بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

#Kisah_Muslim

BIOGRAFI SA’AD BIN ABI WAQQASH RADHIALLAHU ‘ANHU

“Aku adalah orang ketiga yang paling dulu masuk Islam, dan aku adalah orang yang pertama kali memanah musuh di jalan Allah.” Demikianlah Sa’ad bin Abi Waqqash memerkenalkan dirinya. Dia adalah orang ketiga yang paling dulu masuk Islam, dan orang pertama yang memanah musuh di jalan Allah.

Sa’ad bin Abi Waqqash bin Wuhaib bin ‘Abdi Manaf  hidup di Bani Zuhrah, yang merupakan paman-paman Nabi ﷺ dari pihak ibu. Wuhaib adalah kakek Sa’ad. Dia adalah paman Aminah binti Wahab, ibu Nabi ﷺ . Orang-orang mengenal Sa’ad sebagai paman Rasulullah ﷺ  dari pihak ibu. Ketika Rasulullah ﷺ melihatnya, beliau ﷺ merasa bangga kepadanya karena keberanian, kekuatan, dan kesungguhan imannya. Maka beliau ﷺ bersabda: “Ini adalah pamanku, maka hendaklah seseorang memerlihatkan kepadaku istrinya.”

Masuknya Sa’ad ke dalam Islam terjadi pada awal-awal munculnya Islam. Dia mengenal dengan baik Nabi ﷺ serta mengetahui kejujuran dan sifat amanah beliau ﷺ. Nabi ﷺ sudah sering bertemu dengannya sebelum beliau ﷺ diutus menjadi rasul. Beliau ﷺ mengetahui betapa besar kecintaan Sa’ad untuk berperang  dan juga keberaniannya.

Sa’ad sangat suka memanah. Dia selalu berlatih melempar anak panah. Dia masuk Islam dengan mudah dan tidak sulit, bahkan sangat cepat masuk Islam. Dia adalah orang ketiga dari tiga orang yang masuk Islam lebih dulu. Kondisi yang dialami Sa’ad tidak berbeda dengan kondisi orang-orang lain. Ketika ibunya yang bernama Hamnah mengetahui tentang keislamannya, sang ibu pun sangat marah kepadanya.

Sang ibu berkata kepadanya: “Wahai Sa’ad, apakah kamu meninggalkan agamamu dan agama nenek moyangmu, lalu kamu mengikuti sebuah agama yang baru? Demi Allah, aku tidak akan mencicipi satu makanan dan minuman pun, hingga kamu meninggalkan agama baru itu.”

Sa’ad menjawab: “Demi Allah, aku tidak akan meninggalkan agamaku dan tidak akan berpisah darinya.”

Sang ibu bersikeras dengan sikapnya. Sementara dia mengetahui, bahwa Sa’ad sangat mencintainya, sehingga hatinya akan merasa iba ketika dia melihat ibunya berada dalam kondisi tubuh yang lemah dan tidak sehat lagi. Sang ibu tetap melakukan niatnya. Namun karena Sa’ad lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya, maka dia pun berkata kepada ibunya: “Wahai Ibu, demi Allah, andai engkau memiliki tujuh puluh nyawa yang keluar satu demi satu, maka aku tetap TIDAK akan meninggalkan agamaku untuk selama-lamanya.”

Sang ibu mengetahui, bahwa anaknya itu telah berubah dan  tidak akan pernah kembali lagi ke agama sebelumnya untuk selama-lamanya. Karenanya sang ibu pun makan dalam keadaan bersedih dan marah.

Allah ﷻ telah menjadikan Sa’ad sebagai orang yang menyebabkan turunnya salah satu ayat Alquran. Berkaitan dengan persitiwa ini, Allah pun menurunkan sebuah ayat yang membenarkan sikap Saad bin Abi Waqqash:

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

“Dan jika keduanya memaksamu untuk memersekutukan dengan Aku, sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka JANGANLAH kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu. Maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS: Luqman | Ayat: 15).

Mengenai anggapan bahwa Sa’ad adalah orang yang pertama kali melemparkan anak panah dalam rangka berjuang di jalan Allah, dikisahkan bahwa suatu ketika kaum Muslimin Makkah sedang mengerjakan sholat di lorong-lorong  jalan yang ada di Makkah secara sembunyi-sembunyi. Namun sebagian kaum musyrikin melihat mereka, lalu kaum musyrikin pun menyerang kaum Muslimin. Maka Sa’ad bin Abi Waqqash bangun dan langsung menyerang mereka. Dia memanah salah seorang dari mereka, hingga darah mengalir dari tubuh orang tersebut. Inilah darah pertama yang ditumpahkan oleh umat Islam.

(Saat kaum kuffar Makkah memboikot kaum Muslimin) Sa’ad bersama Rasulullah ﷺ berlindung di klan Abu Thalib, sehingga harus menahan lapar bersama beliau ﷺ selama tiga tahun penuh. Selama itu Sa’ad hanya memakan dedaunan, hingga akhirnya Allah pun menghendaki ujian ini berakhir. Tak lama kemudian Sa’ad radhiyalahu ‘anhu lalu pergi berhijrah ke Madinah bersama orang-orang yang berhijrah di jalan Allah.

Umair bin Abi Waqqash berhijrah bersama saudaranya, Sa’ad, ke Madinah. Ketika orang yang bertugas untuk mengumandangkan seruan jihad berkata: “Hayya ‘alal jihad” (Mari berjihad). Sa’ad pun segera keluar dengan membawa pedang dan panahnya. Saat  itu usia Sa’ad telah lebih dari dua puluh tahun, sedangkan Umair masih kecil. Umurnya belum mencapai tiga belas atau empat belas tahun.

Sebagaimana biasanya, Rasulullah ﷺ selalu memeriksa kondisi pasukannya. Beliau ﷺ akan menolak anak-anak kecil yang tidak memiliki kemampuan dan kekuatan untuk berperang. Rasulullah ﷺ pun melihat Umair. Saat itu Umair bersembunyi agar dia tidak disuruh pulang oleh Rasulullah ﷺ, yang menyebabkan dirinya tidak bisa ikut berperang bersama dengan kaum Muslimin. Namun Rasulullah ﷺ melihatnya. Maka beliau ﷺ menolak dan menyuruh Umair untuk pulang. Umair pun menangis hingga Nabi ﷺ merasa iba kepadanya. Akhirnya Rasulullah ﷺ membolehkan Umair untuk keluar bersama pasukan Badar. Umair pun berdiri disamping Sa’ad guna berjihad di jalan Allah.

Ketika peperangan selesai dan debu tidak lagi berterbangan, terlihatlah 14 orang dari kaum Muslimin yang gugur sebagai syahid. Orang yang paling muda di antara ke-14 orang tersebut adalah Umair bin  Abi Waqqash. Sa’ad pun pulang dengan membawa kemenangan di satu tangannya dan tangisan (kesedihan) di tangan yang lain.

Kehidupan berjihad berlangsung dengan cepat. Orang-orang Islam berpindah dari satu pertempuran ke pertempuran yang lain, hingga tibalah saatnya perang Uhud. Saat itu para pasukan pemanah tidak mematuhi ucapan Nabi kita ﷺ, lalu mereka meninggalkan tempat-tempat mereka. Melihat keadaan itu, pasukan kaum musyrikin pun menyerang kaum Muslimin, hingga akhirnya mereka sampai ke Rasulullah ﷺ, yang pada saat itu hanya segelintir shahabat saja yang ada di samping beliau ﷺ. Di antaranya adalah Sa’ad bin Abi Waqqash radhiiyallahu ‘anhu. Ketika Rasulullah ﷺ melihat Sa’ad, beliau ﷺ bersabda kepadanya: “Usir mereka (maksudnya pukul mundur orang-orang musyrik itu).”

Sa’ad berkata: “Bagaimana aku dapat melakukan hal itu sendirian?”

Akan tetapi kemudian Sa’ad segera mengeluarkan anak panah dari sarungnya. Lalu dia melemparkan anak panah itu ke arah salah seorang dari kaum musyrikin, hingga orang itu tewas. Sa’ad kembali mengambil anak panah yang lain. Lalu dengan anak panah itu, dia pun membunuh salah seorang  lainnya dari kaum musyrikin. Demikianlah, panahnya telah membunuh banyak orang musyrik. Maka Sa’ad mengambil panahnya itu, lalu berkata: “Ini adalah panah yang diberkahi oleh Allah.”

Sa’ad tidak pernah ikut serta dalam satu pertempuran, kecuali ia akan membawa anak panah tersebut, dan hal itu terus dilakukannya hingga dia meninggal dunia.

Pada hari yang menyedihkan itu, datanglah Ummu Aiman untuk memberi minuman kepada para pasukan yang terluka dalam medan perang. Tiba-tiba seorang kafir melempar Ummu Aiman dengan anak panah, hingga dia pun terjatuh dan auratnya terbuka. Orang kafir tersebut pun tertawa. Melihat itu, Rasulullah ﷺ segera mengambil sebuah anak panah, lalu beliau ﷺ bersabda kepada Sa’ad: “Wahai Sa’ad, lemparlah (anak panah ini)! Ayah dan ibuku menjadi tebusanmu.”

Demikianlah, Rasulullah ﷺ telah menggabungkan penyebutan nama ayah dan ibu beliau ﷺ ketika meminta sesuatu kepada Sa’ad. Dan hal itu belum pernah beliau ﷺ lakukan terhadap siapa pun, kecuali kepada Sa’ad radhiallahu ‘anhu. Setelah Sa’ad melepaskan anak panah, anak panah tersebut  tepat mengenai leher orang kafir itu, hingga ia pun tewas seketika. Melihat itu, Rasulullah ﷺ tertawa, lalu beliau ﷺ bersabda: “Sa’ad telah melakukan pembalasan untuknya (untuk Ummu Aiman). Semoga Allah mengabulkan doanya.”

Sejak saat itu yang menjadi senjata Sa’ad dalam setiap peperangannya adalah “Anak panah yang diberkahi” dan “Doa yang dikabulkan” itu. Sa’ad selalu teringat akan sabda Rasulullah ﷺ yang ditujukkan kepadanya: “Makanlah yang baik-baik, wahai Sa’ad, niscaya doamu akan dikabulkan.”

Dia juga teringat sabda lainnya dari Rasulullah ﷺ: “Ya Allah, tepatkanlah lemparannya dan kabulkanlah doanya.”

Allah ﷻ mengabulkan doa Nabi-Nya itu, maka Sa’ad radhiallahu ‘anhu pun menjadi pemanah  jitu dan doanya selalu terkabulkan.

Mengenai lemparan jitu dan anak panah yang selalu mengenai sasaran, dapat dilihat dengan jelas dalam pertempuran-pertempuran yang selalu diikuti oleh Sa’ad dalam melawan orang-orang musyrik, terutama ketika dia menjadi pemimpin pasukan kaum Muslimin dalam penaklukan negeri Persia, dengan tujuan menyebarluaskan Islam di sana.

Sebelum terjadinya peperangan yang sangat masyhur di negeri Persia (Qadisiyah), orang-orang Persia telah berkumpul dalam jumlah yang besar, guna menghadapi orang-orang Islam. Saat itu ‘Umar bin Khaththab yang menjadi Amirul Mukminin ingin keluar guna menghadapi pasukan Persia dan memimpin pasukan kaum Muslimin. Namun ‘Ali bin Abi Thalib berhasil merayunya, agar dia mengurungkan niatnya tersebut.

Tugas yang sangat sulit ini tidak mungkin dapat dilakukan, kecuali oleh orang yang memiliki kekuatan, baik dalam  hal keimanan maupun fisiknya. Dari sini, ‘Abdur Rahman bin ‘Auf berkata kepada ‘Umar: “Sebaiknya kamu mengutus orang yang memiliki cakar-cakar seperti singa. Dia adalah Sa’ad bin Abi Waqqash.”

‘Umar pun memertimbangkan perkataan ‘Abdur Rahman tersebut, hingga akhirnya dia berpendapat, bahwa Sa’ad merupakan singa yang pantas untuk dipercaya melakukan tugas yang sulit itu. ‘Umar pun menunjuknya sebagai pemimpin pasukan. Lalu dia berkata kepadanya: “Wahai Sa’ad, janganlah kamu terperdaya bila dikatakan (kepadamu): ‘Engkau adalah paman Rasulullah ﷺ dan engkau adalah sahabat Rasulullah ﷺ.’ Sesungguhnya Allah ﷻ tidak akan menghapus suatu kejelekan dengan kejelekan lainnya, melainkan dia akan menghapus suatu kejelekan dengan kebaikan. Wahai Sa’ad, sesungguhnya tidak ada satu hubungan pun antara Allah dengan salah seorang pun (dari hamba-hamba-Nya), kecuali hubungan ketaatan.”

Sa’ad bin Abi Waqqash pun keluar sebagai singa bagi Allah dan Rasul-Nya, yang diutus untuk memimpin kaum Muslimin dalam sebuah peperangan yang sangat menentukan di negeri Qadisiyah.

Melalui perantara Sa’ad, Allah memadamkan “api” (yang menjadi sesembahan) orang-orang Majusi, membersihkan bumi Persia dari najis, dan mengubah tempat-tempat penyembahan api menjadi masjid-masjid yang dipakai untuk menyembah kepada Allah ﷻ. Madain ibu kota Persia pun jatuh ke tangan kaum Muslimin, lalu Allah memuliakan pasukan-Nya dengan memberikan kemenangan kepada mereka.

Meskipun pada waktu itu Sa’ad sedang merasakan kesakitan pada sebagian anggota tubuhnya, tetapi dia berusaha untuk menahan rasa sakit itu. Dia tetap memimpin kaum Muslimin guna meraih pertolongan yang telah dijanjikan Allah. Pada saat itu kaum Muslimin pun selalu mengulang-ulangi perkataan: “Cukuplah Allah sebagai (penolong kami). Sesungguhnya Dia adalah sebaik-baik pelindung.”

Sa’ad dan kaum Muslimin berjalan menyeberangi sungai Dijlah, hingga mereka dapat sampai di tempat kaum musyrikin. Akhirnya mereka dapat mengalahkan orang-orang Persia secara total. Hal itu tidak lepas dari kehebatan pemimpin mereka, sang pemilik anak panah yang selalu mengenai sasaran, dan pemilik lemparan yang tepat.

Adapun doa yang selalu dikabulkan merupakan senjata kedua yang dipergunakan oleh Sa’ad dalam berperang melawan musuh-musuh Allah. Pintu-pintu langit selalu terbuka untuk  menyambut setiap doa yang dipanjatkan Sa’ad. Allah ﷻ akan selalu mengabulkan doa dan permintaan Sa’ad, kapan saja dia berdoa dan meminta kepada-Nya.

Sa’ad memunyai beberapa orang anak yang masih kecil, sedangkan dia sendiri telah tua, sebab ia tergolong terlambat memiliki anak. Ketika Sa’ad sakit keras hingga hampir saja dia wafat, dia pun berdoa kepada Allah: “Ya Allah, sesungguhnya aku memunyai beberapa orang anak yang masih kecil-kecil. Maka tangguhkanlah kematianku hingga mereka baligh (dewasa).”

Allah pun menangguhkan kematian Sa’ad dua puluh tahun lagi, hingga semua anaknya telah besar (dewasa).

Suatu hari ada seorang laki-laki yang mencaci ‘Ali radhiallahu ‘anhu, Thalhah, dan  Zubair. Melihat itu, Sa’ad pun melarang orang itu agar tidak melakukan hal tersebut. Namun orang itu tak mau berhenti dari perbuatannya, bahkan dia terus mengulangi perkataannya itu. Karenanya Sa’ad berkata: “Hentikanlah perbuatanmu ! Jika kamu tidak mau, maka aku akan berdoa untuk kejelekan dirimu!”

Orang itu berkata dengan nada mengejek: “Kamu mengatakan hal itu seolah-olah kamu adalah seorang nabi, hingga doamu pun pasti dikabulkan.”

Sa’ad radhiallahu ‘anhu pun berdiri, lalu dia berwudhu, dan melakukan sholat dua rakaat. Setelah itu dia berdoa untuk kejelekan orang tersebut. Tidak berselang lama, orang laki-laki itu pun menjadi sebuah pelajaran dan bukti yang memerlihatkan kepada Sa’ad, bahwa Allah ﷻ telah menerima doanya. Tiba-tiba keluarlah seekor unta yang kuat yang datang dengan membabi buta, sepertinya ia sedang mencari seorang laki-laki yang di doakan oleh Sa’ad tersebut. Ketika melihat laki-laki tersebut, unta itu langsung menendang orang tersebut dengan menggunakan kaki-kakinya, hingga orang itu pun jatuh ke tanah. Unta itu masih terus menendang dan menginjak orang tersebut, hingga dia mati.

Wafatnya Sa’ad Bin Abi Waqqash

Setelah wafatnya Rasulullah ﷺ  Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali, tidak banyak kebaikan dunia yang masih tersisa. Sebagian kaum Muslimin saling berseteru dengan sebagian yang lainnya. Adapun Sa’ad berusaha menjauhkan diri dari fitnah (kerusuhan) tersebut. Dia juga tidak turut berperang dalam kubu ‘Ali ataupun Muawiyah. Akan tetapi dia lebih memilih untuk tinggal di Madinah, yang  berada jauh dari tempat terjadinya kerusuhan tersebut. Dia menjadi wali (Gubernur) di sana.

Ketika hari kematiannya datang, dia sempat berkata: “Aku memunyai sebuah jubah yang terbuat dari bulu. Ketika menghadapi pasukan kaum musyrikin pada peperangan Badar, aku mengenakan jubah tersebut. Sesungguhnya aku ingin bertemu Allah dengan menggunakan jubah tersebut. Karenanya, kafanilah aku dengan jubah itu bila aku meninggal.”

Pada pagi hari di tahun ke-55 Hijriyah, kaum Muslimin melayat  Sa’ad. Mereka memakamkannya di Baqi’, di samping kuburan para shahabat Nabi ﷺ. Istri-istri Nabi ﷺ (Ummahat Almu’minin) ikut mendoakannya. Mereka semua menangis tersedu-sedu, karena sang pelempar jitu dan pemilik doa yang selalu terkabulkan itu telah meninggal dunia.

Semoga Sa’ad dapat sampai ke Surga-surga Allah, serta dapat meraih keridhaan dan ampunan-Nya. Kini yang tersisa hanyalah sabda Rasulullah ﷺ:

“Lemparkan (anak panah ini), wahai Sa’ad. Ayah dan ibuku menjadi tebusanmu.”

Sumber: Kisah Teladan 20 Sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk Anak, Dr. Hamid Ahmad Ath-Thahir, Irsyad Baitus Salam, 2006 (Dipublikasikan ulang oleh Kisah Muslim)

[Artikel www.KisahMuslim.com]

 

Sumber:

https://kisahMuslim.com/1595-sa%E2%80%99ad-bin-abi-waqqash.html

https://kisahMuslim.com/1599-biografi-saad-bin-abi-waqqash.html