بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

#DakwahTauhid
JAWABAN TUDUHAN-TUDUHAN BURUK KAUM NASRANI DAN ORANG-ORANG KAFIR TERHADAP ISLAM
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah memuliakan agama Islam dan umatnya, serta menjadikan Islam sebagai satu-satunya agama yang diridai-Nya. Dan adalah suatu kepastian, bahwa umat Islam akan berjaya di bawah naungan Alquran dan Sunnah Nabi-Nya ﷺ hingga Hari Kiamat.  Walaupun orang-orang kafir dan musyrik membencinya.
Berbagai syubhat dan tuduhan buruk telah banyak dilontarkan oleh orang-orang kafir dan orientalis dari kalangan Nasrani atau Kristen. Dan ikut pula digembar-gemborkan oleh para Murtaddin (orang-orang murtad), yang begitu bangga dengan kemurtadannya, seperti nampak pada website-website mereka. Mereka melontarkan syubhat, baik dengan cara halus dengan membawa-bawa ayat Alquran dan membawanya kepada makna-makna yang mereka kehendaki, ataupun cara kasar dengan cacian dan terang-terangan menjelek-jelekan Islam dan pembawa risalahnya, yaitu Rasulullah Muhammad ﷺ.
Namun yang membuat takjub, justru lontaran syubhat-syubhat tersebut bagaikan menggosok emas yang menyebabkan Islam semakin tampak kemilau, dan membuka mata orang-orang yang lalai akan keagungannya. Semakin terpatri dalam dada apa yang difirmankan Allah ﷻ:

يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللَّهُ إِلا أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ

“Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai.” (QS at-Taubah: 32)
Tentu tidak mengherankan, jika mereka tidak takut akibat buruk menimpa mereka, seandainya mereka menghayati ayat ini. Bagaimana akan takut, bahkan memang mereka tidak beriman terhadap Allah, Alquran dan Rasulullah ﷺ.
Barangkali tidak asing bagi sebagian kita, terutama pengguna internet, forum, milis dan email, bagaimana begitu banyak dan gigih syubhat dan tuduhan buruk terhadap Islam dan Rasulullah ﷺ, oleh orang-orang kafir untuk memalingkan kaum Muslimin dari keyakinan agama mereka. Terutama tuduhan buruk terhadap Alquran dan Rasulullah ﷺ sebagai pembawa risalah Islam. Karena dengan dirusakkannya kehormatan beliau ﷺ, otomatis batal pula ajaran yang beliau ﷺ bawa. Di antara syubhat mereka adalah, bahwa Alquran adalah buatan Muhammad ﷺ. Beliau ﷺ dituduh berakhlak bejat. Alquran banyak memiliki kontradiksi, bertentangan dengan ilmu dan fakta alam, serta berbagai tuduhan lainnya.
Berikut ini adalah jawaban-jawaban terhadap berbagai syubhat, yang bantahan ini disampaikan oleh Syaikh Mamduh Farhan al-Buhairi dari situs Majalah Qiblati. Beliau menjawab berbagai pertanyaan dan tuduhan yang ditujukan kepada Qiblati.
Semoga pembahasan ini bermanfaat bagi pembaca sekalian. Dan harap bersabar membacanya, karena sangat panjang, di mana pada situs aslinya terbagi dalam tujuh seri. Ditata ulang seperlunya, menyesuaikan format penulisan di blog ini.**
_
Bagian 1
Syubhat:
Ana dapat syubhat dari orang Nasrani, kenapa di dalam Alquran ada ayat yang menggunakan kata-kata “KAMI”; orang pertama dalam bentuk jamak bukan tunggal. Berarti benarlah Tuhannya orang Nasrani tentang TRINITAS, Tuhan Bapak, Anak dan Ruh Kudus?
Jawaban Syubhat:
Sesungguhnya, termasuk permasalahan terbesar pada syubhat para pendeta Nasrani yang mereka tanamkan kepada akal para pengikutnya adalah, bahwa mereka jahil (bodoh) terhadap bahasa Arab. Lalu mereka menerjemahkan ayat-ayat Alquran yang mulia kepada bahasa mereka, kemudian mengeluarkan hukum jahil mereka berdasarkan bahasa mereka, bukan berdasarkan kekhususan bahasa, dan lisan Arab. Kemudian orang-orang awam Nasrani menukil kebodohan tersebut dari pendeta-pendeta mereka.
Kata [نَحْنُ], nahnu (kami), dalam bahasa Arab tidak harus bermakna lebih dari satu, karena itu adalah bentuk penghormatan menurut bangsa Arab dalam bahasa mereka. Para Raja dan panglima, saat mereka menetapkan keputusan, maka mereka akan menetapkan keputusan tersebut dengan menyebut kata nahnu (kami), padahal dia hanya satu orang. Akan tetapi kata itu digunakan untuk mengungkapkan pengagungan dan kedudukan tinggi. Hal tersebut terus berlangsung hingga hari ini, pada sebagian pemimpin bangsa Arab. Oleh karena itu, ketika Allah ﷻ menurunkan Alquran yang mulia, Dia menurunkannya dengan lisan Arab, hingga bangsa Arab kala itu tidak pernah memrotes satu kata atau ayat pun, karena mereka tahu maksud dari Alquran yang mulia. Mereka hanya menuduh Nabi ﷻ dengan tuduhan-tuduhan, di antaranya adalah tukang sihir atau gila. Akan tetapi tidak ada seorang pun yang berani menuduhnya tentang ayat-ayat Alquran, karena pengetahuan mereka, bahwa ayat-ayat tersebut sesuai dengan bahasa dan lisan mereka.
Jika bangsa Arab menggunakan lafal nahnu (kami) karena mengagungkan urusan mereka. Maka sesungguhnya Allah ﷻ lebih berhak dengan pengagungan itu, dan lebih layak dengannya dari setiap orang. Oleh karena itu, kata nahnu (kami) adalah untuk pengagungan dalam ayat-ayat yang Allah ﷻ berbicara kepada manusia, BUKAN untuk penggandaan.
Di antara perkara yang menolak kerancuan pemahaman tersebut adalah, bahwa Allah ﷻ menggunakan bentuk tunggal terhadap hak Dzat-Nya secara nyata, dan berfirman kepada manusia dengan firman-Nya ﷻ:

وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لا إِلَهَ إِلا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ

“Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa. Tidak ada Tuhan melainkan Dia yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah (2): 163)
Dan firman-Nya:

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ

“Katakanlah: “Dia-lah Allah, yang Maha Esa.” (QS. al-Ikhlash (112): 1)
Maka yang demikian itu menunjukkan akan kebatilan keyakinan Trinitas, berbeda dengan klaim mereka. Mudah-mudahan Allah memberikan hidayah kepada mereka.
Oleh karena itu, sesungguhnya saya menasihatkan kepada setiap orang Nasrani yang mencari kebenaran untuk memelajari kekhususan bahasa dan lisan Bangsa Arab, yang mereka itu tidak pernah mengingkari perbedaan bentuk pembicaraan dalam Alquran yang mulia, di mana kadang datang dengan bentuk jamak (plural), dan kadang dalam bentuk mufrad (tunggal). Jika para pembesar yang ahli bahasa, fasih dalam berbicara dan bersyair di zaman turunnya Alquran, tidak pernah walaupun sekali mengingkari (memrotes) macam-macam penggunaan bentuk pembicaraan dalam Alquran yang mulia, maka bagaimana mungkin selain mereka, yang bukan bangsa Arab, juga bukan dari kaum Muslimin pada zaman ini, mengingkari ragam bentuk pembicaraan Alquran yang mulia?!*
Syubhat:
Saya pembaca majalah Qiblati dan rubrik yang paling saya sukai adalah yang berkenaan dengan masalah Kristenisasi, berhubung saya juga adalah pengajar Kristologi di sebuah tadrib ad-duaat di Makassar, yang senantiasa mengirim dai-dainya ke daerah misi di wilayah Timur Indonesia.
Saya sering menerima pertanyaan dari pendeta, khususnya mengenai syubhat-syubhat mereka terhadap Alquran. Sementara ini saya sedang menulis buku menjawab pertanyaan para misionaris mengenai keraguan mereka akan ajaran Islam. Ada satu hal yang belum bisa saya jelaskan, yakni mereka mengatakan, bahwa dalam Alquran juga terdapat pertentangan ayat. Mereka mencontohkan dalam QS. As-Sajadah: 5
“Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya (lamanya) adalah seribu tahun menurut perhitunganmu”
Menurut misionaris ini bertentangan dengan QS. Al-Maarij: 4
“Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari, yang kadarnya lima puluh ribu tahun”
Dalam ayat 5 QS. As-Sajadah kadar urusan naik ke langit disebutkan sama dengan 1000 tahun sementara dalam ayat 4 QS. Al-Maarij disebutkan 50.000 tahun. Maka bagaimanakah jawabannya?
Jawaban Syubhat:
Pertama, saya sampaikan salam kepada Anda, dan para saudara yang bersama Anda atas peran Anda dalam memberikan hidayah kepada manusia, dan menghadapi usaha pemurtadan para misionaris. Mudah-mudahan Allah membalas Anda dengan sebaik-baik balasan.
Sesungguhnya dua ayat tersebut menjelaskan, bahwa ukuran sehari di sisi Allah ﷻ ada dua macam.
Macam yang pertama, maka ayat pada surat al-Ma’arij (70) tersebut berbicara tentang kejadian Hari Kiamat dan kedahsyatannya. Ayat-ayat tersebut berbicara tentang Hari Kiamat dan kedahsyatannya, dan apa yang terjadi padanya dari kejadian-kejadian besar, dan tanda-tanda kekuasaan yang jelas. Termasuk bagian dari kedahsyatannya adalah panjangnya hari tersebut yang menyamai lima puluh ribu tahun dari tahun dunia. Dan ayat tersebut adalah ayat keempat dari surat al-Ma’arij (70), di mana Allah ﷻ berfirman:

سَأَلَ سَائِلٌ بِعَذَابٍ وَاقِعٍ (١) لِلْكَافِرينَ لَيْسَ لَهُ دَافِعٌ (٢) مِنَ اللَّهِ ذِي الْمَعَارِجِ (٣) تَعْرُجُ الْمَلائِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ (٤) فَاصْبِرْ صَبْرًا جَمِيلا (٥) إِنَّهُمْ يَرَوْنَهُ بَعِيدًا (٦) وَنَرَاهُ قَرِيبًا (٧) يَوْمَ تَكُونُ السَّمَاءُ كَالْمُهْلِ (٨) وَتَكُونُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ (٩) وَلا يَسْأَلُ حَمِيمٌ حَمِيمًا (١٠)

“Seseorang telah meminta kedatangan azab yang akan menimpa, orang-orang kafir, yang tidak seorang pun dapat menolaknya, (yang datang) dari Allah, yang memunyai tempat-tempat naik. Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun. Maka bersabarlah kamu dengan sabar yang baik. Sesungguhnya mereka memandang siksaaan itu jauh (mustahil). Sedangkan Kami memandangnya dekat (mungkin terjadi). Pada hari ketika langit menjadi seperti luluhan perak, dan gunung-gunung menjadi seperti bulu (yang berterbangan), dan tidak ada seorang teman akrab pun menanyakan temannya,..” (QS. Al-Ma’arij: 1-10)
Dan yang menunjukkan atasnya adalah hadis Abu Hurairah Radiallahu ‘anhu, bahwa Nabi ﷻ bersabda:

« مَا مِنْ صَاحِبِ ذَهَبٍ وَلَا فِضَّةٍ لَا يُؤَدِّي مِنْهَا حَقَّهَا إِلَّا إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ صُفِّحَتْ لَهُ صَفَائِحُ مِنْ نَارٍ ، فَأُحْمِيَ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ ، فَيُكْوَى بِهَا جَنْبُهُ وَجَبِينُهُ وَظَهْرُهُ ، كُلَّمَا بَرَدَتْ أُعِيدَتْ لَهُ ، فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ ، حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ الْعِبَادِ فَيَرَى سَبِيلَهُ إِمَّا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلَى النَّارِ »

“Tidak ada pemilik emas dan perak yang tidak menunaikan darinya haknya, kecuali jika pada Hari Kiamat akan dilempengkan untuknya lempengan-lempengan dari api Neraka, lalu dia dipanggang di atas api Neraka Jahannam, kemudian dicoskan ke lambungnya, kening dan punggungnya. Setiap kali menjadi dingin, maka dikembalikan lagi, pada satu hari yang kadarnya adalah lima puluh ribu tahun. Hingga diputuskan antara para hamba, lalu dia melihat jalannya, apakah ke Surga ataukah ke Neraka.” (HR. Muslim (987))
Ibnu ‘Abbas Radiallahu ‘anhuma berkata: ‘Ini adalah Hari Kiamat. Allah menjadikannya atas orang-orang kafir seukuran lima puluh ribu tahun.’ (Diriwayatkan at-Thobariy di Jami’ul Bayan (23/602))
Macam yang kedua, yaitu ayat-ayat yang tidak berbicara tentang panjangnya Hari Kiamat, akan tetapi berbicara tentang panjangnya hari-hari yang ada di sisi Allah ﷻ, dan ukurannya dibandingkan dengan hari-hari dunia yang kita menghitungnya, adalah hari-hari yang Allah mengadakan makhluk dan mengaturnya. Maka Allah ﷻ menjelaskan, bahwa satu hari disisi-Nya setara dengan seribu tahun dari hari-hari kita ini. Hal itu juga datang dalam surat al-Hajj (22), pada ayat ke 47, di mana Allah ﷻ berfirman:

وَيَسْتَعْجِلُونَكَ بِالْعَذَابِ وَلَنْ يُخْلِفَ اللَّهُ وَعْدَهُ وَإِنَّ يَوْمًا عِنْدَ رَبِّكَ كَأَلْفِ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّونَ

“Dan mereka meminta kepadamu agar azab itu disegerakan. Padahal Allah sekali-kali tidak akan menyalahi janji-Nya. Sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu menurut perhitunganmu.” (QS. Al-Hajj: 47)
Juga datang pada surat as-Sajdah (32), pada ayat kelima, di mana Allah ﷻ berfirman:

دَبِّرُ الأمْرَ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى الأرْضِ ثُمَّ يَعْرُجُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ أَلْفَ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّونَ – ذَلِكَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ

“Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari, yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu. Yang demikian itu ialah Tuhan yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.” (QS. As-Sajdah (32): 5-6)
Dan tampak dengan jelas pada bentuk kedua ayat tersebut, bahwa pembicaraan di dalamnya adalah tentang hari-hari Allah, yang di dalamnya terdapat penciptaan dan pengaturan-Nya, dan Allah ﷻ menyifatinya dengan menyatakan, bahwa ukurannya mencapai seribu tahun dari hari-hari dunia.
Dengan ini menjadi jelaslah, kedua macam bentuk yang lalu dari ayat-ayat tersebut hanyalah berbicara tentang hari-hari yang berbeda, bukan hari-hari yang satu. Maka hari yang ada pada ayat al-Ma’arij (70) adalah hari pada Hari Kiamat, dan ukurannya adalah lima puluh ribu tahun. Adapun hari pada dua ayat surat al-Hajj (22) dan as-Sajdah (32) adalah hari di sisi Allah, yang Allah ﷻ mengurusi berbagai perkara di dalamnya, dan ukurannya adalah seribu tahun.
Dari sini jelas, bahwa tidak ditemukan kontradiksi di antara ayat-ayat tersebut. Akan tetapi kontradiksi itu ada pada akal-akal para pendeta Nasrani yang menyangka, bahwa Alquran yang mulia seperti kitab-kitab suci mereka yang harus ada kontradiksi sebagian terhadap sebagian yang lain.*
_
Syubhat:
Adakah hukum di Kristen tentang larangan makan babi. Saya pernah dengar katanya ada, untuk menyanggah fitnah teman yang kebetulan Kristen, dia selalu tanya “Kenapa kalian tidak boleh makan babi?”. Dan “Katanya nabimu dulu senang makan babi, sehinga kalian sekarang tidak boleh makan.” Mohon bantu jawab fitnah ini…
Jawaban Syubhat:
Kita tidak boleh memakan babi karena Allah ﷻ telah mengharamkannya. Allah Sang Pencipta telah memberitahukan, bahwa hewan itu najis, tidak halal bagi seorang Muslim untuk memakannya. Allah ﷻ berfirman:

قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ

“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu najis (kotor)…” (QS. Al-An’am (6): 145)
Tidak disebutkan di dalam syariat, alasan khusus pengharaman daging babi, selain firman-Nya: “Karena sesungguhnya itu adalah najis”. Dan najis itu mutlak kepada apa yang dipandang buruk oleh syariat dan fitrah yang lurus. Dan alasan ini saja sudah cukup.
Terdapat juga alasan umum yang mencakup daging babi dan selainnya dari makanan-makanan yang diharamkan, yaitu firman Allah ﷻ:

وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ

“… dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk …” (QS. Al-A’raf (7): 157)
Maka, segala yang diharamkan oleh Allah ﷻ adalah buruk, dan perkara-perkara yang khabits (kotor, buruk) pada konteks ini adalah apa-apa yang di dalamnya mengandung kerusakan bagi kehidupan manusia dan pada kesehatannya, atau hartanya, atau dalam akhlaknya.
Belum pernah kaum Muslimin pada masa salaf (masa dulu) mengetahui rincian menjijikannya babi, serta alasan pengharamannya, hingga datang penemuan-penemuan modern yang menemukan, bahwa pada babi terdapat faktor-faktor penyakit serta bakteri-bakteri yang membahayakan. Di antaranya adalah, bahwa babi, daging yang dimakan oleh manusia akan melahirkan cacing berbahaya [footnote: Cacing pita yang hidup pada babi (T solium), panjang 2-7 meter bisa menular dan hidup dalam pembuluh darah manusia, dalam usus manusia. Bila menyebar ke otak, bisa mematikan] yang benihnya ada di dalam daging babi. Kemudian tumbuh di dalam lambung manusia dengan bentuk yang tidak dapat diobati dengan obat cacing lambung. Bahkan cacing babi itu akan tumbuh di dalam daging manusia dengan bentuk, yang kedokteran hingga hari ini belum mampu membebaskan manusia darinya setelah dia tertimpa penyakit itu. Dan itu akan membahayakan kehidupannya. Cacing itu diberi nama Treichine [footnote: Itu hanya salah satu dari penyakit akibat babi. Diketahui, bahwa babi adalah sarang bakteri, virus dan penyakit: 1. influenza (flu babi) 2. Balantidium Dysentery 3. Fasciolopsis Buski 4. Taenia Solium (cacing pita) 5. Ascaris (ular perut) 6. Trichinella Spiralis 7. Zoonoses]. Dari sini tampaklah hikmah pengharaman daging babi dalam Islam.
Telah disebutkan di dalam Ensiklopedi Larous Perancis (Larousse Encyclopedia Perancis), bahwa cacing menjijikkan tersebut (Treichine) akan berpindah ke manusia menuju jantung, kemudian berdiam di otot, terutama di dada, kerongkongan, mata dan diafragma. Kemudian embrionya akan tinggal terlindungi dengan vitalitasnya di dalam tubuh selama bertahun-tahun.
Dan tidak mungkin terpaku pada penemuan ini saja dalam alasan pengharaman. Bahkan mungkin ilmu pengetahuan yang telah menemukan penyakit ini pada babi, akan menemukan penyakit-penyakit lain di kemudian hari yang sekarang ini kita belum mengetahuinya. Karena itu, tidak akan diterima di dalam Islam pendapat orang yang mengatakan, bahwa pemeliharaan babi jinak di masa sekarang dengan cara metode teknis pengawasan dalam pemeliharan, kandang, serta kediamannya mampu memberantas bakteri tersebut. Tatkala kami jelaskan, bahwa nash syariat itu mutlak dalam pengharaman, dan tanpa alasan, maka memungkinkan, bahwa terdapat madharat lain bagi babi, yang belum ditemukan, dan ilmu pengetahuan terus menerus berkembang.
Hendaknya diperhatikan juga, bahwa jika memungkinkan memelihara babi dengan metode teknik yang bisa menghilangkan penyakit tersebut, pada waktu atau tempat atau banyak tempat dari pusat-pusat peradaban dunia. Maka sesungguhnya hal itu tidak mungkin dilakukan pada seluruh penjuru bumi. Dan hukum syari, wajib sesuai dan cocok untuk seluruh manusia di seluruh tempat. Oleh karena itu, pengharaman tersebut bersifat umum dan menyeluruh; di mana dan kapan saja.
Adapun klaim, bahwa Nabi ﷻ suka daging babi, maka itu adalah KEDUSTAAN yang nyata.
Saya ingin memberikan hadiah kepada orang-orang Nasrani secara umum, sebuah hadiah dari kitab suci mereka tentang kenajisan, dan jijiknya babi ini:
Markus (5:11-13) ‘Adalah di sana di lereng bukit sejumlah besar babi sedang mencari makan, lalu ruh-ruh itu meminta kepada-Nya, katanya: “Suruhlah kami pindah ke dalam babi-babi itu, biarkanlah kami memasukinya!” Yesus mengabulkan permintaan mereka. Lalu keluarlah ruh-ruh jahat itu dan memasuki babi-babi itu. Kawanan babi yang kira-kira dua ribu jumlahnya itu terjun dari tepi jurang ke dalam danau dan mati lemas di dalamnya.’
Lihatlah juga nash-nash lain tentang kotornya babi, dan hinanya para pemeliharanya:
Matius (7:6) “Jangan kamu memberikan barang yang kudus kepada anjing dan jangan kamu melemparkan mutiaramu kepada babi, supaya jangan diinjak-injaknya dengan kakinya, lalu ia berbalik mengoyak kamu.”
II Petrus (2:22) “Bagi mereka cocok apa yang dikatakan peribahasa yang benar ini: “Anjing kembali lagi ke muntahnya, dan babi yang mandi kembali lagi ke kubangannya.”
Adapun pengharaman babi maka perhatikan Leviticus (11: 4-8):
Nevertheless these shall ye not eat of them that chew the cud, or of them that divide the hoof: as the camel, because he cheweth the cud, but divideth not the hoof; he is unclean unto you. And the coney, because he cheweth the cud, but divideth not the hoof; he is unclean unto you. And the hare, because he cheweth the cud, but divideth not the hoof; he is unclean unto you.  And the swine, though he divide the hoof, and be clovenfooted, yet he cheweth not the cud; he is unclean to you. Of their flesh shall ye not eat, and their carcase shall ye not touch; they are unclean to you.
[footnote: Namun perhatikanlah distorsi penerjemahan pada edisi Terjemahan Resmi: ‘Tetapi inilah yang tidak boleh kamu makan dari yang memamah biak atau dari yang berkuku belah: unta, karena memang memamah biak, tetapi tidak berkuku belah; haram itu bagimu. Juga pelanduk, karena memang memamah biak, tetapi tidak berkuku belah; haram itu bagimu. Juga kelinci, karena memang memamah biak, tetapi tidak berkuku belah, haram itu bagimu. Demikian juga babi hutan, karena memang berkuku belah, yaitu kukunya bersela panjang, tetapi tidak memamah biak; haram itu bagimu. Daging binatang-binatang itu janganlah kamu makan dan bangkainya janganlah kamu sentuh. Haram semuanya itu bagimu.’ (Imamat 11: 4-8)
Terjemahan ini pun dimentahkan dengan terjemahan bahasa sehari-hari: ‘Jangan makan babi. Binatang itu haram, karena walaupun kukunya terbelah, ia tidak memamah biak.’ (Imamat: 11:7)]*
_
Syubhat:
Qiblati memang “HEBAT”. Tolong kupas tuntas agama NASRANI biar dia tidak mencari-carinyari kelemahan agama kita, dan kasih kisah muallaf. Maju terus pantang mundur..!! Faturahman, Madinah
Jawaban Syubhat:
Kami berterima kasih kepada Anda atas nasihat ini, dan kami berada di atas jalan kami, untuk merealisasikan permintaan tersebut Insya Allah, bersamaan dengan kebuTuhan kami terhadap doa Anda, agar Allah memudahkan kepentingan kita ini, sebagaimana kita tidak lupa untuk berdoa kepada orang Nasrani, agar mendapatkan hidayah. Kita sangat berambisi atas hidayah mereka. Kami adalah pembawa rahmat bagi para hamba-Nya, dan kami mendakwahi manusia dengan cara yang terbaik, sebagaimana Allah ﷻ memerintahkan kita. [*]
Bagian 2
Syubhat:
Mengapa shalat pada agama Anda dengan bahasa Arab? Apakah Allah tidak faham, kecuali bahasa Arab?
Jawaban Syubhat:
Saya berterima kasih atas pertanyaan Anda yang penting ini. Anda memiliki hak untuk mengetahui jawabannya. Anda harus mengetahui, bahwa menurut kaum Muslimin, di dalam shalat terdapat tiga perkara:
Pertama: Membaca Alquran, dan ini tidak boleh kecuali dengan bahasa Arab, dan akan saya jelaskan nanti sebabnya apa.
Kedua: Lafal-lafal dan ungkapan di dalamnya adalah bersifat tauqifiy (paten), tidak boleh kecuali dengan bahasa Arab.
Ketiga: Doa, boleh bagi orang yang tidak bisa berbahasa Arab (atau tidak hafal doa yang berhasa Arab) untuk berdoa dengan bahasanya, karena Allah ﷻ memahami seluruh bahasa. Dia-lah yang menciptakannya dan Dia-lah yang mengadakannya (tetapi tetap diajurkan untuk belajar berdoa berbahasa Arab yang ada dalam Alquran dan Sunnah).
Dari sini kita bisa memahami, bahwa boleh menggunakan bahasa apa pun dalam doa di dalam shalat, jika orang yang shalat tidak mengetahui bahasa Arab. Adapun membaca Alquran, maka tidak boleh kecuali dengan bahasa Arab. Sama saja apakah di dalam shalat ataupun di luar shalat, karena sebab berikut:

  1. Karena Alquran adalah firman Allah ﷻ, dan tidak boleh bagi kami untuk mengubah atau mengganti firman itu walaupun satu huruf.
  1. Karena membaca setiap huruf Alquran adalah bernilai satu kebaikan, dan satu kebaikan berlipat sepuluh kali lipatnya. Seandainya Alquran diterjemahkan, maka pastilah jumlahnya akan bertambah atau berkurang.
  1. Allah ﷻ telah menjaga Kitab-Nya (Alquran) dari penggantian dan pengubahan. Allah ﷻ berfirman:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Alquran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr: 9)

Seandainya Allah ﷻ mengizinkan bagi setiap orang untuk membaca Alquran dengan bahasa masing-masing, maka pastilah hal itu akan menjadikan pengubahan Alquran seperti yang terjadi pada Taurat dan Injil. Selanjutnya, bahwa Allah ﷻ telah menjaga Alquran dari pengubahan, dengan bahasa Arab.

  1. Bolehnya membaca Alquran dengan sejumlah bahasa itu akan membawa kepada kerancuan besar dalam makna Alquran, karena manusia akan berbeda dalam menerjemahkan. Masing-masing orang akan meng-klaim, bahwa terjemahannyalah yang benar, yang kemudian terpecahbelahlah kaum Muslimin.

Terakhir, saya ingin Anda memahami, bahwa asal syubhat ini adalah kedengkian yang disebabkan akan kegelisahan orang-orang Nasrani terhadap keunggulan bahasa ‘Arab di atas bahasa Latin di negeri Andalusia (Spanyol). Tatkala Allah ﷻ memberikan kekuasaan kepada kaum Muslimin di negeri Andalusia, mereka mendirikan satu peradaban yang menyinari seluruh negeri Eropa, dan menyebarkan agama Islam serta bahasa Arab di antara putra-putra Andalus. Bersamaan dengan pertengahan abad IX M, mimpi terbesar orang-orang awam di Eropa kala itu adalah agar anak-anak mereka bisa belajar di Universitas Cordova, di hadapan para ilmuwan kaum Muslimin yang telah menyalakan lampu peradaban, dan menyinari kegelapan Eropa yang kelam dengan ilmu dan karya-karya mereka.
Adalah para pemuda dan pencari ilmu serta orang-orang terpelajar di Eropa melahap bahasa Arab bukan karena bahasa Arab adalah bahasa penakluk, yang dengan kekuatan pedangnya menguasai pendidikan, akan tetapi karena bahasa itu adalah bahasa peradaban yang tegak. Maka tidak ada jalan untuk bisa mendapatkannya, kecuali dengan menguasainya.
Bahkan Gereja di Sevillah terpaksa menerjemahkan Injil ke dalam bahasa Arab. Orang-orang Nasrani yang telah belajar bahasa Arab bisa membacanya. Sebagaimana  Bapa Paul Alvarez, salah satu pendeta di masa itu melihat kepada para pemuda Eropa yang keluar dengan diam-diam dari peradabannya dengan pandangan gelisah, seraya meletakkan kepalanya di antara dua tapak tangannya, seperti orang-orang lain yang fanatik terhadap kaumnya, yang tidak ingin menoleh kepada sejarah dan perjalanan peradaban. Dia menulis:
“Sesungguhnya orang-orang Nasrani suka membaca bait-bait syair Arab dan periwayatan mereka. Mereka belajar kepada para ilmuwan agama dan filosof Arab. Bukan dengan tujuan untuk mendebat mereka, akan tetapi untuk mendapatkan bahasa Arab yang benar dan anggun. Di manakah orang-orang biasa, yang membaca pelajaran al-Kitab dengan bahasa Latin? Atau memelajari kisah-kisah para Nabi dan orang-orang suci? Duhai ruginya, sesungguhnya seluruh pemuda Nasrani yang berbakat membaca buku-buku berbahaa Arab, dan memelajarinya dengan penuh semangat. Mereka mengumpulkan perpustakaan besar dengan biaya besar. Mereka tidak menghargai pendidikan kenasranian yang keberadannya sudah tidak layak untuk dipentingkan. Betapa celakanya… orang-orang Nasrani telah lupa, hingga kepada bahasa mereka sendiri. Di antara seribu orang, Anda akan sulit mendapatkan satu orang saja yang bisa menulis surat kepada temannya dengan bahasa Latin.” (Tarikh Andalus (123))
Ya, orang-orang Spanyol yang lebih mengutamakan tetap tinggal sebagai orang-orang Nasrani, yang jumlah mereka adalah minoritas bila dibandingkan dengan orang yang mengesakan Allah dan masuk Islam, telah memilih bahasa Arab yang tidak diwajibkan atas mereka. Inilah yang diakui oleh Alvares dalam persaksiannya di atas.
Sekarang, marilah kita bandingkan antara toleransi Islam dalam memergauli selain Muslim, dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang Katolik saat Granada jatuh, di mana mereka mengharamkan kaum Muslimin untuk berbicara dengan bahasa Arab, lalu mereka mewajibkan bahasa mereka dengan paksa. Barang siapa ditemukan membawa buku berbahasa Arab, maka dia akan dihukum dengan hukuman paling kejam. Mereka pun membakar ribuan buku berbahasa Arab yang berisi syariat (ajaran agama), termasuk ilmu duniawi.
Ini semua menjelaskan kepada setiap peneliti yang obyektif akan perbedaan Islam dengan Nasrani. Sekarang tahukah Anda akan sumber kebencian terhadap bahasa Arab?*
_
Syubhat:
Anda meng-klaim, bahwa ajaran Islam yang pokok adalah “Tauhid.”  Pengakuannya: “Tiada Tuhan selain Allah dan hanya kepada Dia-lah kita wajib sembah sujud dan meminta pertolongan” (QS.1 Al-Fatihah 5).  Apakah Kiblat dan konsep “Rumah Allah” sesuai dengan konsep Tauhid?
Jawaban Syubhat:
Ya, sesuai dengan konsep tauhid. Karena berkumpulnya kaum Muslimin di sekitar satu rumah, yaitu Baitullah, dan menghadapnya mereka dengan satu Kiblat yang sama yaitu Kakbah, dan bacaan mereka hanya kepada satu kitab yaitu Alquran, semua itu turut andil dalam menjaga persatuan kaum Muslimin, agar tidak terpecah belah dan berselisih.
Kakbah tidak lain hanyalah Kiblat, yang kaum Muslimin menghadap kepadanya dalam shalat mereka atas perintah Allah. Itu seperti pandangan persatuan mereka, serta kesatuan tujuan mereka. Mereka menziarahinya, serta Thawaf di sekitarnya, adalah demi menjalankan perintah Allah. Kaum Muslimin mengetahui, bahwa itu hanyalah batu, yang tidak mendatangkan madharat, tidak juga memberi manfaat. Akan tetapi kaum Muslimin melaksanakan perintah Allah, sekalipun belum mengetahui hikmah di belakangnya. Karena itu termasuk kandungan dari “Hanya beribadah kepada Allah Pencipta Alam Semesta”.
Tidaklah Islam itu mengajak, kecuali hanya menyembah, beribadah dan taat kepada Allah saja, serta mencabut segala peribadatan kepada selain-Nya, manusia ataupun batu. Allah ﷻ berfirman:

وَاتَّخَذُوا مِن دُونِهِ آلِهَةً لَّا يَخْلُقُونَ شَيْئًا وَهُمْ يُخْلَقُونَ وَلَا يَمْلِكُونَ لِأَنفُسِهِمْ ضَرًّا وَلَا نَفْعًا وَلَا يَمْلِكُونَ مَوْتًا وَلَا حَيَاةً وَلَا نُشُورًا

“Kemudian mereka mengambil Tuhan-Tuhan selain daripada-Nya (untuk disembah), yang Tuhan-Tuhan itu tidak menciptakan apa pun, bahkan mereka sendiri diciptakan dan tidak Kuasa untuk (menolak) sesuatu kemudharatan dari dirinya, dan tidak (pula untuk mengambil) suatu kemanfaatan pun, dan (juga) tidak kuasa mematikan, menghidupkan dan tidak (pula) membangkitkan.” (QS. Al-Furqan (25): 3)*
_
Syubhat:
Sesungguhnya saya tidak mendapatkan seseorang dari para ulama dan dai kaum Muslimin yang kami temui di Perancis, yang bisa menjawab atas sebuah pertanyaan yang banyak menyulitkan mereka. Yaitu, bagaimana khamer menjadi haram, padahal aslinya adalah anggur yang halal? Ini hanyalah dari itu. Jawaban mereka selalu berputar sekitar pengubahan kondisi anggur, karena dengan menjadikannya khomer, maka itu memabukkan. Akan tetapi saya tidak ingin filsafat tersebut. Saya ingin mendapatkan jawaban tanpa masuk dalam rincian, bagaimana sesuatu yang diturunkan dari anggur atau apel bisa menjadi haram? Maka apakah mungkin bagi Anda untuk menjawab kami?
Jawaban Syubhat:
Pertama, izinkanlah saya untuk menghaturkan terima kasih kepada setiap ulama dan para dai yang telah menjawab Anda. Jawaban mereka semua benar. Mudah-mudahan Allah ﷻ membalas mereka dengan kebaikan. Adapun berkaitan dengan pertanyaan Anda, maka sesungguhnya saya mengetahui apa yang Anda inginkan. Maka janganlah Anda menyangka, bahwa ini termasuk kecerdasan. Bahkan itu adalah pengaburan yang dilakukan oleh setan kepada Anda. Dari jawaban saya, Anda akan yakin dengan kesimpulan saya. Sebelum saya menjawab, saya katakan, bahwa dengan logika aneh seperti itu, yang Anda ingin memaksakannya kepada kami, maka Anda pun akan mengalami kekalahan dalam pertandingan ini. Saat itu saya ingin Anda untuk berani mengakui kekalahan Anda. Saya menjawab dengan logika sama yang Anda ingin memaksakannya kepada kami. Yaitu, seharusnya Anda boleh menikahi putri Anda, karena dia itu berasal dari istri Anda yang halal, maka putri itu adalah dari wanita (istri) Anda itu. Sebagaimana Anda lihat, saya jawab dengan logika yang sama. Maka seharusnya Anda juga mengakui bolehnya pernikahan bapak-bapak dengan putri-putri mereka, agar syubhat Anda ini menjadi semakin kuat atas kami. Saya memohon hidayah kepada Allah bagi Anda.* [Alhilyahblog: Iyas bin Mu’awiyah al-Muzzani dengan kecerdasannya juga pernah menjawab pertanyaan yang serupa dengan pertanyaan ini]
_
Syubhat:
Mengapa saat kaum Muslimin berhijrah dari Makkah ke Madinah, mereka shalat mengarah ke Kiblatnya orang-orang Yahudi (Baitul Maqdis), akan tetapi setelah mereka berhasil mengusir orang-orang Yahudi, Muhammad -ﷺ- dengan hujjah telah turun kepadanya wahyu untuk mengubah arah Kiblati dari Baitul Maqdis ke Makkah, yang di dalamnya terdapat Kakbah?
Jawaban Syubhat:
Pertama, Baitul Muqaddas bukanlah Kiblat untuk orang Yahudi saja, melainkan juga untuk orang Nasrani. Akan tetapi kala itu orang-orang Yahudi yang marah karena adanya pengubahan arah Kiblat dari Baitul Maqdis ke Kakbah. Penghadapan Kiblat kearah Baitul Maqdis kala itu dijadikan oleh orang-orang Yahudi sebagai alasan untuk menolak masuk Islam, di mana mereka di Madinah mengatakan dengan lisan mereka, bahwa pengarahan Muhammad ﷺ dan orang yang bersamanya ke Kiblat (Baitul Maqdis) adalah sebuah dalil, bahwa agama mereka (Yahudi) adalah agama yang sebenarnya, dan Kiblat mereka adalah Kiblat yang sebenarnya. Maka merekalah yang asli dan agama yang benar. Mereka (Yahudi itu) mengatakan, bahwa yang lebih utama bagi Muhammad ﷺ dan orang-orang yang bersama mereka adalah kembali ke agama mereka (Yahudi), tidak mengajak mereka untuk masuk Islam.
Pada waktu yang sama, perkara itu menjadi berat atas kaum Muslimin bangsa Arab, yang mereka sudah terbiasa di zaman jahiliyah untuk mengagungkan Baitul Haram, dan menjadikannya sebagai Kakbah dan Kiblat mereka. Perkara itu semakin menjadi sulit, saat mereka mendengar dari orang-orang Yahudi, kebanggaan mereka dengan perkara ini, dan menjadikannya sebagai alasan untuk membenarkan Yahudi. Adalah Rasulullah ﷺ sendiri membolak-balikkan wajah beliau ke langit, bermunajah kepada Tuhan, tanpa berbicara dengan lisannya, sebagai bentuk adab kepada Allah, serta menunggu arahan yang diridai-Nya. Kemudian turunlah Alquran mengabulkan apa yang ada di dalam dada Rasulullah ﷺ. Maka Allah ﷻ menurunkan wahyu dengan firman-Nya:

قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاء فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّواْ وُجُوِهَكُمْ شَطْرَهُ

“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit. Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke Kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya….” (QS. Al-Baqarah: 144)
Ketika kaum Muslimin mendengar pengalihan arah Kiblat, sebagian dari mereka tengah berada di dalam shalat mereka. Maka mereka pun mengalihkan wajah mereka ke arah Masjidil Haram di tengah shalat mereka, dan menyempurnakan shalat mereka ke arah Kiblat yang baru.
Saat itulah hilang sudah terompet orang-orang Yahudi yang membanggakan mereka, dengan mengalihkannya Rasulullah ﷺ dan orang-orang yang bersama beliau dari Kiblat mereka, yang dengannya mereka kehilangan hujjah yang menyandarkan kebanggaan mereka kepadanya.
Sekarang, biarkanlah saya menjelaskan kepada Anda, dan juga kepada kaum Muslimin, terutama para penuntut ilmu, akan hikmah dialihkanya Kiblat dari Kakbah pada awal tinggal mereka di Madinah. Sungguh ini adalah sebuah kejadian besar di hati mereka, dan memiliki pengaruh besar dalam kehidupan mereka. Hikmahnya adalah agar menjadi jelas, siapa yang mengikut Rasul ﷺ dan siapa yang membelot. Adalah orang Arab mengagungkan Baitul Haram dalam masa jahiliyah mereka. Mereka menjadikannya sebagai simbol keagungan mereka. Saat Islam ingin membersihkan hati untuk Allah, serta melepaskannya dari ketergantungan kepada selain-Nya, dan membebaskannya dari segala keterpikatan dan segala kefanatikan kepada selain manhaj Islam yang terikat dengan Allah secara langsung, yang bersih dari segala endapan sejarah dan kesukuan. Maka mencabut mereka dengan sekali cabutan dari arah Baitul Haram, yang kemudian memilihkan mereka untuk sementara waktu ke arah Masjidil Aqsha, demi membersihkan mereka dari endapan jahiliyah, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan masa jahiliyah, agar menjadi tampak siapa yang mengikuti Rasul ﷺ dengan ikhlas, dan siapa yang membelot karena bangga dengan keterpikatan jahiliyah yang berkaitan dengan jenis, kaum, bumi, dan sejarah.
Dikarenakan pembimbing dan pengajarnya adalah Nabi ﷺ, maka pasrahlah kaum Muslimin dan menghadap ke arah Kiblat yang telah ditentukan untuk mereka. Saat perintah Allah ﷻ turun untuk mengarah ke Masjidil Haram, maka hati kaum Muslimin pun terikat dengan hakikat yang agung, yaitu, bahwa rumah tersebut adalah rumah yang dibangun oleh Ibrahim dan Isma’il ‘Alaihima Salam, agar menjadi murni untuk Allah ﷻ.*
_
Bagian 3
Syubhat:
Mengapa kaum Muslimin menyembah Batu Hitam (Hajar Aswad), dan ini jelas dari perbuatan mereka yang selalu menciuminya dan sujud ke arahnya.
Jawaban Syubhat:
Sesungguhnya pertanyaan Anda tersebut adalah bukti nyata bagi penipuan dan pembodohan yang dilakukan oleh sebagian pendeta, karena kaum Muslimin tidak sujud kepada Hajar Aswad, dan tidak pula menyembahnya. Jadi, darimana para pendeta yang menyimpang itu mendapatkan pemahaman yang salah ini? Jawabannya tidak lepas dari dua kemungkinan:
Bisa jadi mereka itu adalah orang-orang yang bodoh terhadap agama Islam, kemudian mereka tularkan kebodohan mereka kepada Anda; atau
Bisa jadi mereka sengaja berdusta dan menipu, demi menolong kebatilan mereka, agar Anda tetap berada di atas agama mereka, meskipun dengan cara dusta.
Sesungguhnya Hajar Aswad adalah dari bebatuan Surga. Saat Allah ﷻ memerintah Ibrahim ‘alaihi sallam untuk membangun Kakbah, maka dia pun bergegas untuk meninggikan pondasi bangunan Kakbah. Kemudian Ibrahim ‘alaihi sallam meminta putranya, Isma’il ‘alaihi sallam mencarikan sebuah batu, yang nantinya akan menjadi tanda awal Thawaf. Maka saat Isma’il mulai mencari, dia tidak menemukan. Lalu dia kembali kepada ayahandanya tanpa membawa batu. Maka Allah ﷻ turunkan bersama Jibril ‘alaihi sallam, sebuah batu dari Surga, yang sekarang berada pada tempatnya hingga hari ini.
Hajar Aswad terdapat di rukun (pojok Kakbah) sebelah Selatan Timur di bagian luar Kakbah. Keberadaannya sebagai tanda dimulai dan berakhirnya sebuah putaran Thawaf, dan dengannyalah putaran Thawaf menjadi sempurna.
Kaum Muslimin saat mencium Hajar Aswad, mereka melakukannya hanya karena mengikuti Nabi ﷺ yang telah memerintahkan kita untuk mencontoh manasik hajinya, bukan karena menyembah Hajar Aswad, dan tidak pula sujud kepadanya, sebagaimana Anda klaim. Kaum Muslimin TIDAK MENJADIKAN satu perantara pun, antara mereka dengan Allah ﷻ. Dan mereka tidak beranggapan, bahwa ada sesuatu yang memiliki kekuasaan untuk mendatangkan madharat (bahaya) dan manfaat selain Allah ﷻ. Mereka menafikan (menolak) adanya kekuasaan makhluk apa pun, sebagaimana mereka beranggapan, bahwa hubungan ibadah antara makhluk dan sang Pencipta adalah hubungan langsung tanpa perantara. Dan bahwa para hamba tidak membutuhkan perantara yang bisa memberikan pertolongan, hingga mereka menuju dan mendekat kepadanya, selain Allah ﷻ. Bahkan mereka mengaggapnya sebagai perbuatan syirik besar (menyekutukan Allah) yang mengeluarkannya dari agama Islam. Mereka berkeyakinan, bahwa segenap ibadah, tidak boleh diarahkan atau ditujukan kepada makhluk mana pun, apakah makhluk itu seorang malaikat yang dekat kepada Allah, atau seorang Nabi yang diutus oleh Allah. Lebih-lebih lagi sebuah batu yang tidak bisa mendatangkan madharat dan memberikan manfaat.
Sesungguhnya mencium Hajar Aswad bukanlah  sebuah syarat, tidak pula sebuah kewajiban atas kaum Muslimin. Cukuplah Anda ketahui, bahwa Khalifah Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu, termasuk murid utama Nabi ﷺ, saat dia Thawaf di sekitar Kakbah dan datang pada Hajar Aswad, dia berkata:

إِنِّيْ أَعْلَمُ أَنَّكِ حَجَرٌ لاَ تَضُرُّ وَلاَ تَنْفَعُ، وَلَوْلاَ أَنِّيْ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكِ مَا قَبَّلْتُكِ

“Sesungguhnya aku tahu, bahwa engkau adalau sebuah batu yang tidak bisa mendatangkan madharat, dan tidak bisa memberikan manfaat. Seandainya saja aku tidak melihat Nabi ﷺ menciummu, maka aku tidak akan pernah menciummu.”
Sesungguhnya perkataan khalifah ini adalah sebuah ketetapan yang menguatkan sebuah akidah (keyakinan) yang sangat penting, yaitu, bahwa kami tidak menyembah batu dan kami tidak menyentuhnya, agar mengangkat madharat atau memberikan manfaat, tidak juga berdoa memohon kepadanya. Akan tetapi kami menciumnya hanya karena Rasulullah ﷺ menciumnya. Ini adalah sebuah penjelasan dari Khalifah Umar radhiallahu ‘anhu kepada umat Islam, serta sebagai pelajaran sekaligus nasihat yang dalam dari pelajaran akidah yang Shahih, dan sebagai bentuk ittiba’ (mengikut) Rasul ﷺ.*
_
Syubhat:
Apakah bisa kami pahami, bahwa kaum Muslimin dengan shalat mereka menghadap ke Kakbah, berarti mereka itu menyembah Kakbah selain Allah? Apakah Kakbah itu adalah rumah Allah? Apakah kalian berkeyakinan, bahwa Allah bertempat tinggal di dalam sebuah rumah di Makkah?
Jawaban Syubhat:
Dulunya, kami berharap agar ada salah seorang pendeta yang mau ikut dalam dialog damai ini di majalah Qiblati, daripada mereka menanamkan tipu muslihat atas agama Islam ini kepada akal Anda. Namun biar bagaimanapun, saya akan menjawab Anda. Saya katakan: sesungguhnya Kakbah tidaklah disembah, selain Allah. Akan tetapi kaum Muslimin menghadap kepadanya dalam shalat dan Thawaf mengelilinginya, karena Allah ﷻ telah memerintahkan mereka untuk melakukan yang demikian. Maka kaum Muslimin, dengan perbuatan tersebut adalah sekedar menaati perintah Rabb (TUHAN) mereka, bukan menyembah Kakbah. Inilah ibadah yang benar, yaitu menaati Allah ﷻ. Di zaman Nabi ﷺ dulu, jika ada seorang muadzdzin (tukang azan) ingin azan, maka dia menaiki Kakbah dengan kedua kakinya, kemudian mengeraskan suara azan di atas atap Kakbah. Maka apakah bisa diterima oleh akal, bahwa sesuatu yang disembah kemudian dinaiki/diinjak dengan kedua kakinya?!!
Kemudian, istilah Baitullah (rumah Allah) tidaklah mesti bermakna, bahwa Allah bertempat tinggal di dalamnya, karena setiap masjid di mana pun berada di dunia ini adalah disebut Baitullah (rumah-rumah Allah). Dinamakan demikian, karena Allah ﷻ disembah di dalamnya, bukan karena Allah tinggal di dalamnya. Bahkan sesungguhnya Allah ﷻ telah menjadikan kehormatan darah seorang Muslim lebih agung di sisi-Nya, daripada kehormatan Kakbah yang dimuliakan oleh Allah. Suatu hari, Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma pernah melihat ke Kakbah seraya berkata: ‘Betapa agungnya engkau, betapa agungnya kehormatanmu, dan seorang Mukmin lebih agung kehormatannya daripadamu.’ (HR. at-Turmudzi (1955), Shahih at-Turmudzi (2032))
Tidaklah kehormatan darah dalam syariat Islam terbatas atas pemeluk Islam saja, tetapi juga berlaku bagi non-Muslim.  Allah telah menjadikan Islam menjaga darah, sebagaimana ia juga menjaga harta dan kehormatan. Di antara orang-orang yang aman darah mereka (tidak boleh diganggu), adalah orang-orang yang datang ke negeri Islam. Maka mereka masuk di bawah perjanjian dengan kaum Muslimin dan suaka mereka. Jadi mereka adalah orang-orang yang terlindung darah mereka. Hal ini ditetapkan berdasarkan teks-teks syariat dan kesepakatan umat Islam.*
_
Syubhat:
Telah lewat, bahwa Anda telah mengatakan pada salah satu jawaban Anda terhadap Surat Wanita Nasrani, bahwa anjing adalah najis, dan, bahwa malaikat tidak mau turun dengan kehadiran anjing. Ini adalah ucapan dari Anda tanpa dalil akal (logika) yang bisa menjadikan non-Muslim puas dengannya. Kami tidak menginginkan sebuah dalil pun dari Alquran, atau ucapan Nabi Anda, karena kami tidak mengakuinya. Akan tetapi kami menginginkan dalil penafian keberkahan dari anjing. Dan ini adalah mustahil, karena anjing adalah hewan yang diciptakan oleh Allah. Jadi dia itu diberkahi. Kami pun juga bisa mengatakan, bahwa domba-domba yang Anda pelihara adalah hewan-hewan najis, dan tidak diberkahi. Akan tetapi kami berkeyakinan, bahwa anjing dan kambing memiliki manfaat besar terhadap manusia, dan Allah telah menjadikannya diberkahi, agar seluruh manusia bisa mengambil faidah darinya. Saya mohon Anda menetapkan ucapan Anda dengan logika. Jika tidak, maka ucapan Anda tidak ada gunanya bagi kami.
Jawaban Syubhat:
Sesungguhnya saat saya menjawab dari Alquran dan sabda Nabi kami ﷺ, penyebabnya adalah karena penanya yang Nasrani tersebut menuduh kaum Muslimin, bahwa para malaikat lari dari anjing (takut anjing). Maka untuk membuktikan ketidakbenaran tuduhan tersebut, saya haruslah berdalil dengan Alquran dan sabda Nabi kami ﷺ. Adapun berkaitan dengan permintaan Anda akan sebuah dalil logika akan kenajisan anjing, dan tidak adanya keberkahan padanya, maka saya jawab sebagai berikut:
Berkenaan dengan kenajisan anjing, maka tidak membutuhkan dalil logika. Ilmu modern telah membuktikan, bahwa anjing membawa penyakit dalam. Di mana dia membawa lima puluh virus. Dan kebanyakan ditemukan di air liurnya. Sebagaimana telah ditetapkan oleh ilmu modern, bahwa air liur anjing berbeda dengan air liur hewan lain. Anda bisa dengan mudah mengecek kebenaran pernyataan ini, karena hal itu telah masyhur dan diketahui oleh para ilmuwan Nasrani dan selain mereka.
Adapun klaim Anda, bahwa Allah ﷻ telah menjadikan keberkahan pada anjing, maka ini adalah sebuah ucapan tanpa bukti (dan berkata atas nama Allah secara dusta). Maka di sini saya yang meminta Anda untuk mendatangkan dalil logika untuk menetapkan kebenaran klaim Anda. Saya yakin, Anda tidak akan bisa  menetapkannya, dan saya akan menetapkan tidak adanya keberkahan pada anjing, sepanjang Anda bertanya kepada saya.
Pertama, bukanlah menjadi sebuah syarat, bahwa setiap makhluk yang dicipatakan oleh Allah ﷻ adalah diberkahi. Jika tidak demikian, maka setan yang terkutuk pun adalah makhluk ciptaan Allah, dan sungguh mustahil dia diberkahi.
Adapun tercapainya keberkahan bagi anjing, maka saya akan membuat perumpamaan yang terdiri dari sejumlah pertanyaan, dan jawabannya akan menghantarkan Anda kepada kebenaran masalah ini:

  • Berapa kali anjing hamil dalam setahun? Yang dikenal adalah dia hamil 3 hingga 4 kali.
  • Berapa kali kambing hamil dalam setahun? Yang diketahui adalah sekali atau dua kali.
  • Berapa anjing yang dikandung dalam setiap kehamilan? Yang diketahui adalah sekitar enam hingga delapan anjing.
  • Berapa kambing yang dikandung dalam setiap kehamilan? Yang diketahui adalah satu, dan jarang sekali dua.

Maka kita akan menemukan dengan bahasan angka, bahwa anjing lebih banyak perkembangbiakannya daripada kambing. Akan tetapi kenyataannya, bahwa jumlah kambing jauh lebih banyak daripada jumlah anjing.
Saya bertanya kepada Anda, mengapa hal itu terjadi? Sesungguhnya jawabannya adalah karena sebab keberkahan yang dijadikan oleh Allah ﷻ pada kambing-kambing, dan tidak menjadikannya pada anjing. Disinilah saya berjanji dan meminta kepada setiap Muslim dan Muslimah yang membaca ucapan ini untuk berkata Allahu Akbar.
Saya juga ingin Anda mengetahui perkara penting lain,yaitu, bahwa kami bisa mengambil manfaat dari segala sesuatu yang berasal dari kambing: kulit, daging, tulang, dan tanduknya, (bahkan juga kotorannya untuk pupuk). Adapun anjing, jika dia mati, maka tidak bisa diambil darinya sesuatu pun. Sebagaimana Anda juga jangan lupa, bahwa setiap Nabi adalah penggembala kambing (bukan pemelihara anjing). Akan tetapi mustahil bagi seseorang untuk berbangga, apapun agamanya, bahwa dia adalah seorang penggembala anjing.
Saya berharap Anda tidak fanatik kepada anjing, setelah saya menjawab Anda akan najisnya anjing dengan dalil logika yang Anda inginkan, serta ketidak berkahannya. Dan kambinglah yang membawa keberkahan. Dan terima kasih bagi Anda.
_
Syubhat:
Anda kaum Muslimin menolak ilmu modern, dan ini jelas dengan penafian kalian akan berputarnya bumi.
Jawaban Syubhat:
Syubhat ini menunjukkan akan kelemahan Anda yang amat sangat. Ketika Anda tidak menemukan sesuatu pun yang bisa Anda pegang untuk mengalahkan kaum Muslimin, maka Anda pun mencari-cari pada catatan kuno Anda. Barangkali Anda mendapatkan sesuatu yang merugikan kami. Biar bagaimanapun, permasalahan rotasi bumi bukanlah termasuk ilmu syari. Akan tetapi itu adalah permasalahan ilmu dunia. Sebagian besar agama, termasuk di antaranya adalah Nasrani, semuanya menafikan rotasi bumi, sebagai bentuk tertinggalnya keilmuan ratusan tahun lalu, yang manusia hidup di dalamnya, bila dibandingkan dengan keadaan kita pada hari ini. Bahkan Bibel telah pergi lebih jauh dari hal tersebut. Bibel bahkan menganggap, bahwa bumi ini persegi empat, dan ini adalah ucapan yang lebih buruk dari penafian rotasi bumi. Disebutkan dalam (Yehezkiel 7: 2):

 حزقيال 7 : 2 (قَدْ جَاءَتِ النِّهَايَةُ عَلَى زَوَايَا الأَرْضِ الأَرْبَعِ)

”Akhirnya bisa datang ke empat penjuru (pojok) bumi.”
Agar saya bersikap obyektif dan amanah, maka dalam jawaban ini saya juga katakan, bahwa ada sebagian ulama Muslim yang menafikan rotasi bumi, karena keyakinan mereka bawa bumi ini datar, bukan bulat. Kemudian setelah mereka, datanglah sejumlah penuntut ilmu yang taklid kepada mereka, dan menukil dari mereka tanpa pemahaman. Akan tetapi, wajib bagi kita untuk perhatian terhadap satu perkara penting, yaitu, bahwa terdapat satu perbedaan besar antara pemahaman yang salah dengan penyebutan Bibel, bahwa bumi ini persegi empat. Dan sebaliknya kita temukan, bahwa Alquran telah menyifati bumi dengan bentuk bola.
Setelah kemajuan ilmu yang dialami oleh manusia, maka pandangan ilmiah pun berubah pada mayoritas Muslim dan Nasrani serta selain mereka. Kemudian mereka pun berkeyakinan akan rotasi bumi. Kemudian tetap tersisa sejumlah kecil dari seluruh agama yang tetap bersikukuh dengan pendapatnya yang lahir dari para pendahulunya, yaitu, bahwa bumi tidak berotasi. Ini adalah buah dari kekurangan besar dalam memahami masalah rotasi bumi. Mereka menyangka dengan pemikiran sederhana, bahwa rotasi bumi tidak bisa dirasakan, sebagaimana mereka menyangka, bahwa seandainya terjadi rotasi bumi, maka termasuk perkara yang mustahil kita bisa tetap tegak di permukaannya. Ini adalah sebuah ungkapan yang menunjukkan ketiadaan penguasaan teori ilmiah dan ilmu falak.
Yang wajib Anda pahami adalah, bahwa Alquran tidak menafikan rotasi bumi. Lihatlah apa yang dikatakan oleh salah satu ulama besar kaum Muslimin zaman ini, yaitu Syaikh al-Albani rahimahullah. Dia berkata: ‘Kami pada dasarnya tidak meragukan, bahwa masalah rotasi bumi adalah sebuah hakikat ilmiah yang tidak menerima perdebatan. Pada waktu yang kita berkeyakinan, bahwa bukan termasuk profesi syariat secara umum dan Alquran secara khusus berbicara tentang ilmu falak, dan rincian ilmu falak… (Kaset no. I/497)
Perlu diketahui, bahwa ahli falak kaum Muslimin dulu adalah orang yang pertama kali menetapkan rotasi bumi beratus tahun yang lalu, kemudian diikuti oleh sejumlah ulama syariat.
Sekalipun masalah rotasi bumi ini bukan masalah akidah, tetapi terdapat sebagian ulama Islam yang menafikan rotasi bumi, dan banyak juga ulama kaum Muslimin yang mengatakan rotasi bumi. Dari sinilah kami memahami, bahwa syubhat tersebut tidak memiliki nilai sama sekali dalam dialog antara kami dengan Anda. Terutama, bahwa saya termasuk orang yang menetapkan rotasi bumi. Boleh bagi Anda untuk melihat kembali pada pembahasan saya dalam majalah ini dari edisi 11 tahun II hingga edisi 09 tahun III. Dan sesungguhnya, orang yang menafikan rotasi bumi tidak akan masuk Neraka, sebagaimana orang yang menetapkan rotasi bumi juga tidak masuk Surga (karenanya). Maka barang siapa mati di atas keyakinan ini atau itu, maka dia tidak akan ditanya tentangnya pada Hari Kiamat. Oleh karena itulah, kami menginginkan agar dialog di antara kita adalah dalam permasalahan akidah agama, yang keyakinan terhadapnya bisa menghantarkan ke Surga atau berakibat Neraka.
Sebagai penutup, saya selalu menyambut Anda sebagai seorang tamu di majalah Qiblati, termasuk seluruh pembaca Nasrani. Anda sekalian memiliki hak untuk bertanya sesuka Anda. Maka hati kami terbuka untuk semuanya.*
_
Bagian 4
Terima kasih atas jawaban Syeikh Mamduh  dalam edisi Nopember 2010 mengenai “jawaban syubhat Kristiani dan Syiah.” Selanjutnya saya masih butuh penjelasan atas dua hal yang sering dituduhkan oleh umat Kristiani terhadap Alquran yang mulia. Saya memproleh pertanyaan dari misionaris mengenai Alquran:
Syubhat (1): Penyebutan Maryam ibu Yesus sebagai saudara perempuan Harun dan anak kandung Imran (QS.19:28) [footnote: Yaitu firman Allah ﷻ:  يَا أُخْتَ هَارُونَ مَا كَانَ أَبُوكِ امْرَأَ سَوْءٍ وَمَا كَانَتْ أُمُّكِ بَغِيًّا
“Hai saudara perempuan Harun[902], ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina” (QS. Maryam: 28)]
Mereka menganggap Allah ﷻ mengira Maryam saudara perempuan Musa dan Harun yang adalah anak Imran. Padahal antara keduanya ada selisih waktu sekitar 1400 tahun. Mengapa Maryam disebut saudara perempuan Harun? Menurut misionaris, ini adalah kesalahan penulisan sejarah dalam Alquran.
Jawaban Syubhat:
Bismillahirrahmanirrahim. Sesungguhnya orang-orang yang membuat keragu-raguan tentang Alquran tidak mengetahui kalau penyebutan ukhtu Harun (saudari Harun) bukanlah penamaan pertama kali oleh Alquran, melainkan Alquran hanya mengisahkan apa yang pernah terjadi. Yaitu apa yang dikatakan oleh kaum Maryam kepadanya, dan panggilan yang mereka lontarkan kepadanya saat dia mengandung ‘Isa ‘alaihi sallam. Mereka mengingkari kehamilan tersebut, lalu menuduh kehormatan, kemuliaan, dan kesuciannya. Maka mereka berbicara dengannya dengan panggilan ya ukhta Harun (Wahai saudari Harun), maksudnya adalah ‘Engkau dari keluarga baik-baik, suci, lagi dikenal kesalehan, ibadah dan kezuhudannya, maka bagaimana hal ini bisa terjadi pada dirimu?’
Sekalipun telah pasti, bahwa orang-orang Yahudi berbicara dengannya dengan panggilan wahai saudari Harun, tetapi para ulama ahli tafsir telah berselisih pendapat akan penentuan pribadi tersebut. Di antara mereka ada yang menyebut, bahwa dia adalah Nabi Harun, saudara Musa ‘alaihi sallam. Di antara mereka ada yang menyebut, bahwa dia adalah seorang laki-laki saleh dari kaumnya pada masa itu, di mana Maryam ‘alaiha salam mencontohnya dan menyerupainya dalam kezuhudan, ketaatan, dan ibadah. Maka dia pun dinisbatkan kepadanya. Maka jadilah maksud mereka dalam pembicaraan itu adalah: ‘Wahai orang yang serupa, dan meniru laki-laki saleh itu, tidaklah ayahmu seorang keji, tidak juga ibumu seorang pelacur. Maka darimana anak di perutmu itu?’
Perlu diketahui pula, bahwa kala itu banyak tersebar nama Harun di tengah Bani Israil, hingga hari ini.
Apakah yang dimaksud itu adalah Nabi Harun ‘alaihi salam atau Harun lain, yaitu seorang saleh kala itu. Maka bagi kami hal ini tidak penting, karena Alquran hanyalah menceritakan dan menukil apa yang terjadi kala itu.
Jika kita mengambil kemungkinan pertama, yaitu, bahwa yang dimaksud adalah Nabi Harun ‘alaihi salam, maka yang dimaksud oleh orang-orang Yahudi adalah, bahwa dia termasuk dari keturunannya. Kemudian saya akan membuat satu contoh dari Bibel. Dan itu adalah sebuah pukulan menyakitkan bagi para pembuat keragu-raguan terhadap Alquran tersebut. Sebuah pukulan telak yang membantah syubhat tersebut.
Bibel telah menyebutkan, bahwa orang-orang Yahudi menyebut Yesus dengan Putra Dawud: “Ketika Yesus meneruskan perjalanan-Nya dari sana, dua orang buta mengikuti-Nya sambil berseru-seru dan berkata: “Kasihanilah kami, hai Anak Daud.” (Matius (9:27))
Maka apakah Yesus benar-benar Anak Dawud? Tentu saja tidak. Lalu mengapa ucapan mereka ini tidak diingkari dengan mengatakan, ini adalah kesalahan penulisan sejarah dalam Bibel?!!
Sekarang, terjerumuslah orang-orang bodoh itu ke dalam kuburan yang mereka gali, jatuh ke dalam keburukan amal-amal mereka. Dengan logika sama yang mereka inginkan untuk menetapkan penyimpangan Alquran yang mulia, karena mengisahkan sebutan ucapan Yahudi ‘Wahai saudari Harun’. Maka kita temukan, bahwa Bibel menyebut Yesus dengan sebutan Putra Dawud!!
Sesungguhnya kita merasa malu untuk menuduh penyimpangan Bibel dengan sebab ini, karena Bibel TELAH PASTI PENYIMPANGANNYA, dengan dalil yang lebih besar dan terang benderang. Cukuplah dengan banyaknya ragam Bibel, perselisihan dan pertentangannya sebagai bukti. Sementara mereka tidak malu menuduh Alquran salah menulis sejarah, hanya dengan syubhat yang tertolak ini. Ini adalah sebuah bukti akan kelemahan mereka, dalam menetapkan penyimpangan Alquran.
Di sini kami bertanya kepada orang-orang yang meragukan keabsahan Alquran yang mulia, ‘Bagaimana mungkin Yesus adalah anak Dawud, sementara jarak antara dia dan Dawud ‘alaihi salam lebih dari jarak antara Maryam dan Harun ’alaihi salam? Bahkan bagaimana mungkin Yesus adalah anak Dawud, sementara dia datang dari jalan Ruh Kudus?!!
Sesungguhnya, perkara yang wajib diketahui oleh para pembuat keraguan terhadap Alquran tersebut, bahwa penisbatan seorang manusia kepada manusia lain yang memiliki kedudukan di antara kaumnya (seperti Dawud) adalah dalam rangka pemuliaan. Oleh karena itulah kita temukan, bahwa Nabi ﷺ bersabda: ‘Aku adalah seorang Nabi, tidak ada kedustaan. Aku adalah Putra Abdul Muthallib.’ Padahal beliau adalah Muhammad Putra ‘Abdullah Putra ‘Abdul Muththallib. Akan tetapi beliau ﷺ memuliakan nasabnya kepada kakeknya.
Sesungguhnya saya mampu untuk membuat keragu-raguan pada akal orang-orang Nasrani  yang awam, dan menyesatkan mereka dengan kedustaan, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian pendeta terhadap orang-orang awam kaum Muslimin. Kemudian saya klaim, bahwa Bibel telah menguatkan Alquran yang menyebut Maryam sebagai saudari Harun. Telah disebutkan dalam Keluaran (15:20-21): “Lalu Miryam, nabiah itu, saudara perempuan Harun, mengambil rebana di tangannya, dan tampillah semua perempuan mengikutinya, memukul rebana serta menari-nari. Dan menyanyilah Miryam memimpin mereka: “Menyanyilah bagi TUHAN, sebab Ia tinggi luhur; kuda dan penunggangnya dilemparkan-Nya ke dalam laut.”
Akan tetapi karena saya percaya diri dan beriman, bahwa jalan hidayah dan jalan Surga tidak akan ada, kecuali dengan keikhlasan dan kejujuran bersama Allah, oleh karenanya saya tidak berdalil akan penyimpangan Bibel dengan dalil ini, sebagaimana yang dilakukan oleh orang yang suka memermainkan ayat. Karena Maryam yang dimaksud di situ bukanlah Maryam, Ibu Isa ‘alaihi sallam.
Saya berangan-angan, daripada sibuk menafikan persaudaraan antara Maryam dan Harun, hendaknya para pendeta itu menyibukkan diri mereka dengan menjelaskan sebab yang menjadikan Bibel menulis tuduhan zina terhadap Maryam, tanpa memberikan pembelaan dan penyucian. Dan yang wajib mereka lakukan, jika mereka jujur, adalah memuji Alquran dan meninggikan urusannya, karena Alquran adalah satu-satunya Kitab Suci yang membela Maryam ‘alaiha salam, serta menyucikannya dan mengumumkan kesuciannya, serta meninggikan urusan dan kehormatannya.
Cukuplah Alquran dengan menasabkan al-Masih ‘alaihi salam kepada ibunya, sebagaimana firman Allah ﷻ, ‘al-Masih Putra Maryam’, ‘Isa Putra Maryam’, sementara Bibel telah menasabkan al-Masih kepada Yusuf an-Najjar!!
‘Dan semua orang itu membenarkan Dia, dan mereka heran akan kata-kata yang indah yang diucapkan-Nya, lalu kata mereka: “Bukankah Ia ini anak Yusuf?” (Lukas; 4:22)
‘Filipus bertemu dengan Natanael dan berkata kepadanya: “Kami telah menemukan Dia, yang disebut oleh Musa dalam kitab Taurat dan oleh para nabi, yaitu Yesus, anak Yusuf dari Nazaret.” (Yohannes 1:45)
‘Bukankah Ia ini anak tukang kayu? Bukankah ibu-Nya bernama Maria dan saudara-saudara-Nya: Yakobus, Yusuf, Simon dan Yudas?’ (Matius 13:55)
Bahkan Bibel menjadikan al-Masih memiliki saudara: ‘Bukankah Ia ini tukang kayu, anak Maria, saudara Yakobus, Yoses, Yudas dan Simon? Dan bukankah saudara-saudara-Nya yang perempuan ada bersama kita?” Lalu mereka kecewa dan menolak Dia.’ (Markus 6:3)
Maka Kitab yang manakah yang telah diubah-ubah, Alquran yang mulia ataukah Bibel? Kami menunggu jawabannya.
_
Syubhat (2):
Kontradiksi ayat menurut mereka dalam Alquran, seperti dalam hal, berapa hari penciptaan Jagad Raya?
Pertama: Bumi dan langit diciptakan dalam enam masa. Hal ini terdapat dalam surah QS. 7:54
[footnote: Yaitu Firman Allah ﷻ:

 إِنَّ رَبَّكُمُ اللّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلاَ لَهُ الْخَلْقُ وَالأَمْرُ تَبَارَكَ اللّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam ENAM MASA, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. al-A’raf: 54)]
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam ENAM MASA, lalu Dia bersemayam di atas‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang”.
Juga dalam QS.10:3
[footnote: Yaitu Firman Allah ﷻ:

 إِنَّ رَبَّكُمُ اللّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُدَبِّرُ الأَمْرَ مَا مِن شَفِيعٍ إِلاَّ مِن بَعْدِ إِذْنِهِ ذَلِكُمُ اللّهُ رَبُّكُمْ فَاعْبُدُوهُ أَفَلاَ تَذَكَّرُونَ

“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam ENAM MASA, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy untuk mengatur segala urusan. Tiada seorang pun yang akan memberi syafaat, kecuali sesudah ada izin-Nya.(Dzat) yang demikian Itulah Allah, Tuhan kamu. Maka sembahlah Dia. Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS. Yunus: 3)]
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam ENAM MASA, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy untuk mengatur segala urusan.”
Kedua, dalam QS. 41: 9 – 12 [footnote: Yaitu Firman Allah ﷻ:

قُلْ أَئِنَّكُمْ لَتَكْفُرُونَ بِالَّذِي خَلَقَ الْأَرْضَ فِي يَوْمَيْنِ وَتَجْعَلُونَ لَهُ أَندَادًا ذَلِكَ رَبُّ الْعَالَمِينَ (9

وَجَعَلَ فِيهَا رَوَاسِيَ مِن فَوْقِهَا وَبَارَكَ فِيهَا وَقَدَّرَ فِيهَا أَقْوَاتَهَا فِي أَرْبَعَةِ أَيَّامٍ سَوَاء لِّلسَّائِلِينَ(10

ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاء وَهِيَ دُخَانٌ فَقَالَ لَهَا وَلِلْأَرْضِ اِئْتِيَا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا قَالَتَا أَتَيْنَا طَائِعِينَ (11

فَقَضَاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ فِي يَوْمَيْنِ وَأَوْحَى فِي كُلِّ سَمَاء أَمْرَهَا وَزَيَّنَّا السَّمَاء الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَحِفْظًا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ (12

 
“Katakanlah: “Sesungguhnya, patutkah kamu kafir kepada yang menciptakan bumi dalam dua masa, dan kamu adakan sekutu-sekutu bagi-Nya? (Yang bersifat) demikian itu adalah Rabb semesta alam”. Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya. Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap. Lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: “Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa”. Keduanya menjawab: “Kami datang dengan suka hati”. Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa. Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (QS. Fushshilat: 9-12)].
Ternyata disebutkan dalam 8 masa (2 + 4 + 2) bukan enam masa: “Katakanlah Sesungguhnya patutkah kamu kafir kepada Yang menciptakan bumi dalam DUA MASA ……… Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam EMPAT MASA. Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam DUA MASA”.
Bagaimana menjelaskan hal ini?
Semoga dapat segera dijawab, karena pertanyaan-pertanyaan ini menyebar di berbagai brosur dan literatur Kristen berwajah Islam, sebagai upaya mengguncang keyakinan kaum Muslimin terhadap Alquran. Tidak lupa saya ucapkan terima kasih atas perhatian dan penjelasannya. Saya sangat berharap jawaban nantinya dibaca juga oleh umat Kristiani, yang senantiasa melontarkan syubhat-syubhat terhadap Alquran tanpa ilmu. Sukses untuk MAJALAH QIBLATI.
Jawaban Syubhat:
Tidak ada pertentangan dan kontradiksi dalam ayat-ayat tersebut. Pertentangan dan kontradiksi itu hanyalah ada pada akal-akal mereka saja. Dikarenakan empat pada hari-hari yang pertama adalah hasil dari dua ditambah dua. Allah ﷻ telah menciptakan bumi pertama kali pada dua hari, kemudian menjadikan di dalamnya pasak, yaitu gunung-gunung, kemudian menjadikan keberkahan di dalamnya dari air dan tanam-tanaman. Dan berbagai rezeki yang disimpan di dalamnya dalam dua hari berikutnya. Maka jadilah penciptaan bumi dan segala isinya itu dalam empat hari. Maka firman Allah ﷻ:

وَجَعَلَ فِيهَا رَوَاسِيَ مِن فَوْقِهَا وَبَارَكَ فِيهَا وَقَدَّرَ فِيهَا أَقْوَاتَهَا فِي أَرْبَعَةِ أَيَّامٍ سَوَاء لِّلسَّائِلِينَ

“Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.” (QS. Fushshilat: 10)
Keempat hari itu adalah hasil dari dua hari pertama dan dua hari yang lain. Maka jadilah totalnya empat hari, yaitu memasukkan dua hari yang telah disebutkan pada ayat sebelumnya:

قُلْ أَئِنَّكُمْ لَتَكْفُرُونَ بِالَّذِي خَلَقَ الْأَرْضَ فِي يَوْمَيْنِ وَتَجْعَلُونَ لَهُ أَندَادًا ذَلِكَ رَبُّ الْعَالَمِينَ

“Katakanlah: “Sesungguhnya patutkah kamu kafir kepada yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan sekutu-sekutu bagi-Nya? (Yang bersifat) demikian itu adalah Rabb semesta alam.” (QS. Fushshilat: 9)
Maka tidaklah keempat hari itu berdiri sendiri dari dua hari yang pertama. Kemudian Allah ﷻ menciptakan langit dalam dua hari, jadi totalnya adalah enam hari, dengan menambahkan empat dan dua.
Sesungguhnya saya bertanya kepada orang-orang yang membuat keragu-raguan terhadap Alquran tersebut, yang ingin menetapkan, bahwa Alquran merupakan karya Muhammad ﷺ. Apakah Nabi ﷺ bodoh tidak tahu, bahwa 2+4+2 sama dengan 8? Apakah hilang dari beliau, bahwa penciptaan langit dan bumi dalam ayat lain adalah pada enam hari?
Kemudian bagaimana mungkin perkara ini hilang dari orang-orang Kafir Arab yang cerdas dalam berniaga, serta orang-orang yang menolak dakwah Nabi ﷺ untuk berhujjah dengan kesalahan ini, agar mereka bisa menegaskan dan menetapkan, bahwa Alquran adalah bikinan Muhammad ﷺ? Terutama, bahwa ayat-ayat Alquran dulunya turun secara terpisah-pisah, yaitu satu, dua atau tiga ayat bersamaan? Artinya sangat mudah untuk menyingkap kesalahan tersebut. Akan tetapi ini tidak pernah terjadi, sementara sekarang datang kepada kita orang yang tidak paham bahasa Arab, lantas berkeinginan untuk menetapkan penyimpangan Alquran dengan syubhat tersebut.
Maka apakah seorang berakal itu bisa membayangkan, bahwa orang yang bisa memalsu Kitab Mulia seperti Alquran itu mungkin bisa berbuat salah dengan kesalahan yang seorang anak SD saja tidak mungkin salah karenanya?
Kami memuji Allah, serta bersyukur kepada-Nya akan karunia akal ini. *
_
Bagian 5
Syubhat:
Alquran telah menyebutkan kebatilan agama Islam di dalam ayat:

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَسْتُمْ عَلَى شَيْءٍ حَتَّى تُقِيمُوا التَّوْرَاةَ وَالإنْجِيلَ

“Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikit pun, hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat dan Injil.” (QS. al-Maidah: 68).
Kami mendapati, bahwa ayat tersebut menyebutkan Taurat dan Injil dengan jelas. Ini mengharuskan untuk berpegang teguh kepadanya, bukan berpegang teguh dengan Alquran. Ini adalah sebuah dalil akan kebatilan agama Islam.
Jawaban Syubhat:
Saya tidak tahu apa gunanya kedustaan dan tipu muslihat dalam menetapkan keyakinan agama yang wajib diimani oleh seorang manusia dengan jujur dan ikhlas, sehingga dia jujur terhadap dirinya sendiri dan terhadap Allah ﷻ. Anda telah memangkas ayat tersebut dan tidak menyempurnakannya, padahal lanjutan ayat di atas berbunyi:

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَسْتُمْ عَلَى شَيْءٍ حَتَّى تُقِيمُوا التَّوْرَاةَ وَالإنْجِيلَ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ

“Katakanlah: ‘Hai Ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikit pun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan Alquran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu’. (QS. al-Maidah: 68)
Sesungguhnya, maksud ayat dengan apa yang diturunkan dari Tuhan kalian adalah Alquran. Karena Allah ﷻ tidak menurunkan setelah Taurat dan Injil, selain Alquran. Bahkan Allah ﷻ melalui ayat tersebut justru memerintahkan Ahlul Kitab untuk menjadi Muslim dan beriman dengan Alquran yang mulia.
Saya berharap sekali lagi, jujurlah kepada Allah dan kepada diri Anda sendiri. Saya bisa memaklumi Anda, karena mungkin saja Anda menukil syubhat ini tanpa meyakinkan diri terlebih dahulu. Di sini, saya kira Anda telah membongkar sendiri tipu muslihat para pendeta terhadap Anda, dan kepada banyak orang Nasrani yang tertipu oleh mereka. Saya memohonkan hidayah kepada Allah, bagi kami dan Anda.*
_
Syubhat:
Bagaimana Anda menginginkan dari kami untuk beriman dengan Muhammad ﷺ sebagai nabi, sementara Alquran meminta kami untuk bershalawat kepadanya dan mendoakan rahmat baginya, sebagaimana datang dalam ayat bershalawat dan salamlah kalian atasnya. Seharusnya kamilah yang lebih butuh kepada rahmat Allah. Ternyata kami mendapati Nabi kalian ﷺ merasa perlu untuk didoakan.
Jawaban Syubhat:
Wajib bagi Anda untuk mengetahui, bahwa Nabi ﷺ tidak butuh kami bershalawat kepadanya, karena Allah ﷻ telah memulai ayat dengan firman-Nya:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi, dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. al-Ahzab: 56)
Allah ﷻ memulai dengan diri-Nya sendiri untuk bershalawat kepada beliau ﷻ, lalu para malaikat-Nya. Seandainya Allah ﷻ saja yang bershalawat kepada beliau ﷻ, tanpa menyebut para malaikat, maka pastilah itu sudah cukup sebagai pemuliaan dan pengagungan.
Pertanyaan yang benar yang seharusnya dilontarkan, agar Anda bisa memahami permasalahan ini secara benar: ‘Mengapa Allah ﷻ memerintahkan kita untuk bershalawat atas beliau ﷻ?”
Maka jawabannya adalah:

  1. Shalawat kepada Nabi ﷺ kemanfaatannya yang besar kembali kepada yang bershalawat kepada beliau ﷻ. Disebutkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:

«مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ عَشْرَ صَلَوَاتٍ، وَحُطَّتْ عَنْهُ عَشْرُ خَطِيئَاتٍ، وَرُفِعَتْ لَهُ عَشْرُ دَرَجَاتٍ»

“Barang siapa bershalawat kepada aku satu kali shalawat, maka Allah akan bershalawat atasnya sepuluh shalawat, dan dihapus darinya sepuluh kesalahan, dan diangkat untuknya sepuluh derajat.” (HR. Ahmad (11587), an-Nasa`i (1297))

  1. Shalawat bertujuan untuk menguatkan hubungan ruhani dan kecintaan antara kita dengan Rasulullah ﷺ. Karena orang yang mencintai sesuatu, dia akan memerbanyak mengingatnya.
  1. Dengan memerbanyak shalawat dan salam atas Rasulullah ﷺ, hal itu akan menarik seorang Muslim untuk bersuritauladan dengan beliau ﷺ. Barang siapa memerbanyak ingat sesuatu, maka dia akan tergantung dan bersuritauladan dengannya.
  1. Bershalawat dan salam kepada Rasulullah ﷺ adalah peribadatan kepada Allah ﷻ dengan satu ibadah dari ibadah-ibadah yang terbaik.
  1. Bershalawat kepada Rasulullah ﷺ adalah sebuah ketaatan, melaksanakan perintah Allah ﷻ.
  1. Bershalawat dan salam kepada Rasulullah ﷺ adalah sebab keberkahan pada diri, usaha dan umur.
  1. Bershalawat dan salam kepada Rasulullah ﷺ menggantikan sedekah bagi orang yang tidak memiliki harta.
  1. Bershalawat dan salam kepada Rasulullah ﷺ adalah sebab pengampunan dosa-dosa dan pemenuhan berbagai hajat.
  1. Bershalawat dan salam kepada Rasulullah ﷺ adalah sebab bershalawatnya Allah kepada orang yang bershalawat kepada Rasulullah ﷺ, dan juga penyebab bershalawatnya para malaikat kepadanya.
  1. Bershalawat dan salam kepada Rasulullah ﷺ mewajibkan syafaat beliau ﷺ pada Hari Kiamat, dan penyebab dekatnya seseorang kepada beliau ﷺ.
  1. Bershalawat dan salam kepada Rasulullah ﷺ akan memberatkan timbangan seorang Muslim pada Hari Kiamat.

Dan manfaat-manfaat lainnya. Jadi, Nabi ﷺ tidak butuh dengan kita, tidak butuh dengan doa kita untuknya, demikian pula shalawat dan salam kita atasnya. Sebaliknya kitalah yang mengambil manfaat darinya.
Saya memohonkan hidayah kepada Allah bagi kami dan Anda.*
_
Bagian 6
Syubhat:
Mengapa Anda sekalian berselisih pendapat dalam tafsir Alquran? Dan bersamaan dengan itu Anda meng-klaim, bahwa Injil itu berselisih. Bukankah ini adalah sebuah kontradiksi? Sebagaimana, bahwa orang yang meneliti Injil dengan ikhlas, dia tidak akan mendapati perselisihan di dalamnya?
Jawaban Syubhat:
Pertama, Anda harus mengetahui, bahwa terdapat perbedaan antara perselisihan dalam tafsir dengan perselisihan dalam Kitab Suci Alquran. Tidak pernah ditemukan perselisihan pada diri kaum Muslimin atas Alquranul Karim. Alquran itu satu, tidak berselisih, dan tidak akan berubah, pada seluruh tempat di dunia ini sejak turunnya 1400 tahun yang lalu. Alquran terjaga dengan janji Allah:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Alquran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. al-Hijr: 9)
Berbeda dengan Kitab “Suci” Injil yang kita temukan, bahwa dia berbeda-beda. Jadi tidak termasuk keadilan Anda membandingkan antara perselisihan dalam tafsir Alquran dengan perselisihan dalam Injil. Bahkan yang wajib adalah, Anda bandingkan antara kitab suci Alquran dengan kitab Injil. Akan tetapi karena Anda mengetahui, bahwa Anda akan masuk dalam peperangan yang merugikan, Anda mengambil cara tersebut untuk melemparkan syubhat (keraguan), yang dengan karunia Allah, hal itu bukanlah perkara samar bagi kami.
Kemudian, Anda harus mengetahui, bahwa tidak pernah terjadi perselisihan antara para ulama dalam tafsir keseluruhan Alquran. Akan tetapi yang ada hanyalah, bahwa mereka berselisih pendapat dalam tafsir sebagian ayat dari Alquran. Dan tidak diragukan lagi, bahwa mayoritas ayat, tidak pernah terjadi perselisihan dalam tafsirnya. Bahkan para ahli tafsir yang salaf (klasik) maupun yang khalaf (kontemporer), bersepakat dengan para ulama atas tafsirnya. Yang demikian itu adalah satu perkara nyata bagi setiap orang yang membaca Alquran, dan membaca kitab-kitab tafsir. Tidak henti-hentinya kaum Muslimin secara umum membaca Alquran, mendengar ayat-ayatnya, dan tidak merasa kesulitan akan banyaknya ayat tersebut, bahkan mereka mengetahui maksudnya. Ini sudah cukup dalam merealisasikan hidayah Alquran.
Adapun ayat-ayat, yang jumlahnya sedikit, yang terdapat perselisihan pendapat dalam tafsirnya, maka ayat-ayat tersebut terbagi menjadi beberapa pembagian:
Pertama, khilaf (perselisihan) di dalamnya adalah Khilaf Tanawwu’ (Perselisihan yang bersifat variatif), bukan Khilaf Tadhot (Kontradiksi, berseberangan). Itu adalah khilaf Lafzhi (Redaksi) dan tidak berpengaruh pada esensi makna. Khilaf Tanawwu’ pada hakikatnya bukanlah sebuah perselisihan. Di mana di antara syarat perselisihan adalah kontradiksinya dua ucapan. Ini tidak terjadi dalam pembagian khilaf ini.
Contoh yang demikian adalah tafsir Shiratul Mustaqim (Jalan yang lurus). Sebagian mereka mengatakan: “yaitu Alquran, yakni mengikutinya.”
Sebagian lagi mengatakan, ‘Yaitu agama Islam.’
Maka kedua pendapat ini saling bersesuaian, karena agama Islam adalah mengikuti Alquran. Akan tetapi masing-masing dari keduanya, memberikan perhatian atas satu sifat, tidak pada sifat lain.
Sebagaimana, bahwa lafal Shirat juga memberikan isyarat kepada sifat yang ketiga. Demikian pula pendapat orang yang mengatakan, bahwa ia adalah ‘as-Sunnah wal-Jama’ah’, dan pendapat yang mengatakan, ‘Ia adalah jalan peribadatan kepada Allah.’ Juga ucapan orang yang mengatakan, ‘Itu adalah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya ﷺ. Dan contoh-contoh yang lain. Maka mereka semua memberikan isyarat kepada satu makna dari Shirathal Mustaqim, akan tetapi masing-masing memberikan sifat dari sifat-sifatnya.
Kedua, masing-masing dari mereka menyebut dari nama yang bersifat umum sebagian macamnya, demi memberikan perumpamaan, dan memberikan peringatan kepada yang mendengar, atas satu macam makna. Bukan untuk memberikan satu batasan yang sesuai dengan apa yang dibatasi dalam keumuman dan kekhususannya.
Contoh yang demikian adalah apa yang disebutkan oleh Syaikhul Islam dalam Majmu’ Fatawanya (13/232-238), tentang firman Allah ﷻ:

ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ

“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih, di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri, dan di antara mereka ada yang pertengahan, dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah.” (QS. Fathir: 32)
Maka telah diketahui, bahwa Azh-Zalim Linafsihi (Orang yang menganiaya diri sendiri) mencakup orang yang menyia-nyiakan kewajiban, dan meremehkan perkara-perkara yang diharamkan; dan Al-Muqtashid (Yang pertengahan) mencakup pelaku kewajiban, dan orang yang meninggalkan yang diharamkan; serta As-Sabiq (Yang terdepan dalam berbuat kebaikan) masuk di dalamnya orang yang bersegera lebih dulu. Maka dia mendekatkan diri kepada Allah dengan segala kebaikan, disertai dengan menjalankan segenap kewajiban.
Kemudian sesungguhnya masing-masing di antara mereka, yaitu dari kalangan ahli tafsir, menyebutkan perkara ini dalam satu macam dari berbagai macam ketaatan:
Seperti ucapan, ‘As-Sabiq adalah orang yang shalat di awal waktunya, Al-Muqtashid adalah orang yang shalat di tengah waktunya, dan Zalim Linafsihi adalah yang mengakhirkan waktu Ashar hingga matahari telah menguning.’
Yang lain berkata: ‘As-Sabiq, Al-Muqtashid, dan Az-Zalim telah disebutkan di akhir surat al-Baqarah. Maka sesungguhnya penyebutan itu adalah penyebutan orang yang berbuat baik dengan sedekah, penyebutan orang zalim dengan memakan riba, dan penyebutan orang ‘adil dengan jual beli.’
Maka tidak boleh menjadikan bagian kedua ini sebagai Khilaf Tadhot (Perselisihan yang bersidat kontradiksi), pencelaan dan peragu-raguan terhadap Alquran yang mulia, karena beberapa sebab:

  1. Sesungguhnya perselisihan itu tidak pada ayat-ayat yang berkaitan dengan i’tiqad (keyakinan) Islam, atau tujuan-tujuan syariat. Akan tetapi perselisihan itu terjadi pada ayat-ayat ahkam (hukum-hukum), seperti perselisihan para ulama dalam tafsir firman Allah ﷻ:

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ

“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’…” (QS. al-Baqarah: 228)

Apakah quru’ itu suci dari haid ataukah haid?

Atau juga perselisihan itu terjadi pada sebagian ayat Alquran yang berkaitan dengan kisah-kisah atau nasihat dan semacamnya. Seperti perselisihan mereka dalam tafsir firman Allah ﷻ:

فَنَادَاهَا مِنْ تَحْتِهَا أَلا تَحْزَنِي قَدْ جَعَلَ رَبُّكِ تَحْتَكِ سَرِيًّا

“Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah: “Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu.” (QS. Maryam: 24)

Apakah yang menyeru itu Jibril ataukah Isa ‘alaihi salam?

Perselisihan ini, sebagaimana Anda lihat, tidak berkaitan dengan tulang punggung (penopang) akidah dan syariat. Akan tetapi perselisihan itu ada pada perkara fikih, yang Allah menginginkan hal itu terjadi sebagai bentuk rahmat terhadap umat ini, serta ujian juga. Atau perselisihan itu terjadi pada perkara yang pemahaman ayat tersebut tidak bergantung pada pengetahuan tentang maknanya.

  1. Perselisihan ini, sekalipun sedikit, kebanyakan terjadi pada abad terakhir. Dan seandainya kita kembali pada tafsir salaf dari para sahabat dan tabi’in, pastilah kita tidak akan mendapatinya. Mayoritas perselisihan itu ada pada kitab-kitab tafsir kontemporer.
  1. Sesungguhnya Allah ﷻ memiliki hikmat dalam menyamarkan makna sebagian ayat-ayat, agar para mujtahid bersungguh-sungguh dan membahas ilmu tersebut dalam kitab-kitab dan akal-akal mereka.

Adapun klaim tidak adanya perselisihan dalam Injil atau dalam tafsir Injil, maka ini adalah klaim aneh, yang seorang Nasrani tidak meng-klaimnya sendiri, karena banyaknya kontradiksi di dalamnya. Di mana naskah-naskah Injil, periwayatannya, penerjemahannya berbeda-beda dengan perbedaan yang banyak dan kontradiksi. Sebagaimana banyak sekali sekte-sekte Nasrani dan perselisihan agama mereka. Perselisihan mereka dalam menafsirkan Injil terjadi pada tulang punggung akidah (keyakinan) mereka; dalam penafsiran Trinitas, keEsaan, dan tiga oknum. Di mana itu semua adalah perselisihan kontradiksi yang membuat terbentuknya banyak sekte di tengah mereka, yang mereka berselisih dalam pandangan agama dan akidah mereka.
Adapun Islam dan Alquran, maka tidak ada perselisihan dalam rukum agama dan hakikat yang terpenting di antara ulama Islam Ahlussunnah, yang merupakan mayoritas umat ini dari kalangan para sahabat, dan tabi’in hingga hari ini.*
_
Syubhat:
Saat kami membaca sejarah perjalanan Nabi kalian, kami menemukan beberapa perkara aneh, di antaranya adalah suratnya kepada Heraclius, Raja Romawi, di mana datang dalam surat itu tulisan “Masuk Islamlah, kamu akan selamat”. Maka apakah kalimat ini sudah cukup untuk menegakkan hujjah atas Heraclius? Itu adalah satu ajakan yang terang-terangan untuk peperangan, jika Heraclius dan kaumnya tidak masuk Islam. Tidakkah Anda melihat bersama saya, bahwa ini adalah suatu perkara yang menakjubkan, yang bisa menjadikan Anda sekalian menilik kembali pandangan terhadap agama Anda sekalian?
Jawaban Syubhat:
Pertama, dalam surat tersebut tidak hanya terdapat kalimat tersebut. Di dalam surat tersebut juga datang firman Allah ﷻ:

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلا نَعْبُدَ إِلا اللَّهَ وَلا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ

“Katakanlah: ‘Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah.” (QS. Ali Imran: 64)
Maka tampak, bahwa Anda tidak meneliti sejarah dan kejadian pada masa itu, dan Anda akan mengetahuinya di sela-sela jawaban saya, apa yang saya maksudkan dengannya.
Anda harus mengetahui, bahwa kalimat ‘Aslim Taslam (Masuk Islamlah, kamu akan selamat)’ adalah cukup untuk menegakkan hujjah atas Heraclius dengan dalil, bahwa dia memercayainya, dan mengetahui, bahwa Muhammad ﷺ adalah Rasul, utusan Allah, akan tetapi dia tidak meninggalkan kerajaannya, dan terhalang dari Islam. Saya tambahkan juga, bahwa Heraclius mengetahui akan tempat datangnya Nabi ﷺ dan, bahwa saat itu adalah waktu kemunculan beliau ﷺ.
Telah disebutkan dalam Shahih al-Bukhari:

فَأَذِنَ هِرَقْلُ لِعُظَمَاءِ الرُّومِ فِى دَسْكَرَةٍ لَهُ بِحِمْصَ ثُمَّ أَمَرَ بِأَبْوَابِهَا فَغُلِّقَتْ ، ثُمَّ اطَّلَعَ فَقَالَ يَا مَعْشَرَ الرُّومِ ، هَلْ لَكُمْ فِى الْفَلاَحِ وَالرُّشْدِ وَأَنْ يَثْبُتَ مُلْكُكُمْ فَتُبَايِعُوا هَذَا النَّبِىَّ ، فَحَاصُوا حَيْصَةَ حُمُرِ الْوَحْشِ إِلَى الأَبْوَابِ ، فَوَجَدُوهَا قَدْ غُلِّقَتْ ، فَلَمَّا رَأَى هِرَقْلُ نَفْرَتَهُمْ ، وَأَيِسَ مِنَ الإِيمَانِ قَالَ رُدُّوهُمْ عَلَىَّ .وَقَالَ إِنِّى قُلْتُ مَقَالَتِى آنِفًا أَخْتَبِرُ بِهَا شِدَّتَكُمْ عَلَى دِينِكُمْ ، فَقَدْ رَأَيْتُ . فَسَجَدُوا لَهُ وَرَضُوا عَنْهُ ، فَكَانَ ذَلِكَ آخِرَ شَأْنِ هِرَقْلَ .

“Maka Heraclius mengizinkan para pembesar Romawi di dalam satu istana di sekitar rumah miliknya di Himsh, kemudian dia memerintahkan pintu-pintunya untuk ditutup. Kemudian dia muncul seraya berkata: ‘Wahai sekalian orang-orang Romawi, apakah kalian mau mendapatkan keberuntungan dan petunjuk, dan kerajaan kalian akan diteguhkan. Maka berbaiatlah kepada Nabi ini. Maka mereka pun berlarian seperti keledai liar menuju pintu dan mereka mendapati pintu itu telah tertutup. Maka saat Heraclius melihat larinya mereka, dan dia putus asa dari keimanan, dia berkata: ‘Kembalikanlah mereka kepadaku.’ Lalu dia berkata: ‘Sesungguhnya perkataanku tadi, adalah aku ingin menguji kekuatan kalian terhadap agama kalian, dan sungguh aku telah melihatnya.’ Maka mereka pun sujud dan rida kepadanya. Maka itulah akhir dari perkara Heraclius.”
Di dalam hadis itu juga disebutkan, bahwa Heraclius berkata:

فَلَوْ أَنِّى أَعْلَمُ أَنِّى أَخْلُصُ إِلَيْهِ لَتَجَشَّمْتُ لِقَاءَهُ ، وَلَوْ كُنْتُ عِنْدَهُ لَغَسَلْتُ عَنْ قَدَمِهِ

“Seandainya aku tahu, bahwa aku bisa bebas kepadanya, pastilah aku akan berupaya untuk menemuinya, dan seandainya aku di sisinya, pastilah aku akan membasuh kakinya.”
Kemudian ketahuilah, bahwa Nabi ﷺ telah diberikan Jawami’ul Kalim (Kalimat ringkas yang memiliki makna dalam). Dan tulisan tersebut, dengan keringkasannya, adalah kalimat yang menyeluruh lagi memberikan manfaat, lagi mengandung sastra tinggi bahasa Arab.
An-Nawawi Rahimahullah berkata dalam Syarah Muslim: “Di antaranya, disunnahkannya bersastra, dan meringkas, serta memilih lafal-lafal yang pendek dalam tulisan. Maka sesungguhnya sabda beliau ﷺ, aslim taslam (masuk Islamlah, kamu akan selamat) ada pada puncak peringkasan, dan puncak sastra, serta mengumpulkan segala makna bersamaan dengan keindahannya serta kesempurnaannya, demi keselamatan Heraclius dari kesengsaraan dunia dengan peperangan, penawanan, pembunuhan, pengambilan rumah, harta dan dari azab Akhirat.”
Kemudian, sesungguhnya orang yang memerhatikan dialog yang terjadi antara Heraclius dan Abu Sufyan sebelum keIslamannya, maka dia akan mengetahui, bahwa Heraclius telah tahu, bahwa Muhammad ﷺ adalah benar-benar utusan Allah.
Barangkali Anda sekarang mengetahui, bahwa dengan ucapan saya, bahwa Anda tidak memerhatikan sejarah dan kejadian zaman itu. Sebagaimana barangkali telah jelas bagi Anda, akan sebab yang menjadikan kami tidak menilik kembali pandangan kami terhadap agama kami, dengan syubhat ini dan syubhat yang lain.*
_
Syubhat:
Apakah boleh Nabi kalian ﷺ menceraikan istrinya, Saudah, karena dia telah tua. Dan di saat wanita itu masih muda, dia ﷺ menikmati masa mudanya, dan saat dia berusia tua, dia ﷺ langsung menceraikannya?
Jawaban Syubhat:
Sebagaimana biasa, Anda sekalian menyampaikan syubhat, sementara Anda tidak mengetahui rincian dan faktanya. Ditambah lagi kedustaan dan klaim tidak benar yang ada di dalamnya.
Pertama, tidak benar ucapan Anda, bahwa Nabi ﷺ menikahi Saudah radhiallahu ‘anha saat dia masih muda. Seandainya Anda mengetahui hakikatnya sekarang, Anda akan malu sendiri terhadap diri Anda. Nabi ﷺ, saat menikahi Saudah, kala itu Saudah radhiallahu ‘anha telah berusia enam puluh enam tahun. Dan Nabi ﷺ tidak menikahinya kecuali, bahwa dia saat pergi ke Habasyah, ia bersama suaminya. Dan saat kembali dari sana, suaminya meninggal dunia. Karena keluarganya masih berada di atas kesyirikan, maka Nabi ﷺ terdorong untuk menikahinya, demi memberikan kasih sayang kepadanya, berbuat baik dengan kondisinya, dan menghibur kesendiriannya.
Dan Nabi ﷺ tidak pernah menceraikannya. Akan tetapi yang terjadi adalah, bahwa saat Ummul Mukminin Saudah radhiallahu ‘anha telah berusia sangat tua, Nabi ﷺ merasa kesulitan untuk merawatnya, terutama saat sudah banyak dari keluarganya yang telah masuk Islam. Maka berkatalah Ummul Mukminin Saudah radhiallahu ‘anha, ‘Sesungguhnya aku sudah tua, dan kaum laki-laki pun tidak punya hajat dengan aku, akan tetapi aku ingin dibangkitkan nanti di tengah-tengah istri Anda pada Hari Kiamat.’ Maka turunlah firman Allah ﷻ:

وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الأنْفُسُ الشُّحَّ وَإِنْ تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا

“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka), walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan istrimu secara baik, dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. an-Nisa`: 128)
Ayat ini mengajari kita, bahwa jika seorang wanita mengkhawatirkan larinya, atau berpalingnya suami darinya, maka dia boleh untuk menggugurkan sebagian haknya untuk suaminya, apakah itu sebagian nafkah, pakaian, atau jatah menginap. Dan boleh bagi suami untuk menerima hal itu. Tidak ada masalah atas sang istri dalam pengorbanannya itu untuk suami, dan tidak masalah atas suami dalam menerimanya. Maka Rasulullah ﷺ kembali kepada Saudah radhiallahu ‘anha dan memerlakukannya dengan sebaik-baiknya.
Maka di manakah sekarang klaim, bahwa beliau ﷺ telah menceraikannya?! Di manakah bukti, bahwa beliau ﷺ menikahi Saudah radhiallahu ‘anha pada saat dia masih gadis?! Percayalah kepada saya, sesungguhnya kepayahan saya dalam menjawab bukanlah dari Anda, akan tetapi dari mereka yang telah menanamkan syubhat ini di akal Anda. Sementara saat kami mengajak mereka untuk berdialog, kami tidak melihat seorang pun dari mereka.*
_
Syubhat:
Sesungguhnya orang yang mengikuti sejarah kaum Muslimin, dia akan menemukan, bahwa mereka tidak pernah memiliki ilmu hadis. Ilmu hadis itu baru dibuat setelah dua ratus tahun. Kemudian setelah masa yang panjang ini, orang-orang yang disebut belakangan sebagai Ahli Hadis memutuskan untuk mengumpulkan hadis. Kemudian jadilah mereka mengambil dari orang-orang yang pernah mendengar hadis. Kemudian salah seorang dari mereka berkata: ‘Aku mendengar Fulan berkata: ‘Aku mendengar Fulan dari Nabi kalian ﷺ. Maka atas dasar inilah menjadi sulit menghukumi hadis ini sebagai hadis Shahih, atau hadis Maudhu’. Maka tidak mungkin ada sambungan bagi kalian, sebagaimana sebelumnya, karena panjangnya masa itu.
Jawaban Syubhat:
Sebagaimana biasa, kami memulai dengan meluruskan kesalahan dan pemahaman, kemudian kami akan menjawab.
Ilmu hadis, tidaklah seperti yang Anda kira, yaitu bahwa ilmu ini baru ada setelah dua ratus tahun. Akan tetapi ilmu itu sudah dimulai sejak generasi pertama di zaman Nabi ﷺ, dan telah mencakup satu bagian besar dari hadis. Apa yang ditemukan oleh orang yang meneliti kitab-kitab yang disusun tentang para perawi hadis dan teks-teks sejarah yang memberitakan biografi mereka, maka kitab-kitab mereka itu akan menetapkan ilmu hadis itu dengan rupa yang sangat luas. Di mana hal ini menunjukkan akan menyebarnya pengodifikasian hadis, dan banyaknya dalam masa itu.
Di saat kita meneliti secara ilmiah lagi benar, kita akan menemukan, bahwa permulaan penulisan hadis telah dilakukan di awal abad kedua, yaitu antara tahun 120 – 130 H, dengan bukti nyata yang menjelaskan kepada kita. Terdapat sejumlah kitab yang penulisnya telah wafat di tengah abad kedua. Seperti Jami’ Ma’mar bin Rasyid (W. 145 H), Jami’ Sufyan ats-Tsauri (W. 161 H), Hisyam bin Hisan (W. 148 H), Ibnu Juraij (W. 150 H), dan banyak lagi selain mereka.
Kemudian Anda harus mengetahui, bahwa para ulama hadis telah meletakkan syarat-syarat demi menerima hadis, yang syarat itu mampu menjamin penukilannya melalui berbagai generasi dengan amanah dan kepastian. Hingga menjadikan hadis tersebut tersampaikan seperti halnya didengar langsung dari Rasulullah ﷺ. Terdapat syarat-syarat yang mereka tetapkan dalam perawi (orang yang menyampaikan hadis), yang mencakup di dalamnya puncak kejujuran, keadilan, dan amanah, disertai dengan penguasaan sempurna bagi perilaku, dan pengembanan tanggung jawab.
Sebagaimana syarat itu mencakup kekuatan hapalan, mengikat dengan dadanya (hapalan), atau dengan tulisannya, atau dengan keduanya secara bersamaan, yang memungkinkan baginya untuk menghadirkan hadis tersebut, serta menunaikannya, sebagaimana dia mendengarnya. Syarat-syarat yang disyaratkan oleh Ahli Hadis untuk hadis yang Shahih dan Hasan itu pun menjadi jelas. Yaitu syarat-syarat yang mencakup terpercayanya perawi hadis, kemudian selamatnya penukilan hadis di antara mata rantai sanad, bersihnya hadis itu dari segala cacad yang tampak maupun yang tersembunyi, serta ketelitian para Ahli Hadis dalam memraktekkan syarat-syarat tersebut, serta kaidah dalam menghukumi hadis dengan Dhai’f, hanya karena tidak ada bukti akan keShahihannya, tanpa harus menunggu datangnya dalil yang berseberangan dengannya.
Para ulama Ahli Hadis tidak mencukupkan diri dengan ini. Bahkan mereka meletakkan syarat-syarat dalam periwayatan yang tertulis. Tampak bahwa Anda tidak memerhatikannya. Para ulama Ahli Hadis telah memberikan syarat periwayatan yang tertulis dengan syarat-syarat hadis Shahih. Oleh karena itulah kita menemukan di atas manuskrip, hadis rangkaian sanad (transmisi periwayatan) kitab, dari satu perawi ke perawi yang lain, hingga sampai kepada penulisnya. Kemudian, di atasnya kita menemukan penetapan pendengaran, serta tulisan penulis atau Syaikh yang didengar, yang meriwayatkan satu naskah dari naskah penulis atau dari cabangnya. Maka jadilah metode para Ahli Hadis lebih kuat, lebih hikmah, dan lebih agung, dari segala metode dalam menilai periwayatan, dan sanad yang tertulis.
Maka janganlah Anda menyangka, bahwa pembahasan sanad menunggu dua ratus tahun sebagaimana ucapan Anda. Akan tetapi para sahabat Nabi ﷺ telah meneliti dan mencari-cari sanad sejak zaman pertama, saat terjadi fitnah pembunuhan terhadap Khalifah ar-Rasyid Utsman radhiallahu ‘anhu tahun 35 H, yang kemudian kaum Muslimin membuat satu contoh istimewa di dunia tentang sanad. Di mana mereka melakukan perjalanan ke berbagai negeri demi mencari hadis, menguji para perawi hadis, hingga perjalanan mencari hadis menjadi syarat pokok penentuan hadis.
Para ulama Ahli Hadis tidak lalai dari apa yang dibuat-buat oleh para pemalsu hadis dari golongan Ahlu Bid’ah, dan mazdhab-mazdhab politik. Bahkan mereka bersegera untuk memeranginya, dengan mengikuti sarana-sarana ilmiah demi membentengi Sunnah. Maka mereka pun meletakkan kaidah-kaidah, serta aturan-aturan bagi para perawi Ahli Bid’ah, serta penjelasan sebab-sebab pemalsuan hadis, dan tanda-tanda hadis-hadis palsu.
Ilmu hadis, dengan berbagai syarat yang ada di dalamnya, tidak pernah ditemukan pada umat mana pun selain umat Islam, satu-satunya umat yang menjaga agamanya. Maka bandingkanlah cara penuh hikmah yang ada pada kaum Muslimin dengan kitab-kitab Nasrani yang merupakan dongeng-dongeng, yang para peneliti menemukan berbagai kesalahan, kontradiksi dan berbagai pengubahan.
Kemudian lihatlah kepada ilmu sanad pada kaum Muslimin, yang dengannya mereka menyendiri dari segenap umat manusia, karena mereka telah menjamin keselamatan rangkaian periwayatan hadis hingga sampai kepada Nabi ﷺ dari segala cacat, dengan ilmu isnad yang tidak ada di umat mana pun. Ilmu ini tidak ada pada orang-orang Nasrani. Maka tidak heran jika kita menemukan dalam kitab-kitab mereka, ‘Yesus berkata’, ‘Paulus berkata’ tanpa ada sanad (jalur periwayatannya), dan tidak ada seorang pun yang tahu, bagaimana hal itu bisa sampai.*
_
Syubhat:
Yang menguatkan kebatilan agama Islam adalah, bahwa tidak ada seorang Nabi pun yang pernah berhaji selain nabi kalian, dan ini telah pasti dalam kitab-kitab kalian.
Jawaban Syubhat:
Ini adalah sebuah ucapan yang tidak benar. Cukuplah bantahan akan syubhat ini adalah hadis yang datang di dalam Shahih Muslim bab Iman no. 242:

حَدَّثَنِي ‏ ‏مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى ‏ ‏حَدَّثَنَا ‏ ‏ابْنُ أَبِي عَدِيٍّ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏دَاوُدَ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏أَبِي الْعَالِيَةِ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏ابْنِ عَبَّاسٍ ‏ ‏قَالَ ‏ سِرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ‏ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏ ‏بَيْنَ ‏ ‏مَكَّةَ ‏ ‏وَالْمَدِينَةِ ‏ ‏فَمَرَرْنَا بِوَادٍ فَقَالَ ‏ ‏أَيُّ وَادٍ هَذَا فَقَالُوا ‏ ‏وَادِي الْأَزْرَقِ ‏ ‏فَقَالَ كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى ‏ ‏مُوسَى ‏ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏ ‏فَذَكَرَ مِنْ لَوْنِهِ وَشَعَرِهِ شَيْئًا لَمْ يَحْفَظْهُ ‏ ‏دَاوُدُ ‏ ‏وَاضِعًا إِصْبَعَيْهِ فِي أُذُنَيْهِ لَهُ ‏ ‏جُؤَارٌ ‏ ‏إِلَى اللَّهِ بِالتَّلْبِيَةِ مَارًّا بِهَذَا الْوَادِي قَالَ ثُمَّ سِرْنَا حَتَّى أَتَيْنَا عَلَى ثَنِيَّةٍ فَقَالَ أَيُّ ثَنِيَّةٍ هَذِهِ قَالُوا ‏ ‏هَرْشَى ‏ ‏أَوْ ‏ ‏لِفْتٌ‏ ‏فَقَالَ كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى ‏ ‏يُونُسَ ‏ ‏عَلَى نَاقَةٍ حَمْرَاءَ عَلَيْهِ جُبَّةُ صُوفٍ ‏ ‏خِطَامُ ‏ ‏نَاقَتِهِ لِيفٌ ‏ ‏خُلْبَةٌ ‏ ‏مَارًّا بِهَذَا الْوَادِي مُلَبِّيًا.

“Muhammad bin al-Mutsanna menceritakan kepadaku, menceritakan kepada kami Ibnu Abi ‘Adin dari Dawud dari Abul ‘Aliyah dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata: ‘Kami berjalan bersama Rasulullah ﷺ antara Makkah dan Madinah. Maka kami pun melewati sebuah lembah, lalu beliau bersabda: ‘Lembah apakah ini?’ Maka mereka menjawab, ‘Lembah Azraq.’ Maka beliau bersabda: ‘Seakan-akan aku melihat Musa ‘alaihi sallam.’ Lalu beliau ﷺ menyebut warna kulitnya, rambutnya, sesuatu yang tidak dihapal oleh Dawud, seraya meletakkan kedua jarinya di kedua telinganya, mengeraskan suara seraya bertalbiyah (membaca Talbiyah), dengan melewati lembah ini.’ Dia berkata: ‘Kami pun berjalan hingga kami mendatangi gunung kecil.’ Maka beliau bersabda: ‘Gunung apakah ini?’ Mereka menjawab, ‘Harsya atau Lift.’ Maka beliau bersabda: ‘Seakan-akan aku melihat kepada Yunus, berada di atas seekor unta mereka, memakai jubah dari wol, dan tali kekang untanya adalah sabut, tengah melewati lembah ini seraya bertalbiyah.’
Oleh karena itulah, ini adalah satu dalil pasti, dari kitab-kitab kami yang memberikan faidah, bahwa para Nabi telah berhaji ke Baitullah. Dan sebagaimana Anda meminta kami yang demikian, maka sesungguhnya kami meminta dari Anda satu dalil yang menunjukkan, bahwa para Nabi tidak berhaji ke Baitullah dari kitab-kitab kalian.*
_
Bagian 7
Syubhat:
Kami setuju, bahwa tidak ada kesalahan dalam sejarah dan ilmu pengetahuan, akan tetapi, marilah kita melihat berbagai kesalahan dalam Alquran baik dalam sejarah, atau ilmu pengetahuan.
-Alquran surat al-Kahfi ayat 83-89 menyebutkan seorang tokoh Dzulqarnain yang adalah Muslim. Menurut tokoh Islam Ibn Hisham dan Al-Tabari, Dzulqarnain adalah Aleksander Agung. Ironisnya, Aleksander Agung adalah seorang Polytheis (musyrik).
Jawaban Syubhat:
Sungguh disayangkan, Anda sekalian adalah korban para pendeta dan misionaris yang telah menyampaikan syubhat ini dengan memanfaatkan ketidaktahuan Anda. Pertama kali Anda wajib mengetahui metode ulama ahli tafsir dan selain mereka, dalam memberikan keterangan. Pada saat seorang ahli tafsir meriwayatkan satu ucapan dari berbagai ucapan, maka maksudnya tidak lain adalah menukil semua yang dia dengar, kemudian setelah itu memilah dan memilih dari ucapan-ucapan tersebut, mana yang rajih dan Shahih. Kemudian membantah dan menjelaskan kelemahan yang Dhaif (Lemah) dan yang tidak Shahih. Kemudian menampakkan apa yang Shahih darinya, agar manusia mengetahuinya.
Alasan keshahihan dari tidaknya kembali kepada kesesuaian atau ketidaksesuaiannya dengan apa yang disebutkan oleh Alquran dan Sunnah Nabi ﷺ, serta apa yang disepakati oleh Jumhur Ulama kaum Muslimin.
Pada saat seorang ulama tafsir berkata: “Dikatakan/katanya/diriwayatkan/ atau dikisahkan…” maka ini berarti, bahwa yang berkata adalah orang yang tidak dikenal (Majhul), dan sumber ucapan tersebut tidak dikenal. Oleh karena itulah fi’il (kata kerjanya) dibuat majhul (pasif), yaitu qiila (dikatakan). Oleh karena dasar ini, maka ucapan itu tidak bernilai jika tidak dikuatkan oleh satu berita dari Alquran atau Sunnah yang Shahih. Dan perkara akidah tidak akan dibangun di atas sesuatu yang tidak diketahui. Maka ucapan apapun yang diikuti, atau yang datang setelah kata kerja bentuk pasif qiila (dikatakan), maka ucapan itu digugurkan dari derajat Shahih, dan yakin kepada kedudukan mengandung kebenaran atau kedustaan, sesuai dengan kesesuaiannya atau jauhnya dari apa yang disebutkan oleh Alquran dan Sunnah yang Shahih.
Pada kisah Dzulqarnain, gugurlah kandungan itu kepada makna dusta. Dikarenakan secara yakin, Dzulqarnain yang dimaksud BUKANLAH Dzulqarnain Agung dari Macedonia, Yunani, yang telah membangun kota Iskandariyah. Dzulqarnain ini mati pada usia 33 tahun, sebagaimana disebutkan dalam buku-buku Kristen. Dan dia hidup 323 tahun sebelum kelahiran al-Masih ‘alaihi sallam.
Adapun Dzulqarnain yang disebutkan dalam Alquran, maka dia ada pada masa Ibrahim ‘alaihi sallam. Dikatakan, bahwa dia telah masuk Islam di hadapan Ibrahim ‘alaihi sallam, dan berhaji ke Kakbah dengan berjalan kaki. Kemudian manusia telah berbeda pendapat tentangnya, apakah dia itu seorang nabi ataukah seorang hamba saleh, dan seorang raja yang adil. Dan perselisihan itu juga bersamaan dengan kesepakatan mereka, bahwa dia adalah seorang Muslim, yang mengesakan serta taat kepada Allah ﷻ.
Yang benar dalam hal ini – menurut kami – adalah Tawaqquf (Diam tidak berkomentar) tentangnya, karena sabda Nabi ﷺ:

مَا أَدْرِيْ أَتَبِعَ نَبِيًّا كَانَ أَمْ لاَ ، وَمَا أَدْرِيْ ذَا الْقَرْنَيْنِ نَبِيًّا كَانَ أَمْ لَا

“Aku tidak tahu, apakah dia mengikuti seorang nabi ataukah tidak, dan aku tidak tahu Dzulqarnain seorang nabi ataukah tidak.’ (HR. al-Hakim, al-Baihaqiy, dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahihul Jami’ (5524))
Sekali pun kita tidak tahu, dia itu seorang Nabi ataukah tidak, maka yang jelas bagi kami dari sela-sela perkataan Alquran tentangnya, bahwa dia adalah seorang Mukmin yang berada di atas ilmu dan kebaikan. Allah ﷻ berikan dia kekuasaan, kemudian dia berjalan berjihad untuk menebarkan kebenaran dan keadilan.
Kemudian perbedaan antara hamba saleh ini dengan Alexander Macedonia yang kafir itu adalah satu perkara yang dikenal oleh para ulama kaum Muslimin. Seorang ahli tafsir, Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam al-Bidayah wan Nihayah (1/493): “Dari Qatadah, dia berkata ‘Iskandar (Alexander) adalah Dzulqarnain, dan bapaknya adalah Kaisar pertama, dan termasuk putra dari Sam bin Nuh ‘alaihi sallam. Adapun Dzulqarnain yang kedua, maka dia adalah Iskandar (Alexander) putra Philips, Macedonia, Yunani, Mesir, pendiri kota Iskandariyah yang menoreh sejarah Romawi. Dia lebih terakhir dari yang pertama, dengan jarak masa yang panjang. Kami mengingatkannya, karena banyak dari manusia berkeyakinan, bahwa keduanya adalah satu, dan bahwa yang disebutkan dalam Alquran adalah dia yang menterinya adalah Aristoteles.  Yang karenanya terjadilah kesalahan besar, serta kerusakan yang panjang lagi banyak. Sesungguhnya yang pertama adalah seorang hamba beriman, saleh, lagi seorang raja yang adil. Adapun yang kedua adalah seorang musyrik, dan menterinya adalah orang-orang filsafat. Kemudian jarak masa di antara keduanya lebih dari dua ribu tahun. Maka keduanya TIDAK SAMA dan TIDAK SERUPA, kecuali atas orang bodoh yang tidak tahu hakikat berbagai perkara.” Selesai perkataan Ibnu Katsir Rahimahullah.
Maka mengapa Anda mengesampingkan ucapan ahli tafsir yang jelas ini, lalu berpegang dengan dalil-dalil lemah para pendeta tersebut?!
Akan tetapi yang aneh dari Anda sekalian adalah, bahwa tidak ada dalam kitab-kitab suci Anda, keterangan-keterangan yang mencukupi akan Alexander yang kedua, lebih-lebih lagi yang pertama. Puncak dari apa yang ada pada sisi Anda sekalian adalah mimpi Daniel, serta menganggap, bahwa di dalam mimpi tersebut terdapat satu isyarat kekuasaan Alexander yang kafir ini, serta terpecahnya kerajaannya setelah itu.
Keanehan ini dari Anda, ataukah yang aneh itu adalah, bahwa Anda tidak mengetahui satu sanad pun yang bersambung bagi kitab-kitab yang Anda imani? Tidak juga terdapat pengetahuan akan kondisi orang-orang yang melakukan penerjemahannya, bersamaan dengan puluhan tema yang saling kontradiksi dan berselisih yang menghilangkan klaim ‘ishmah (terjaga dari kesalahan), dan, bahwa ditulis berdasarkan ilham dari Ruh Kudus. Dan cukuplah perselisihan kalian terhadap nasab Isa ‘alaihi sallam. Sekalipun demikian, Anda memiliki kenekatan untuk mengritik Alquran mulia, yang sampai dengan sanad yang bersambung secara Mutawatir?!
Maka apakah masuk akal, seorang manusia yang memiliki sedikit akal, datang lalu menjadikan apa yang ada di dalam sebuah kitab yang telah diubah-ubah, sebagai hakim atas Alquran agung, yang terjaga dengan penjagaan Allah ﷻ?!*
_
Syubhat:
Dalam surah yang sama disebutkan matahari terbenam di lumpur.

حَتَّى إِذَا بَلَغَ مَغْرِبَ الشَّمْسِ وَجَدَهَا تَغْرُبُ فِي عَيْنٍ حَمِئَةٍ وَوَجَدَ عِنْدَهَا قَوْمًا قُلْنَا يَا ذَا الْقَرْنَيْنِ إِمَّا أَنْ تُعَذِّبَ وَإِمَّا أَنْ تَتَّخِذَ فِيهِمْ حُسْنًا

“Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbenam matahari, dia melihat matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam, dan dia mendapati di situ segolongan umat. Kami berkata: “Hai Dzulkarnain, kamu boleh menyiksa, atau boleh berbuat kebaikan terhadap mereka.” (QS. al-Kahfi: 86)
Jawaban Syubhat:
Sekali lagi, sebagaimana biasa, para pendeta telah memermainkan Anda. Sebelum saya menjawab, saya akan menjelaskan kepada Anda akan makna [عَيْنٍ حَمِئَةٍ]. Maka itu adalah air yang memiliki lumpur hitam. Dan saat Alquran menyebut ‘Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbenam matahari, dia melihat matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam…’, maka itu adalah penyebutan sifat fenomena yang dilihat oleh Dzulqarnain, bukan penyebutan sifat yang dibuat oleh Allah ﷻ. Maka siapakah yang mengatakan, bahwa Allah ﷻ berfirman, bahwa matahari tenggelam dalam lumpur hitam?
Saya akan membuat satu contoh agar kerancuan ini hilang. Jika Anda duduk di tepi pantai pada saat matahari tenggelam, lalu Anda melihat kepada bulatan matahari. Maka apa yang akan Anda lihat? Dengan sederhana Anda akan melihat, bahwa bulatan matahari akan tenggelam ke dalam lautan. Maka apakah berarti, bahwa matahari itu menghilang di dalam lautan? Tidak diragukan lagi, bahwa hilangnya matahari di dalam lautan adalah apa yang dilihat oleh mata Anda, tetapi hakikatnya tidak benar seperti itu. Jadi jika Anda menyifati apa yang terjadi pada matahari karena hilangnya di dalam lautan saat Anda berdiri di tepi pantai, maka Anda tidak dusta dan tidak salah.
Demikian pula seandainya Anda menghadap ke arah Barat, sementara di depan Anda ada sebuah gunung, maka Anda akan mendapati, bahwa matahari akan tenggelam di belakang gunung. Tentu saja tidak akan pernah dipahami oleh seorang pun, bahwa matahari tersembunyi di balik gunung secara hakiki.
Jika di depan Anda adalah sebuah danau, maka Anda akan mendapati, bahwa matahari akan tenggelam di dalam danau. Dan inilah yang terjadi pada Dzulqarnain yang telah sampai pada laut yang mengandung lumpur hitam, pada saat terbenamnya matahari. Maka dia mendapati matahari itu tenggelam dalam lumpur hitam itu. Saat kita katakan dia mendapatinya tenggelam di balik gunung atau mendapatinya tenggelam di dalam air, maka itu adalah perkara yang sesuai dengan penisbatan untuknya. Ayat tersebut tidak bermakna mutlak, akan tetapi terikat dengan pribadi Dzulqarnain.
Demikian pula kita dapati dalam kisah Musa ‘alaihi sallam, saat Allah ﷻ memerintahkannya untuk melemparkan tongkat:

وَأَلْقِ عَصَاكَ فَلَمَّا رَآهَا تَهْتَزُّ كَأَنَّهَا جَانٌّ وَلَّى مُدْبِرًا وَلَمْ يُعَقِّبْ يَا مُوسَى لا تَخَفْ إِنِّي لا يَخَافُ لَدَيَّ الْمُرْسَلُونَ

“’Dan lemparkanlah tongkatmu’. Maka tatkala (tongkat itu menjadi ular dan) Musa melihatnya bergerak-gerak seperti dia seekor ular yang gesit, larilah ia berbalik ke belakang tanpa menoleh. ‘Hai Musa, janganlah kamu takut. Sesungguhnya orang yang dijadikan rasul, tidak takut di hadapan-Ku.’” (QS. an-Naml: 10)
Menjadi jelaslah bagi semuanya, bahwa Musa ‘alaihi salam saat mendapati tongkatnya bergerak-gerak, dia merasa takut dan menyangka, bahwa tongkatnya telah berubah menjadi seekor ular besar. Di sinilah kita bertanya, apakah tongkat itu ular?
Jawabannya adalah tidak. Akan tetapi ini adalah apa yang dilihat oleh Musa ‘alaihi salam. Maka sebagaimana tongkat tersebut bukanlah ular, maka matahari tersebut tidak tenggelam dalam lumpur hitam. Dan kedua ayat tersebut menceritakan apa yang dilihat oleh Dzulqarnain dan Musa ‘alaihi salam.
Sesungguhnya para pendeta, misionaris dan orang-orang batil selain mereka, saat menyebarkan syubhat seperti ini, menjadi jelaslah bagi kami, bahwa mereka itu adalah orang-orang yang tidak mengerti Bibel mereka. Karena Bibel telah menggunakan metode yang sama.
Disebutkan dalam Hakim-Hakim (Judge) 19: 14 versi bahasa Arab [سفر قضاة 19:14]:

 فَعَبَرُوا وَذَهَبُوا وَغَابَتْ لَهُمْ الشَّمْسُ عِنْدَ جِبْعَةَ الَّتِيْ لِبُنْيَامِيْنَ

“Maka mereka pun lewat dan pergi, kemudian matahari pun menghilang untuk mereka pada Gibea milik Bunyamin” [footnote: Ayat ini terdapat di Naskah berbahasa Arab, sementara terjemahan dalam bahasa Indonesia dan Inggris disebutkan dengan teks yang berbeda, yang didalamnya jelas-jelas terdapat pengubahan. Dan perlu diketahui, bahwa naskah berbahasa Arab lebih dahulu daripada naskah berbahasa Indonesia dan Inggris. Maka orang-orang Nasrani tatkala mendapati apa yang mereka anggap sebagai satu musibah dalam Kitab mereka, mereka pun mengubah-ubah penerjemahan dalam bahasa Indonesia dan Inggris, juga barangkali bahasa-bahasa lain. Kemudian mereka menerjemahkan ayat itu dengan: (19:14) Lalu berjalanlah mereka melanjutkan perjalanannya, dan matahari terbenam, ketika mereka dekat Gibea kepunyaan suku Benyamin. Ini adalah dalil, bahwa pengubahan dalam Bible masih terus berlanjut, dan campur tangan manusia tidak pernah berhenti hingga hari ini. Sekalipun demikian masih saja ada keyakinan, bahwa Bible adalah kitab suci!]
Dengan teks ini, jadilah matahari meninggi di langit, kemudian turun dan menghilang di kota Gibea. Maka apakah matahari tidak di langit, karena dia menghilang di kota Gibea? Ataukah bahkan ungkapan itu bermakna, bahwa matahari telah terbenam saat mereka sampai di kota Gibea?
Barangkali sekarang menjadi jelas, bahwa mereka belum membaca kitab mereka dengan teliti.
Kesalahan besar yang terdapat dalam Bibel adalah disebutkannya dalam Wahyu (12:1): Maka tampaklah suatu tanda besar di langit: Seorang perempuan berselubungkan matahari, dengan bulan di bawah kakinya dan sebuah mahkota dari dua belas bintang di atas kepalanya.
Maka kami bertanya kepada orang-orang Nasrani, bahwa seorang wanita berselubung matahari, sementara matahari lebih besar 1.030.000 kali dari bumi?
Maka bandingkanlah wahai orang-orang berakal, apa hujjah mereka atas kami dan hujjah kami atas mereka!*
_
Syubhat:
Demikian juga telah disebutkan dalam al-Bukhari, bahwa matahari itu bergerak. Jadi kesimpulannya, bahwa matahari bergerak hingga terbenam di dalam lumpur.
Jawaban Syubhat:
Al-Bukhari sama sekali tidak mengatakan, bahwa matahari tenggelam di dalam lumpur, akan tetapi dia meriwayatkan sebuah hadis sekitar firman Allah ﷻ:

وَالشَّمْسُ تَجْرِي لِمُسْتَقَرٍّ لَهَا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ

“Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (QS. Yasin: 38)
Jika yang dianggap aneh itu adalah, bahwa matahari bergerak dan berotasi, maka ini adalah suatu pendapat yang dikuatkan oleh ilmu falak. Matahari bergerak dan berputar, sebagaimana bumi bergerak dan berputar. Rotasi bumi tidak bertentangan dengan gerakan dan perputaran matahari. Lalu Imam al-Bukhari rahimahullah tidak pernah meriwayatkan dalam hadis, bahwa matahari menghilang. Akan tetapi dia meriwayatkan, bahwa matahari sujud di bawah ‘Arsy Allah Yang Maha Pengasih. Dan sujudnya matahari di bawah ‘Arsy ini tidak berarti lama dalam diam dan sujud, hingga bisa diperhatikan oleh orang-orang yang melihat kepadanya. Sujudnya matahari di bawah ‘Arsy tidak berarti dia menghilang dari pendangan seluruh manusia, karena ‘Arsy ada di atas langit dan bumi, serta matahari. Tidak juga menunjukkan, bahwa matahari meninggi hingga di atas langit, lalu sujud di bawah ‘Arsy. Akan tetapi matahari terbenam dari mata-mata kita, sementara dia terus dalam garis edar yang dia berada di dalamnya. Maka jika dia beranjak di dalamnya hingga mencapai pertengahan, maka inilah tempat sujudnya.
Sesungguhnya ilmu modern telah memastikan kebenaran ayat-ayat Alquran dalam masalah perjalanan dan gerakan matahari. Demikian juga tentang masalah rotasi bumi. Sementara kita mendapati, bahwa Bibel bersikukuh atas pendapat, bahwa mataharilah yang bergerak mengelilingi bumi, bukan sebaliknya. Bahkan sesungguhnya Bibel sama sekali tidak pernah menyebutkan di dalamnya, bahwa malam dan siang adalah buah dari rotasi bumi.
Telah disebutkan dalam Pengkhotbah (1:5): Matahari terbit, matahari terbenam, lalu terburu-buru menuju tempat ia terbit kembali.
Teks ini menetapkan satu masalah berbahaya, di mana dia berkata, bahwa matahari pada saat terbenam, dia bergerak cepat menuju tempat terbitnya untuk terbit lagi (?!), Ini, dengan sederhana bermakna, bahwa matahari berputar mengelilingi bumi!
Cukuplah, bahwa orang-orang Nasrani telah menyiksa, membakar dan membunuh mati para ilmuwan astronomi yang meyakini rotasi bumi, yang kemudian menjadi jelas kebenarannya setelah itu. Dan perkara ini ternyata telah bersesuaian dengan kemajuan ilmu yang telah dicapai pada hari ini, yang itu telah bersesuaian dengan Alquran yang mulia.
Seluruh kesalahan ini ditanggung oleh Bibel, kemudian mereka tidak mengambil pusing tentangnya, atau merasa bodoh terhadapnya. Lalu mereka mendatangi Alquran seraya berusaha dengan segala cara untuk mencari kesalahan di dalamnya. Dan mereka tidak bisa menetapkan satu kesalahan pun padanya hingga hari ini, dan bahkan hingga Hari Kiamat nanti.
Jika terdapat satu kesalahan di dalam Alquran yang mulia, maka kami katakan kepada para pendeta dan misionaris, ‘Medan sudah ada di antara kami dan Anda, silakan berdialog, maka pastilah umat ini akan melihat perbandingan yang hakiki antara Alquran Mulia, yang merupakan firman Allah, dan antara Kitab yang kalian anggap sebagai Kitab suci, padahal tidaklah demikian, karena kitab itu adalah bikinan manusia.’
_
Syubhat:
Tersebar di Youtube, bahwa Dai Ahmad Dedat rahimahullah wafat dalam kondisi buruk. Maka ini adalah bukti, bahwa dia berada di atas kebatilan, dan Nasrani berada di atas kebenaran. (Mahasiswa Nasrani S2 di India)
Jawaban Syubhat:
Pertama, kita berdoa memohonkan rahmat dan ampunan dari Allah ﷻ untuk Syaikh Ahmad Deedat, atas apa yang telah dia persembahkan demi menolong agama Islam dan kaum Muslimin. Sungguh, karena sebabnya telah banyak dari orang-orang Nasrani yang beriman, dia telah mengeluarkan mereka dari kegelapan kekufuran dan kesyirikan, kepada cahaya Islam. Dan sesungguhnya saya, dengan segala ilmu saya tentang Nasrani (Kristologi) hanyalah seorang murid kecil, di hadapan sebuah gunung besar, yang saya banyak mengambil faidah darinya. Maka kami pun meneruskan jalan perjuangannya. Demikian pula kami akan meninggalkannya untuk orang-orang setelah kami dengan izin Allah, agar cahaya Allah terus bersinar hingga Hari Kiamat.
Berkenaan dengan kondisi wafat ulama besar ini rahimahullah, maka saya menjawab orang-orang Nasarni, dengan mengatakan: Sesungguhnya hujjah kalian, saya dapati, selalu lebih rapuh daripada sarang laba-laba. Saya berharap pada kesempatan yang akan datang, Anda memberikan kepada kami minimal satu syubhat yang setara dengan kekuatan sarang laba-laba (bukan kurang dari itu), dan itu mustahil Anda lakukan. Oleh karena itulah, saya akan menjawab Anda sekalian atas syubhat ini dari berbagai sisi:
Pertama, kondisi yang diderita oleh Syaikh Ahmad Deedat sebelum wafatnya adalah sebuah kondisi biasa yang dilalui oleh banyak manusia pada hari ini. Sebelum wafatnya, dia mengalami kelumpuhan otak, yang setelah itu dia wafat pada tahun 2005 M. Akan tetapi apakah Anda sekalian mengetahui, wahai orang-orang Nasrani, tentang usia pada saat beliau wafat? Dia wafat pada usia 87 tahun. Artinya, Allah ﷻ telah memanjangkan usianya, dan ini adalah sebuah nikmat. Lalu mengapa Anda sekalian melupakannya?
Jika kalian menganggap penderitaannya dengan sakit sebelum wafatnya, yang menyebabkannya terduduk di ranjang, sebagai bukti akan kebatilannya, maka bagaimana pula anggapan Anda, dengan orang yang kondisinya lebih hina, disiksa dan disalib sebelum kematiannya?! Bukankah dengan logika Anda yang sama, menjadi dalil akan kebatilan agama yang dibawanya? Jika kondisi Syaikh Deedat sebelum kematiannya adalah sebuah isyarat akan kesesatannya, maka apakah hal itu tidak menjadikan kita berkeyakinan juga akan kebatilan agama Nasrani, dari orang-orang yang tertimpa penyakit yang sama, dan jumlah mereka jutaan. Sama saja, apakah mereka yang sudah mati, atau yang berada di atas ranjang hari ini! Terutama, seharusnya mereka tidak sampai pada kondisi yang dialami Syaikh Deedat, karena keberadaan al-Masih ‘alaihi sallam yang telah menjadi Juru Selamat mereka dari kesalahan, sesuai dengan keyakinan Anda? Sementara Syaikh Deedat, tidak ada seorang pun yang menjadi juru selamat baginya dari segala kesalahan?! Maka seharusnya yang tertimpa penyakit itu hanya dia saja, dan yang setara dengannya. Bukan malah banyak orang-orang Nasrani.
Kedua, sakit itu dari Allah, yang kemudian datang sebagai buah dari bentukan Allah terhadap tubuh manusia. Sang Pencipta ﷻ menciptakan manusia berbeda-beda dalam tabiat tubuh-tubuh mereka. Dia jadikan sebagian mereka, sistem kekebalan tubuhnya lebih kuat dari yang lain, sementara yang lain Dia jadikan tugas-tugas anggauta tubuhnya menjadi kendur sebelum yang lain… Demikian seterusnya.
Masing-masing mereka berbeda-beda akhir kematian mereka. Sama saja mereka yang mati dengan kesehatan buruk, atau dengan kesehatan baik. Maka tidaklah kondisi kematian seseorang itu merupakan bukti akan kebenaran atau kesalahan keyakinan manusia. Jika tidak, maka pastilah al-Masih ‘alaihi sallam (menurut Nasrani), dengan logika ini, menjadi manusia yang paling sesat, wal’iyadzu billah, di mana dilakukan penyiksaan yang menakutkan terhadapnya, lalu dia mati dengan kematian yang sesuai dengan apa yang diceritakan oleh Bibel kalian, yaitu dengan kematian buruk, yang telah disodorkan padanya bentuk penyiksaan menakutkan yang terburuk, yang Syaikh Deedat tidak megalami hal itu. Bahkan Syaikh Deedat, saat wafat tidak mengalami peludahan, sebagaimana yang dialami oleh al-Masih ‘alaihi salam dengan pengakuan injil Matius (26:67) Lalu mereka meludahi muka-Nya dan meninju-Nya; orang-orang lain memukul Dia.
Lalu penyiksaan terhadapnya terus berlangsung hingga setelah kematiannya. Maka jadilah kematian al-Masih ‘alaihi sallam, sebagaimana  yang diceritakan oleh Bibel kalian, lebih buruk dari kematian Syaikh Deedat, yang wafat dalam keadaan mulia, tanpa ada satu penghinaan pun terhadap kemuliaanya, atau yang menyentuh sisi kemanusiaannya.
Ketiga, bagaimana Anda sekalian mengharuskan kami, dengan logika kalian terhadap kematian seorang Muslim, yang memiliki agama selain agama Anda sekalian? Karena kematian dalam agama Islam adalah satu tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah, yang telah Dia tetapkan terhadap hamba-hamba-Nya. Allah ﷻ berfirman:

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati….” (QS. al-Anbiya’: 35)
Allah ﷻ telah menutup terhadap hamba-hamba-Nya akan pengetahuan waktu kematian, demikian juga tempat yang di dalamnya dia mati, demikian juga jalan yang menghantarkan kepadanya. Allah ﷻ berfirman:

وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ

“…dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui, di bumi mana dia akan mati.” (QS. Luqman: 34)
Kematian adalah sebuah rahmat bagi seorang Mukmin, dan azab bagi orang-orang kafir. Karena kematian adalah sebuah tabir, yang dengan hilangnya tabir itu, sampailah seorang Mukmin kepada Surga dan keridaan-Nya. Dan yang kafir sampai kepada azab Allah dan Neraka Jahim selamanya. Dan bukanlah cara kematian, apapun bentuknya, adalah sebuah dalil akan buruknya kematian, kecuali orang yang mati di atas maksiat dan tercabut ruhnya di atasnya. Sementara Syaikh Ahmad Deedat wafat di atas kebaikan agung yang telah kami kenal, dan dikenal oleh orang-orang yang dekat dengannya. Mudah-mudahan Allah merahmati ulama besar ini dengan rahmat yang luas.
 
***
 
Bantahan diambil dari http://en.qiblati.com/kategori/dakwah-kepada-nashrani/syubhat-nasrani
Sumber: https://alhilyahblog.wordpress.com/2012/01/23/jawaban-tuduhan-tuduhan-buruk-kaum-nasrani-dan-orang-orang-kafir-terhadap-islam-bag-1/