al-Baqarah: 42]

Dan firman Allah:

“Artinya: Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah. Dan (juga mereka memertahankan) Al-Masih putra Maryam.Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan” [At-Taubah: 31]

Di Manakah Manhaj Muwazanah Dalam Nash-Nash Di Atas ?!

Sesungguhnya penetapan MANHAJ MUWAZANAH YANG BID’AH ini akan membuka pintu kepada orang-orang Yahudi, Nasrani, Komunis, dan Rasionalis untuk menyerang kaum Muslimin, mencela Allah dan Rasul-Nya ﷺ, dan apa yang ditulis oleh para ulama Islam dalam mengritik kelompok-kelompok sesat, dalam maSalaf jarh wat ta’dil. Hal ini merupakan bukti yang jelas atas KEBATILAN MANHAJ MUWAZANAH ini [Manhaj Ahlis Sunnah wal Jama’ah Fi Naqdir Rijal Wal Kutub wath Thowaif hal. 49-51]’

Fatwa Para Ulama Tentang Manhaj Muwazanah

[1] Fatwa Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah:

Ada seorang yang bertanya kepada Samahatusy Syaikh: “Ada orang-orang yang mewajibkan Muwazanah, yaitu jika engkau mengritik seorang Ahli Bid’ah, maka wajib atasmu untuk menyebutkan kebaikannya, agar engkau tidak menzaliminya”.

Maka Samahatusy Syaikh menjawab: “Tidak. Hal ini tidak harus. Hal ini tidak harus, karena inilah jika engkau melihat kitab-kitab Ahli Sunnah, maka engkau akan mendapati apa yang dimaksud, yaitu tahdzir. Bacalah dalam kitab Bukhari Kholqu Af’alil Ibad dan Kitabul Adab dari Shahihnya, kitab As-Sunnah oleh Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, kitab Tauhid oleh Ibnu Khuzaimah, Bantahan Utsman bin Said Ad-Darimi kepada Ahli Bida’… dan yang lainnya.

Mereka tulis kitab-kitab ini sebagai peringatan kepada setiap Muslim dari kebatilan Ahli Bid’ah, dan bukan bertujuan memaparkan kebaikan-kebaikan mereka … Maka yang dimaksud adalah peringatan kepada setiap Muslim dari kebatilan mereka, sedangkan kebaikan mereka tidak bernilai sama sekali bagi yang kafir dari mereka. Jika kebid’ahan mereka adalah bid’ah yang mengafirkan pelakunya, maka hapuslah kebaikannya. Dan jika bid’ahnya belum mengkafirkannya, maka dia berada dalam bahaya. Maka yang dimaksud adalah penjelasan kesalahan mereka, yang wajib untuk dihindari dan dijauhi”

[Dari kaset Ta’lim Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz di Thoif tahun 1413H sebagaimana dalam Manhaj Ahlis Sunnah wal Jama’ah Fi Naqdir Rijal Wal Kutub wath Thowaif oleh Syaikhuna Al-Alamah Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hal. 9]

[2] Fatwa Syaikh Al-Alamah Shalih bin Fauzan Al-Fauzan

Ada pertanyaan yang dilontarkan kepada Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, setelah beliau ditanya tentang beberapa pertanyaan mengenai kelompok-kelompok Islam. Baik ya Syaikh, apakah engkau memeringatkan manusia dari mereka tanpa menyebut kebaikan mereka, atau engkau sebutkan kebaikan dan kejelekan mereka secara bersamaan ?

Maka Fadhilatusy Syaikh menjawab: “Jika engkau menyebut kebaikan mereka, berarti engkau mengajak (manusia,-pent) kepada mereka. Tidak. JANGAN engkau sebut kebaikan mereka! Tetapi sebutkan kesalahan mereka saja, karena tugasmu bukanlah untuk memelajari keadaan mereka dan menilainya…  Tetapi tugasmu adalah menyebutkan kesalahan yang ada pada mereka, agar mereka bertaubat darinya. Dan agar selain mereka menjauhi kesalahan itu. Demikian juga kesalahan yang ada pada mereka, bisa jadi menghilangkan kebaikan mereka semuanya, jika kesalahan itu berupa kekufuran atau kesyirikan. Bisa jadi mengalahkan kebaikan mereka, dan bisa jadi itu adalah kebaikan menurut pandanganmu, padahal sebenarnya bukanlah kebaikan di sisi Allah”

[Ajwibah Mufidah ‘An As’Ilatil Manahijil Jadidah hal. 13-14]

[3] Fatwa Syaikh Al-Allamah Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah:

Ketika ditanya tentang Manhaj Muwazanah, Syaikh Al-Albani berkata: ‘Ini adalah cara-cara Ahli Bid’ah. Ketika seorang Ahli Hadis menilai seorang perawi yang saleh atau alim atau faqih dengan perkataannya: “Fulan jelek hafalannya”, apakah dia juga mengatakan bahwa dia adalah seorang Muslim atau seorang yang saleh atau seorang yang faqih atau seorang yang diambil dalam istinbath hukumnya ?! Allahu Akbar. Pada hakikatnya, kaidah yang terdahulu (yaitu kaidah: Setiap kebaikan adalah dalam Ittiba’ kepada salaf), adalah kaidah yang sangat penting, yang mencakup cabang-cabang yang banyak, khususnya pada zaman ini.

Dari mana mereka (pemilik Manhaj Muwazanah) mendapatkan dalil yang mengatakan, jika seorang hendak menjelaskan kesalahan seorang Muslim, jika dia adalah seorang da’i atau bukan, maka wajib bagi dia melakukan cermah yang menjelaskan kebaikan orang tadi, dari awal sampai akhir. Allahu Akbar. ini adalah sesuatu yang aneh. Demi Allah, ini adalah sesuatu yang aneh….”

[Silsilatul Huda wan Nur kaset no. 850 sebagaimana dalam Nashrul Aziz oleh Syaikhhuna Al-Allamah Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hal. 96-97]

Penutup

Jelaslah dari uraian di atas bahwa:

[1]. Apa yang didakwakan dari wajibnya memakai Manhaj Muwazanah dalam mengritik person, tulisan, dan kelompok, adalah dakwaan yang TIDAK ADA DALILNYA sama sekali dari kitab maupun sunnah. Maka Manhaj Muwazanah adalah manhaj yang asing dan bid’ah.

[2]. Ulama salaf tidak pernah memakai Manhaj Muwazanah dalam mengritik person, tulisan dan kelompok

[3]. Wajib memeringatkan umat dari bid’ah dan ahlinya dengan kesepakatan kaum Muslimin, dan boleh bahkan wajib menyebut kebid’ahan mereka dan menjauhkan manusia dari mereka.

[4]. Para ulama salaf telah menulis kitab-kitab dalam Jarh Wa Ta’dil dan kitab-kitab yang khusus dalam jarh saja. Kitab-kitab ini jumlahnya banyak sekali, tidak ada seorang pun dari mereka yang mewajibkan atau menyunahkan Muwazanah. Bahkan mereka mewajibkan jarh saja.

[5]. Para ulama salaf telah menulis kitab-kitab tentang sunnah dan bantahan kepad bid’ah dan ahlinya, tanpa memakai Manhaj Muwazanah.

[6]. Manhaj Salaf dilandaskan atas maslahat dan nasihat kepada umat.

[7]. Manhaj Salaf adalah benteng yang teguh di dalam melindungi kaum Muslimin dari bahaya dan makar Ahli Bid’ah.

[8]. Manhaj Muwazanah akan membuka pintu kepada semua Ahli Bid’ah untuk merusak akidah kaum Muslimin dan melancarkan berbagai macam fitnah kepada mereka.

[9]. Wajib bagi setiap Muslim untuk waspada terhadap pemikiran-pemikiran yang membahayakan akidah dan manhajnya. Tidak sepantasnya setiap Muslim untuk mengikuti setiap seruan yang memerdayakan, yang akan menyebabkan tercabutnya nikmat yang paling agung, yaitu keteguhan di atas Manhaj Salaf.

[Disalin dari Majalah Al-Furqon edisi 8 Th III hal.25-30. Ketimpangan Manhaj Muwazanah oleh Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah, Penerbit Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami Srowo, Sidayu, Grresik JATIM]

_________

 

Penulis: Al-Ustadz Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah hafizhahullah

Sumber: https://almanhaj.or.id/1787-ketimpangan-manhaj-Muwazanah-syubhat-manhaj-Muwazanah-dan-bantahannya.html