بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

BILA MENINGGALKAN SHOLAT FARDHU TANPA ALASAN BENAR, APAKAH WAJIB MENGGANTINYA?

Penjelasan tentang masalah seseorang yang di masa lalunya sering meninggalkan sholat tanpa udzur /alasan yang benar. Apakah disyariatkan baginya untuk mengganti (meng-qodho) sholat yang sudah ditinggalkan tersebut?
(Sebagian besar dari pembahasan ini diambil dari kitab Imam Ibnul Qoyyim الصلاة)

Masalah ini diperselisihkan oleh para ulama, yaitu:

Pendapat Pertama: TIDAK BISA DIGANTI. Ini adalah pendapat Hasan Al Basri, Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah, dll.

Pendapat Kedua: WAJIB BAGINYA UNTUK MENGGANTINYA/meng-qodho sholat yang ditinggalkannya. Dan apa yang dia lakukan untuk mengganti ini tidak menghilangkan dosanya ketika meninggalkan sholat, kecuali kalau Allah subhanahu wa ta’ala mengampuninya. Ini adalah pendapat Malik, Syafi’I, Ahmad, dan Abu Hanifah.

Ibnul Qoyyim berkata, bahwa mereka (kedua pendapat di atas) tidak berselisih tentang wajibnya taubat yang jujur/nashuh. Namun yang diperselisihkan di sini adalah, apakah termasuk dari kesempurnaan taubat dengan mengganti sholat yang telah ditinggalkan, atau tidak perlu dan tidak bisa diganti?

Di antara Dalil Pendapat Pertama:

  1. Firman Allah ta’ala (artinya): “Sesungguhnya sholat adalah suatu yang diwajibkan bagi kaum Mukminin dengan waktu yang tertentu” (An Nisa 103). Barang siapa sholat di luar waktu yang diatur dalam syariat, maka dia telah melakukan suatu ibadah bukan dengan tata cara yang telah diatur sehingga tidak sah sholatnya, sebagaimana seandainya sengaja sholat tanpa bersuci, padahal dia dalam keadaan hadas.
  2. Hadis shahih (artinya):”Barang siapa melakukan suatu amalan yang tidak berdasarkan aturan kami, maka amalan itu tertolak.”
  3. Seorang yang sholat sebelum waktunya tidak sah sholatnya dengan kesepakatan para ulama. Maka, apa beda antara orang yang sholat sebelum waktunya, dengan orang yang sholat setelah waktu habis, tanpa alasan yang benar? Bahkan keduanya sama dari sisi melampaui batas yang telah ditentukan dalam Islam.
  4. Disyariatkannya sholat Khouf/dalam keadaan takut, di mana pada sebagian tatacaranya diperbolehkan tidak menghadap Kiblat. Dibolehkan pula makmum salam mendahului imam, bahkan boleh sambil berlari dan naik kuda. Semua ini agar sholat dikerjakan pada waktunya. Seandainya ada keringanan mengerjakan sholat di luar waktunya dengan penuh ketenangan dan memenuhi tata cara sholat yang sempurna, niscaya para Mujahidin Fi Sabilillah lebih pantas mendapat keringanan tersebut. Kenyataannya justru Allah ‘azza wa jalla tetap mensyariatkan sholat Khouf tersebut. Maka, yang meninggalkan sholat tanpa alasan yang benar sangat tidak pantas untuk diberi kesempatan mengganti apa yang ditinggalkannya.
  5. Waktu sholat merupakan syarat terpenting untuk keabsahan suatu sholat. Di antara yang menunjukkan hal ini adalah, bahwa waktu sholat lebih diprioritaskan dibanding syarat-syarat sahnya sholat yang lain. Seandainya seorang mau sholat dalam keadaan tidak memiliki pakaian suci untuk menutup auratnya, dan jika dia mencari pakaian yang suci akan menyebabkan habisnya waktu sholat tersebut; maka dalam keadaan ini dia harus sholat pada waktunya, walaupun dengan pakaian yang tidak suci.
  6. Sebagaimana sholat Jumat dan Wukuf di Arafah tidak bisa dikerjakan bila telah lewat waktunya, demikian pula masalah yang sedang kita hadapi ini, karena semuanya memiliki kesamaan dalam hal ibadah yang terbatasi dengan waktu tertentu.

Dari paparan di atas, pendapat yang lebih dekat kepada kebenaran adalah pendapat pertama, karena dalil-dalil dan alasan-alasan yang lebih kuat. Adapun menjawab alasan-alasan pendapat kedua, maka kita katakan:

Di antara Dalil Pendapat Kedua dan Penjelasan Sanggahannya

  1. Hadis shahih yang menjelaskan, bahwa orang yang tertidur atau terlupa dari suatu sholat, maka waktu sholat bagi mereka adalah ketika terjaga atau teringat.. Kedua jenis orang ini memunyai uzur/alasan ketika meninggalkan sholat, namun toh masih tetap diperintahkan melakukannya/ menggantinya walaupun keluar waktu. Maka, orang yang meninggalkan sholat tanpa uzur/alasan lebih pantas untuk diwajibkan menggantinya.

– Untuk menjawab dalil no. 1 di atas maka kita katakan tidak tepat mengiaskan orang yang tertidur atau lupa dari sholat, dengan orang yang berdosa dengan meninggalkan sholat tanpa alasan yang benar. Rasulullah ﷺ telah menegaskan, bahwa waktu sholat bagi orang yang tertidur atau lupa adalah ketika terjaga atau ingat. Itulah waktu sholat bagi keduanya. Lafazh hadis pun jelas menunjukkan hal ini. Jadi, sangat tidak tepat mengiaskan antara orang yang memiliki uzur/alas an, maka tidak berdosa, dengan yang tidak punya alas an, sehingga dia berdosa. Justru ketika kita tegaskan, bahwa yang meninggalkan sholat tanpa alasan tidak bisa mengganti sholatnya; diharapkan rasa penyesalan akan terus ada pada dirinya, dan membuatnya benar-benar memerbaiki diri dengan memerbanyak amal saleh untuk menambal dosanya di waktu lampau, sekaligus agar tidak bermudah-mudahan dalam meninggalkan sholat.

  1. Hadis shahih ketika perang Ahzab/Khondaq di mana Rasulullah ﷺ dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum tersibukkan dengan perang sampai tidak sempat melakukan sholat Ashar. Ketika itu, sholat Ashar dilakukan setelah masuk waktu Maghrib.– Untuk menjawab dalil no. 2 sebagaimana tersebut di atas, maka kita katakan, bahwa sangat tidak pantas disamakan perbuatan Rasulullah ﷺ dan para sahabat yang sedang berjihad fiisabilillah, dengan perbuatan pelaku dosa besar yang meninggalkan sholat ini. Beliau ﷺ ketika peristiwa perang Ahzab sangat mungkin terlupa karena sibuk dengan perang, atau memang sengaja mengakhirkan sholat Ashar, karena mungkin ketika itu belum turun syariat tentang sholat Khouf.
  1. Sholat Fardhu (Wajib) – juga puasa Ramadan – adalah kewajiban bagi tiap Muslim. Kewajiban ini adalah utang yang harus dibayar dan Rasulullah ﷺ telah menegaskan, bahwa utang kewajiban kepada Allah lebih pantas untuk dibayar, dibanding utang dengan sesama makhluk.– Untuk menjawab dalil no. 3, maka kita katakan, bahwa ketika kita katakan sholat yang ditinggalkan tidak bisa diganti, bukan berarti kita menganggap bahwa kita membebaskan utang dari orang tersebut. Bahkan utang itu tetap menjadi tanggungannya, kecuali kalau Allah mau mengampuninya. Berbagai ibadah wajib yang terikat dengan waktu tertentu adalah utang yang tidak akan diterima pembayaran utang itu, kecuali dengan sifat dan waktu yang telah ditentukan. Ketika telah habis waktunya, tidak tersisa kesempatan untuk membayar utang tersebut. Adapun hadis bahwa “Utang kewajiban kepada Allah lebih pantas untuk dibayar dibanding utang dengan sesama makhluk.”; Rasulullah ﷺ sampaikan hadis ini terkait dengan dua macam ibadah yang penunaiannya tidak terkait dengan waktu tertentu, yaitu Nadzar Mutlak dan Haji. (HR.Bukhari dan Muslim). Dan TIDAK terkait dengan ibadah yang dibatasi dengan waktu tertentu seperti sholat wajib.
  1. Hadis shahih yang menyatakan, bahwa barang siapa yang menjumpai waktu sholat Ashar hanya cukup untuk melakukan satu rakaat, maka dia telah mendapatkan sholat Ashar.[Yakni walaupun rakaat yang tersisa dilakukan setelah masuk waktu Maghrib]. Dalam hadis ini tidak dibedakan antara yang tertidur, terlupa, maupun sengaja mengakhirkan.

– Untuk menjawab dalil no. 4, kita katakan, justru hadis ini menjadi dalil yang menguatkan, karena dalam hadis ini beliau ﷺ isyaratkan, bahwa yang menjumpai sholat Ashar – sebelum matahari tenggelam – kurang dari satu rakaat, maka dia tidak terhitung mendapatkan sholat Ashar. Bagaimana dengan yang meninggalkan tanpa alasan yang benar? Lebih pantas untuk tidak diterima sholatnya.

  1. Hadis ketika Rasulullah ﷺ memerintahkan para sahabat (artinya): ”Janganlah seorang pun di antara kalian sholat Ashar kecuali di tempat Bani Quraizhah [sebuah suku Yahudi yang ketika itu berkhianat]”. Di tengah jalan, sebagian sahabat sholat Ashar, karena khawatir waktu sholat Ashar habis. Dan mereka memahami, bahwa perintah Rasulullah ﷺ tadi tidak lain agar para sahabat tidak menunda-nunda keberangkatan menuju Bani Quraizhah. Sebagian sahabat yang lain tetap memegang perintah Rasulullah ﷺ di atas, dan sholat Ashar ketika sampai di Bani Quraizhah, walaupun telah habis waktu Ashar. Setelah kejadian ini Rasulullah ﷺ tidak menyalahkan kedua kelompok sahabat tersebut. Ini menunjukkan, bahwa mengganti sholat yang ditinggalkan dengan sengaja walaupun telah keluar waktunya tidak salah dan bahkan disyariatkan.

– Untuk menjawab dalil no. 5, kita katakan, bahwa sebagian sahabat radhiyallahu anhum yang ketika itu mengakhirkan sholat Ashar sampai keluar waktunya sama sekali tidak berdosa, karena mereka sedang melaksanakan perintah Rasulullah ﷺ sesuai pemahaman mereka. Bagaimana dikiaskan perbuatan mereka yang mulia ini dengan dosa besar berupa meninggalkan sholat tanpa uzur?

Demikian jawaban berbagai alasan pihak yang mengatakan, bahwa sholat wajib yang ditinggalkan tanpa alasan yang benar, maka sholat itu bisa diganti di waktu lain. Sebenarnya masih ada berbagai alasan yang lain, namun karena berbagai alasan tersebut tidak kuat; sengaja tidak disebutkan di sini.

Wallahu a’lam.

Sumber: