بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

#SifatPuasaNabi

HUKUM MEMBATALKAN PUASA KARENA UNDANGAN

>> Haruskah Membatalkan Puasa Karena Undangan?

Pertanyaan:

Apa benar kalau kita puasa sunnah dan kita bertamu disuguhi itu boleh kita makan, karena dapat dua pahala, pahala puasa dan menghormati jamuan?

Jawaban:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Pertama, puasa wajib, baik Ramadan maupun di luar Ramadan, seperti puasa nazar, atau puasa qadha, atau puasa karena bayar kaffarah, dan puasa wajib lainnya, TIDAK BOLEH DIBATALKAN, kecuali jika ada uzur, seperti sakit, safar, atau uzur lainnya.

Ibnu Qudamah mengatakan:

ومن دخل في واجب، كقضاء رمضان، أو نذر معين أو مطلق، أو صيام كفارة؛ لم يجز له الخروج منه؛ لأن المتعين وجب عليه الدخول فيه، وغير المتعين تعين بدخوله فيه، فصار بمنزلة الفرض المتعين، وليس في هذا خلاف بحمد الله

Siapa yang telah memulai puasa wajib seperti qadha Ramadan, puasa nazar hari tertentu atau nazar mutlak, atau puasa kafarah, TIDAK boleh membatalkannya. Karena sesuatu yang statusnya wajib ain, harus dilakukan. Sementara yang bukan wajib ain, menjadi wajib ain jika telah dilakukan. Sehingga statusnya sama dengan wajib ain. Dan dalam hal ini tidak ada perselisihan, alhamdulillah. [Al-Mughni, 3/160 – 161]

Karena itu, dalam kondisi apapun, orang yang melakukan puasa wajib TIDAK boleh dia batalkan, tanpa alasan yang dibenarkan.

Kedua, berbeda dengan puasa sunah. Seseorang diperbolehkan untuk membatalkannya, sekalipun tidak ada uzur. Hanya saja, sangat dianjurkan bagi orang yang berpuasa sunah untuk tidak membatalkannya, terutama puasa sunah yang menjadi kebiasaannya. Karena Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَلا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُم

“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Ar-Rasul, dan janganlah kalian membatalkan amal kalian.” (QS. Muhammad: 33)

Di antara dalil yang menunjukkan bolehnya membatalkan puasa sunah:

  1. Dari Ummu Hani’ radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

الصَّائِمُ الْمُتَطَوِّعُ أَمِيرُ نَفْسِهِ، إِنْ شَاءَ صَامَ، وَإِنْ شَاءَ أَفْطَرَ

“Orang yang melakukan puasa sunah, menjadi penentu dirinya. Jika ingin melanjutkan, dia bisa melanjutkan, dan jika dia ingin membatalkan, diperbolehkan.” (HR. Ahmad 26893, Turmudzi 732, dan dishahihkan Al-Albani)

  1. Setelah puasa Ramadan diwajibkan, dan puasa ‘Asyura tidak lagi wajib, Rasulullah ﷺ mengumumkan kepada sahabat, bahwa mereka boleh puasa dan boleh membatalkannya. Dari Muawiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu, beliau mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:

هَذَا يَوْمُ عَاشُورَاءَ وَلَمْ يَكْتُبِ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ، وَأَنَا صَائِمٌ، فَمَنْ شَاءَ، فَلْيَصُمْ وَمَنْ شَاءَ، فَلْيُفْطِرْ

Ini hari ‘Asyura, Allah tidak mewajibkan puasa untuk kalian. Hanya saja saya puasa. Karena itu, siapa yang ingin puasa, dipersilakan dan siapa yang ingin membatalkan, dipersilakan. (HR. Bukhari 2003).

  1. Dari A’isyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bertanya kepada beliau pada suatu hari: ‘Hai A’isyah, apakah kamu memiliki makanan?’ ‘Wahai Rasulullah, kita tidak memiliki makanan apapun.’ Jawab A’isyah. ‘Jika demikian, saya akan puasa.’ Jawab Nabi ﷺ.

Lalu beliau ﷺ keluar untuk keperluannya. Tidak lama, datang sekelompok orang membawa hadiah. Setelah Nabi ﷺ kembali, A’isyah menyampaikan kepada suaminya: ‘Wahai Rasulullah, tadi ada sekelompok orang yang datang dan memberi hadiah. Aku telah menyimpannya untuk Anda.’ ‘Apa itu?’ tanya Rasulullah ﷺ. ‘Itu hais’ jawab A’isyah. (Hais: kurma yang diaduk dengan susu dan keju). Setelah A’isyah menyuguhkannya, beliau ﷺ pun memakannya. (HR. Muslim 1154)

Ketiga, ketika dapat undangan, apakah harus membatalkan puasanya?

Jika yang dilakukan adalah puasa wajib, seperti puasa nadzar atau puasa qadha, maka TIDAK boleh dibatalkan.

Rasulullah ﷺ memerintahkan orang yang diundang acara makan-makan agar dia datang, meskipun tidak makan. Dari Jabir bin Abdillah radliallahu anhuma, Nabi ﷺ bersabda:

إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى طَعَامٍ، فَلْيُجِبْ، فَإِنْ شَاءَ طَعِمَ، وَإِنْ شَاءَ تَرَكَ

“Jika kalian diundang acara makan-makan, maka hadirilah. Jika mau, dia makan. Jika tidak, maka boleh tidak makan.” (HR. Muslim 1430).

Artinya, yang wajib dilakukan adalah menghadiri undangan. Sementara untuk makannya, tidak ada kewajiban. Sehingga undangan makan bukan uzur yang membolehkan seseorang untuk membatalkan puasa wajibnya.

Sementara untuk puasa sunah, dia tidak harus membatalkannya. Bahkan tetap dibolehkan untuk mempertahankan puasanya.

Di antara dalil yang menunjukkan hal ini:

  1. Hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:

إِذَا دُعِيَ أحَدُكُمْ إِلَى طَعَامٍ وَهُوَ صَائِمٌ فَلْيَقُلْ: إِنِّي صَائِمٌ

“Apabila kalian diundang untuk makan-makan, sementara kalian sedang puasa, maka sampaikanlah: Saya sedang puasa.” (HR. Muslim 1150).

  1. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda:

إِذَا دُعِىَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ فَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَلِّ وَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ

“Jika kalian diundang acara makan-makan, hadirilah. Jika sedang berpuasa, maka doakanlah. Dan jika tidak puasa, maka makanlah.” (HR. Muslim 3593).

Termasuk orang yang bertamu, dia dibolehkan untuk tetap memertahankan puasa sunahnya ketika disuguhi.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ pernah datang ke rumah ibunya, Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha. Beliau pun menyuguhi Nabi ﷺ dengan kurma dan mentega. Beliau ﷺ bersabda:

أعِيدُوا سَمْنَكُمْ فِي سِقَائِهِ، وَتَمْرَكُمْ فِي وِعَائِهِ، فَإِنِّي صَائِمٌ

“Kembalikan mentega dan kurma kalian di wadahnya, karena saya puasa.” (HR. Bukhari 1982).

Keempat, Dianjurkan mendoakan orang yang mengundang ketika puasa

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:

إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ، فَلْيُجِبْ، فَإِنْ كَانَ صَائِمًا، فَلْيُصَلِّ، وَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا، فَلْيَطْعَمْ

“Apabila kalian diundang, penuhi undangan itu. Jika kalian puasa, ‘shalat’lah. Dan jika kalian tidak puasa, makanlah.” (HR. Muslim 1431).

An-Nawawi menyabutkan perbedaan pendapat ulama tentang makna kata ‘shalat’ dalam hadis di atas.

وقيل المراد الصلاة الشرعية بالركوع والسجود أي يشتغل بالصلاة ليحصل له فضلها ولتبرك أهل المكان والحاضرين

Sebagian ulama berpendapat, makna kata shalat dalam hadis ini adalah mengerjakan ibadah shalat, ada rukuk dan sujudnya. Artinya, orang ini mengerjakan shalat di rumah yang mengundang, sehingga dia mendapat keutamaan shalat, dan pengundang berikut hadirin mendapatkan keberkahan.

قال الجمهور معناه فليدع لأهل الطعام بالمغفرة والبركة ونحو ذلك وأصل الصلاة في اللغة الدعاء

Sementara mayoritas ulama berpendapat, makna shalat dalam hadis itu adalah mendoakan orang yang mengundang dengan doa ampunan atau keberkahan atau semacamnya. Dan makna bahasa kata shalat adalah doa.

(Syarh Shahih Muslim, an-Nawawi, 9/236)

Dan Pendapat mayoritas ulama dalam hal ini, lebih mendekati kebenaran.

Allahu a’lam

 

Dijawab oleh ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina www.KonsultasiSyariah.com)

Sumber: https://konsultasisyariah.com/18854-membatalkan-puasa-karena-undangan.html