بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

KAPAN MEMBERIKAN SUAP MENJADI HALAL?

Suap adalah harta yang diperoleh karena terselesaikannya suatu kepentingan manusia (baik untuk memeroleh keuntungan, maupun menghindari kerugian atau bahaya), yang semestinya harus diselesaikan tanpa imbalan.

Atau bisa juga kita katakan, risywah (suap-menyuap) ialah pemberian apa saja berupa uang atau yang lain kepada penguasa, hakim atau pengurus suatu urusan, agar memutuskan perkara atau menangguhkannya dengan cara yang batil.

Praktik suap menyuap di dalam agama Islam hukumnya haram berdasarkan dalil-dalil syari berupa Alquran, Al-Hadis, dan Ijma’ para ulama. Pelakunya dilaknat oleh Allah dan Rasul-Nya ﷺ.

Terdapat banyak dalil syari yang menjelaskan keharaman suap menyuap, di antaranya adalah sebagai berikut:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الرَّاشِىَ وَالْمُرْتَشِىَ.

Dan diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah ﷺ melaknat orang yang memberi suap dan yang menerima suap”. (HR. Abu Daud II/324 no.3580, At-Tirmidzi III/623 no.1337, Ibnu Majah, 2313 dan Hakim, 4/102-103; dan Ahmad II/164 no.6532, II/190 no.6778. Dan dinyatakan Shohih  oleh syaikh Al-Albani di dalam Shohih At-Targhib wa At-Tarhib II/261 no.2211).

Hal ini menunjukkan bahwa suap-menyuap termasuk dosa besar, karena pelakunya diancam Rasulullah ﷺ dengan laknat dari Allah. Dan arti laknat ialah terusir dan terjauhkan dari rahmat Allah.

Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam mengatakan: “Suap menyuap termasuk dosa besar, karena Rasulullah ﷺ melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap. Sedangkan laknat tidaklah terjadi, kecuali pada dosa-dosa besar. ” (Lihat Taudhihul Ahkam VII/119).

Pada dasarnya memberikan suap kepada siapa pun hukumnya haram, berdasarkan ayat-ayat Alquran, hadis-hadis Nabi ﷺ, dan Ijma. Hal ini karena terkandung di dalamnya banyak unsur kezaliman, seperti menzalimi hak orang lain, mengambil sesuatu yang bukan haknya, menghalalkan yang haram atau sebaliknya, mempengaruhi keputusan hakim yang merugikan pihak lain dan lain sebagainya.

Akan tetapi hukum suap akan berbeda dan berubah menjadi halal, apabila tidak mengandung unsur kezaliman terhadap hak orang lain sedikit pun. Seperti memberikan suap untuk mengambil sesuatu dari haknya yang terhalang, atau dipersulit oleh pihak tertentu. Atau melakukan suap karena untuk mencegah bahaya yang lebih besar, atau mewujudkan manfaat (yang sesuai dengan syariat) yang besar. Dalam keadaan seperti ini, maka si pemberi suap tidak berdosa dan tidak terlaknat. Dosa suap menyuap dan laknat Allah tersebut hanya ditimpakan kepada si penerima suap.

Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan: “Tentang memberikan uang suap, jika seorang itu menyuap hakim agar hakim memenangkan perkaranya, padahal dia bersalah, atau agar hakim tidak memberikan keputusan yang sejalan dengan realita, maka memberi suap hukumnya haram. Sedangkan suap dengan tujuan agar mendapatkan hak, hukumnya tidaklah haram (halal) sebagaimana uang tebusan untuk menebus tawanan.” (Lihat Raudhatu Ath-Thalibin wa Umdatu Al-Muftin IV/131).

Maka dari itu, sebagai contoh, apabila ada seseorang sudah ikut proses penerimaan PNS dengan benar kemudian ia diterima, atau ada seseorang telah mengajukan permohonan KTP, SIM, paspor kepada pihak yang berwenang dengan syarat-syarat administrasi yang lengkap, namun pada saat pengambilan hak, nomor NIP tidak bisa keluar, atau SIM, KTP, dan paspor tidak dapat diperoleh, karena pihak berwenang meminta sejumlah uang. Dalam keadaan seperti ini, hendaknya ia melaporkan kasus tersebut kepada pihak-pihak terkait yang berwenang mengawasi, menegur dan menjatuhkan sanksi kepada mereka, serta memberikan hak kepada para pemilik hak. Akan tetapi jika seseorang hidup di suatu negara yang tidak bisa memberikan jaminan hak kepada yang berhak menerimanya, maka pada kondisi seperti ini dibolehkan bagi calon PNS, dan orang yang mengajukan permohonan SIM, KTP dan paspor tersebut untuk membayar sejumlah uang kepada pihak berwenang, agar ia bisa memunyai NIP dan memeroleh KTP, SIM dan paspor. Ia tidak menzalimi siapa pun. Suap tersebut ia lakukan karena terpaksa dan hanya untuk mengambil haknya dia saja. Ia tidak berdosa. Dosa hanya ditimpakan kepada pihak berwenang. Jadi dalam kondisi ini, yang berdosa adalah yang menerima suap, bukan yang menyuap.

Wallahu a’lam bish-showab.

 

Dinukil dari tulisan berjudul “Suap Menyuap yang Halal dan yang Haram Dalam Agama Islam” yang ditulis oleh: Muhammad Wasitho Abu Fawaz

https://abufawaz.wordpress.com/2012/10/05/suap-menyuap-yang-halal-dan-yang-haram-dalam-agama-islam/