بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

#DakwahTauhid
#UntukYangMengakuHabib
HARAMNYA MENGAKU-AKU SEBAGAI KETURUNAN AHLUL BAIT ( KETURUNAN NABI )

  • Apakah Habib Itu Keturunan Nabi?
  • Apakah Keturunan Nabi itu Terjaga dari Kesalahan?

Mengaku Keturunan Rasulullah
Bagusnya nasab, itu bukan jaminan dia selamat. Tetapi hal itu tergantung dari amalannya, apakah amalannya sesuai dengan petunjuk NABI ﷺ atau malah menyelisihi NABI ﷺ.
Di kalangan kaum Muslimin, khususnya di negeri kita ini, sering kita mendengar bahwa ada seorang tokoh yang merupakan keturunan Nabi ﷺ dan dipanggillah tokoh tersebut dengan sebutan Habib.
Bahkan gelar ini mereka buktikan dengan skema nasab yang mereka miliki, yang bertemu dengan nasab Nabi ﷺ, atau dibuktikan dengan semacam ijazah atau sertifikat.
Ironisnya, gelar nasab ini seolah-olah menjadi kartu truf, yang akhirnya menjadi dalil halalnya segala perbuatan yang mereka lakukan, baik perbuatan yang telah jelas merupakan kemaksiatan, perbuatan bid’ah dalam agama, bahkan sampai kesyirikan.
Tidak boleh mengaku-ngaku bernasab kepada NABI ﷺ jika ternyata memang tidak ada hubungan nasab. Resikonya sangat berat, yaitu akan disiapkan tempat duduknya di NERAKA.
Lalu bagaimanakah sebenarnya sikap Ahlussunnah terhadap tokoh keturunan Nabi ﷺ atau yang disebut dengan golongan Ahlul Bait ? Berikut ini pembahasannya oleh Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd al-‘Abbad al-Badr hafizhahullah [Diterjemahkan dan disarikan dari kitab Fadhl Ahli al-Bait wa ‘Uluww Makaanatihim ‘Inda Ahli as-Sunnah wa al-Jamaah oleh Abdurrahman bin Thayyib as-Salafi. Sumber: Majalah Adz-Dzakiroh Vol. 8 No. 1 Edisi 43 Ramadhan-Syawal 1429 H. Kami hanya mengambil dua poin pembahasan dari tiga yang dibahas di sumber tersebut]:
Akidah Ahlussunnah Wal Jamaah Terhadap Ahlul Bait Secara Global
Akidah Ahlussunnah wal Jamaah adalah pertengahan antara ekstrim kanan dan ekstrim kiri, antara berlebihan dan meremehkan dalam segala perkara akidah.
Di antaranya adalah akidah mereka terhadap Ahlul Bait Nabi ﷺ. Mereka berloyalitas terhadap setiap Muslim dan Muslimah dari keturunan Abdul Muththalib, dan juga kepada para istri Rasul ﷺ semuanya.
Ahlus Sunnah mencintai mereka semua, memuji dan memosisikan mereka sesuai dengan kedudukan mereka secara adil dan objektif, bukan dengan hawa nafsu atau serampangan. Mereka mengakui keutamaan orang-orang yang telah Allah beri kemulian iman dan kemuliaan nasab.
 
Barang siapa yang termasuk dari Ahlul Bait dari kalangan sahabat Rasulullah ﷺ, maka mereka (Ahlussunnah) mencintainya karena keimanan, ketakwaan serta persahabatannya dengan Rasul ﷺ.
Adapun mereka (Ahlul Bait) selain dari kalangan sahabat, maka mereka mencintainya karena keimanan. ketakwaan, dan karena kekerabatannya dengan Rasul ﷺ.
Mereka berpendapat, bahwa kemuliaan nasab itu mengikut kepada kemuliaan iman. Barang siapa yang diberi oleh Allah kedua hal tersebut, maka Dia telah menggabungkan antara dua kebaikan.
Dan barang siapa yang tidak diberi taufik untuk beriman, maka tidak bermanfaat sedikit pun kemuliaan nasabnya. Allah ta’ala berfirman:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu”. (QS. Al-Hujurat: 13)
Nabi ﷺ bersabda dalam akhir hadis yang panjang yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya, No. 2699 dari Abu Hurairoh radliyallahu’anhu:

و من بطأ به عمله لم يسرع به نسبه

“Barang siapa yang diperlambat oleh amal perbuatannya, maka nasabnya tidak bisa memercepatnya”
Al Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata seraya menjelaskan hadis di atas dalam kitab beliau Jami’ al ‘Ulum wa al-Hikam, hlm. 308: Maknanya, bahwa amal perbuatan itulah yang menjadikan seorang hamba sampai kepada derajat (yang tinggi) di Akhirat, sebagaimana firman Allah:

وَلِكُلٍّ دَرَجَاتٌ مِّمَّا عَمِلُوا وَمَارَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ

“Dan masing-masing orang memeroleh derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya” (QS. Al-An’am: 132)
Barang siapa yang lambat amal ibadahnya untuk sampai kepada kedudukan yang tinggi disisi Allah, maka nasabnya tidak bisa memercepatnya, untuk menyampaikannya kepada derajat tersebut. Sesungguhnya Allah menyediakan pahala sesuai dengan amal perbuatan, BUKAN karena nasab, sebagaimana firman Allah:

فَإِذَا نُفِخَ فِي الصُّورِ فَلآ أَنسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ وَلاَيَتَسَآءَلُونَ

“Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab antara  mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya”. (QS. Al-Mukminun: 101)
Dan Allah ta’ala telah memerintahkan untuk bersegera menuju ampunan dan rahmat-Nya dengan berbuat amal ibadah, sebagaimana firman-Nya:

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَاْلأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ { 133} الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّآءِ وَالضَّرَّآءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ {134

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”. (QS. Ali ‘Imron: 133-134)
Dan firman-Nya:

إِنَّ الَّذِينَ هُم مِّنْ خَشْيَةِ رَبِّهِم مُّشْفِقُونَ {57} وَالَّذِينَ هُم بِئَايَاتِ رَبِّهِمْ يُؤْمِنُونَ {58} وَالَّذِينَ هُم بِرَبِّهِمْ لاَيُشْرِكُونَ {59} وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَآءَاتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ {60} أُوْلَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ {61

“Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka. Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Tuhan mereka. Dan orang-orang yang tidak memersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apapun). Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka, mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memerolehnya.” (QS. Al-Mukminun: 57-61)
Kemudian beliau (Imam Ibnu Rajab rahimahullah) menyebutkan dalil-dalil tentang anjuran untuk beramal saleh, dan bahwasanya hubungan dekat dengan Rasul ﷺ itu diperoleh dengan ketakwaan dan amal saleh. Lalu beliau menutup pembahasan tersebut dengan hadis ‘Amr bin al-‘Ash radliyallahu’ahu yang tercantum dalam Shahih Bukhori, No. 5990 dan Shahih Muslim, No. 215, beliau berkata: Yang menguatkan hal ini semua adalah apa yang tercantum dalam Shahih Bukhori dan Muslim dari ‘Amr bin al-‘Ash radliyallahu’anhu, bahwasanya dia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya keluarga Abu Fulan bukan termasuk wali-wali (orang terdekat) ku. Sesungguhnya waliku adalah Allah dan orang-orang yang saleh dari orang-orang yang beriman”.
Ini mengisyaratkan, bahwa kedekatan dengan Rasulullah ﷺ tidak bisa diraih dengan nasab, meskipun dia adalah kerabat beliau ﷺ. Akan tetapi, semuanya itu diraih dengan iman dan amal saleh [Jadi, mereka yang mengaku sebagai keturunan Rasul ﷺ tapi gemar berbuat kesyirikan, mengultuskan kuburan-kuburan wali yang tekah mati, mengadakan shalawat-shalawat bid’ah plus syirik (Burdah, Nariyah, Diba’, dll), rajin berbuat bid’ah (perayaan Maulid, haul, tahlilan), maka tidak bermanfaat pengakuan tersebut dan tidak perlu dihormati ataupun disegani, pen]. Barang siapa yang lebih sempurna keimanannya dan amal salehnya, maka dia lebih agung kedekatannya dengan beliau ﷺ, baik dia punya kekerabatan dengan beliau ﷺ atau tidak. Hal ini senada dengan apa yang diucapkan oleh seorang penyair:

  • Sungguh, tidaklah manusia itu (dimuliakan) melainkan dengan agamanya
  • Maka janganlah engkau meninggalkan ketakwaan, dan hanya bersandar kepada nasab
  • Sungguh, Islam telah mengangkat derajat Salman (al-Farisi) dari Persia
  • Dan kesyirikan menghinakan Abu Lahab, yang memiliki nasab (yang tinggi).

Hal ini berlainan dengan Ahli Bid’ah. Mereka berlebihan terhadap sebagian Ahlul Bait. Bersamaan itu pula mereka berbuat kasar/jahat terhadap mayoritas para sahabat radliyallahu’anhum.
Di antaranya contoh sikap berlebihan mereka terhadap 12 imam Ahlul Bait, yakni Ali, Hasan, Husain radliyallahu’anhum, dan 9 keturunan Husain, adalah apa yang tercantum dalam kitab al-Kafi oleh al-Kulaini [Tokoh ulama Syiah yang binasa pada tahun 329 H, yang dianggap seperti imam Bukhorinya Ahlussunnah, pen]… Bab: Bahwasanya Para Imam Tersebut Mengetahui Kapan Mereka Akan Mati dan Tidaklah Mereka Mati Melainkan Dengan Pilihan Mereka Sendiri, Bab: Bahwasanya Imam-Imam ‘alaihimussalam Mengetahui Apa Yang Telah Terjadi dan Apa yang Akan Terjadi, dan Tidak Ada Sesuatu pun yang Tersembunyi Bagi Mereka.
Dan sikap berlebihan ini pun dikatakan oleh tokoh kontemporer mereka, yaitu Khumaini dalam kitabnya al-Hukumah al-Islamiyah (hlm. 52 cetakan al-Maktabah al-Islamiyah al-Kubra, Teheran): Sesungguhnya di antara prinsip madzhab kita, bahwasanya imam-imam kita memiliki kedudukan yang tidak bisa digapai oleh malaikat yang dekat (dengan Allah), maupun Nabi yang diutus (oleh Allah).
Haramnya Mengaku-aku Sebagai Keturunan Ahlul Bait
Semulia-mulia nasab adalah nasab Nabi Muhammad ﷺ. Dan semulia-mulia penisbatan adalah kepada beliau ﷺ dan kepada Ahli Bait, jika penisbatan itu benar. Dan telah banyak di kalangan Arab maupun non Arab melakukan penisbatan kepada nasab ini.
Maka barang siapa yang termasuk Ahlul Bait dan dia adalah orang yang beriman, maka Allah telah menggabungkan antara kemuliaan iman dan nasab.
Barang siapa mengaku-ngaku termasuk dari nasab yang mulia ini, sedangkan ia bukan darinya, maka dia telah berbuat suatu yang diharamkan, dan dia telah mengaku-ngaku memiliki sesuatu yang bukan miliknya. Nabi ﷺ bersabda:
“Orang yang mengaku-ngaku dengan sesuatu yang tidak dia miliki, maka dia seperti pemakai dua pakaian kebohongan.” (HR. Muslim dalam Shahihnya, no. 2129 dari Hadis Aisyah radliyallahu’anha)
 
Disebutkan dalam hadis-hadis shahih tentang keharaman seseorang menisbatkan dirinya kepada selain nasabnya. Di antaranya adalah hadis Abu Dzar radliyallahu’anhu, bahwasanya ia mendengar Nabi ﷺ bersabda:
“Tidaklah seseorang menisbatkan kepada selain ayahnya, sedang dia mengetahui, melainkan dia telah kufur kepada Allah. Dan barang siapa yang mengaku-ngaku sebagai suatu kaum dan dia tidak ada hubungan nasab dengan mereka, maka hendaklah dia menyiapkan tempat duduknya di Neraka” [Maka berhati-hatilah mereka yang memakan harta kaum Muslimin dengan cara batil dengan mengaku-ngaku sebagai keturunan rasul ﷺ dan menjual akidah serta agama mereka. Na’udzubillahi mindzalik. pen] (HR. al-Bukhori, No. 3508 dan Muslim, No. 112)
Dan dalam Shahih al-Bukhori, No. 3509 dari hadis Watsilah bin al-Asqa’zia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
“Seungguhnya sebesar-besar kedustaan adalah penisbatan diri seseorang kepada selain ayahnya, atau mengaku bermimpi sesuatu yang tidak dia lihat, atau dia berkata atas nama Rasulullah ﷺ, apa yang tidak beliau ﷺ katakan” [Diringkaskan dari halaman 84-95].
 
Sumber: