بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

#Fikih_Jual_Beli

JUAL BELI HABALUL HABALAH

Rasulullah ﷺ melarang transaksi jual beli yang disebut dengan “Habalul Habalah”, yaitu transaksi jual beli yang tidak tunai dan jatuh tempo pembayarannya tidak pasti. Inilah salah satu bentuk jual beli yang memasyarakat di masa jahiliah, lalu dibatalkan oleh Islam. Hal ini dilarang karena menyebabkan terjadinya sengketa dan perselisihan antara penjual dan pembeli.

“Habalul Habalah” ada dua makna:

  1. Transaksi jual beli secara tidak kontan (tidak tunai), dengan pembayaran yang tidak pasti waktunya

Contohnya adalah jual beli dengan pegawai negeri, dengan jatuh tempo “Jika pemerintah sudah mencairkan gaji para pegawai”. Padahal, tanggal pencairan gaji itu tidaklah pasti; bisa maju, bisa mundur. Tentu saja, jika tanggal pencairan gaji itu bisa dipastikan, transaksi ini diperbolehkan. (Ibnul Mulaqqin Asy-Syafi’i, Al-Iflam bi Fawaid ‘Umdah Al-Ahkam, juz 7, hlm. 78, terbitan Dar Al-‘Ashimah, Riyadh, cetakan pertama, 1421 H).

Syekh Abdullah Aba Buthain mengatakan: “Sedangkan yang dimaksud dengan transaksi jual beli ‘Habalul Habalah’ itu memiliki dua penjelasan. Yang pertama: orang jahiliah dahulu, sering kali, jika membeli unta atau barang dagangan yang lain secara tidak tunai, menetapkan bahwa jatuh tempo pembayaran adalah lahirnya cucu dari seekor unta betina. Berdasarkan hal ini, jual beli Habalul Habalah dilarang, karena adanya ketidakjelasan mengenai waktu jatuh tempo pembayaran.” (Ad-Durar As-Saniyyah fi Al-Ajwibah An-Najdiyyah, juz 6, hlm. 8–9)

Syekh Abdullah Al-Bassam mengatakan: “Transaksi jual beli ‘Habalul Habalah’ dilarang karena jatuh tempo pembayarannya tidak jelas. Padahal, lama dan singkatnya waktu jatuh tempo pembayaran itu sangat memengaruhi harga jual barang yang dibeli.” (Taisir ‘Allam, juz 2, hlm. 143, terbitan Darus Salam, Riyadh, cetakan pertama, 1414 H)

Jadi, ketidakjelasan waktu pembayaran dalam transaksi jual beli yang tidak tunai adalah suatu hal yang TERLARANG. Lain halnya dengan transaksi utang-piutang. “Diperbolehkan menetapkan waktu jatuh tempo dalam transaksi utang-piutang. Akan tetapi, jika tanpa adanya waktu jatuh tempo maka malah itu yang lebih baik, karena hal tersebut meringankan beban orang yang berutang.” (Penjelasan Syekh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi dalam Minhaj Al-Muslim, hlm. 336)

  1. Larangan jual beli janin yang masih dalam kandungan (untuk semua jenis binatang)

Larangannya terdapat dalam hadis Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi:

أن النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ حَبَل الحَبَلة

“Sesungguhnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli calon anak dari janin yang dikandung.”

Jual-beli Habalul Habalah yang adalah menjual hasil produksi yang masih belum jelas, termasuk jual-beli yang populer di masa jahiliyah. Mereka terbiasa menjual anak hewan yang masih dalam kandungan binatang yang bunting, dan menyerahkannya secara tertunda. Maka Islam melarangnya.

Letak unsur gharar dalam jual-beli Habalul Habalah ini jelas sekali. Kalau tujuannya adalah menjual janin yang masih dalam perut induk unta, maka janin itu jelas belum jelas keberadaannya. Pembelinya berada dalam posisi yang mengkhawatirkan, karena ia bisa memperoleh barang yang dia beli, dan bisa juga tidak.

Kalau yang menjadi tujuannya adalah menjual dengan pembayaran di muka hingga lahirnya anak unta tersebut, unsur penjualan “kucing dalam karung”-nya pun amat jelas, karena sama saja menjual sesuatu dengan masa pembayaran yang tidak diketahui. Di dalam jual-beli ini tidak diketahui secara pasti, kapan unta tersebut akan lahir.

 

Sumber:

http://pengusahamuslim.com/2132-dibayar-nanti-kalau-sudah-gajian.html

https://alsofwah.or.id/cetakekonomi.php?id=128&idjudul=1