Kala Pengemis Merajalela

Pengemis atau peminta-minta, saat ini begitu banyak kita temui, terutama di pusat-pusat keramaian. Mereka biasa beroperasi di kawasan pertokoan atau mall, di pasar-pasar, perempatan jalan (lampu merah), di tempat-tempat wisata dan ibadah, dan sebagainya.

Masalahnya, benarkah di antara sekian banyak pengemis itu benar-benar membutuhkan dan tak punya pilihan lain kecuali dengan menadahkan tangan pada orang lain? Mungkin di antara mereka  ada yang benar-benar melakukan ini karena keterbatasan kemampuan dan fisik. Itu merupakan hal yang bisa kita terima dan bahkan kita perlu mengulurkan tangan untuk mereka. Mereka itulah pengemis-pengemis “asli”.

Yang memrihatinkan, banyak yang sebenarnya masih mampu berusaha selain mengemis, namun dia memilih berprofesi sebagai pengemis, hanya untuk memerkaya diri. Mereka itulah pengemis “gadungan”.

Jangan kaget dengan fakta adanya perkampungan pengemis. Rata-rata fisik bangunan rumah mereka tidak menggambarkan pekerjaannya. Rumah berlantai keramik,  peralatan elektronik menghiasi ruang tamu, sementara di terasnya terparkir kendaraan roda dua yang mulus. Sungguh tidak layak jika mereka menjadi pengemis.

Kadang kita dibuat serba salah dalam menghadapi mereka. Sebagian besar mereka seperti sudah menjiwai profesinya, sehingga kita kesulitan membedakan mana peminta-minta asli, dan mana yang gadungan.

Para pengemis gadungan itu, selain paham rahasia dan trik-trik mengemis,  juga mengerti bagaimana cara menarik simpati dan belas kasihan orang lain. Di antara mereka ada yang membawa bayi atau anak kecil, pura-pura luka, bawa map sumbangan yang tidak jelas, mengeluh keluarganya sakit padahal tidak, dan sebagainya. Mereka melakukan berbagai cara untuk membohongi dan menarik simpati manusia.

Pandangan Syariat terhadap Minta-Minta

Islam tidak mensyariatkan meminta-minta dengan berbohong dan menipu. Alasannya bukan hanya karena melanggar dosa, tetapi juga karena perbuatan tersebut dianggap mencemari perbuatan baik dan merampas hak orang-orang miskin yang memang membutuhkan bantuan. Bahkan hal itu merusak citra baik orang-orang miskin yang tidak mau minta-minta dan orang-orang yang mencintai kebajikan. Karena mereka dimasukkan dalam golongan orang-orang yang meminta bantuan. Padahal sebenarnya mereka tidak berhak menerimanya, terlebih kalau sampai kedok mereka terungkap.

Banyak dalil yang menjelaskan haramnya meminta-minta dengan menipu dan tanpa adanya kebutuhan yang mendesak. Di antaranya:

Diriwayatkan dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah bersabda:

مَا زَالَ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ، حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِيْ وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ.

“Seseorang senantiasa meminta-minta kepada orang lain, sehingga ia akan datang pada Hari Kiamat dalam keadaan tidak ada sekerat daging pun di wajahnya.” (Riwayat Bukhari, Muslim)

Yang Dibolehkan Meminta-Minta

Diriwayatkan dari Sahabat Qabishah bin Mukhariq al-Hilali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah bersabda:

يَا قَبِيْصَةُ، إِنَّ الْـمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِأَحَدِ ثَلَاثَةٍ : رَجُلٍ تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَهَا ثُمَّ يُمْسِكُ، وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ –أَوْ قَالَ : سِدَادً مِنْ عَيْشٍ- وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُوْمَ ثَلَاثَةٌ مِنْ ذَوِي الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ : لَقَدْ أَصَابَتْ فُلَانًا فَاقَةٌ ، فَحَلَّتْ لَهُ الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَ قِوَامًا مِنْ عَيْش ٍ، –أَوْ قَالَ : سِدَادً مِنْ عَيْشٍ- فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْـمَسْأَلَةِ يَا قَبِيْصَةُ ، سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا.

“Wahai Qabiishah! Sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal, kecuali bagi salah satu dari tiga orang: (1) Seseorang yang menanggung utang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian berhenti, (2) Seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup, dan (3) Seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang yang berakal dari kaumnya mengatakan, ‘Si Fulan telah ditimpa kesengsaraan hidup,’ ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup. Meminta-minta selain untuk ketiga hal itu, wahai Qabishah, adalah haram, dan orang yang memakannya adalah memakan yang haram.” (Riwayat Muslim)

Menyikapi Peminta-Minta

Menyikapi pengemis memang merupakan sebuah dilema moral. Di satu sisi, kita sebagai sesama umat manusia yang berakhlak,  diwajibkan untuk membantu mereka yang berkekurangan. Tapi di sisi lain, ketika kita memberikan bantuan (baca: uang),   hanya menjadikan para pengemis itu semakin malas untuk bekerja, dan makin banyak orang yang tertarik untuk mengemis.

Saat ini, setelah kita mengetahui perkembangan pengemis makin merajalela, kita harus mulai selektif terhadap pengemis. Kita harus mengurangi kebiasaan memberi  pada orang yang tidak tepat. Jika datang pada kita seorang pengemis laki-laki yang masih tampak kuat, sehat dan segar, jangan buru-buru merogoh kantong kita. Karena sebenarnya ia bisa berusaha selain mengemis, hanya saja mungkin ia malas.

Ketika ingin memberi, kita harus berusaha  memberi pada orang yang memang berhak. Misalnya, kita bisa memberikannya kepada kerabat dekat yang  kekurangan, karena sanak kerabat  adalah orang pertama yang berhak menerima sedekah kita. Kemudian tengoklah tetangga kita. Adakah tetangga kita yang memang berhak? Bila kita bingung menyalurkannya, sebaiknya disalurkan melalui suatu lembaga yang sudah terorganisir dan terpercaya.

Dengan begitu kita akan mendapatkan kebaikan karena berinfak/sedekah pada orang yang tepat. Melalui lembaga-lembaga  ini insya Allah kita dapat menyalurkan  sedekah tanpa khawatir salah sasaran.

Lebih Bijak dalam Memberi

Memberi pengemis memang tidak salah. Apalagi jika pengemis itu sudah sangat tua atau cacat. Tapi, sekali lagi, kita harus lebih bijak memilih pengemis/selektif. Daripada bersedekah pada pengemis yang masih kuat dan segar bugar, alangkah lebih baik jika uang itu disalurkan kepada orang yang tepat dengan cara yang santun. Misalnya dengan melebihkan upah tukang becak, atau tidak menawar dagangan yang kita beli pada pedagang kecil, atau sengaja memberi upah kepada penarik sampah, atau memberikan berbagai barang bekas kepada pemulung  tanpa meminta bayaran dari mereka. Mereka lebih memiliki kehormatan dengan tidak meminta-minta, dan itu lebih layak kita hargai. Pemberian kita akan lebih bermakna, tidak hanya untuk mereka, tapi juga untuk kita sendiri. Karena biasanya selain berterima kasih, mereka juga lebih banyak mendoakan kita.

Perlunya Peran Pemerintah

Kita ingin mengurangi jumlah pengemis, namun bagaimana dengan pemberdayaan pengemis tersebut? Kebanyakan pengemis tersebut sebenarnya bisa untuk tidak menjadi pengemis. Di sinilah sebenarnya peran pemerintah sangat diharapkan untuk dapat memberdayakan mereka dengan memerbaiki keadaan perekonomian, sehingga lapangan pekerjaan juga meningkat dan mereka bisa diberdayakan, atau perlu suatu program untuk pemberdayaan pengemis-pengemis ini.

Selain itu, perlu juga dilakukan pendekatan melalui dakwah kepada mereka, agar mereka lebih mengetahui ajaran agama serta mau mengamalkan. Kadang mereka belum tahu hukum mengemis menurut syariat Islam, serta tidak mau berusaha, bersabar dan tawakal dalam mencari rezeki yang halal.

Bagaimana dengan Pengamen?

Pada hakikatnya, pengamen sama juga dengan pengemis. Ia meminta uang dengan bernyanyi dan bermain musik, yang jelas diharamkan dalam Islam. Maka sebisa mungkin kita tidak boleh memberi kepada mereka. Apalagi jika  kita sudah mengetahui keharaman musik. Hendaknya kita menjadi contoh orang yang berani menolak memberi uang pada pengamen, di saat banyak orang yang takut kepada mereka karena di antara mereka ada yang sering marah jika tak diberi uang. Wallaahua’lam. (ummuhusna)

 

Artikel Majalah Nikah Sakinah Vol. 10 No. 5, Rubrik Lentera.

 

http://majalahsakinah.com/2012/09/kala-peminta-merajalela/