بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

#DakwahTauhid

#DoaZikir

HATI MENURUT ISLAM

الحمد لله رب العالمين وصلى الله على نبيينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين, أما بعد

Sesungguhnya amalan-amalan hati memiliki nilai dan kedudukan yang sangat tinggi. Memerhatikan dan berilmu dengannya adalah termasuk al-maqashid (tujuan) bukan sekedar wasa’il (sarana dan perantara). Karenanya termasuk perkara yang terpenting adalah menjelaskan urgensi dan kedudukannya dalam nash-nash Alquran dan As-Sunah, serta menjelaskan berbagai maslahat yang lahir dari baiknya hati serta semua mafsadat yang lahir dari jeleknya hati. Karenanya Allah ﷻ mengingatkan: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 9-10)

Pembahasan mengenai amalan-amalan hati termasuk pembahasan yang sangat panjang di dalam kitab-kitab para ulama, dan membahas semua itu tentunya akan memakan waktu yang sangat lama. Karenanya pada kesempatan yang ringkas ini kita hanya akan membicarakan beberapa poin yang berkenaan dengannya:

  1. Definisi dan tempat hati.
  2. Kedudukan hati.
  3. Perbandingan antara hati dengan pendengaran dan penglihatan.
  4. Hal-hal yang memerbaiki hati.
  5. Hal-hal yang merusak hati.
  6. Yang dimaksud dengan amalan hati.
  7. Hukum amalan hati dari sisi pahala dan dosa.
  8. Keutamaan amalan hati dibandingkan amalan jawarih (anggota tubuh).
  9. Pembagian manusia dalam mengamalkan amalan hati.

Pertama: Definisi dan Letak Hati

Kata hati (Arab: Qalbun) mempunyai dua penggunaan dalam bahasa:

a) Menunjukkan bagian yang paling murni dan paling mulia dari sesuatu.

b) Bermakna merubah dan membalik sesuatu dari satu posisi ke posisi lain. [Lihat Mu’jam Maqayis Al-Lughah].

Kedua makna ini sesuai dengan makna hati secara istilah, karena hati merupakan bagian yang paling murni dan paling mulia dari seluruh makhluk hidup yang memunyainya, dan dia juga sangat rawan untuk berbolak-balik dan berubah haluan. Nabi ﷺ bersabda:

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ

YA MUQOLLIBAL QULUB TSABBIT QOLBI ‘ALAA DIINIK

Artinya:

“Wahai Yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agamamu.” (HR. At-Tirmidzi dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu).

Adapun letaknya, maka Alquran dan As-Sunnah menunjukkan bahwa dia terletak di dalam dada. Allah ﷻ berfirman:

“Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (QS. Al-Hajj: 46)

Dan Nabi ﷺ juga bersabda tentang ketaqwaan: “Ketakwaan itu di sini, ketakwaan itu di sini,” seraya beliau menunjuk ke dada beliau (HR. Muslim dari Abu Hurairah). Dan tempat ketakwaan tentunya adalah dalam hati.

Bertolak dari hal ini para ulama juga membahas mengenai letak akal. Seluruh kaum Muslimin bersepakat, kecuali mereka yang terpengaruh dengan filosof dan ilmu kalam, bahwa akal itu terletak di dalam hati, bukan di otak. Allah ﷻ berfirman:

“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka memunyai hati yang dengan itu mereka dapat berakal dengannya?” (QS. Al-Hajj: 46).

Kalau begitu, letak akal adalah di dalam hati, di dalam dada, walaupun tidak menutup kemungkinan dia (akal) memunyai hubungan dengan otak, sebagaimana tangan yang terluka akan berpengaruh pada seluruh anggauta tubuh lainnya. Karenanya kalau ada seseorang yang kepalanya dipukul atau terkena benturan yang keras maka terkadang menyebabkan akal dan ingatannya hilang.

Kedua:  Kedudukan Hati

Nabi ﷺ bersabda dalam hadis Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:

أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ

“Ketahuilah, sesungguhnya di dalam hati ada segumpal daging yang kalau dia baik, maka akan baik pula seluruh anggota tubuh. Dan kalau dia rusak, maka akan rusak pula seluruh anggota tubuh, ketahuilah di adalah hati.” (Muttafaqun alaih)

Ibnu Rajab Al-Hanbali berkata: “Dalam hadis ini ada isyarat yang menunjukkan, bahwa baiknya gerakan anggota tubuh seorang hamba, dia meninggalkan semua yang diharamkan dan menjauhi semua syubhat, sesuai dengan baiknya gerakan hatinya.” (Jami’ Al-Ulum Wa Al-Hikam: 1/210)

Ketiga: Perbandingan antara Hati dengan Pendengaran dan Penglihatan

Ketiga anggota tubuh ini merupakan anggota tubuh terpenting pada tubuh manusia karena pada ketiganyalah semua ilmu dan pengetahuan berputar. Allah ﷻ berfirman:

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra`: 36)

Allah ﷻ mengkhususkan penyebutkan ketiganya di antara semua anggota tubuh lainnya karena merekalah anggota tubuh yang paling mulia dan paling sempurna. Syaikhul Islam Ibnu Taimiah menyebutkan perbandingan ketiga anggota tubuh ini dalam Al-Majmu’ Al-Fatawa (9/310) yang kesimpulannya sebagai berikut:

Penglihatan adalah yang terendah di antara ketiganya, karena dia hanya bisa mengetahui sesuatu yang terlihat pada saat itu. Berbeda halnya dengan pendengaran dan hati, karena kedua bisa mengetahui sesuatu yang tidak terlihat, baik yang terjadi di zaman dahulu maupun di zaman yang akan datang. Kemudian pendengaran dan hati berbeda dari sisi: Hati itu sendiri bisa memahami sesuatu, sementara pendengaran hanya berfungsi sebagai pengantar ucapan, yang berisi ilmu, kepada hati.

Keempat: Hal-Hal yang Memerbaiki Hati

Jumlahnya sangatlah banyak, di antaranya:

a). Al-mujahadah (kesungguhan) dalam memerbaikinya

Allah ﷻ berfirman: “Dan orang-orang yang bermujahadah untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami.” (QS. Al-Ankabut: 69)

Abu Hafsh An-Naisaburi berkata: “Saya menjaga hatiku selama dua puluh tahun, kemudian dia yang menjagaku selama dua puluh tahun.” (Nuzhah Al-Fudhala`: 1205)

b). Banyak mengingat kematian dan Hari Akhirat

Rasulullah ﷺ bersabda dalam hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ يَعْنِي الْمَوْتَ

“Perbanyaklah mengingat penghancur kelezatan, yakni kematian” (HR. Imam Empat kecuali Abu Daud)

 

Dan beliau ﷺ juga bersabda tentang ziarah kubur: “Karena sesungguhnya dia mengingatkan kalian kepada negeri Akhirat -dalam sebagian riwayat: Kematian-.” (HR. An-Nasa`i dan Ibnu Majah juga dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).

Dan dalam Alquran dan As-Sunnah, sangat banyak ayat dan hadis yang mengingatkan akan kengerian Hari Kiamat dan dahsyatnya api Neraka.

Said bin Jubair -rahimahullah- berkata: “Seandainya mengingat kematian hilang dari hatiku, niscaya saya khawatir kalau hal itu akan merusak hatiku.”

c). Bergaul dengan Orang-Orang yang Saleh

Dalam hal ini Nabi ﷺ bersabda sebagaimana dalam hadis Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu:

إِنَّمَا مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً

“Perumpamaan teman duduk yang baik dengan teman duduk yang jelek adalah seperti penjual minyak wangi dan pandai besi. Adapun penjual minyak wangi, maka mungkin dia akan memberikannya kepadamu atau mungkin juga kamu akan membeli darinya atau paling tidak kamu mencium bau wangi di sekitarmu. Adapun pandai besi, maka kalau dia tidak membakar pakaianmu maka paling tidak kamu mencium bau busuk di sekitarmu”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Bahkan Allah Ta’ala telah berfirman: “Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api Neraka” (QS. Hud: 113).

d) Hatinya Selalu Terkait dengan Penciptanya dan Sembahannya

Ini adalah jenjang ihsan yang Rasulullah ﷺ telah jelaskan definisinya dalam hadis Jibril yang masyhur, “Engkau menyembah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan kalau kamu tida sanggup melihat-Nya maka yakinlah kalau Dia melihatmu.” (Muttafaqun alaih)

Ibnu Al-Qayyim berkata dalam Al-Wabil Ash-Shayyib, “Sesungguhnya di dalam hati ada wahsyah (sifat liar) yang tidak bisa dihilangkan, kecuali dengan ketenangan dalam mengingat Allah. Di dalamnya ada kesedihan, yang tidak bisa dihilangkan kecuali dengan kegembiraan mengenal-Nya. Dan padanya ada kefakiran, yang tidak bisa dihilangkan kecuali dengan kejujuran tawakkal kepada-Nya. Yang seandainya seseorang diberikan dunia beserta segala isinya, niscaya kefakiran tersebut tidak akan hilang.”

e) Amalan Saleh dengan Semua Bentuknya

Allah Ta’ala berfirman:

“Barang siapa yang mengerjakan amal yang saleh, maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri. Dan barang siapa yang berbuat jahat, maka (dosanya) atas dirinya sendiri.” (QS. Fushshilat: 46)

Ibnu Abbas  radhiallahu’anhuma berkata: “Sesungguhnya amalan baik memberikan cahaya pada hati, kecemerlangan pada wajah, kekuatan pada badan, tambahan pada rezeki, kecintaan di dalam hati-hati para hamba.”

Dan sebesar-besar bahkan landasan setiap amalan yang saleh adalah ilmu agama yang bermanfaat. Dengannyalah seorang hamba mendapatkan kebaikan dunia dan Akhirat. Rasulullah ﷺ bersabda dalam hadis Muawiah bin Abi Sufyan:

مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ

“Barang siapa yang Allah inginkan kebaikan pada dirinya, maka Dia akan memberikannya pemahaman dalam agama.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

f) Memanfaatkannya (Hati) Sesuai dengan Tujuan Penciptaannya

Ini adalah hal yang bisa dipahami secara akal, yakni suatu benda yang dibuat untuk mengerjakan sesuatu pasti akan rusak kalau digunakan untuk selain dari tujuan pembuatannya. Dan tujuan diciptakannya hati dan akal adalah untuk menadabburi ayat-ayat Allah yang bersifat syari dan kauni yang darinya akan lahir amalan-amalan sebagai tanda keimanan dia kepada Allah.

Pernah ditanyakan kepada Ummu Ad-Darda` radhiallahu anha tentang ibadah suaminya yang paling sering dia lakukan, maka beliau menjawab: “Berpikir dan mengambil pelajaran (darinya).”

g) Berdzikir kepada Allah Ta’ala

Allah Ta’ala berfirman:

“Barang siapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Alquran), Kami adakan baginya setan (yang menyesatkan). Maka setan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.” (QS. Az-Zukhruf: 36)

Dan Allah ﷻ berfirman:

“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”. Berkatalah ia: “Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?” Allah ﷻ berfirman: “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamu pun dilupakan.” (QS. Thaha: 124-126)

Dan Allah ﷻ berfirman: “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28)

Kelima: Hal-Hal yang Merusak Hati

Telah jelas pada pembahasan sebelumnya perkara apa saja yang merusak hati, yaitu dengan mengetahui kebalikan semua perkara yang memerbaiki hati. Dan di sini kita tambahkan beberapa perkara:

a) Melampaui Batas dalam Semua Perkara

Allah Ta’ala berfirman:

“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu.” (QS. At-Takatsur: 1)

Dan Allah ﷻ berfirman:

“Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf: 31)

Al-Fudhail bin Iyadh berkata: “Ada dua perkara yang menjadikan hati menjadi keras: Terlalu banyak bicara dan terlalu banyak makan.” (Nuzhah Al-Fudhala`: 779)

b) Memakan Makanan yang Haram

Karena makanan merupakan salah satu unsur pembentuk hati, dan telah shahih dari Nabi ﷺ, bahwa beliau bersabda: “Daging mana saja yang tumbuh dari sesuatu yang haram, maka Neraka lebih pantas baginya.”

c) Tenggelam dalam Mengejar Dunia

Telah datang tahdziran dari Allah dan Rasul-Nya mengenai fitnah dunia, di antaranya Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau.” (QS. Muhammad: 36)

Dan Rasulullah ﷺ telah bersabda dalam hadis Abu Said Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu:

فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ

“Maka takutlah kalian kepada fitnah dunia dan takutlah kalian kepada fitnah wanita, karena sesungguhnya fitnah yang pertama kali menimpa Bani Israil adalah dalam masalah wanita.” (HR. Muslim)

Keenam: Yang Dimaksud dengan Amalan Hati

Yang dimaksud dengannya adalah semua amalan yang letaknya di dalam hati, atau yang memunyai hubungan dengannya. Yang terbesar darinya adalah keimanan kepada Allah, cinta, takut dan berharap kepada-Nya, taubat dan kembali kepada-Nya, tawakkal, sabar, yakin, khusyu’, ikhlas dan semacamnya. Darinya kita sudah bisa membedakan antara amalan hati, amalan lisan -seperti berzikir dan berdoa-, dan amalan anggota tubuh –seperti ruku’, sujud dan semacamnya-.

Ketujuh: Hukum Amalan Hati dari Sisi Pahala dan Dosa

Dalam hal ini dia sama dengan amalan anggota tubuh lainnya, walaupun dari sisi kedudukan, dia lebih utama darinya. Maka kalau seseorang dihukum ketika dia melakukan ghibah dengan lisannya, maka demikian pula dia akan dihukum ketika hatinya bertawakkal kepada selain Allah. Apalagi yang memang merupakan ibadah hati, maka seseorang akan dihukum ketika hatinya meninggalkan ibadah tersebut walaupun dia tidak menampakkannya dalam amal perbuatannya, seperti cinta kepada Allah, keyakinan hanya Allah yang mengetahui perkara ghaib dan semacamnya.

Kedelapan: Keutamaan Amalan Hati Dibandingkan Amalan Jawarih (Anggota Tubuh)

Keutamaannya bisa ditinjau dari beberapa sisi:

a) Rusaknya ibadah hati terkadang menyebabkan rusaknya ibadah yang berkenaan dengan anggota tubuh. Contohnya keikhlasan dalam ibadah. Allah ﷻ berfirman dalam Hadis Qudsi:

أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنْ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ

“Saya adalah Dzat yang paling tidak butuh kepada kesyirikan. Karenanya, barang siapa yang memersekutukan Saya dalam ibadahnya, maka Saya akan meninggalkannya dan apa yang dia sekutukan.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).

b) Amalan hati, yang asalnya adalah tauhid, merupakan asas untuk selamat dari Neraka dan masuk ke dalam Surga.

Nabi ﷺ bersabda dalam hadis Jabir riwayat Muslim:

مَنْ لَقِيَ اللَّهَ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ لَقِيَهُ يُشْرِكُ بِهِ دَخَلَ النَّارَ

“Barang siapa yang berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak berbuat kesyirikan sedikit pun, maka dia akan masuk surga. Dan barang siapa yang berjumpa dengan Allah dalam keadaan berbuat kesyirikan, maka dia akan masuk Neraka.”

c) Ibadah Hati Lebih Berat Dilaksanakan daripada Ibadah Jawarih

Muhammad bin Al-Munkadir berkata: “Saya melatih jiwaku selama empat puluh tahun sampai akhirnya dia bisa istiqamah.” (Nuzhah Al-Fudhala`: 607)

Dan Yunus bin Ubaid -rahimahullah- juga pernah berkata: “Sesungguhnya saya telah menawarkan kepada jiwaku agar dia mencintai untuk manusia pada apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri dan membenci untuk manusia pada apa yang yang dia benci untuk dirinya sendiri, tapi ternyata itu sangat jauh darinya. Kemudian pada kesempatan lain saya menawarkan kepadanya agar dia tidak menyebut-nyebut mereka (orang lain) kecuali dengan kebaikan dan agar tidak menyebut dan tidak membicarakan mereka dengan kejelekan, akan tetapi saya menilai puasa di siang hari yang sangat panas lebih mudah baginya (jiwa) daripada itu.” (Nuzhah Al-Fudhala`: 539)

d) Amalan Hati Merupakan Pendorong dan Penggerak dari Amalan Jawarih

Telah berlalu ucapan Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma yang menunjukkan akan hal itu. Dan Utbah Al-Ghulam -rahimahullah- juga pernah berkata: “Barang siapa yang mengenal Allah niscaya dia akan mencintai-Nya. Dan barang siapa yang mencintai-Nya, niscaya dia akan menaatinya.”

e) Terkadang Ibadah Hati Bisa Menjadi Pengganti dari Ibadah Jawarih

Misalnya dalam jihad, Nabi ﷺ bersabda:

إِنَّ بِالْمَدِينَةِ لَرِجَالًا مَا سِرْتُمْ مَسِيرًا وَلَا قَطَعْتُمْ وَادِيًا إِلَّا كَانُوا مَعَكُمْ –في رواية: إِلَّا شَرِكُوكُمْ فِي الْأَجْرِ- حَبَسَهُمْ الْمَرَضُ

“Sesungguhnya di Madinah ada beberapa orang yang tidaklah kalian menempuh satu pun perjalanan dan tidaklah kalian melewati satu pun lembah kecuali mereka  bersama kalian -dalam sebagian riwayat: Bersekutu dengan kalian dari sisi pahala. Mereka adalah orang-orang yang ditahan oleh penyakit.” (HR. Muslim dari Jabir radhiyallahu ‘anhu dan Al-Bukhari dari Anas radhiyallahu ‘anhu yang semakna dengannya)

f) Amalan Jawarih Mempunyai Batas Yang Telah Ditentukan, Baik Dari Sisi Pelaksanaan Maupun Pahala. Berbeda Halnya Dengan Amalan Hati

Hal ini disebutkan oleh Ibnu Al-Qayyim dalam Madarij As-Salikin. Aisyah -radhiallahu anha- berkata dalam hadis riwayat Muslim:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُ اللَّهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ

“Adalah Rasulullah ﷺ selalu mengingat Allah dalam setiap keadaan beliau.”

Allah Ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10)

g) Amalan Hati Ada Yang Terus-Menerus Berlanjut Pada Saat Amalan Jawarih Terhenti Atau Melemah

Di dalam kubur seseorang menjawab pertanyaan kedua malaikat dengan tauhidnya. Penghuni Surga senantiasa mencintai, mengagungkan dan memuliakan Allah. Akan tetapi mereka (yang dalam kubur atau di Surga) tidak lagi mengerjakan sholat, puasa dan seterusnya dari ibadah anggota tubuh.

h) Ibadah Hati Penentu Besar Kecilnya Nilai dan Pahala Ibadah Anggota Tubuh. Bahkan dalam sebagian keadaan, dia bisa menjadi penentu diterima atau tertolaknya ibadah anggota tubuh.

Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya setiap amalan ibadah tergantung dengan niatnya. Dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang dia niatkan,” al-Hadis. (Muttafaqun alaih dari Umar radhiyallahu ‘anhu)

Abdullah bin Al-Mubarak berkata: “Betapa banyak amalan kecil yang dibuat banyak (besar) oleh niatnya. Dan betapa banyak amalan yang banyak (besar) dibuat kecil oleh niatnya.”

Kesembilan: Pembagian Manusia dalam Mengamalkan Amalan Hati

Imam Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziah menyebutkan tiga keadaan manusia dalam hal ini:

a) Di antara mereka ada yang sibuk mengurusi ibadah-ibadah hati dan memerbaiki hatinya, akan tetapi dia meninggalkan dan melalaikan amalan-amalan yang zahir.

b) Sekelompok lainnya jutsru melakukan sebaliknya.

c) Kelompok yang ketiga, dan ini yang tepat, adalah mereka yang memerhatikan dan menjaga kedua jenis amalan ini tanpa ada bentuk Tafrith (Penyepelean) dan Ifrath (Extrim) padanya.

Dan mungkin bisa ditambahkan keadaan yang keempat, dan ini juga beliau isyaratkan dalam kitab beliau yang lain: Kelompok yang menelantarkan keduanya.

 

وصلى الله على نبيينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين, والحمد لله رب العالمين

 

Penulis: Abu Muawiah

http://al-atsariyyah.com/hati-menurut-islam.html