Kecintaannya kepada Kerabat Tidak Menghalanginya untuk Mengingkari Kemungkaran [Ummu Mukminin Maimunah Bintu Al Harits]

Tidak seperti raja atau ratu manapun di dunia ini, kehormatan dan kemuliaan yang Allah limpahkan kepada penutup para Rasul-Nya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga para istri beliau, merupakan kemuliaan dan kehormatan yang abadi, langgeng dan berlanjut hingga kehidupan di Akhirat nanti. Para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meraih kehormatan tertinggi, yang tidak diraih oleh wanita manapun di dunia ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا نِسَاء النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِّنَ النِّسَاء إِنِ اتَّقَيْتُنَّ

Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa [al Ahzab: 32].

Mereka tidak hanya mulia di dunia ini, tetapi di Akhirat kelak, juga tetap berada pada derajat tertinggi. Berada di Surga bersama suami tercinta, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah mendapat janji Allah berupa derajat tertinggi di Surga-Nya.

Di antara istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang patut kita jadikan tauladan dalam ketakwaan dan semangat dalam berittiba’ kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Maimunah bintu al Harits bin Hazn bin al Huzm bin Ruwaibah bin Abdillah bin Hilal bin ‘Amir bin Sha’sha’ah al Hilaliyah Radhiyallahu anha . Beliau merupakan saudari kandung Ummu al Fadhl istri al ‘Abbas paman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sekaligus bibi dari beberapa sahabat utama, di antaranya ‘Abdullah bin ‘Abbas, Khalid bin Walid bin Mughirah dan Yazid bin al Asham Radhiyallahu anhum.

Sebelum dipersunting Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Maimunah bernama Barrah dan bersuamikan seorang laki-laki bernama Mas’ud bin ‘Amr ats Tsaqafi. Namun takdir Allah menentukan, jodoh beliau tidak terhenti pada Mas’ud bin ‘Amr. Menjelang datangnya Islam, suami pertamanya ini menceraikannya. Kemudian ia menikah dengan Abu Ruhm bin Abdul ‘Uzza [Sebagian ahli sejarah berpendapat bahwa suami kedua beliau adalah Sukhbarah bin Abi Ruhm, atau Huwaithib bin Abdul ‘Uzza. Lihat al Ishabah (8/126)]. Pernikahannya dengan suami keduanya ini juga tidak berlangsung lama. Maimunah kembali harus menelan kesedihan. Bukan karena dicerai, tetapi lantaran sang suami meninggal.

Masa ‘iddah beliau lewati dengan penuh kesabaran dan ketabahan, hingga Allah menggantikan musibah yang menimpanya dengan kebaikan dan kebahagiaan berlipat ganda. Seusai masa ‘iddahnya, al ‘Abbas Radhiyallahu anhu menyebutkan perihal Maimunah kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dia sangat berharap Nabi mau memersunting adik iparnya tersebut, lantaran keistimewaan dan keshalihan yang ia ketahui pada diri Maimunah. Nabi pun mengakui keutamaan dan ketakwaan wanita mulia ini, hingga beliau pun berniat menikahinya.

‘Ali bin ‘Abdullah bin ‘Abbas menuturkan kisah pernikahan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Maimunah Radhiyallahu anha: “Tatkala Rasulullah hendak pergi menuju Mekah pada tahun al Qadhiyyah [Yakni tahun ke tujuh Hijriyah ketika beliau hendak menunaikan umroh. Pada tahun ini terjadi peristiwa perjanjian Hudaibiyah. Lihat catatan kaki dari pentahqiq Siyar A’lam an Nubala (2/239)], beliau mengutus Aus bin Khauliy dan Abu Rafi’ kepada al ‘Abbas, (agar) al Abbas menikahkan Maimunah dengan beliau. (Namun) kedua utusan itu kehilangan tunggangan, hingga mereka (terpaksa) tinggal untuk beberapa hari di Rabigh sampai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui mereka. Kemudian, mereka pun menemukan kembali tunggangan mereka dan berangkat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallamhingga tiba di Mekah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus utusan kepada al Abbas Radhiyallahu anhu untuk menyampaikan maksud beliau. Maimunah Radhiyallahu anha pun menyerahkan urusannya kepada Nabi, [Demikian perkataan seorang perawi, namun Imam adz Dzahabi berkomentar bahwa yang benar adalah Maimunah menyerahkan urusannya kepada al ‘Abbas. Lihat Siyar A’lam an Nubala (2/239)], kemudian al Abbas membawa Maimunah kepada Nabi dan menikahkannya dengan beliau” [At Thabaqat al Kubra (8/132)].

Kala itu usia Maimunah Radhiyallahu anha sekitar dua puluh enam tahun. Mahar yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hadiahkan kepada Maimunah Radhiyallahu anha berupa uang sejumlah lima ratus Dirham. Beliau juga mengganti namanya yang semula Barrah menjadi Maimunah. Yazid bin al Asham Radhiyallahu anhu mengatakan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Maimunah Radhiyallahu anha setelah beliau bertahallul dari ihramnya [HR Muslim (2/1032 no 1141), Ibnu Majah (1/632 no 1964), dan al Baihaqi (5/66 no 8942). Dalam masalah ini terdapat perselisihan ulama yang cukup panjang, karena ada beberapa riwayat dari Ibnu Abbas yang mengatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Maimunah Radhiyallahu anha dalam keadaan ihram. Lihat al Ishabah (8/127).

Dan Imam Ibnu al Qayyim berpendapat bahwa yang rajih adalah pendapat yang mengatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Maimunah Radhiyallahu anha setelah beliau bertahallul dari ihram [Lihat Zaad al Ma’ad (1/109)].

Pernikahan beliau dengan Maimunah ini memberikan arti penting dan motivasi tersendiri bagi kaum Maimunah untuk masuk ke dalam Islam. Setelah berlalu tiga hari, sesuai kesepakatan dengan Quraisy, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat segera meninggalkan kota Mekkah. Hingga beliau tiba di Sarif [Yakni satu daerah dekat Tan’im. Lihat catatan kaki pentahqiq Zaad al Ma’ad (1/109)] dan membangun sebuah kubah (tenda) untuk Maimunah. Di kubah inilah pertama kali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkumpul dengan Maimunah.

Maimunah Radhiyallahu anha merupakan wanita terakhir yang Rasulullah nikahi dan memiliki kedudukan mulia di sisi beliau. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkomentar tentangnya: “(Tiga) wanita bersaudara yang beriman, (yaitu) Maimunah, Ummu al Fadhl [Yakni Ummu al Fadhl Lubabah al Kubra bintu al Harits, saudari kandung Maimunah. Lihat al Ishabah (8/97)] dan Asma.[Yakni Asma’ bintu ‘Umais, saudari seibu dengan Maimunah. Lihat al Ishabah (7/484). Lihat Ath Thabaqat al Kubra (8/138)] ”.

‘Aisyah juga pernah melontarkan pujian terhadap Maimunah setelah wafatnya: “Sesungguhnya Maimunah adalah wanita yang paling bertakwa di antara kami, dan yang paling baik dalam menyambung tali silaturahmi” [Yakni Asma’ bintu ‘Umais, saudari seibu dengan Maimunah. Lihat al Ishabah (7/484). Lihat Ath Thabaqat al Kubra (8/138)].

Kiranya tidaklah berlebihan pujian yang mereka berikan kepada Maimunah. Banyak sikap dan perilaku beliau yang patut kita contoh, sebagai manifestasi nyata dari keimanan dan ketakwaan.

Yazid bin al Asham mengisahkan: “Pernah salah seorang kerabat Maimunah datang mengunjungi rumahnya. Maimunah mendapati bau minuman keras pada saudaranya itu. Lantas ia berkata kepadanya:’Jika kamu tidak mau keluar menemui kaum Muslimin hingga mereka mencambukmu, atau menyucikanmu, maka janganlah kamu menemuiku selamanya’.” [ Ath Thabaqat al Kubra (8/139)].

Renungkanlah sikap tegas beliau terhadap kerabatnya ini. Betapa bijaknya cara beliau menjaga tali silaturahmi. Kecintaan beliau kepada kerabatnya itu tidak menghalanginya untuk mengingkari kemungkaran. Inilah perwujudan cinta dan benci yang dilandasi karena Allah semata. Dan ketika Maimunah mengetahui keutamaan bersiwak, ia tak pernah meninggalkannya sepanjang hidupnya.

Yazid bin Al Asham menuturkan: “Adalah kayu siwak milik Maimunah senantiasa tercelup basah ke dalam air, jika pekerjaan atau sholat menyibukkannya. Jika tidak, maka ia segera bersiwak dengannya” [ Ath Thabaqat al Kubra (8/139)].

Demikianlah sosok Maimunah, salah seorang Ummul Mukminin yang begitu taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Begitu menjaga kehormatan dirinya dengan senantiasa diam di rumahnya. Tidaklah ia keluar tanpa seizin Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hingga ketika Nabi sakit dan menjelang wafatnya di bilik ‘Aisyah, ia tidak berani keluar dari rumahnya untuk menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai beliau mengizinkannya untuk turut menemani beliau di sisi ‘Aisyah.

Ajal menjemput beliau pada tahun lima puluh satu Hijriyah. Saat itu beliau berusia sekitar delapan puluh tahun [Al Ishabah (8/128), Taqrib at Tahdzib hlm1373]. Sebelum wafatanya, ia berwasiat agar dikuburkan di Sarif. Tepatnya di kubah tempat ia berkumpul pertama kali bersama Nabi.

Abdullah bin Abbas Radhiyallahu anhu berkata kepada sahabat pada saat prosesi pemakamannya: “Berlaku lemah-lembutlah kepadanya, karena ia adalah ibu kalian” [Ath Thabaqat al Kubra (8/138)].

Semoga rahmat dan ridha Allah senantiasa terlimpah pada beliau.

Penulis; Hanin Ummu Abdillah

Maraji’ dan Mashadir:

1. Al Qur`an dan terjemahnya, Cet Mujamma’ Malik Fahd, Saudi Arabia.

2. Ath Thabaqat al Kubra, Muhammad bin Sa’ad bin Mani’ Abu Abdillah al Bashri az Zuhri (168-230 H), Daar Shadir, Beirut.

3. Al Isti’ab fi Ma’rifat al Ashab, Yusuf bin Abdillah bin Muhammad bin Abdil Barr (463 H), tahqiq Ali Muhammad al Bajawi, Daar al Jiil, Beirut, Cet. I, Th 1412 H.

4. Siyar A’lam an Nubala, adz Dzahabi, tahqiq Syu’aib al Arna’uth, Mu’assasah ar Risalah, Beirut, Libanon, Cet XI, Th. 1422 H/2001M.

5. Zaad al Ma’ad, Ibnu al Qayyim (691-751 H), tahqiq Syu’aib al Arna’uth dan Abdul Qadir al Arna’uth, Mu’assasah ar Risalah, Beirut, Libanon, Cet. III, Th. 1423 H/2002 M.

6. Al Ishabah fi Tamyiz ash Shahabah, Ibnu Hajar al ‘Asqalani (773-852 H), tahqiq Ali Muhammad al Bajawi, Daar al Jiil, Beirut, Cet. I, Th. 1412 H/1992M.

7. As Sirah an Nabawiyah fi Dhau’i al Mashadir al Ashliyah, Dr. Mahdi Rizqullah Ahmad, Markaz Malik Faishal lil Buhuts wa ad Dirasat al Islamiyah, Cet. I, Th. 1412 H/1992 M dan lain-lain.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

_______

https://almanhaj.or.id/2609-ummul-mukminin-maimunah-bintu-al-harits.html