بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

#SifatPuasaNabi
DELAPAN MACAM PUASA SUNNAH
Sungguh, puasa adalah amalan yang sangat utama. Di antara ganjaran puasa disebutkan dalam hadis berikut:

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ. وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ

“Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal, hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya):
“Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku. Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan, yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka, dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah, daripada bau minyak kasturi” [HR. Muslim no. 1151].
Adapun puasa sunnah adalah amalan yang dapat melengkapi kekurangan amalan wajib. Selain itu pula, puasa sunnah dapat meningkatkan derajat seseorang menjadi wali Allah yang terdepan (As Saabiqun Al Muqorrobun). [Lihat Al furqon baina awliyair rohman wa awliyaisy syaithon, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 51, Maktabah Ar Rusyd, cetakan kedua, tahun 1424 H]. Lewat amalan sunnah inilah seseorang akan mudah mendapatkan cinta Allah, sebagaimana disebutkan dalam Hadis Qudsi:

وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ

“Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan-amalan sunnah, sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya, dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku akan melindunginya” [HR. Bukhari no. 2506].

  1. Puasa Senin Kamis

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:

تُعْرَضُ الأَعْمَالُ يَوْمَ الاِثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِى وَأَنَا صَائِمٌ

“Berbagai amalan dihadapkan (pada Allah) pada Senin dan Kamis, maka aku suka jika amalanku dihadapkan, sedangkan aku sedang berpuasa.” [HR. Tirmidzi no. 747. Shahih dilihat dari jalur lainnya].
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan:

إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَتَحَرَّى صِيَامَ الاِثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ.

“Rasulullah ﷺ biasa menaruh pilihan berpuasa pada hari Senin dan Kamis.” [HR. An Nasai no. 2360 dan Ibnu Majah no. 1739. Shahih]

  1. Puasa Tiga Hari Setiap Bulan Hijriyah

Dianjurkan berpuasa tiga hari setiap bulannya, pada hari apa saja.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

أَوْصَانِى خَلِيلِى بِثَلاَثٍ لاَ أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوتَ صَوْمِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ، وَصَلاَةِ الضُّحَى ، وَنَوْمٍ عَلَى وِتْرٍ

“Kekasihku (yaitu Rasulullah ﷺ) mewasiatkan padaku tiga nasihat, yang aku tidak meninggalkannya hingga aku mati:

[1] Berpuasa tiga hari setiap bulannya,
[2] Mengerjakan shalat Dhuha,
[3] Mengerjakan shalat Witir sebelum tidur.” [HR. Bukhari no. 1178]

Mu’adzah bertanya pada ‘Aisyah:

أَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ قَالَتْ نَعَمْ. قُلْتُ مِنْ أَيِّهِ كَانَ يَصُومُ قَالَتْ كَانَ لاَ يُبَالِى مِنْ أَيِّهِ صَامَ. قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

“Apakah Rasulullah ﷺ berpuasa tiga hari setiap bulannya?” ‘Aisyah menjawab: “Iya.” Mu’adzah lalu bertanya: “Pada hari apa beliau melakukan puasa tersebut?” ‘Aisyah menjawab: “Beliau tidak peduli pada hari apa beliau puasa (artinya semau beliau).” [HR. Tirmidzi no. 763 dan Ibnu Majah no. 1709. Shahih]
Namun, hari yang UTAMA untuk berpuasa adalah pada hari ke-13, 14, dan 15 dari bulan Hijriyah, yang dikenal dengan Ayyamul Biidh. [Hari ini disebut dengan Ayyamul Biidh (Biidh = Putih, Ayyamul = Hari) sebab pada malam ke-13, 14, dan 15 malam itu bersinar putih, dikarenakan bulan purnama yang muncul pada saat itu]. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُفْطِرُ أَيَّامَ الْبِيضِ فِي حَضَرٍ وَلَا سَفَرٍ

“Rasulullah ﷺ biasa berpuasa pada Ayyamul Biidh, ketika tidak bepergian maupun ketika bersafar.” [HR. An Nasai no. 2345. Hasan].
Dari Abu Dzar, Rasulullah ﷺ bersabda padanya:

يَا أَبَا ذَرٍّ إِذَا صُمْتَ مِنَ الشَّهْرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ فَصُمْ ثَلاَثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ

“Jika engkau ingin berpuasa tiga hari setiap bulannya, maka berpuasalah pada tanggal 13, 14, dan 15 (dari bulan Hijriyah).” [HR. Tirmidzi no. 761 dan An Nasai no. 2424. Hasan]

  1. Puasa Daud

Cara melakukan puasa Daud adalah sehari berpuasa dan sehari tidak. Rasulullah ﷺ bersabda:

أحَبُّ الصِّيَامِ إلى اللهِ صِيَامُ دَاوُدَ، وَأحَبُّ الصَّلاةِ إِلَى اللهِ صَلاةُ دَاوُدَ: كَانَ يَنَامُ نِصْفَ الليل، وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ، وَكَانَ يُفْطِرُ يَوْمًا وَيَصُوْمُ يَوْمًا

“Puasa yang paling disukai oleh Allah adalah puasa Nabi Daud. Shalat yang paling disukai Allah adalah Shalat Nabi Daud. Beliau biasa tidur separuh malam, dan bangun pada sepertiganya, dan tidur pada seperenamnya. Beliau biasa berbuka sehari dan berpuasa sehari.” [HR. Bukhari no. 3420 dan Muslim no. 1159]
Dari ‘Abdullah bin ‘Amru radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:

أُخْبِرَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنِّى أَقُولُ وَاللَّهِ لأَصُومَنَّ النَّهَارَ وَلأَقُومَنَّ اللَّيْلَ مَا عِشْتُ . فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « أَنْتَ الَّذِى تَقُولُ وَاللَّهِ لأَصُومَنَّ النَّهَارَ وَلأَقُومَنَّ اللَّيْلَ مَا عِشْتُ » قُلْتُ قَدْ قُلْتُهُ . قَالَ « إِنَّكَ لاَ تَسْتَطِيعُ ذَلِكَ ، فَصُمْ وَأَفْطِرْ ، وَقُمْ وَنَمْ ، وَصُمْ مِنَ الشَّهْرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ ، فَإِنَّ الْحَسَنَةَ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا ، وَذَلِكَ مِثْلُ صِيَامِ الدَّهْرِ » . فَقُلْتُ إِنِّى أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ . قَالَ « فَصُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ يَوْمَيْنِ » . قَالَ قُلْتُ إِنِّى أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ . قَالَ « فَصُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ يَوْمًا ، وَذَلِكَ صِيَامُ دَاوُدَ ، وَهْوَ عَدْلُ الصِّيَامِ » . قُلْتُ إِنِّى أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ . قَالَ « لاَ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ » .

Disampaikan kabar kepada Rasulullah ﷺ, bahwa aku berkata: “Demi Allah, sungguh aku akan berpuasa sepanjang hari, dan sungguh aku akan shalat malam sepanjang hidupku.” Maka Rasulullah ﷺ bertanya kepadanya (‘Abdullah bin ‘Amru): “Benarkah kamu yang berkata: “Sungguh aku akan berpuasa sepanjang hari, dan sungguh aku pasti akan shalat malam sepanjang hidupku?“ Kujawab: “Demi bapak dan ibuku sebagai tebusannya, sungguh aku memang telah mengatakannya“. Maka beliau ﷺ berkata: “Sungguh, kamu pasti tidak akan sanggup melaksanakannya. Akan tetapi berpuasalah dan berbukalah, shalat malam dan tidurlah, dan berpuasalah selama tiga hari dalam setiap bulan. Karena setiap kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kebaikan yang serupa, dan itu seperti puasa sepanjang tahun.” Aku katakan: “Sungguh aku mampu lebih dari itu, wahai Rasulullah“. Beliau ﷺ berkata: “Kalau begitu puasalah sehari dan berbukalah selama dua hari”. Aku katakan lagi: “Sungguh aku mampu yang lebih dari itu“. Beliau ﷺ berkata: “Kalau begitu puasalah sehari dan berbukalah sehari. Yang demikian itu adalah puasa Nabi Allah Daud ‘alaihi salam, yang merupakan puasa yang PALING UTAMA“. Aku katakan lagi: “Sungguh aku mampu yang lebih dari itu“. Maka beliau ﷺ bersabda: “Tidak ada puasa yang lebih utama dari itu“. [HR. Bukhari no. 3418 dan Muslim no. 1159]
Ibnu Hazm mengatakan: “Hadis di atas menunjukkan, bahwa Nabi ﷺ MELARANG dari melakukan puasa lebih dari puasa Daud, yaitu sehari puasa sehari tidak.” [Al Muhalla, Ibnu Hazm, 7/13, Mawqi’ Ya’sub]
Ibnul Qayyim Al Jauziyah mengatakan: “Puasa seperti puasa Daud, sehari berpuasa sehari tidak, adalah lebih afdhol dari puasa yang dilakukan terus menerus (setiap harinya).” [‘Aunul Ma’bud, 5/303, Mawqi’ Al Islam]
Syaikh Muhammad bin Saleh Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan: “Puasa Daud sebaiknya hanya dilakukan oleh orang yang mampu, dan tidak merasa sulit ketika melakukannya. Jangan sampai ia melakukan puasa ini sampai membuatnya meninggalkan amalan yang disyariatkan lainnya. Begitu pula, jangan sampai puasa ini membuatnya terhalangi untuk belajar ilmu agama. Karena ingat, di samping puasa ini masih ada ibadah lainnya yang mesti dilakukan. Jika banyak melakukan puasa malah membuat jadi lemas, maka sudah sepantasnya tidak memerbanyak puasa. … Wallahul Muwaffiq.” [Syarh Riyadhus Sholihin, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, 3/470, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, cetakan ketiga, 1424 H]

  1. Puasa Syaban

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan:

لَمْ يَكُنِ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ

“Nabi ﷺ tidak biasa berpuasa pada satu bulan yang lebih banyak dari bulan Syaban. Nabi ﷺ biasa berpuasa pada bulan Syaban seluruhnya.” [HR. Bukhari no. 1970 dan Muslim no. 1156].
Dalam lafal Muslim, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan:

كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً.

“Nabi ﷺ biasa berpuasa pada bulan Syaban seluruhnya. Namun beliau berpuasa hanya sedikit hari saja.” [HR. Muslim no. 1156]
Yang dimaksud di sini adalah berpuasa pada mayoritas harinya, (bukan seluruh harinya) [Karena kadang kata seluruh (kullu) dalam bahasa Arab bermakna mayoritas], sebagaimana diterangkan oleh Az Zain ibnul Munir. [Lihat Nailul Author, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, 4/621, Idarotuth Thob’ah Al Muniroh]. Para ulama berkata, bahwa Nabi ﷺ tidak menyempurnakan berpuasa sebulan penuh selain  Ramadan, agar tidak disangka puasa selain Ramadan adalah wajib. [Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 8/37, Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua, 1392]

  1. Puasa Enam Hari Syawal

Nabi ﷺ bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barang siapa yang berpuasa Ramadan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa setahun penuh.” [HR. Muslim no. 1164]

  1. Puasa di Awal Dzulhijjah

Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah ﷺ bersabda:

« مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ ». يَعْنِى أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ « وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ ».

“Tidak ada satu amal saleh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal saleh yang dilakukan pada hari-hari ini, (yaitu 10 hari pertama bulan Dzulhijjah).” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad di jalan Allah?” Nabi ﷺ menjawab: “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya, namun tidak ada yang kembali satu pun.” [HR. Abu Daud no. 2438, At Tirmidzi no. 757, Ibnu Majah no. 1727, dan Ahmad no. 1968. Shahih]. Keutamaan sepuluh hari awal Dzulhijjah berlaku untuk amalan apa saja, tidak terbatas pada amalan tertentu. Sehingga amalan tersebut bisa dalam bentuk shalat, sedekah, membaca Alquran, dan amalan saleh lainnya. [Lihat Tajridul Ittiba’, Syaikh Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhailiy, hal. 116, 119-121, Dar Al Imam Ahmad] Di antara amalan yang dianjurkan di awal Dzulhijjah adalah amalan puasa.
Dari Hunaidah bin Kholid, dari istrinya, beberapa istri Nabi ﷺ mengatakan:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ تِسْعَ ذِى الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ.

“Rasulullah ﷺ biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijjah, pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya (Yang jadi patokan di sini adalah bulan Hijriyah, bukan bulan Masehi), …” [HR. Abu Daud no. 2437. Shahih].

  1. Puasa ‘Arofah

Puasa ‘Arofah ini dilaksanakan pada 9 Dzulhijjah. Abu Qotadah Al Anshoriy berkata:

صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ

“Nabi ﷺ ditanya mengenai keutamaan puasa ‘Arofah. Beliau ﷺ menjawab: ”Puasa ‘Arofah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” Beliau ﷺ juga ditanya mengenai keistimewaan puasa ’Asyura? Beliau ﷺ menjawab: ”Puasa ’Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu” [HR. Muslim no. 1162]. Sedangkan untuk orang yang berhaji, tidak dianjurkan melaksanakan puasa ‘Arofah. Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata:

أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- أَفْطَرَ بِعَرَفَةَ وَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ أُمُّ الْفَضْلِ بِلَبَنٍ فَشَرِبَ

“Nabi ﷺ tidak berpuasa ketika di Arofah. Ketika itu beliau disuguhkan minuman susu, beliau pun meminumnya.” [HR. Tirmidzi no. 750. Hasan Shahih].

  1. Puasa ‘Asyura

Nabi ﷺ bersabda:

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ

“Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadan adalah puasa pada bulan Allah, Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” [HR. Muslim no. 1163]. An Nawawi rahimahullah menjelaskan: “Hadis ini merupakan penegasan, bahwa sebaik-baik bulan untuk berpuasa adalah pada bulan Muharram.” [Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/55]
Keutamaan puasa ‘Asyura sebagaimana disebutkan dalam hadis Abu Qotadah di atas. Puasa ‘Asyura dilaksanakan pada 10 Muharram. Namun Nabi ﷺ bertekad  di akhir umurnya, untuk melaksanakan puasa ‘Asyura tidak bersendirian, namun diikutsertakan dengan puasa pada hari sebelumnya (9 Muharram). Tujuannya adalah untuk menyelisihi puasa ‘Asyura yang dilakukan oleh Ahlul Kitab.
Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma berkata, bahwa ketika Nabi ﷺ melakukan puasa hari ’Asyura dan memerintahkan kaum Muslimin untuk melakukannya, pada saat itu ada yang berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ – إِنْ شَاءَ اللَّهُ – صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ ». قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.

“Wahai Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nasrani.” Lantas beliau ﷺ mengatakan: “Apabila tiba tahun depan, insya Allah (jika Allah menghendaki), kita akan berpuasa pula pada hari kesembilan.” Ibnu Abbas mengatakan: “Belum sampai tahun depan, Nabi ﷺ sudah keburu meninggal dunia.” [HR. Muslim no. 1134].
Ketentuan dalam Melakukan Puasa Sunnah
Pertama: Boleh berniat puasa sunnah setelah terbit fajar jika belum makan, minum dan selama tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa. Berbeda dengan puasa wajib yang niatnya harus dilakukan sebelum fajar.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:

دَخَلَ عَلَىَّ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ « هَلْ عِنْدَكُمْ شَىْءٌ ». فَقُلْنَا لاَ. قَالَ « فَإِنِّى إِذًا صَائِمٌ ». ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِىَ لَنَا حَيْسٌ. فَقَالَ « أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا ». فَأَكَلَ.

“Pada suatu hari Nabi ﷺ menemuiku dan bertanya: “Apakah kamu memunyai makanan?” Kami menjawab: “Tidak ada.” Beliau ﷺ berkata: “Kalau begitu, saya akan berpuasa.” Kemudian beliau ﷺ datang lagi pada hari yang lain dan kami berkata: “Wahai Rasulullah, kita telah diberi hadiah berupa Hais (makanan yang terbuat dari kura, samin dan keju).” Maka beliau ﷺ pun berkata: “Bawalah kemari, sesungguhnya dari tadi pagi tadi aku berpuasa.” [HR. Muslim no. 1154].
An Nawawi memberi judul dalam Shahih Muslim: “Bab: Bolehnya melakukan puasa sunnah dengan niat di siang hari sebelum waktu zawal (bergesernya matahari ke Barat), dan bolehnya membatalkan puasa sunnah meskipun tanpa uzur.”
Kedua: Boleh menyempurnakan atau membatalkan puasa sunnah. Dalilnya adalah hadis ‘Aisyah di atas. Puasa sunnah merupakan pilihan bagi seseorang, ketika ia ingin memulainya. Begitu pula ketika ia ingin meneruskan puasanya. Inilah pendapat dari sekelompok sahabat, pendapat Imam Ahmad, Ishaq, dan selainnya. Akan tetapi mereka semua, termasuk juga Imam Asy Syafi’i bersepakat, bahwa disunnahkan untuk tetap menyempurnakan puasa tersebut. [Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/35]
Ketiga: Seorang istri TIDAK BOLEH berpuasa sunnah, sedangkan suaminya bersamanya, kecuali dengan seizin suaminya. Dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda:

لاَ تَصُومُ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ

“Janganlah seorang wanita berpuasa, sedangkan suaminya ada, kecuali dengan seizinnya.” [HR. Bukhari no. 5192 dan Muslim no. 1026]
An Nawawi rahimahullah menjelaskan: “Yang dimaksudkan dalam hadis tersebut adalah, puasa sunnah yang tidak terikat dengan waktu tertentu. Larangan yang dimaksudkan dalam hadis di atas adalah larangan haram, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama Syafi’iyah. Sebab pengharaman tersebut, karena suami memiliki hak untuk bersenang-senang dengan istrinya setiap harinya. Hak suami ini wajib ditunaikan dengan segera oleh istri. Dan tidak bisa hak tersebut terhalang dipenuhi, gara-gara si istri melakukan puasa sunnah atau puasa wajib, yang sebenarnya bisa diakhirkan.” [Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/115]
Beliau rahimahullah menjelaskan pula: “Adapun jika si suami bersafar, maka si istri boleh berpuasa. Karena ketika suami tidak ada di sisi istri, ia tidak mungkin bisa bersenang-senang dengannya.” [Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/115]
Semoga Allah memberi kita taufik untuk beramal saleh.
 
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Sumber: https://rumaysho.com/1127-8-macam-puasa-sunnah.html