Dalil Bolehnya Berdakwah Menggunakan Facebook

Syaikh Muhammad asy-Syinqithi rahimahullah berkata: “Pembagian yang benar mengenai sikap dalam menghadapi penemuan modern Barat terbagi menjadi empat macam:

1.    Meninggalkan penemuan modern, baik yang bermanfaat maupun berbahaya.
2.    Menerima penemuan modern, baik yang bermanfaat maupun berbahaya.
3.    Menerima yang berbahaya dan meninggalkan yang bermanfaat.
4.    Mengambil yang bermanfaat dan meninggalkan yang berbahaya.

Dengan pembagian penemuan modern menjadi empat ini ternyata kita dapati, bahwa pertama, kedua, dan ketiga adalah batil tanpa diragukan lagi. Berarti yang benar hanya satu yaitu keempat.” [Adhwa’ul Bayan: 4/382].

Tentu saja, Facebook adalah termasuk masalah kontemporer yang tidak ada dalilnya secara khusus. Namun bila kita telaah kaidah-kaidah fiqhiyyah yang telah mapan, dapat kita temukan beberapa argumentasi yang menunjukkan, hukum asal penggunaan Facebook adalah BOLEH. Setidaknya ada dua kaidah fikih yang bisa kita terapkan untuknya:

1. Asal Segala Urusan Dunia Hukumnya Boleh
Kaidah ini merupakan kaidah yang agung sekali, yaitu bahwa asal semua urusan dunia adalah boleh, sampai ada dalil yang melarangnya. Dan asal semua ibadah adalah terlarang sampai ada dalil yang mensyariatkannya.
Banyak sekali dalil Alquran dan hadis yang menunjukkan kaidah berharga ini. Bahkan sebagian ulama menukil ijma’ (kesepakatan) tentang kaidah ini [Jami’ul Ulum wal Hikam: 2/166 oleh Imam Ibnu Rajab]. Cukuplah dalil yang sangat jelas tentang ini adalah sabda Nabi Muhammad ﷺ :

اذا كان شيء من امر دنياكم فشأنكم ٠ واذا كان شيء من امردينكم فالي

“Apabila itu urusan dunia kalian maka itu terserah kalian. Dan apabila urusan agama, maka kepada saya.” [HR. Ibnu Hibban: 1/201 dan sanadnya shohih sesuai dengan syarat Muslim].

Bila ada yang mengatakan: “Bagaimana apabila alat dunia tersebut ditemukan oleh orang non-Muslim?” Jawabnya: Sekalipun begitu. Bukankah Rosulullah ﷺ  dahulu menerima strategi membuat parit sebagaimana usulan Salman al-Farisi ketika Perang Khandaq?! Jadi, Nabi ﷺ  menerima strategi tersebut, walaupun asalnya adalah dari orang-orang kafir. Dan Nabi ﷺ  tidak mengatakan bahwa stretegi ini najis dan kotor, karena berasal dari otak orang kafir. Demikian juga tatkala Nabi ﷺ  berhijrah ke Madinah, beliau ﷺ meminta bantuan seorang penunjuk jalan yang kafir bernama Abdullah al-Uraiqith. Semua itu menunjukkan bolehnya mengambil manfaat dari orang-orang kafir dalam masalah dunia dengan tetap mewaspadai virus agama mereka. Dalam hikmah Arab dikatakan:

اجتن الثمار والق الخشبة في النار

Ambillah buahnya dan buanglah kayunya ke api [Lihat pula al-Adzbu an-Namir min Majalis Syinqithi fi Tafsir: 2/602 oleh Khalid bin Utsman as-Sabt dan Risalah Rof’u Dzull wa Shoghor hlm. 42-45 oleh Syaikh Abdul Malik Romadhoni].

Maka tidak selayaknya seorang hamba menolak nikmat Alloh tanpa alasan syari. Dan tidak halal baginya untuk mengharamkan sesuatu tanpa dalil.

2. Sarana Tergantung Pada Tujuannya
Ini juga merupakan kaidah yang sangat penting dan berharga sekali [Lihat al-Qowa’id wal Ushul Jami’ah hlm. 13-19 oleh Syaikh Abdurrahman as-Sa’di]. Tidak ragu lagi, bahwa dakwah, silaturrahmi, menimba ilmu, dan lainnya merupakan tujuan yang mulia. Maka segala sarana yang menuju kepada tujuan tersebut hukumnya seperti tujuannya. Hal ini sama persis dengan hukum menaiki pesawat terbang untuk berangkat haji, menggunakan bom, tank, dan alat-alat canggih modern untuk jihad dan sebagainya; tidak diragukan tentang bolehnya, karena alat-alat tersebut merupakan sarana menuju ibadah yang mulia.

Kesimpulannya, bahwa Facebook layaknya alat-alat teknologi lainnya seperti telepon, radio, tipe, dan sebagainya, bisa digunakan untuk menimbulkan kerusakan akidah, pemikiran, akhlak dan sebagainya, tetapi ini tidak boleh hukumnya dalam pandangan syariat. Dan bisa digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat. Maka seyogianya bagi kaum muslimin untuk memanfaatkan alat ini untuk hal-hal yang positif dan bermanfaat bagi dunia dan Akhirat, agar dakwah Islam semakin berkembang dan menyebar. Wallohu A’lam [Lihat al-Ahkam al-Fiqhiyyah li Ta’amulat Iliktroniyyah hlm. 82 oleh Dr. Abdurrahman as-Sanad].