بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

#SayNoToBidah, #MutiaraTafsir

JANGAN MUDAH MEMUTUSKAN “INI HALAL DAN ITU HARAM”

>> Seorang Hamba Tidak Boleh Mengatakan Halal atau Haram, Kecuali Setelah Mengetahui, Bahwa Allah Menghalalkan atau Mengharamkannya

 

Allah ﷻ berfirman:

وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَٰذَا حَلَالٌ وَهَٰذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ مَتَاعٌ قَلِيلٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (Itu adalah) kesenangan yang sedikit, dan bagi mereka azab yang pedih. [QS An-Nahl /16 : 116-117]

Penjelasan Ayat

Budaya Jahiliyah, Mengatur Penetapan Hukum dengan Hawa Nafsu

Budaya bangsa Jahiliyah yang berlawanan dengan ajaran Islam sungguh banyak. Islam datang untuk MENGHAPUSKANNYA, supaya umat manusia selalu berada di atas fitrah penciptaannya.

Ayat di atas membicarakan salah satu dari sekian banyak budaya jahiliyyah yang berkembang di tengah masyarakat zaman dulu, sebelum akhirnya terhapus syariat Muhammad ﷺ. Yakni, mengharamkan dan menghalalkan sesuatu tanpa mengindahkan. dan tanpa merujuk kepada wahyu Ilahi. maupun ketetapan-ketetapan hukum samawi lainnya yang berasal dari Allah ﷻ, Yang Maha Mengetahui kemaslahatan seluruh makhluk. Padahal mereka mengklaim sebagai para penganut ajaran Nabi Ibraahim Alaihissallam. Sehingga Allah ﷻ melarang umat Islam mengikuti jalan kaum musyrikin tersebut. [Tafsirul-Qur`anil-‘Azhim (4/609), Aisarut-Tafasir (1/326)]

Realita yang terjadi, mereka mengharamkan hal-hal yang dihalalkan, dan sebaliknya, menghalalkan hal-hal yang diharamkan oleh Allah al-Khaaliq. Mereka menetapkan hukum-hukum halal dan haram sesuai dengan hawa nafsunya. Dengan tindakan ini, mereka telah melakukan iftira ‘alallah ta’ala (kedustaan atas nama Allah ta’ala).

Allah ﷻ telah menjelaskan substansi ayat di atas melalui beberapa ayat lainnya. Di antaranya:

قُلْ هَلُمَّ شُهَدَاءَكُمُ الَّذِينَ يَشْهَدُونَ أَنَّ اللَّهَ حَرَّمَ هَٰذَا ۖ فَإِنْ شَهِدُوا فَلَا تَشْهَدْ مَعَهُمْ

Katakanlah: “Bawalah kemari saksi-saksi kamu yang dapat memersaksikan, bahwasanya Allah telah mengharamkan (makanan yang kamu) haramkan ini”. Jika mereka memersaksikan, maka janganlah kamu ikut (pula) menjadi saksi bersama mereka… [QS Al-An’am/6 : 150]

Allah ﷻ berfirman:

قُلْ أَرَأَيْتُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ رِزْقٍ فَجَعَلْتُمْ مِنْهُ حَرَامًا وَحَلَالًا قُلْ آللَّهُ أَذِنَ لَكُمْ ۖ أَمْ عَلَى اللَّهِ تَفْتَرُونَ

Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal”. Katakanlah: “Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini), atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?” [QS.Yunus/10 : 59].

Pengertian ayat ini (QS. An-Nahl/16 ayat 116-117) akan kian jelas, dengan memerhatikan ayat sebelumnya. Bahwasanya Allah ﷻ memerintahkan agar mereka memakan makanan-makanan yang baik-baik lagi halal. Allah ﷻ berfirman:

فَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا وَاشْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ

Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu. Dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah. [QS. An-Nahl/16 : 114].

Selanjutnya, Allah ﷻ menjelaskan hal-hal yang diharamkan atas diri mereka dalam ayat berikutnya:

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ ۖ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah. Tetapi barang siapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [QS. An Nahl/16 : 115].

Kenyataannya justru tidak sejalan dengan apa yang telah dinyatakan oleh Allah al-Hakam (Dzat Yang Maha Menentukan hukum) dalam ayat tersebut. Mereka justru menghalalkan bangkai, darah dan binatang-binatang yang mereka sembelih tanpa dengan menyebut nama Allah ta’ala. Dan sebaliknya, mereka mengharamkan pemanfaatan binatang-binatang, baik untuk dikonsumsi maupun sebagai tunggangan, yang sebenarnya dihalalkan bagi umat manusia.

Sebagai contoh, sebagaimana tertuang dalam firman Allah ta’ala berikut ini:

مَا جَعَلَ اللَّهُ مِنْ بَحِيرَةٍ وَلَا سَائِبَةٍ وَلَا وَصِيلَةٍ وَلَا حَامٍ ۙ وَلَٰكِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ ۖ وَأَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ

Allah sekali-kali tidak pernah mensyariatkan adanya Bahirah, Saibah, Washilah dan Ham. Akan tetapi orang-orang kafir membuat-buat kedustaan terhadap Allah, dan kebanyakan mereka tidak mengerti. [QS. Al-Ma`idah/5:103] [Bahirah, Saibah, Washilah dan Ham, adalah sebutan untuk hewan ternak dalam kondisi tertentu. Kaum Jahiliyah mengharamkan pemanfaatannya sama sekali. Tentang makna istilah-istilah di atas, lihat footnote Alquran Terjemah yang diterbitkan Departemen Agama RI pada ayat tersebut. Contoh sikap pengharaman lainnya, silahkan lihat QS. al-An’am/6 ayat 138, 139, 140].

Demikianlah, konsep halal-haram di mata orang-orang Jahiliyyah pada masa lalu. Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menyatakan, yang menjadi biang keladi dalam masalah ini, ialah karena adanya perangkap nafsu dan syahwat serta doktrin tokoh-tokoh besar mereka [Lihat kitab al-Ath’imah wa Ahkamish Shaidi wadz-Dzaba`ih, karya Syaikh Dr. Shalih al-Fauzan, Maktabah al-Ma’arif, Riyadh, Cetakan II, Tahun 1419H-1999M, hlm. 26].

Ringkasnya, permulaan ayat ini MELARANG seseorang untuk menjatuhkan penilaian tentang halal dan haram terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak dihalalkan atau diharamkan oleh Allah ﷻ. Karena hal itu merupakan kedustaan dan kebohongan dengan mengatasnamakan Allah ta’ala. [Taisirul-Karimir-Rahman (451), al-Jalalain, hlm. 575]

Melebihi Kesalahan Perbuatan Syirik

Tak diragukan, perbuatan syirik merupakan perbuatan dosa yang sangat besar, dan merupakan kesalahan sangat fatal. Perbuatan syirik ini lantaran mengandung perbuatan yang menyamakan antara al-Khaaliq Yang Maha Sempurna dari segala sisi, dengan makhluk yang sarat dengan segala kelemahan dari setiap sisi. Namun telah diberitakan oleh Allah ﷻ, bahwa ada dosa yang lebih tinggi derajat keburukannya dibandingkan syirik. Dosa itu ialah berdusta atas nama Allah ﷻ. Karena, sebenarnya, seluruh maksiat berawal dari kedustaan atas nama Allah ﷻ. Allah ﷻ berfirman:

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Katakanlah: “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) memersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu, dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah, apa saja yang tidak kamu ketahui”. [QS. Al-An’am/7:33].

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan: “Allah mengharamkan berkata atas nama Allah tanpa dasar ilmu dalam urusan fatwa atau hukum pengadilan. Dia mengategorikannya termasuk perkara haram yang terbesar. Bahkan menempatkannya di urutan pertama [I’lamul-Muwaqqi’in, 2/73]. Karena urutan perkara-perkara yang diharamkan dalam ayat di atas secara at-ta’ali (dari urutan rendah menuju peringkat terparah) [At-Ta’alum wa Atsaruhu ‘alal Fikri wal-Kitab, Dr. Bakr Abu Zaid, Darul-‘Ashimah, Cetakan IV, Tahun 1418 H].

Pangkal Dari Suatu Musibah

Gejala memrihatinkan ini jelas berpangkal dari faktor tertentu, bukan merupakan peristiwa yang terjadi begitu saja tanpa sebab-musabab. Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah menunjuk fenomena at-ta’alum (sok pintar) sebagai faktor utama. Yakni, sifat merasa lebih mengetahui, merasa memiliki kapabilitas mengeluarkan fatwa atau menjawab, padahal kemampuannya masih sangat jauh dan penuh kekurangan.

Kata Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah: “Sesungguhnya at-ta’alum merupakan pintu masuk menuju ‘Berkata atas nama Allah tanpa dasar ilmu’. Tidak itu saja, ta’alum, keganjilan pendapat, mencari-cari rukhshah, fanatisme buta, semua itu merupakan pintu-pintu menuju kejahatan berkata atas nama Allah tanpa ilmu”. [At-Ta’alum wa Atsaruhu ‘alal Fikri wal-Kitab, Dr. Bakr Abu Zaid, Darul-‘Ashimah, Cetakan IV, Tahun 1418 H]

Berfatwa merupakan kedudukan yang penting. Dalam fatwa ini seseorang mencoba untuk menyelesaikan masalah yang dihadapai seseorang atau masyarakat. Karena kuatnya pengaruh tindakan pemberian fatwa ini, maka tidak ada yang boleh menyampaikan fatwa, kecuali orang-orang yang memang telah mencapai kemampuan ilmiah tertentu. Bukan sembarangan orang. [Kitabul-‘Ilmi, Syaikh al-Utsaimin, ats-Tsurayya, I, 1420-1999, hlm. 75]

Ahli Bid’ah Terancam Oleh Ayat Ini

Imam Ibnu Katsiir rahimahullah berkata: “Termasuk dalam konteks ayat ini, yaitu setiap orang yang melakukan perbuatan bid’ah” [Tafsirul-Qur`anil-‘Azhim, 4/609]. Alasannya sangat jelas. Yakni, mereka menambah-nambahkan sesuatu dengan beranggapan, bahwa semua yang mereka tetapkan merupakan bagian dari agama Islam, setelah mengganggapnya sebagai perbuatan baik, padahal syariat tidak mengatakannya.

Ancaman Berat Terhadap Pelaku yang Berdusta Mengatasnamakan Allah

Manakala suatu perbuatan salah sudah menempati level yang sangat membahayakan, maka tak aneh jika balasannya pun sangat berat. Untuk perbuatan dusta atas nama Allah ta’ala dengan menghalalkan atau mengharamkan secara serampangan, maka Allah ﷻ telah menetapkan balasannya sebagaimana tertera dalam firman-Nya:

إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ مَتَاعٌ قَلِيلٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

…Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (Itu adalah) kesenangan yang sedikit; dan bagi mereka azab yang pedih. [QS. An Nahl /16:116-117].

Allah ﷻ menyampaikan ancaman terhadap perbuatan dusta yang mengatasnamakan nama-Nya dalam hukum-hukum syari. Juga terhadap pernyataan mereka tentang perkara yang tidak diharamkan “Ini haram”, atau pada perkara yang tidak dihalalkan “Ini halal”. Ayat ini menjadi penjelasan dari Allah ta’ala, bahwa seorang hamba TIDAK BOLEH mengatakan halal atau haram, kecuali setelah mengetahui bahwa Allah menghalalkan atau mengharamkannya [I’lamul-Muwaqqi’iin, 2/ 73-74].

Mereka tidak akan beruntung di dunia maupun di Akhirat. Dan pasti Allah ﷻ akan menampakkan kehinaan mereka. Meskipun mereka menikmati hidup dengan nyaman di dunia ini, akan tetapi itu hanyalah kenikmatan sekejap. Tempat kembali mereka adalah Neraka. Di sana, bagi mereka siksaan yang pedih. [Taisirul-Karimir-Rahman, 451]

Pengendalian Berkata Atas Nama Allah Tanpa Ilmu

Di tengah masyarakat, kita dapat menyaksikan banyak bertebaran fatwa tanpa dasar yang dibenarkan. Anehnya, orang-orang berusaha menahan diri berbicara (berpendapat) dalam disiplin ilmu-ilmu umum di hadapan para ahlinya. Konkritnya, seorang yang bukan dokter merasa tidak nyaman berbicara dalam masalah-masalah kedokteran di hadapan dokter. Atau bukan arsitek merasa tidak nyaman berbicara tentang arsitektur di hadapan seorang insiyur. Namun sikap serupa tidak disaksikan dalam urusan-urusan agama, -sifat merasa lebih mengetahui terlalu menonjol. Padahal mereka meyakini Allah Maha Mendengar segala perkataan, Maha Melihat saat mengeluarkan hukum, penilaian maupun fatwa [Lihat Hasha`idul-Alsun, Syaikh Husain al-‘Awayisyah, Daarul-Hijrah, Cet. I, Th. 1412H-1992M, hlm. 51].

Pendapat-pendapat ganjil pun mengemuka. Bahkan terkadang sangat menggelikan, hingga benar-benar memerlihatkan betapa dangkal ilmu yang dimilikinya. Kekacauan sudah menjalar di mana-mana. Jadi, solusi “Problematika sosial” yang sudah mewabah dan tak bisa dianggap ringan ini, yang juga merupakan solusi bagi seluruh masalah ialah, menanamkan rasa takut kepada Allah ﷻ dan meningkatkan kadar ketakwaan, hingga terbentuk mentalitas wajib menahan diri tidak berbicara atau tidak menjawab, dan tidak mengeluarkan fatwa, jika benar-benar tidak mengetahui apa-apa, atau hanya setengah tahu. Dan hendaklah dimengerti, bahwa Allah-lah yang berhak menetapkan dan menciptakan (al-khalqu wal-amru). Tidak ada pencipta selain-Nya. Tidak ada syariat bagi makhluk selain syariat-Nya. Dia-lah yang berhak mewajibkan sesuatu, mengharamkannya, menganjurkan dan menghalalkan.

Oleh karena itu, jika seseorang ditanya permasalahan yang TIDAK diketahuinya, hendaklah dengan lantang menjawab tanpa malu-malu dan mengatakan “Aku tidak tahu, aku belum tahu, tanya orang lain saja”. Jawaban seperti ini justru menunjukkan kesempurnaan akalnya, kebaikan iman dan ketakwaannya, serta kesopanan di hadapan Allah ﷻ [Kitabul-‘Ilmi, hlm. 77].

Kehati-Hatian Generasi Salaf dalam Masalah Ini [I’lamul-Muwaqqi’in (2/75-77), Adhwa`ul-Bayan (3/347), Riyadhush-Shalihin (Bahjatun-Naazhirin)]

Dahulu, para generasi Ulama Salaf, mereka bersikap wara` (menjaga diri) dalam mengeluarkan pernyataan “Ini halal dan itu haram”, lantaran takut terhadap ayat di atas. Selain itu, ialah untuk menunjukkan tingginya sopan santun mereka di hadapan Allah dan Rasul-Nya ﷺ, yang berhak menetapkan hukum atas umat manusia, padahal mereka mengetahui dalil penghalalan atau pengharamannya dengan jelas.

Imam Maalik rahimahullah meriwayatkan dengan sanadnya dari Qabishah bin Dzuaib, bahwasanya ada seorang lelaki yang bertanya kepada ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu anhu mengenai dua perempuan bersaudara yang sebelumnya berstatus sebagai budak. ‘Utsman radhiyallahu anhu menjawab: “Sebuah ayat menghalalkannya, dan ayat lain telah mengharamkannya. Adapun saya, tidak suka untuk melakukannya” [Isnadnya shahih. Lihat al-Muwaththa (2/538), al-Umm (5/3), al-Baihaqi (7/163). Dinukil dari catatan kaki di I’lamul-Muwaqqi’in, 2/75. Dalam riwayat ini, ‘Utsman Radhiyallahu anhu dengan kehati-hatiannya menisbatkan penghalalan dan pengharaman kepada nash Alquran, bukan kepada dirinya, Pen].

Imam al-Qurthubi rahimahullah meriwayatkan: Ad-Darimi berkata dalam Musnad-nya: Harun telah memberitahukan kepada kami dari Hafsh dari al-A’masy, ia berkata: “Aku belum pernah mendengar Ibrahim (an-Nakha`i) berkata ‘(Ini) halal atau haram,’ akan tetapi ia mengatakan (bila menghukumi): ‘Dahulu, orang-orang tidak menyukainya. Atau, dahulu orang-orang menyukainya’.” [Al-Jami li Ahkamil-Qur`an]

Ibnu Wahb rahimahullah berkata dari Imam Malik rahimahullah: “Tidaklah menjadi kebiasaan orang-orang (sekarang) atau orang-orang yang telah berlalu, juga bukan menjadi kebiasaan orang-orang yang aku ikuti untuk mengatakan ‘Ini halal, itu haram’. Mereka tidak berani untuk melakukannya. Kala itu mereka hanya mengatakan nakrahu kadza (kami tidak menyukainya), naraahu hasanan (kami melihatnya baik), nattaqi hadza (kami menghindarinya), wala nara hadza (kami tidak berpandangan demikian)”.

Dalam riwayat lain: “Mereka tidak mengatakan ‘Ini halal atau haram’. Tidakkah engkau mendengar Allah berfirman (yang artinya):

Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal”. Katakanlah: “Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini), atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?” (QS. Yunus/10 : 59), lantas beliau berkata: “Yang halal adalah semua yang dihalalkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Yang haram adalah semua yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya” [I’lamul-Muwaqqi’in, 2].

Dalam kitab Al-Umm, Imam asy-Syafi’i rahimahullah sering mengatakan: Ahabbu ilayya, uhibbu, akrahu dan lafal-lafal semisal lainnya untuk menilai berbagai macam perkara. Wallahu a’lam.

Pelajaran dari Ayat:

1. Haram menetapkan halal dan haram tanpa dasar syari, qath’i maupun zhanni, kecuali yang sudah hampir diyakini sebagai hal yang diharamkan.

2. Haram berdusta atas nama Allah ta’ala.

3. Orang yang berdusta atas nama Allah ta’ala, ia tidak akan beruntung di Akhirat kelak. Sementara di dunia, ia akan dirundung oleh kehinaan.

4. Wajib menjaga lisan dan berhati-hati dalam berbicara.

5. Ahli bid’ah diancam dengan ayat di atas.

Wallahu a’lam

 

Maraaji’:

1. Aisarut-Tafasir, Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Maktabah ‘Ulum wal-Hikam, Madinah.

2. Al-Jami li Ahkamil-Qur`an (Tafsir al-Qurthubi), Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, Tahqiq: ‘Abdur-Razzaq al-Mahdi, Darul-Kitabil-‘Arabi, Cetakan IV, Tahun 1422 H – 2001 M.

3. I’laamul Muwaqqi’in ‘An Rabbil ‘Alamin Ibnul Qayyim, Tahqiq: Abu ‘Ubaidah Masyhuur bin Hasan Alu Salmaan Daar, Ibnu Jauzi, Cet. I, Th. 1423H.

4. Kitabul-‘Ilmi, Syaikh al-Utsaimin, ats-Tsurayya, I, 1420H-1999M.

5. Ma’alimut-Tanzil, Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Tahqiq dan Takhrij: Muhammad ‘Abdullah an-Namr, ‘Utsman Jum’ah Dhumairiyyah, dan Sulaiman Muslim al-Kharsy, Dar Thaibah, Tahun 1411 H.

6. Tafsirul-Qur`anil-‘Azhim, al-Hafizh Abul-Fida Isma’il bin ‘Umar bin Katsir al-Qurasyi, Tahqiq: Sami bin Muhammad as-Salamah, Dar Thaibah, Cetakan I, Tahun 1422 H – 2002 M.

7. Taisirul-Karimir-Rahman, ‘Allamah Syaikh Abdur-Rahman bin Nashir as-Sa’di, Darul-Mughni, Riyadh, Cet. I, Th. 1419 H – 1999 M.

 

Penulis: Ustadz Ashim bin Mushthofa hafizahullah

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XII/Ramadhan 1429/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

 

Sumber: https://almanhaj.or.id/3346-jangan-mudah-memutuskan-ini-halal-dan-itu-haram.html