Golongan Wajib Qadha & Fidyah Puasa

Siapakah yang harus membayar qadha’ puasa dan menunaikan fidyah? Bagaimanakah cara menunaikannya? Tulisan ini semoga bisa menjawabnya.

Siapakah yang Terkena Qadha’ Puasa?

Yang dimaksud dengan qadha’ adalah mengerjakan suatu ibadah yang memiliki batasan waktu di luar waktunya [Lihat Roudhotun Nazhir wa Junnatul Munazhir, 1: 58]. Adapun orang yang dikenakan qadha’ puasa adalah orang yang sakit dan sakitnya memberatkan untuk puasa; wanita hamil dan menyusui apabila berat untuk puasa; seorang musafir; juga wanita yang mendapati haidh dan nifas.

Qadha’ Ramadan Boleh Ditunda

Qadha’ Ramadan boleh ditunda. Maksudnya tidak mesti dilakukan setelah bulan Ramadan, yaitu di bulan Syawal. Namun boleh dilakukan di bulan Dzulhijah sampai bulan Syakban, asalkan sebelum masuk Ramadan berikutnya. Di antara pendukung hal ini adalah ‘Aisyah pernah menunda qadha’ puasanya  sampai Syakban [HR. Bukhari no. 1950 dan Muslim no. 1146].

Akan tetapi yang dianjurkan adalah qadha’ Ramadan dilakukan dengan segera (tanpa ditunda-tunda) berdasarkan firman Allah Ta’ala:

أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ

“Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan dan merekalah orang-orang yang segera memerolehnya.” (QS. Al Mu’minun: 61)

Mengakhirkan Qadha’ Ramadan Hingga Ramadan Berikutnya

Syaikh Ibnu Baz menjawab: “Orang yang menunda qadha’ puasa sampai Ramadan berikutnya TANPA UDZUR, wajib bertaubat kepada Allah dan dia wajib memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan DISERTAI dengan qadha’ puasanya… Dan tidak ada kafarah (tebusan) selain itu. Hal inilah yang difatwakan oleh beberapa sahabat radhiyallahu ‘anhum seperti Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.”

Namun apabila dia menunda qadha’nya karena ada udzur seperti sakit atau bersafar, atau pada wanita karena hamil atau menyusui dan sulit untuk berpuasa, maka tidak ada kewajiban bagi mereka selain mengqadha’ puasanya.” [Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, no. 15 hal. 347].

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin menganggap bahwa memberi makan kepada orang miskin karena menunda qadha’ puasa sampai Ramadan berikutnya dapat diangggap sunnah dan tidak wajib. Dengan alasan, bahwa pendapat tersebut hanyalah perkataan sahabat dan menyelisihi nash (dalil) yang menyatakan puasa hanya cukup diganti (diqadha’) dan tidak ada tambahan selain itu [Lihat Syarhul Mumthi’, 6: 446-447].

Tidak Wajib untuk Berurutan Ketika Mengqadha’ Puasa

Dasar dibolehkannya hal ini adalah firman Allah Ta’ala:

فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185). Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan: “Tidak mengapa jika (dalam mengqadha’ puasa) tidak berurutan” [Dikeluarkan oleh Bukhari secara mu’allaq –tanpa sanad- dan juga dikeluarkan oleh Abdur Rozaq dalam Mushonnafnya (4: 241, 243) dengan sanad yang shahih].

Barang siapa Meninggal Dunia, Namun Masih Memiliki Utang Puasa

Dalilnya adalah hadis ‘Aisyah:

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ

“Barang siapa yang mati dalam keadaan masih memiliki kewajiban puasa, maka ahli warisnya yang nanti akan memuasakannya. ” [HR. Bukhari no. 1952 dan Muslim no. 1147]. Yang dimaksud “Waliyyuhu” adalah kerabat, menurut Imam Nawawi [Lihat Syarh Shahih Muslim, 8: 25]. Ulama lain berpendapat, bahwa yang dimaksud adalah ahli waris [Lihat Tawdhihul Ahkam, 2: 712 dan Syarhul Mumthi’, 6: 451-452]. Namun hukum membayar puasa di sini bagi ahli waris tidak sampai wajib, hanya disunnahkan [Lihat Syarh Shahih Muslim, 8: 25].

Boleh beberapa hari qadha’ puasa dibagi kepada beberapa ahli waris. Kemudian mereka (boleh laki-laki ataupun perempuan) mendapatkan satu atau beberapa hari puasa. Boleh juga dengan serempak beberapa ahli waris membayar utang puasa tersebut dalam satu hari [Lihat Syarhul Mumthi’, 6: 450].

Yang dibayarkan puasa di sini adalah orang yang ketika hidupnya mampu dan punya kesempatan untuk mengqadha,’ namun belum dilakukan hingga meninggal dunia [Lihat Syarhul Mumthi’, 6: 451]. Imam Nawawi berkata: “Barang siapa masih memiliki utang puasa Ramadan, ia belum sempat melunasinya lantas meninggal dunia, maka perlu dirinci. Jika ia menunda utang puasanya karena ada udzur lantas ia meninggal dunia sebelum memiliki kesempatan untuk melunasinya, maka ia tidak punya kewajiban apa-apa. Karena ini adalah kewajiban yang tidak ada kesempatan untuk melakukannya hingga meninggal dunia, maka kewajiban itu gugur sebagaimana dalam haji. Sedangkan jika udzurnya hilang dan masih memiliki kesempatan untuk melunasi, namun tidak juga dilunasi hingga meninggal dunia, maka puasanya dilunasi dengan memberi makan kepada orang miskin, di mana satu hari tidak puasa memberi makan dengan satu mud.” (Al Majmu’, 6: 268).

Pembayaran Fidyah

Bagi orang yang sudah tua renta yang tidak mampu lagi berpuasa, serta orang sakit yang sakitnya tidak kunjung sembuh, maka wajib bagi mereka Fidyah sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala:

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar Fidyah, (yaitu): Memberi makan seorang miskin” (QS. Al Baqarah: 184).

Ibnu ‘Abbas mengatakan: “(Yang dimaksud dalam ayat tersebut) adalah untuk orang yang sudah sangat tua dan nenek tua, yang tidak mampu menjalankannya, maka hendaklah mereka memberi makan setiap hari kepada orang miskin” [HR. Bukhari no. 4505].

Cara Penunaian Fidyah

1- Ukuran fidyah adalah dilihat dari ‘urf (kebiasaan yang layak) di masyarakat setempat. Selama dianggap memberi makan kepada orang miskin, maka itu dikatakan sah [Lihat Syarhul Mumthi’, 6: 338 dan At Tadzhib hal. 115].

2- Fidyah harus dengan makanan, tidak bisa diganti uang, karena inilah perintah yang dimaksud dalam ayat [Al Muntaqo min Fatawa Syaikh Shalih Al Fauzan, 3: 140.  Dinukil dari Fatwa Al Islam Sual wa Jawab no. 66886].

3- Satu hari tidak puasa berarti memberi makan satu orang miskin.

4- Bisa diberikan berupa makanan mentah (ditambah lauk) atau makanan yang sudah matang [Lihat Syarhul Mumthi’, 6: 325-326].

5- Tidak boleh mendahulukan fidyah sebelum Ramadan [Syarhul Mumthi’, 6: 326].

6- Waktu penunaian fidyah boleh setiap kali tidak puasa, fidyah ditunaikan, atau bisa pula diakhirkan di hari terakhir Ramadan lalu ditunaikan semuanya [Syarhul Mumthi’, 6: 326].

Semoga bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik.

 

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

[Artikel Rumaysho.Com]

 

https://rumaysho.com/7867-qadha-puasa-dan-fidyah.html