بسم الله الرحمن الرحيم

#DakwahTauhid

KEDUDUKAN AKAL DALAM ISLAM

Segala puji hanya milik Allah Ta’ala, satu-satunya Rabb yang berhak untuk di ibadahi. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam, beserta keluarganya, para shahabatnya, dan orang-orang yang selalu mengikuti mereka dengan baik hingga Hari Akhir.

Di antara nikmat besar yang dikaruniakan oleh Allah Ta’ala kepada kita semua adalah nikmat berupa akal sehat, yang dengannya kita bisa berpikir, dengannya kita dapat terus berinovasi menjalani kehidupan dan membangun peradaban, dan dengannya kita dapat membedakan mana yang bermanfaat dan mana yang berbahaya sesuai jangkauan akal kita. Dengan adanya akal pula kita dibedakan dari hewan. Oleh karena itu Allah Ta’ala banyak mendorong manusia supaya mau menggunakan akalnya untuk berpikir. Di antaranya adalah Firman-Nya (yang artinya):

“Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berakal.” (Q.S an-Nahl:12)

Definisi Akal

Secara bahasa, ‘aql (akal) bisa bermakna al-hikmah (kebijakan) atau bisa juga bermakna tindakan yang baik dan tepat. Akal juga bisa bermakna sifat, dikatakan; ‘uqila lahu shay’un’ artinya “Dijaga atau “diikat (hubisa) akalnya dan dibatasi”. [lihat kitab Lisanul ‘Arab, Muhammad Ibnu Mukarram]

Sedangkan secara istilah, akal adalah daya pikir yang diciptakan Allah Ta’ala (untuk manusia), kemudian diberi muatan tertentu berupa kesiapan dan kemampuan yang dapat melahirkan sejumlah aktivitas pemikiran yang berguna bagi kehidupan manusia yang telah dimuliakan oleh Allah Ta’ala. [lihat buku Syarh aqidah ahlu sunnah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas].

Islam Memuliakan Akal

Agama Islam adalah agama yang sangat adil dan sempurna. Agama kita memuliakan akal sehat, karena kemampuan berpikir dan memahami sesuatu dengan baik merupakan anugerah yang besar dari Allah Ta’ala. Karena besarnya kemuliaan akal maka agama Islam menetapkan syariat untuk menjaga dan mengembangkan akal, diantaranya:

Islam memasukkan akal kedalam dharuriyatul khamsah yaitu lima hal kebutuhan primer yang harus dijaga. Lima hal tersebut adalah agama, jiwa, harta, nasab (keturunan), dan akal.

Syariat Islam mengharamkan semua yang bisa merusak akal, baik yang maknawi (abstrak) seperti perjudian, (musik) dan nyanyian, memandang sesuatu yang diharamkan, maupun yang bersifat fisik seperti khamr (minuman keras), narkoba, dan lainnya serta memberikan sanksi kepada yang melakukannya. [lihat kitab Maqasidu Syari’ah ‘Inda Ibni Taimiyah, Dr. Yusuf bin Muhammad Al-Badawi]

Agama Islam menjadikan akal sebagai salah satu syarat utama taklif (pewajiban / pembebanan dalam syariat). Orang yang masih belum sempurna akalnya seperti anak-anak, ataupun yang memang memiliki kekurangan dalam akalnya seperti orang gila, maka gugur kewajibannya menjalankan syariat.

Agama Islam memerintahkan umatnya untuk belajar dan menuntut ilmu, yang dengannya akal dapat lebih berkembang dan meningkat. Kemudian memberikan derajat yang tinggi bagi orang-orang yang berilmu dan mengamalkannya, sebagaimana firman-Nya (yang artinya):

“Allah akan mengangkat kedudukan orang-orang yang beriman dan diberikan ilmu di antara kalian beberapa derajat” (QS. Al-Mujadilah:11)

Memosisikan Akal Sesuai Kedudukannya

Meskipun agama Islam menghormati akal sehat, namun akal tetap ditempatkan di tempat yang layak sesuai dengan kedudukannya. Artinya Islam memuliakan akal, namun tidak berlebih-lebihan dalam memosisikannya, karena akal manusia juga memiliki keterbatasan sebagaimana penglihatan, pendengaran, serta indra manusia lainnya.

Sebaliknya, walaupun akal memiliki keterbatasan, agama Islam juga tidak meremehkan dan mencela akal serta logika yang benar. Akal yang baik justru akan menyempurnakan suatu ilmu dan amal. Intinya, sikap yang benar dalam memposisikan akal adalah bersifat pertengahan, tidak merendahkan logika dan akal sehat, dan juga tidak berlebih-lebihan, sehingga menjadikan standar kebenaran agama semata-mata dari logika dan akal pemikiran manusia.

Akal Membutuhkan Dalil

Sepintar-pintarnya manusia dan setinggi apapun kecerdasan akal manusia, maka pasti tidak akan bisa berjalan dengan lurus tanpa bimbingan wahyu, baik Alquran maupun as-Sunnah. Akal manusia ibarat sepasang mata, sedangkan dalil wahyu bagaikan lentera atau cahaya. Mata tidak akan bisa berfungsi dengan baik tanpa adanya cahaya. Mata kita baru bisa berfungsi dengan baik dan benar jika ada cahaya. Cahaya tersebut sebagaimana kedudukan dalil wahyu (Alquran dan as-Sunnah) terhadap akal. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan:

“Akal tidaklah bisa berdiri sendiri. Akal baru bisa berfungsi jika dia memiliki naluri dan kekuatan, sebagaimana mata bisa berfungsi jika ada cahaya. Apabila akal mendapatkan cahaya iman dan Alquran, barulah akal bisa seperti mata yang mendapatkan cahaya matahari. Jika tanpa cahaya tersebut, akal tidak akan bisa melihat atau mengetahui sesuatu.” [Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah]

Akal Yang Sehat dan Dalil Syari Tidak Akan Bertentangan

Setelah kita mengetahui bahwa akal membutuhkan dalil, maka kita juga bisa memahami, bahwa akal yang sehat tidak akan pernah bertentangan atau bertolak belakang dengan dalil syari, baik dari Alquran maupun as-Sunnah. Karena semuanya berasal dari Allah Ta’ala Yang Maha Sempurna lagi Maha Bijaksana. Akal yang sehat adalah ciptaan Allah Ta’ala dan dalil syari merupakan Firman Allah Ta’ala. Maka MUSTAHIL segala sesuatu yang sama-sama bersumber dari Allah Ta’ala saling BERTENTANGAN. Imam Ibnu Qayyim al-jauziyah rahimahullah mengatakan:

“Sesungguhnya memertentangkan antara akal dengan wahyu adalah asal-usul segala kerusakan di alam semesta. Itu adalah LAWAN dari dakwah para rasul dari semua sisi, karena mereka (para rasul) mengajak untuk mengedepankan wahyu daripada pendapat akal” [lihat kitab Mukhtashar Shawa’iqul Mursalah, Ibnu Qayyim]

Wajib Mendahulukan Dalil Daripada Akal

Jika kita sudah berusaha untuk memahami dalil syari dengan metode yang benar, namun masih tampak bagi kita seolah-olah dalil tersebut bertentangan dengan akal, pikiran, maupun tidak sesuai dengan perasaan kita, maka wajib bagi kita untuk mengedepankan dalil syari daripada akal dan perasaan kita. Karena sesungguhnya anggapan kita, bahwa dalil syari tidak selaras dengan akal sehat bisa disebabkan karena tiga hal :

[1] Karena kurangnya ilmu kita yang menyebabkan adanya kerancuan dan syubhat bagi kita dalam memahami dalil.

[2] Dalil yang dijadikan pijakan adalah dalil yang lemah, bukan dalil yang shahih.

[3] Kita belum bisa membedakan mana yang “Membingungkan akal” mana yang “Tidak masuk akal”. Terkadang dalil syari memang bisa jadi membuat kita bingung memahaminya, namun tidak mungkin dalil syari tidak masuk akal sehat kita. Contohnya adalah peristiwa Isra’ dan Mi’raj, yaitu peristiwa naiknya Rasulullah ﷺ ke langit ketujuh dalam waktu satu malam. Maka bisa jadi kita bingung memikirkannya, bagaimana bisa dalam satu malam saja seorang manusia tanpa teknologi canggih bisa menembus langit tertinggi. Namun hal tersebut bukanlah hal yang tidak masuk akal. bahkan hal tersebut sangat mungkin dan masuk akal, karena Allah Ta’ala adalah Dzat yang Maha Kuasa atas segala sesuatu dan mudah bagi-Nya untuk mewujudkan hal tersebut.

Oleh karena itu, shahabat Nabi yang mulia ‘Ali Bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu menjelaskan, bahwa dalil syari wajib didahulukan daripada akal dan perasaan kita. Beliau berkata tentang mengusap khuf (alas kaki yang menutupi mata kaki, semacam sepatu boot):

“Seandainya (tolok ukur) agama ini dengan akal, maka tentu bagian bawah khuf lebih utama untuk diusap daripada bagian atasnya. Dan sungguh aku melihat Rasulullah ﷺ mengusap bagian atas khuf-nya.” (HR . Abu Daud, shahih)

Tinggalkan Pendapat Yang Menyimpang

Setelah memahami penjelasan di atas, maka hendaknya kita MENINGGALKAN pemahaman dan pendapat yang lebih mendahulukan akal dan perasaan, daripada dalil syari yang banyak tersebar di masyarakat. Di antaranya adalah anggapan orang-orang Liberal dan Orientalis, bahwa syariat Islam tidak adil, hukum Islam adalah hukum yang kejam, agama Islam tidak bisa mengatur suatu negara, bahkan mereka mengatakan bahwa Alquran dan ajaran agama Islam sudah tidak relevan lagi dengan zaman ini sehingga harus direvisi. Na’udzubillahi min dzalik.

Demikian pula hendaknya kita TINGGALKAN pendapat-pendapat menyimpang dari para filosof, mu’tazilah, dan yang semisalnya yang beranggapan, bahwa azab kubur tidak ada, syafaat tidak ada, penolakan dan penyelewengan mereka terhadap sebagian sifat-sifat Allah Ta’ala, pengingkaran terhadap munculnya Dajjal dan turunnya Nabi ‘Isa ‘alayhissalam, serta pemahaman dan perkataan mereka yang lain yang tidak bersumber dari dalil-dalil syari. Mudah-mudahan dengan kembalinya kita kepada Alquran dan Sunnah menjadikan kita sebagai seorang Muslim yang hanif dan lurus.

Penutup

Demikianlah penjelasan tentang kedudukan akal dalam agama Islam, semoga bisa menjadi pencerahan bagi kita dan membuat kita lebih taslim (menerima dan patuh) terhadap syariat Allah Ta’ala, tunduk terhadap hukum dan aturan Islam, serta menerima segala dalil syari yang datang kepada kita .

Wallahu a’lam.

 

Penulis: Nizamul Adli Wibisono, ST (Alumni Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)

Muroja’ah: Al-Ustadz Abu Salman, BIS hafizhahullah