بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

#FatwaUlama
#ManhajSalaf
FATWA ULAMA SEPUTAR SIKAP EKSTREM, PENGAFIRAN DAN SEBAGIAN CIRI-CIRI KHAWARIJ
Fatwa Syaikh Sholeh Bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah

  • Bagaimana Cara Menanggulangi Sikap Ekstrem?

Pertanyaan:
Syaikh yang terhormat. Nampak dengan jelas sekarang ini munculnya sikap ekstrem, dan banyak masyarakat umum mulai hanyut terbawa oleh arus pemikiran ekstrem ini. Bagaimana cara menanggulanginya, dan siapakah yang bertanggung jawab?
Jawaban:
Sesungguhnya Nabi Muhammad  ﷺ telah melarang umatnya dari sikap ekstrem. Dalam salah satu sabdanya beliau ﷺ berkata:

إياكم والغلو فإنما أهلك من كان قبلكم الغلو

“Hindari oleh kalian sikap berlebih-lebihan (ekstrem). Sebab sesungguhnya yang telah menghancurkan umat-umat sebelum kalian adalah sikap berlebih-lebihan.”

هلك المتنطعون هلك المتنطعون هلك المتنطعون

“Celakalah orang yang berlebih-lebihan (dalam agama) [tiga kali).”
Allah berfirman:

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُواْ فِي دِينِكُمْ وَلاَ تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ إِلاَّ الْحَقِّ

“Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah, kecuali yang benar.” (QS. An Nisa’: 171)
Maka kewajiban kita selaku orang yang beriman adalah selalu istiqomah di jalan Allah, tidak berlebih-lebihan, ataupun sebaliknya. Allah berfirman kepada Nabi ﷺ dan pengikutnya:

فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَن تَابَ مَعَكَ وَلاَ تَطْغَوْاْ

“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu. Dan janganlah kamu melampaui batas.” (QS. Huud: 112)
Maksudnya: Jangan engkau menambahkan dan jangan berlebih-lebihan, yang dituntut dari kaum Muslimin adalah sikap istiqomah, yaitu tengah-tengah, antara sikap meremehkan dan sikap ekstrem. Dan inilah metode agama Islam, yaitu metode seluruh para nabi, yaitu beristiqomah di atas agama Allah, tanpa bersikap ekstrem, lagi melampaui batas. Dan juga tanpa meremehkan atau bahkan meninggalkan agama (Muraja’at fi Fiqh Waqi’ as Siyasi wal Fikri ‘ala Dhaui Al Kitab was Sunnah hal. 48).

  • Bolehkah Bersikap Anarkis Terhadap Pelaku Maksiat dan Orang Fasik?

Pertanyaan:
Ilmu pengetahuan Islam yang ada pada masa kini, telah ternodai oleh sebagian pemikiran beberapa aliran sesat, seperti Khawarij dan Mu’tazilah. Sehingga kita dapatkan, ada pemikiran yang mengarah kepada pengafiran terhadap masyarakat dan individu-individu, membolehkan sikap anarkis terhadap pelaku maksiat dan orang fasik. Maka apa nasihat Anda?
Jawaban:
Ini adalah metode yang salah, karena agama Islam melarang sikap anarkis dan keras dalam berdakwah, Allah ta’ala berfirman:

ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

“Serulah manusia ke jalan Robb-mu dengan hikmah, dan pelajaran yang baik. Dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. Surat An Nahl: 125). Dan Allah berfirman kepada Nabi Musa dan Harun alaihimas salaam tentang raja Fir’aun:

فَقُولَا لَهُ قَوْلاً لَّيِّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى

“Katakanlah kepadanya perkataan yang lembut. Semoga dia ingat dan merasa takut.” (QS Thoha: 44)
Kekerasan akan dihadapi dengan kekerasan, dan tidak akan menghasilkan kecuali kegagalan, dan akan berakibat buruk bagi kaum Muslimin. Yang diharapkan adalah berdakwah dengan bijak, dan dengan cara yang baik, dengan lemah lembut terhadap orang yang didakwahi. Adapun menggunakan kekerasan, dan meremehkan orang yang didakwahi, bukanlah dari ajaran Islam. Kaum Muslimin dalam berdakwah harus meniru metode Rasul ﷺ dan selaras dengan petunjuk Alquran.
Pengafiran harus memerhatikan ketentuan-ketentuannya dalam syariat. Barang siapa yang melakukan salah satu pembatal keislaman yang telah disebutkan oleh para ulama’ Ahli Sunnah Wal Jama’ah, maka dia telah kafir, tentunya setelah ditegakkan hujjah kepadanya. Dan barang siapa yang tidak melakukan salah suatu pembatal tersebut, maka dia bukan orang kafir, walaupun ia telah melakukan sebagian dosa besar yang masih di bawah derajat kesyirikan.

  • Apakah Masyarakat Muslim Masa Kini Adalah Masyarakat Jahiliah?

Pertanyaan:
Ada orang yang menyifati masyarakat Muslim sebagai masyarakat jahiliah, karena di dalamnya ada berbagai pelanggaran. Dan kemudian ia dengan dasar ini mengambil sikap tertentu, yang telah Anda ketahui. Apakah ucapan ini benar?
Jawaban:
Jahiliah yang menyeluruh telah musnah dengan diutusnya Rasul ﷺ. Dan alhamdulillah, telah datang agama Islam, ilmu dan cahaya. Hal ini akan terus berlangsung hingga Hari Kiamat. Setelah Rasul ﷺ diutus, tidak ada lagi jahiliah yang menyeluruh. Yang ada hanya sisa-sisa jahiliah, akan tetapi jahiliah pada hal-hal tertentu, jahiliah yang ada pada sebagian pelakunya. Adapun jahiliah menyeluruh, telah sirna dengan diutusnya Rasul ﷺ, dan tidak akan kembali lagi hingga Hari Kiamat.
Adapun keberadaan sebagian sifat jahiliah pada sebagian orang atau kelompok, atau masyarakat, maka hal ini terjadi. Akan tetapi jahiliah khusus pada pelakunya saja, bukan jahiliah menyeluruh. Oleh karena itu, TIDAK BOLEH untuk mengatakan jahiliah secara menyeluruh (mutlak), sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab “Iqtidho’ Shirothol Mustaqim”.

  • Bolehkah Kita Mengafirkan Seseorang?

Pertanyaan:
Nampak dengan jelas pada orang-orang yang menyifati masyarakat Muslim sebagai masyarakat jahiliah, mereka hendak mengafirkan masyarakat tersebut, dan setelah itu pemberontakan?
Jawaban:
Pengafiran bukanlah hak setiap orang, atau mengafirkan kelompok tertentu atau individu tertentu. Pengafiran harus melalui ketentuan-ketentuannya. Barang siapa yang melakukan salah satu pembatal Islam, maka ia dihukumi telah kafir. Dan hal-hal yang membatalkan keIslaman sudah diketahui bersama, dan yang paling besar adalah perbuatan syirik kepada Allah ‘azza wa jalla, pengakuan bahwa ia mengetahui hal-hal gaib, menerapkan hukum selain hukum Allah. Allah berfirman:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Dan barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” (QS. Al Maaidah: 44)
Pengafiran itu sangat berbahaya. Tidak boleh bagi setiap orang untuk meng-klaim orang lain dengannya. Akan tetapi, pengafiran merupakan wewenang hakim syariat, ulama yang ilmunya mendalam, yang menguasai agama Islam, pembatal-pembatal keIslaman, mengetahui situasi dan kondisi, dan memelajari realita yang ada pada masyarakat. Merekalah yang berhak untuk mengafirkan dan lainnya. Adapun orang bodoh atau orang awam atau pelajar ingusan, maka TIDAK BERHAK untuk mengafirkan orang lain, atau kelompok tertentu atau suatu negara, karena mereka tidak memiliki keahlian untuk mengemban tugas ini.

  • Bolehkah Perorangan Menegakkan Hukuman Pidana?

Pertanyaan:
Ada sebagian penuntut ilmu yang gegabah dalam mengatakan kata-kata murtad kepada orang Muslim. Bahkan jika pemerintah tidak menegakkan hukuman kepada orang yang telah mereka anggap murtad, mereka menuntut kaum Muslimin agar menunjuk seseorang yang dianggap dapat menegakkan hukuman atas orang tersebut?
Jawaban:
Menegakkan hukuman pidana itu adalah wewenang pemerintah kaum Muslimin, bukan hak setiap orang untuk menegakkan hukuman pidana, karena hal itu dapat menimbulkan kekacauan, kerusakan, perpecahan, mengobarkan api balas dendam, fitnah dan malapetaka. Penegakan hukum pidana adalah wewenang pemerintah Muslim. Nabi ﷺ bersabda:

تعافوا الحدود فيما بينكم فإذا أبلغت الحدود السلطان فلعن الله الشافع والمشفع

“Saling memaafkanlah di antara kalian dalam hal hukuman pidana, karena jika (masalah yang mengakibatkan) hukuman pidana telah sampai (diangkat) ke pemerintah, maka laknat Allah bagi orang yang meminta keringanan, dan yang diberi keringanan.” (HR. An Nasa’i, pada kitab: Memotong Tangan Pencuri, Bab: “Batasan Tempat Menyimpan” no: 4885)
Di antara tugas dan wewenang pemerintah dalam ajaran Islam adalah menegakkan hukum pidana. Setelah betul-betul terbukti secara syari di pengadilan syariat pelaku kejahatan tersebut, syariat Islam menetapkan hukuman pidananya, seperti hukuman orang murtad, pencuri dan seterusnya.
Ringkas kata, bahwa penegakan hukum pidana adalah tugas dan wewenang pemerinta. Jika kaum Muslimin tidak memunyai pemerintah (yang menerapkan hukum syariat), maka cukup dengan beramar ma’ruf dan nahi mungkar, serta berdakwah kepada jalan Allah ‘azza wa jalla, dengan hikmah dan pelajaran yang baik, serta dengan dialog yang kondusif. Tidak boleh bagi perorangan untuk menegakkan hukuman pidana, karena hal ini akan menimbulkan kekacauan, dan menyulut api balas dendam dan fitnah, serta akan mendatangkan bencana yang lebih besar dari pada maslahatnya. Padahal di antara kaidah syariat yang sudah disepakati adalah: “Mencegah kerusakan lebih didahulukan dari pada mendatangkan kemaslahatan.”

  • Siapakah Orang Yang Dikatakan Telah Murtad?

Pertanyaan:
Siapakah orang yang dikatakan telah murtad? Kami mohon definisinya dengan jelas. Kadang kala ada orang yang masih memiliki syubhat, telah diklaim sebagai orang murtad.
Jawaban:
Meng-klaim orang telah murtad dan keluar dari agama, adalah wewenang ulama yang keilmuannya telah kokoh, yaitu para hakim di pengadilan syariat, dan para pemberi fatwa yang telah diakui. Perkara ini sebagaimana halnya perkara lain, bukan wewenang setiap orang, atau pelajar yang masih ingusan, atau yang mengaku-ngaku sebagai orang yang berilmu, yang pemahamannya terhadap agama masih dangkal. Bukan wewenang mereka untuk menghukumi (seseorang) telah murtad, karena hal ini akan mengakibatkan kerusakan. Mungkin saja mereka meng-klaim seorang Muslim, bahwa ia telah murtad, padahal kenyataannya tidak demikian. Pengafiran seorang Muslim yang tidak melanggar salah satu pembatal keIslaman, sangat berbahaya. Barang siapa yang mengatakan kepada saudaranya: Wahai orang kafir, atau wahai orang fasik, dan kenyataannya dia tidak demikian, maka tuduhan tersebut akan kembali kepada yang mengucapkannya. Yang berhak untuk meng-klaim orang, bahwa ia telah murtad adalah para hakim syari dan para mufti yang telah diakui, dan yang melaksanakan hukuman adalah pemerintah. Dan bila dilakukan oleh selain mereka, maka akan terjadi kekacauan. (Muraja’at fi Fiqh al Waqi’ 49).
 

  • Apakah Kita Boleh Menentang Pemerintah dan Melanggar Wewenang Pemerintah Islam?

Pertanyaan:
Poin terakhir yang ingin saya tanyakan seputar masalah ini, adalah tentang orang yang melanggar terhadap wewenang pemerintah, yaitu tentang hukum orang yang menerapkan hukum pidana terhadap seseorang. Sebab ada yang mengatakan, bahwa pemerintah tidak melakukan apa-apa, kecuali memenjarakan?
Jawaban:
Tidak boleh menentang pemerintah dan melanggar wewenang pemerintah Islam. Bila orang tersebut membunuh orang lain tanpa didasari dengan hukum syariat, akan tetapi ia membunuhnya hanya didasari oleh kebijakannya sendiri, maka bila keluarga orang yang dibunuh menuntut, orang ini harus ditegakan atasnya hukum qisos. Kecuali bila telah terbukti secara syariat, bahwa yang dibunuh itu telah murtad, keluar dari agama Islam, maka ia tidak diqishos. Akan tetapi pemerintah tetap berhak untuk menjatuhkan hukuman peringatan sesuai dengan yang ia anggap pantas, kepada orang tersebut, karena ia telah melanggar wewenangnya. (Muraja’at fi Fiqh al Waqi’).
 
Dinukil dari tulisan berjudul: “Fatwa Ulama Seputar Sikap Ekstrem, Pengafiran dan Sebagian Ciri-Ciri Khawarij” yang disusun oleh: Al-Ustadz Muhammad Arifin Badri hafizhahullah
Sumber: http://Muslim.or.id/1442-fatwa-ulama-seputar-sikap-ekstrem-pengkafiran-dan-sebagian-ciri-ciri-Khawarij-5.html