سْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

#FikihJualBeli

HUKUM MENYEWAKAN POHON

Pertanyaan:

Di tempat saya (Banyuwangi) sedang marak petani menyewakan sawah beserta pohon jeruknya yang baru mulai berbuah.

Ilustrasinya misalkan pohon jeruk (seluas 1 bau atau =/- 8.000 m2) mulai berbuah, kemudian disewakan ke penyewa selama lima tahun senilai Rp 300 juta.

Jawaban:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Di antara kaidah dalam transaksi, bahwa setiap transaksi harus jelas, agar tidak memicu sengketa atau permusuhan antara penjual dan pembeli. Larangan transaksi tidak jelas ini, ditegaskan Nabi  ﷺ dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan:

نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

Rasulullah  ﷺ melarang jual beli gharar. (HR. Muslim 3881, Nasai 4535, dan yang lainnya).

Dalam riwayat lain dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – نَهَى عَنْ بَيْعِ حَبَلِ الْحَبَلَةِ

Bahwa Rasulullah  ﷺ melarang jual beli Habalil Habalah. (HR. Bukhari 2143 & Muslim 3882).

Jual beli Habalil Habalah ada dua makna:

  • Jual beli anak dari hewan yang masih dikandungan.

Misalnya: Unta A hamil, mengandung unta B. Anak  dari unta B ini dijual. Dengan pengertian ini, jual beli yang terjadi adalah Bai’ Ma’dum (Jual beli barang yang belum ada).

  • Jual beli dengan batas pembayaran ditentukan melalui lahirnya anak dari unta yang masih ada di kandungan. Berdasarkan pengertian ini, jual beli yang terjadi adalah jual beli sampai batas yang tidak jelas. (Ta’liqat Shahih Bukhari, Musthofa Dib Bugha, 2/753).

Takyif Fiqh Sewa Pohon Berbuah

Ada dua pendekatan untuk kasus menyewakan pohon dalam rangka diambil buahnya:

Pendekatan Pertama

Ketika seseorang menyewa pohon untuk diambil buahnya, seperti sewa pohon jeruk atau pohon kelengkeng, ukuran manfaatnya tidak jelas. Misalnya, ketika pohon ini disewakan selama lima tahun, dan dalam kondisi normal panen terjadi setiap tahun, kita tidak bisa memastikan hasilnya. Apakah nanti akan berbuah setiap tahun atau sebaliknya, sering gagal panen. Karena yang dia ambil adalah hasil buahnya.

Lain halnya ketika ada pohon yang disewakan untuk sesuatu yang manfaatnya terukur, misalnya untuk hiasan dekorasi walimah pernikahan atau untuk tempat berteduh, dan seterusnya, manfaatnya jelas dan terukur.

Kedua, bahwa menyewakan pohon untuk diambil buahnya berarti sama dengan membeli buah itu sebelum buah itu ada. Padahal sewa itu akad untuk manfaat, dan bukan transaksi jual beli barang. Sehingga transaksi ini TIDAK SEJALAN dengan konsekuensi akad.

Berangkat dari pendekatan fikih di atas, Mayoritas Ulama MELARANG menyewakan pohon untuk diambil manfaat dalam bentuk panen buahnya. Dalam kitab al-Mabsuth – kitab Hanafiyah – dinyatakan:

ولا يجوز إجارة الشجر والكرم بأجرة معلومة على أن تكون الثمرة للمستأجر، لأن الثمرة عين لا يجوز اسحقاقها بعقد الإجارة… ولأن محل الإجارة المنفعة

TIDAK BOLEH menyewakan pohon atau pohon anggur, dengan ketentuan hasil buah milik si penyewa. Karena buah itu benda, yang tidak boleh dipindah kepemilikannya dengan akad sewa… dan karena objek akad sewa adalah manfaat benda. (al-Mabsuth, as-Sarkhasi, 16/61).

 

Kemudian juga dinyatakan dalam kitab Minah al-Jalil – kitab Malikiyah –:

لا يصح إيجار الأشجار لثمارها، وشاة لنتاجها ولبنها وصوفها، لأنه بيع عين قبل وجودها

Tidak boleh menyewakan pohon untuk diambil buahnya, atau menyewakan kambing untuk diperah susunya atau diambil bulunya. Karena semua ini hakikatnya jual beli benda, sebelum benda itu ada. (Minah al-Jalil Syarh Mukhtashar al-Khalil, 7/496).

Juga dinyatakan dalam kitab al-Inshaf – kitab Madzhab Hambali –:

لا تجوز إجارة أرض وشجر لحملها على الصحيح من المذهب، وعليه جماهير الأصحاب، وقطع به أكثرهم وحكاه أبو عبيد إجماعا؛ قال الإمام أحمد رحمه الله أخاف أن يكون استأجر شجرا لم يثمر

Tidak boleh menyewakan tanah atau pohon untuk diambil hasilnya, menurut pendapat yang kuat menurut Madzhab Hambali. Ini merupakan pendapat mayoritas Ulama Hambali, Dan Ditegaskan Mayoritas Mereka. Bahkan Abu Ubaid Menyatakan Sebagai Ijma’ (kesepakatan). Imam Ahmad mengatakan: Saya khawatir setelah pohon itu dia sewa, lalu ternyata tidak berbuah. (al-Inshaf, al-Mardawi, 5/356)

Ketika menyewa pohon ternyata tidak menghasilkan buah, bisa memicu sengketa antara pemilik pohon dengan penyewa. Yang ini semakna dengan larangan Nabi  ﷺ menjual buah di pohon, sebelum layak dipanen. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ بَيْعِ الثَّمَرَةِ حَتَّى تُزْهِىَ قَالُوا وَمَا تُزْهِىَ قَالَ تَحْمَرُّ. فَقَالَ إِذَا مَنَعَ اللَّهُ الثَّمَرَةَ فَبِمَ تَسْتَحِلُّ مَالَ أَخِيكَ

Bahwa Rasulullah  ﷺ melarang jual beli buah sampai dia mengalami zuhuw. Para sahabat bertanya, “Apa ciri zuhuw?” jawab Nabi  ﷺ:

“Sampai memerah. Karena ketika Allah takdirkan tidak jadi berbuah, lalu dari mana dia bisa mengambi harta saudaranya?” (HR. Muslim 4061)

Allahu a’lam.

 

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits