Contoh Kasus Penghinaan Allah, Nabi, Kitab, Sahabat, Simbol & Syariat-Nya

Menguak fenomena istihza’ (Penistaan Agama). Siapa pun yang mengucapkan kekufuran adalah kafir, baik serius atau bercanda. Berikut ini catatan kecil tentang beberapa pelecehan dan penistaan agama yang harus diwaspadai, karena mengandung kesesatan bahkan kekufuran. Semoga Allah ta’ala menyelamatkan kita dari fitnah-fitnah yang menyambar.

  1. Menghina Allah

Jika kaum Yahudi dahulu menghina Allah ta’ala sebagai fakir dan pelit sebagaimana dikisahkan oleh Allah ta’ala dalam Alquran:

وَقَالَتِ الْيَهُودُ يَدُ اللهِ مَغْلُولَةٌ غُلَّتْ أَيْدِيهِمْ وَلُعِنُوا بِمَا قَالُوا بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ يُنفِقُ كَيْفَ يَشَآءُ وَلَيَزِيدَنَّ كَثِيرًا مِّنْهُم مَّآأُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ طُغْيَانًا وَكُفْرًا وَأَلْقَيْنَا بَيْنَهُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَآءَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ كُلَّمَآأَوْقَدُوا نَارًا لِّلْحَرْبِ أَطْفَأَهَا اللهُ وَيَسْعَوْنَ فِي اْلأَرْضِ فَسَادًا وَاللهُ لاَيُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ

“Orang-orang Yahudi berkata, ‘Tangan Allah terbelenggu.’ Sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu. (Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki. Dan Alquran yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu sungguh-sungguh akan menambah kedurhakaan dan kekafiran bagi kebanyakan di antara mereka. Dan Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai Hari Kiamat. Setiap mereka menyalakan api peperangan Allah memadamkannya, dan mereka berbuat kerusakan di muka bumi dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan.” (QS al-Ma’idah [5]: 64)

لَّقَدْ سَمِعَ اللهُ قَوْلَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللهَ فَقِيرُُ وَنَحْنُ أَغْنِيَآءُ سَنَكْتُبُ مَاقَالُوا وَقَتْلَهُمُ اْلأَنبِيَآءَ بِغَيْرِ حَقٍّ وَنَقُولُ ذُوقُوا عَذَابَ الْحَرِيقِ

“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan orang-orang yang mengatakan: ‘Sesunguhnya Allah miskin dan kami kaya.’ Kami akan mencatat perkataan mereka itu dan perbuatan mereka membunuh nabi-nabi tanpa alasan yang benar, dan Kami akan mengatakan (kepada mereka), ‘Rasakanlah olehmu adzab yang membakar.’” (QS Ali Imran [3]: 181)

Beberapa waktu yang lalu, justru ada yang lebih berani dari kaum Yahudi, tatkala dengan lancangnya mereka menulis dalam spanduk tema mereka “TUHAN MEMBUSUK” dalam Orientasi Akademik dan Cinta Almamater (OSCAAR) Senat Mahasiswa (SEMA) Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, yang digelar pada 28 hingga 30 Agustus lalu.

Walau mereka berkilah dan membela diri dengan mengatakan bahwa maksud ungkapan “Tuhan Membusuk” bukan Tuhan Dzat Yang Esa, melainkan tuhan-tuhan yang tumbuh dalam diri manusia, tetap saja mereka salah dan harus memertanggungjawabkan tulisan mereka tersebut. Sebab, jika memang maksudnya demikian, yaitu untuk mengritik orang-orang yang membusukkan ajaran agama, lantas mengapa tidak memilih kata-kata lain yang lebih tepat seperti “Pembusukan Nilai-Nilai Ketuhanan”, misalnya. Bukan kata-kata seperti itu yang secara jelas berisi penistaan dan penghinaan kepada Allah ta’ala.

Sungguh, demi Allah, bukan Tuhan yang membusuk, tetapi yang benar adalah otak mereka yang membusuk. Tidakkah mereka takut kepada Allah?! Tahukah mereka bahwa ucapan dan tulisan mereka adalah kekufuran?! Ishaq ibn Rahawaih mengatakan: “Kaum Muslimin sepakat, bahwa orang yang mencela Allah ta’ala adalah kafir sekalipun dia meyakini dengan semua ajaran Allah ta’ala.” [Ash-Sharimul Maslul ’ala Syatimi Rasul hlm. 4 karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah]. Ibnu Hazm mengatakan: “Adapun mencela Allah ta’ala, maka tidak ada seorang Muslim pun di muka bumi ini yang berselisih bahwa itu adalah kekufuran.” [Al-Muhalla 11/411].

Bahkan para ulama menegaskan bahwa siapa pun yang mengucapkan kekufuran adalah kafir, baik serius atau bercanda, tanpa ada perselisihan di kalangan ulama. Keyakinan hatinya tidak dianggap karena yang menjadi patokan adalah secara dzahir yang terucap dalam lisannya, bukan yang tersimpan dalam hatinya [Lihat Ahkamul Qur’an 2/543 oleh Ibnul Arabi, al-Bahru Ra’iq 5/134, Bada’i’ ash-Shana’i’ 7/217].

  1. Menghina Nabi

Jika dahulu orang-orang kafir melontarkan kata-kata celaan kepada para nabi mereka dengan gelar “gila” dan “penyihir” sebagaimana firman Allah:

كَذَلِكَ مَآأَتَى الَّذِينَ مِن قَبْلِهِم مِّن رَّسُولٍ إِلاَّ قَالُوا سَاحِرٌ أَوْ مَجْنُونٌ

“Demikianlah, tidak seorang rasul pun yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, melainkan mereka mengatakan: ‘Dia adalah seorang tukang sihir atau seorang gila.’” (QS adz-Dzariyat [51]: 52)

Dalam sirah juga diceritakan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika berdakwah pada musim haji kepada beberapa kabilah agar bertauhid, ternyata Abu Lahab selalu membuntuti di belakangnya seraya memeringatkan orang-orang haji dengan isyarat dan terang-terangan, bahwa beliau adalah pendusta dan penyihir. Maka hati-hatilah kalian jangan sampai tertipu oleh silat lidahnya!!

Ternyata pada zaman ini, paham Abu Lahab dan kaum Kuffar tersebut dibangkitkan kembali. Adalah Jalaluddin Rakhmat, pentolan Syiah menghina dan menuduh Nabi Muhammad Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam disertasinya yang sedang dia tulis. Nabi Muhammad Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dia sebut penyihir yang brilian.

“Ajaib, Muhammad adalah seorang yang cerdas dan seorang penyihir yang brilian. Ternyata dia tidak berhasil mengorganisasikan masyarakat sesudahnya, karena dia tidak meninggalkan siapa pemimpin masyarakat sesudahnya. Dia pergi begitu saja, tanpa meninggalkan siapa yang dia amanati untuk meneruskan memimpin masyarakat,” kata Jalal, menjelaskan tulisan dalam disertasinya [http://www.nahimunkar.com/jalal-pentolan-syiah-tuduh-nabi-muhammad-seorang-penyihir].

Apa komentar Anda tentang ucapan kotor ini?! Tahukah kita bahwa para ulama telah sepakat mengatakan, bahwa penghina Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kafir dan hukumannya adalah dibunuh, sebagaimana dinukil oleh Ibnul Mundzir [Al-Ijma’ hlm. 76].  Al-Khaththabi mengatakan: “Saya tidak mendapati perselisihan di kalangan ulama tentang wajibnya dia dihukum bunuh.” [Ash-Sharimul Maslul ’ala Syatimi Rasul hlm. 4 karya Ibnu Taimiyyah]. Sahnun mengatakan: “Para ulama sepakat bahwa pencela Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kafir dan terancam dengan siksa Allah ta’ala. Hukumannya adalah dibunuh. Barang siapa ragu tentang kafirnya, maka dia kafir.” [Asy-Syifa’ bi Ta’rifi Huquqil Musthafa hlm. 576 karya al-Qadhi ’Iyadh].

Semua itu karena kemuliaan dan keutamaan Nabi Muhammad Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Allah ta’ala, sehingga kita harus mencintainya dan mengagungkannya. Sebab itu, siapa pun yang mencela dan menghinanya, maka pedang terhunus sangatlah pantas baginya, dan kebinasaan sangat tepat untuknya. Allah ta’ala berfirman:

إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ اْلأَبْتَرُ

“Sesungguhnya orang-orang yang membencimu, dialah yang terputus.” (QS al-Kautsar [108]: 3)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah  berkata, “Maka setiap orang yang melecehkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, membencinya, dan memusuhinya, niscaya Allah ta’ala membinasakannya dan melenyapkannya.” [Ash-Sharimul Maslul hlm. 165].

  1. Menghina Alquran

Jika dahulu orang-orang kafir berani menghina Alquran dengan mengatakan bahwa Alquran adalah ucapan manusia, maka Allah ta’ala mengancamnya dengan ancaman yang keras yaitu siksa Neraka. Allah ta’ala berfirman:

إِنْ هَذَآ إِلاَّ قَوْلُ الْبَشَرِ {25} سَأُصْلِيهِ سَقَرَ {26} وَمَآأَدْرَاكَ مَاسَقَرُ {27} لاَتُبْقِى وَلاَتَذَرُ {28} لَوَّاحَةٌ لِّلْبَشَرِ {29} عَلَيْهَا تِسْعَةَ عَشَرَ {30}

“‘Ini tidak lain hanyalah perkataan manusia.’ Aku akan memasukkannya ke dalam (Neraka) Saqar. Tahukah kamu apakah (Neraka) Saqar itu? Saqar itu tidak meninggalkan dan tidak membiarkan. (Neraka Saqar) adalah pembakar kulit manusia. Dan di atasnya ada sembilan belas (malaikat penjaga).” (QS al-Muddatstsir [74]: 25–30)

Pada zaman sekarang, juga ada orang-orang yang mengunggulkan hukum manusia daripada hukum Allah, yang merupakan penghinaan dan pelecehan terhadap Alquran. Dalam acara ILC di TV One pada Selasa, 14 Oktober 2014, Ketua Umum GP Anshor Nusron Wahid menyebut kalimat kekufuran, “Ayat Konstitusi di atas ayat Alquran.” [http://www.nahimunkar.com/demi-bela-ahok-nusron-wahid-bilang-ayat-konstitusi-di-atas-ayat-al-quran/].

Tidakkah dia membaca firman Allah ta’ala:

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ

“Apakah hukum jahiliyyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS al-Ma’idah [5]: 50)

Ayat ini adalah pertanyaan sekaligus tantangan dari Allah ta’ala, kepada siapa pun yang berani mengunggulkan hukum manusia di atas hukum Allah.

Tidakkah dia menyadari bahwa kalimat tersebut adalah bentuk pelecehan dan kekufuran, karena telah menghina kitab suci Alquran yang mulia. Al-Qadhi Iyadh mengatakan: “Ketahuilah bahwa barang siapa merendahkan Alquran atau mushaf, mencela keduanya, mengingkarinya sekalipun satu ayat atau satu huruf saja, atau mendustakannya, maka dia kafir dengan kesepakatan ahli ilmu.” [Asy-Syifa’ bi Ta’rifi Huquqil Musthafa hlm. 376–380]. Ibnu Farhun juga mengatakan: “Barang siapa mencela Alquran atau sebagiannya atau mengingkarinya maka dia kafir dengan kesepakatan ulama.” [Tabshiratul Hukkam 2/287].

  1. Menghina Sahabat Nabi

Jika dahulu, kaum Munafikin menghina Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat  dengan cemoohan murahan seperti, “Kami tidak mendapati manusia yang lebih buncit perutnya, lebih pendusta lisannya, dan lebih pengecut ketika perang daripada mereka (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat Radhiallahu’anhum).” Lalu Allah ta’ala langsung menurunkan ayat yang tegas tentang mereka:

وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللهِ وَءَايَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِءُونَ {65} لاَتَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِن نَّعْفُ عَن طَائِفَةٍ مِّنكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ {66}

“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, ‘Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.’ Katakanlah, ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?’ Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.” (QS at-Taubah [9]: 65–66)

Pada zaman sekarang pun, paham kaum Munafik ini dihidupkan kembali yang dipelopori oleh kaum Syiah Rafidhah yang sesat dan menyesatkan, sehingga mereka menjadikan caci maki kepada para sahabat Radhiallahu’anhum serta mengafirkan dan melaknat para sahabat Radhiallahu’anhum adalah bentuk ibadah, termasuk dalam pesta dan perayaan mereka.

Al-Khumaini (dikenal sebagai “Khomeini” di media massa) menyatakan bahwa Aisyah, Thalhah, Zubair, Mu’awiyah, dan orang-orang sejenisnya, meskipun secara lahiriah tidak najis, tetapi mereka lebih buruk dan menjijikkan daripada anjing dan babi [Kitab Thaharah 3/457 oleh al-Khumaini]. Di Indonesia, berbagai publikasi Syiah telah memfitnah, menjelek-jelekkan, melaknat, dan bahkan mengafirkan sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antaranya:

“Syiah melaknat orang yang dilaknat Fatimah.” (Emilia Renita AZ. 40 Masalah Syiah. Editor: Jalaluddin Rakhmat. Bandung: IJABI, cet. ke-2. 2009, hlm. 90)

Dan yang dilaknat Fatimah adalah Abu Bakr dan Umar. (Jalaluddin Rakhmat. Meraih Cinta Ilahi. Depok: Pustaka IIMaN, 2008. Dalam catatan kaki hlm. 404–405 dengan mengutip riwayat kitab al-Imamah was Siyasah)

Jalaluddin Rakhmat menulis dalam bukunya, “Berdasarkan riwayat dalam kitab al-Ansab karya Mash’ab al-Zubairi, disimpulkan bahwa Ruqoyyah dan Ummu Kultsum, istri Khalifah Utsman, bukan putri Nabi Muhammad.” (Pengantar Studi Kritis Tarikh Nabi, Muthohhari Press, hlm. 164–165; Manusia Pilihan yang Disucikan, Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2008 hlm. 164)

“Para sahabat suka membantah perintah Nabi.” (Jalaluddin Rakhmat. Sahabat Dalam Timbangan Alquran, Sunnah dan Ilmu Pengetahuan. Pps UIN Alauddin 2009, hlm. 7)

“Tragedi Karbala merupakan gabungan dari pengkhianatan sahabat dan kedzaliman musuh (Bani Umayyah).” (Jalaluddin Rakhmat. Meraih Cinta Ilahi. Depok: Pustaka IIMaN, 2008, hlm. 493)

“Aisyah memrovokasi khalayak dengan memerintahkan mereka agar membunuh Utsman bin Affan.” (Syarafuddin al-Musawi, Dialog Sunnah-Syiah, cet. MIZAN, 1983, hlm. 357)

“Aisyah, Thalhah, dan sahabat-sahabat yang satu aliran dengan mereka memerangi Imam Ali. Sebelumnya, mereka berkomplot untuk membunuh Utsman.” (Emilia Renita AZ. 40 Masalah Syiah. Editor: Jalaluddin Rakhmat. Bandung: IJABI, cet. ke2. 2009, hlm. 83) [Dinukil dari buku panduan Majelis Ulama Indonesia, Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia oleh Tim Penulis MUI Pusat, hlm. 55–57]

Padahal, mencela para sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dosa besar [Oleh karenanya, al-Imam adz-Dzahabi mencantumkannya dalam kitab al-Kaba’ir hlm. 410, tahqiq: Masyhur Hasan Salman] dan perbuatan nista [Mahmud Syukri al-Alusi memiliki kitab khusus tentang masalah ini berjudul Shabbul Adzab ’ala Man Sabbal Ash·hab, telah tercetak]. Allah ta’ala berfirman:

وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَااكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُّبِينًا

“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang Mukmin dan Mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS al-Ahzab [33]: 58)

Al-Hafizh Ibnu Katsir menjelaskan bahwa di antara golongan yang paling sering terkena ancaman ini adalah orang-orang yang kafir kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kaum Rafidhah yang telah mencela para sahabat  dan menuduhkan yang bukan-bukan, bahkan mereka (kaum Rafidhah) menjuluki para sahabat  dengan sifat-sifat yang bertentangan dengan firman Allah ta’ala yang telah menyatakan ridha dan memuji kaum Muhajirin dan Anshar. Namun, justru orang-orang bodoh dan tolol tersebut (Syiah Rafidhah) malah mencela dan mencaci maki para sahabat  serta menuduhkan yang bukan-bukan. Sesungguhnya merekalah yang terbalik akalnya sehingga mencela orang-orang yang terpuji dan memuji orang-orang yang tercela [Tafsir Alquran al-’Azhim 4/481 oleh Ibnu Katsir, cet. Dar Thaibah].

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga secara tegas telah bersabda:

«لَا تَسُبُّوْا أَصْحَابِيْ فَوَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَوْ أَنْفَقَ أَحَدُكُمْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيْفَهُ».

“Janganlah kalian mencela sahabatku. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya seorang di antara kalian menginfaqkan emas seperti Gunung Uhud, sungguh belum menyamai satu mud (infaq) seorang di antara mereka, tidak pula separuhnya.” (HR al-Bukhari: 3673 dan Muslim: 2541) [Lihat tentang hadis dalam risalah khusus mengenainya Juz’ Thuruqi Haditsi La Tasubbu Ash·habi karya al-Hafizh Ibnu Hajar, telah tercetak dengan tahqiq Syaikhuna Masyhur ibn Hasan alu Salman, cet. Dar Ammar]

Dalam pandangan ulama empat madzhab, tindakan mencaci, apalagi mengafirkan sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat tercela dan dikecam. Berikut beberapa nukilannya:

Dari kalangan ulama Hanafiyyah, “Jika seorang Rafidhi mencaci maki dan melaknat Syaikhaini (maksudnya Abu Bakar dan Umar Radhiallahu’anhuma) maka dia kafir, demikian halnya dengan mengafirkan Utsman, Ali, Thalhah, az-Zubair, dan Aisyah—semoga Allah meridhai mereka—(juga adalah kafir).” [Al-Fatawa al-Hindiyyah 2/286].

Dari kalangan ulama Malikiyyah, al-Imam Malik berkata, “Jika dia berkata bahwa para sahabat itu (Abu Bakar, Umar, Utsman, Mu’awiyyah, ’Amr ibn ’Ash Radhiallahu;anhum) berada di atas kesesatan dan kafir, maka ia dibunuh. Dan jika mencaci mereka seperti kebanyakan orang, maka dihukum berat.” [Asy-Syifa’ bi Ta’rifi Huquqil Musthafa 2/1108 oleh al-Qadhi ’Iyadh].

Dari kalangan ulama Syafi’iyyah, “Dipastikan kafir setiap orang yang mengatakan suatu perkataan yang ujungnya berkesimpulan menyesatkan semua umat Islam atau mengafirkan semua sahabat Radhiallahu ‘anhum.” [Raudhah Thalibin 7/290 oleh an-Nawawi].

Dari kalangan ulama Hanabilah, “Siapa yang menganggap para sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah murtad atau fasik setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, maka tidak ragu lagi bahwa orang itu kafir.” [Ash-Sharimul Maslul hlm. 128 oleh Ibnu Taimiyyah].

Dengan demikian, siapa pun yang mencela apalagi mengafirkan sahabat, seperti yang dilakukan kaum Syiah, maka berarti telah mengkhianati dalil Alquran dan hadis Rasul Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan menyalahi keyakinan mayoritas umat Islam.

  1. Menghina Simbol dan Syariat Islam

Jika dahulu kaum Kuffar dan Munafikin mencela syariat Islam serta kaum Zindiq menghujat dan mengolok-olok syariat Islam, maka pada zaman sekarang paham seperti itu banyak ditemukan. Di antaranya adalah ucapan Jalaluddin Rakhmat mencela syariat salam: “Tapi yang menarik bagi saya adalah, hampir semua pembicara di mimbar memulainya dengan ‘Alhamdulillahirabbil’alamin’. Ya Allah, ini mirip pesantren,” kata tokoh Syiah Indonesia yang baru diangkat jadi anggota DPR-RI dari PDI-P ini. “Apakah ini pengaruh pesantren pada parlemen atau pengaruh parlemen pada pesantren, masih dalam penelitian saya. Hatta yang mewakili PDI Perjuangan sekalipun itu ‘Alhamdulillahirabbil’alamin wa sholatu wa salam’. Gila ni, saya bilang, parlemen sudah diislamkan!” Sontak hadirin pun tertawa mendengar penuturan Jalal [http://www.kiblat.net/2014/10/17/jadi-anggota-dpr-kang-jalal-gila-ni-parlemen-udah-diislamkan/].

Demikian juga tulisan Mahmud Suyuti berjudul “Jenggot Bukan Sunnah Nabi, Lebih Dekat Ke Bidah” dan “Cadar bukan Pakaian Muslimah” di kolom Opini Tribun Timur, salah satu koran terbesar di Sulsel tertanggal 10 Oktober 2014. Padahal, Mahmud Suyuti merupakan Ketua MATAN Sulawesi sekaligus dosen pada salah satu perguruan tinggi Islam di Makassar yakni Universitas Islam Makassar (UIM). Di UIM, ia mengajar Hadis.(!!!!) [http://www.buletinsia.com/berita/tulis-opini-jenggot-bukan-sunnah-nabi-mahmud-suyuti-ditantang-lembaga-dakwah-kampus-unhas].

Semua itu adalah ucapan yang kotor dan sangat berbahaya, karena tujuannya adalah mencela syariat Islam dan bisa mengeluarkannya dari agama, sebagaimana mencela Allah ta’ala, Rasul-Nya, dan kitab-Nya yang telah dibahas di muka. Lajnah Da’imah [http://www.kiblat.net/2014/10/17/jadi-anggota-dpr-kang-jalal-gila-ni-parlemen-udah-diislamkan/] menjawab, “Barang siapa mencela jenggot dan menyerupakan dengan bulu kemaluan, maka dia telah melakukan kemungkaran besar yang bisa mengeluarkannya dari Islam, karena mengolok-olok sesuatu yang ditunjukkan Alquran dan sunnah Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, merupakan suatu kekufuran dan kemurtadan dari Islam. Allah ta’ala berfirman:

وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللهِ وَءَايَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِءُونَ {65} لاَتَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِن نَّعْفُ عَن طَائِفَةٍ مِّنكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ {66}

“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, ‘Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.’ Katakanlah, ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?’ Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman…” (QS at-Taubah [9]: 65–66)

Kita memohon kepada Allah bagi kita dan kalian serta segenap kaum Muslimin hidayah dan taufiq dari fitnah-fitnah yang menyesatkan [Fatawa Lajnah Da’imah 5/141–143]. Demikian juga hukumnya celaan dan pengingkaran pada syariat salam, cadar, dan sebagainya karena sama-sama hukum Islam. Wallahu A’lam.

Film Mahabharata

Setali tiga uang dengan masalah ini adalah menjamurnya film Mahabharata, Khrisna, Mahadewa, dan sejenisnya yang merupakan parade kisah dewa-dewa orang-orang musyrik. Kita dapati banyak kaum Muslimin mulai anak-anak hingga orang tua, pria maupun wanita yang menggandrungi dan menikmati film ini tanpa sedikit pun risih dalam hatinya dan khawatir akan virus aqidah yang akan menggerusnya. Sampai-sampai banyak yang mengidolakan mereka dengan memajang foto dan gambar para pemainnya. Hanya kepada Allah-lah kita mengadukan semua ini!!

Subhanallah, manakah pengagungan kita kepada Allah ta’ala?! Manakah cinta dan benci karena Allah ta’ala?!

Bagaimana mungkin seorang Muslim duduk asyik larut memelototi film syirik tersebut, padahal dalam sholat kita selalu membaca “Allahu Akbar” (Allah Maha Besar)?

Di manakah kewibawaan tauhid dan manakah wala’ wal bara’ (loyal dan berlepas diri) yang bersarang di dada, sehingga tak mampu beranjak dari hadapan layar kaca yang menayangkan parade ritual kesyirikan? Bukankah dahulu ketika Umar ibn al-Khaththab  membaca Taurat saja, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung murka dan menegurnya?!!

Oleh karenanya, mulai sekarang nyatakan “Talak tiga” pada film Mahabharata dan sejenisnya yang berisi pengagungan kepada dewa-dewa. Sebab, pada dasarnya ini adalah penghinaan kepada Allah ta’ala dan agama serta virus yang dapat merusak aqidah. Allah ta’ala berfirman:

وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ ءَايَاتِ اللهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلاَ تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِّثْلُهُمْ إِنَّ اللهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا

Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Alquran, bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang Munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam. (QS an-Nisa’ [4]: 140)

وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي ءَايَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ وَإِمَّا يُنْسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلاَ تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

Dan apabila kamu melihat orang-orang memerolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika setan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang dzalim itu sesudah teringat (akan larangan itu). (QS al-An’am [6]: 68)

Ayat-ayat ini menunjukkan wajibnya meninggalkan tempat yang di dalamnya terdapat kekufuran dan penghinaan kepada Allah ta’ala dan agama-Nya, karena hal itu termasuk mendukung dan menyetujui kemungkaran. Padahal yang sewajibnya bagi kita adalah mengingkari kemungkaran tersebut, bukan malah nimbrung di dalamnya [Tafsir Alquranil Karim surat an-Nisa’ 2/352 karya asy-Syaikh Muhammad ibn Shalih al-Utsaimin].

Ke Manakah Pengagungan?!

Bila kita cermati bersama, sumber penistaan agama yang semarak pada zaman sekarang ini adalah karena hati anak manusia yang terkontaminasi oleh noda-noda dan kotoran-kotoran, sehingga hilanglah pengagungan kepada Allah ta’ala, Nabi-Nya, kitab-Nya, dan agama-Nya. Benarlah firman Allah ta’ala:

وَمَاقَدَرُوا اللهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَاْلأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَاوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ

“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya, padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada Hari Kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (QS az-Zumar [39]: 67)

Ayat ini merupakan tamparan keras bagi kaum Musyrikin dan pengingkar sifat Allah yang mengingkari tauhid-Nya, kitab-Nya, dan para Rasul-Nya. Dalam ayat ini pula Allah ta’ala mengabarkan tentang sifat-Nya yang Maha Mampu untuk mengubah alam semesta dan menggantinya sebagai peringatan kepada orang-orang yang mendustakan Hari Kebangkitan, yang merupakan nenek moyang para penentang wahyu dengan akal dan logika mereka [Ash-Shawa’iqul Mursalah 4/1363 karya Ibnul Qayyim, Bada’i’ut Tafsir 4/67–68 kumpulan Yusri Sayyid Muhammad].

Marilah kita semua mengagungkan Allah ta’ala, Rasul-Nya, Kitab-Nya, dan Syariat-Nya. Dan marilah kita mendidik umat untuk pengagungan tersebut. Karena dengan demikian, kita akan meraih istiqamah (tegar) dalam ketaatan kepada Allah ta’ala.

Al-Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mengatakan: “Istiqamah hati itu diraih dengan dua hal:

Pertama: Tatkala kecintaan kepada Allah ta’ala lebih didahulukan dari semua bentuk cinta lainnya. Sehingga tatkala berbenturan antara cinta Allah dengan selain-Nya, maka cinta Allah dinomorsatukan. Alangkah mudahnya pengakuan dan alangkah sulitnya fakta ‘Kenyataan’. Semua itu akan teruji dengan ujian.

Kedua: Mengagungkan perintah dan larangan-Nya, karena itulah simbol pengagungan kepada Dzat yang memerintah dan melarangnya. Oleh karenanya, Allah ta’ala mencela orang yang tidak mengagungkan-Nya dan tidak mengagungkan perintah dan larangan-Nya. Allah ta’ala berfirman:

أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاتَّقُوهُ وَأَطِيعُونِ

“(Yaitu) sembahlah olehmu Allah, bertaqwalah kepada-Nya dan taatlah kepadaku.” (QS Nuh [71]: 3)

Para ulama mengatakan dalam tafsirnya: ‘Kenapa kalian tidak takut dengan keagungan Allah?’”

Selanjutnya beliau menjelaskan tentang tanda-tanda pengagungan kepada Allah ta’ala, di antaranya, “Dia marah karena Allah ta’ala tatkala hukum-hukum Allah diterjang; dia sedih tatkala Allah ta’ala dimaksiati di muka bumi-Nya, perintah-perintah-Nya tidak ditaati. Namun, dia tidak bisa untuk mengubah semua itu.” [Al-Wabilusy Shayyib hlm. 14–15, 26, tahqiq: Abdurrahman ibn Hasan Qaid].

Akhirnya, marilah kita berdoa kepada Allah ta’ala agar menjadikan kita semua hamba-hamba-Nya yang cinta kepada-Nya dan cinta kepada apa dan siapa yang dicintai oleh Allah ta’ala.

Penulis: Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As-Sidawi

 

http://abiubaidah.com/kebangkitan-paham-abu-lahab-dkk-menguak-fenomena-penistaan-agama.html/