بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

#KisahMuslim

BELAJAR DARI SEJARAH PEMBERONTAKAN

Sesungguhnya, peristiwa sejarah merupakan pelajaran berharga bagi setiap insan yang cerdas. Terlebih yang berkaitan dengan darah kaum Muslimin dan kehormatan mereka.

Islam adalah agama yang sangat menghormati darah seorang Muslim. Bahkan keagungan darah Muslim melebihi keagungan Kakbah. Demikian yang dinyatakan oleh Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘Anhu dengan sanad yang sahih.

Di antara sekian banyak kejadian sejarah yang menorehkan pelajaran penting bagi umat Islam adalah kisah pemberontakan Abdurrahman bin Al Asy’Ats, yang hanya demi mementingkan kepentingan pribadi dan segelintir orang, tertumpahlah darah ribuan bahkan ratusan ribu orang. Yang tersisa hanyalah penyesalan, dan tidak mungkin kembali dihidupkan jasad yang telah mati kecuali di Hari Kebangkitan kelak.

Di awal tahun 81 Hijriyyah dimulailah kejadian perseteruan sengit antara seorang rakyat dengan pemimpinnya. Ialah Abdurrahman bin Al Asy’Ats dengan gubernur Iraq kala itu, Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafy.

Awal muasal kisah tersebut adalah sentimen pribadi antara Hajjaj bin Yusuf dan Abdullah bin Al Asy’ats, sehingga Abdurrahman bin Al asy’Ats  sangat ingin agar Hajjaj bin Yusuf dicopot dari kedudukannya sebagai Gubernur Iraq. Suatu hari Hajjaj bin Yusuf memersiapkan pasukan yang besar untuk memerangi Ratbiil raja Turki yang kafir. Maka diangkatlah Abdurrahman bin Al Asy’Ats sebagai panglima perang.

Berangkatlah pasukan besar tersebut, sehingga terjadilah pertempuran yang besar, dan kemenangan diraih oleh pasukan Abdurrahman bin Al Asy’ats. Kota demi kota berhasil dikuasai oleh umat Islam, sehingga Ratbiil (Raja Turki yang kafir – Red), harus melarikan diri dari satu kota kekota yang lainnya.

Abdurrahman bin Al Asy’ats berpandangan untuk memberhentikan perperangan sesaat, agar kekuatan pasukan kembali kuat. Namun Hajjaj bin Yusuf memerintahkan Abdurrahman bin Al Asy’ats untuk terus melanjutkan peperangan, membuka kota yang dikuasai oleh orang kafir. Dan Hajjaj mencela Abdurrahman bin Al Asy’ats, karena berhentinya dia dari pertempuran bukan pada waktunya. Hal inilah yang membuat Abdurrahman bin Al Asy’Ats marah, dan muncul inisiatif untuk melampiaskan kemurkaannya kepada Hajjaj, hingga berencana untuk mengulingkannya dengan pasukan yang ada di bawah komandonya. Maka mulailah Abdurrahman bin Al Asy’ats menggalang kekuatan dan menghasut pasukannya, untuk berbalik arah menyerang Hajjaj dan memberontak kepadanya.

Ayah Abdurrahman bin Al Asy’ats termasuk orang yang membela anaknya, dan ikut menghasut pasukan agar memberontak kepada Hajjaj. Dia mengatakan: ”Kalian turunkan Musuh Allah Hajjaj” dan berbaiatlah kalian kepada pemimpin kalian ”Abdurrahman bin Al Asy’ats”, dan saksikanlah bahwa aku orang yang pertama kali melepaskan ketaatan kepada Hajjaj.

Dan di saat itu yang menjadi tujuan utama adalah menurunkan Hajjaj bin Yusuf, bukan Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Akhirnya manusia (yang pada dasarnya benci kepada Hajjaj) berbondong-bondong membaiat Abdurrahman bin Al Asy’ats untuk menggulingkan Hajjaj.

Akhirnya terjadilah hal yang mengerikan. Abdurrahman bin Al Asy’ats yang sebelumnya dengan pasukan yang besar menyerang orang kafir, berballik dengan pasukan yang besar menggempur kota Iraq dan berusaha menggulingkan Hajjaj sebagai gubernur kaum Muslimin.

Namun di tengah perjalanan mereka berubah niat, yang sebelumnya untuk mengulingkan Hajjaj (Gubernur Iraq ). Mereka mengatakan: Bukankah Hajjaj adalah antek dari Khalifah Abdul Malik? Alangkah baiknya jika kita mengulingkan sekalian Khalifah yang ada. Akhirnya mereka memerbaharui baiat di atas Alquran dan Sunnah, untuk menggulingkan pemimpin rakyat yang sesat, dan berjihad melawan orang orang yang mereka anggap mulhid.

Beberapa orang berusaha menasihati Abdurrahman bin Al Asy’ats, di antaranya Al Muhallab bin Abi Shafrah. Beliau berkata:

“Wahai Ibnu al-Asy’ats. Kamu telah menginjakkan kakimu di perjalanan  yang panjang. Tetaplah sebagai umat Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallam! Takutlah kepada Allah. Lihatlah dirimu, dan jangan merusaknya. Jangan engkau tumpahkan darah kaum Muslimin! Jangan pecah belah persatuan umat dan jangan merusak baiat! Bila kamu mengatakan: ‘Aku takut kepada manusia atas diriku’, maka Allah lebih berhak engkau takuti daripada manusia. Janganlah engkau menentang Allah dengan menumpahkan darah atau menghalalkan sesuatu yang diharamkan. Wassalamu ‘alaika.”

Namun nasihat Al-Muhallab diabaikan oleh Abdurrahman bin Al Asy’ats. Bahkan ia semakin semangat dalam manghasut manusia agar bergabung dengan kelompoknya, sehingga berkumpul bersama Abdurrahman bin Al Asy’ats sekitar 33.000 pasukan kuda dan 120.000 pasukan pejalan kaki.

Sampailah mereka di daerah Bashrah. Di situ Abdurrahman bin Al Asy’ats berkhutbah mengajak manusia untuk membaiat dirinya serta mengudeta khalifah yang sah. Ia mengatakan:

“Hajjaj itu hanya kekuatan kecil. Tetapi mari kita berangkat menuju Abdul Malik bin Marwan sang khalifah, kemudian kita gulingkan”. Sehingga ajakan tersebut disetujui oleh mayoritas penduduk Bashrah, bahkan sebagian Ulama dan Fuqoha serta para Qurra ikut menyetujui. Hasbunallahu wa ni’mal Wakil.

Di antara pasukan Abdurrahman bin Al Asy’ats ada seorang ulama yang bernama Amir As Sya’by. Beliau berkata kepada para pasukan: ”Wahai pasukan , perangilah penguasa tersebut karena kezaliman yang mereka lakukan, dan penindasan mereka kepada orang lemah!“

Kemudian terjadilah pertempuran yang tak terelakkan lagi, hingga berjatuhanlah korban jiwa yang sangat banyak dari kedua belah pihak. Melihat korban berjatuhan dari kedua belah pihak, Khalifah Abdul Malik bin Marwan menulis surat kepada Abdurrahman bin Al Asy’ats dan pasukannya:

”Apabila kalian suka apabila aku memecat al-Hajjaj dari jabatan gubernur Irak, aku akan memecatnya dan tunjangan bagi kalian akan tetap kuberikan, seperti tunjangan kepada warga Syam.  Adapun Ibnu al-Asy’ats, dia boleh memilih negeri mana saja yang dia sukai untuk menjadi gubernurnya, selama dia masih hidup dan selama aku masih hidup, kemudian jabatan gubernur Irak akan dipegang oleh Muhammad bin Marwan”

Abdurrahman bin Al Asy’ats menyetujui tawaran tersebut, namun ditentang oleh pasukannya. Mereka mengatakan: ”Sungguh kami tidak setuju dengan tawaran tersebut. Kita lebih banyak kekuatan dan persenjataan”. Akhirnya pertempuran berlanjut selama kurang lebih 103 hari, sebagaimana disebutkan oleh AL Imam Ibnul Atsir Rahimahullah.

Hajjaj bin Yusuf melihat, bahwa yang menjadi penyemangat pasukan Abdurrahman bin Al Asy’ats adalah para ulama dan qurra ‘. Maka Hajjaj memerintahkan untuk menghancurkan dahulu ulama dan qurra yang bergabung di dalam pasukan tersebut. Setelah kebanyakan dari mereka terbunuh, mulailah terdesak mundur pasukan Abdurrahman bin Al Asy’ats, sampai akhirnya Abdurrahman bin Al Asy’ats melarikan diri dengan pasukan yang masih setia dengannya dalam keadaan dikejar oleh pasukan Hajjaj, sampai ke negeri Ratbiil Kafir, dan meminta perlindungan kepada Raja tersebut. Maka Hajjaj menulis surat kepada Ratbiil: ”Sungguh demi Allah. Jika engkau tidak memberikan kepada aku Abdurrahman bin Al Asy’ats, maka akan aku kirimkan kepadamu satu juta pasukan, untuk mengeluarkan dia dari negerimu. Sehingga Ratbiil memilih untuk melepaskan Abdurrahman bin Al Asy’sts kepada Hajjaj. 30 orang bersama Abdurrahman bin Al Asy’ats dikirimkan kepada Hajjaj. Namun di tengah perjalanan, Abdurrahman bin Al Asy’ats lebih memilih untuk membunuh dirinya dengan melompat dari tempat yang tinggi di sebuah daerah yang bernama”Ar Rahj”.

Berakhirlah drama kisah Abdurrahman bin Al Asy’ats dengan akhir yang pahit, dan menyisakan duka yang dalam di hati umat Islam. Diriwayatkan oleh ahli sejarah, bahwa korban peperangan tersebut mencapai 130.000 orang (umat Islam).  Walaaa haulaa wala Quwwata Illa billah.

Tentunya seorang yang cerdas akan menjadikan kisah di atas sebagai pelajaran berharga yang tidak boleh terulang. Sehingga Al-Imam Amir Asya’by yang pernah terlibat di dalam pemberontakan tersebut menyesal dan mendatangi Hajjaj untuk meminta maaf. Beliau berkata menceritakan dirinya:

“Setelah aku masuk, aku mengucapkan selamat atas keberhasilannya lalu aku berkata: ‘Wahai sang gubernur, sesungguhnya orang-orang telah memerintahkan aku untuk meminta  maaf kepadamu dengan selain apa-apa yang telah diketahui oleh Allah, bahwasanya itu benar. Dan demi Allah, dalam kesempatan ini aku tidak mengatakan sesuatu kecuali kebenaran. Sungguh demi Allah, kami telah menentangmu dan memrovokasi (menghasut massa), dan berusaha dengan penuh kesungguhan. Maka kami bukanlah orang-orang yang bertakwa lagi baik. Namun bukan pula orang-orang yang keji lagi jahat. Allah telah memberikan pertolongan kepadamu terhadap kami, dan mengaruniakan pertolongan kepadamu terhadap kami, dan mengaruniakan keberuntungan dengan kami. Jika engkau mencambuk kami, maka itu karena dosa-dosa kami. Dan tangan-tangan kami sekali-kali tidak akan  menyentuhmu. Dan jika engkau memaafkan kami, maka itu karena kemurahan hatimu. Selanjutnya bagimulah bukti dan alasan terhadap kami.’

Kemudian Hajjaj mengatakan: ”Engkau Wahai Sya’by, lebih aku cintai dari semua orang yang menghadap aku dalam keadaaan pedangnya telah bersimbah darah kami, lalu mengatakan: Aku tidak melakukan dan tidak berbuat. Sungguh engkau telah aman dan bebas wahai Sya’by.”

Demikian para Ulama Rabbaniyyiin. Mereka siap untuk kembali kepada kebenaran, manakala tampak di hadapan mereka, dan menjadikan kejadian yang terjadi sebagai renungan dan pelajaran berharga.

Lihatlah akhir dari pemberontakan dan tindakan kudeta kepada penguasa Muslim yang sah. Tentunya kita kembali kepada wasiat Rasulullah ﷺ kepada umatnya, sebagai mana hadis yang diriwayatkan dari Abu Najih, Al ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

“Rasulullah ﷺ memberi nasihat kepada kami dengan satu nasihat yang menggetarkan hati dan menjadikan air mata berlinang”. Kami (para sahabat) bertanya:”Wahai Rasulullah, nasihat itu seakan-akan adalah nasihat dari orang yang akan berpisah, maka berilah kami wasiat.” Rasulullah ﷺ  bersabda:

أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّوَجَلَّ , وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكَ عَبْدٌ

“Saya memberi wasiat kepada kalian agar tetap bertakwa kepada Allah ‘azza wa jalla. Tetap mendengar dan taat, walaupun yang memerintah kalian seorang hamba sahaya (budak)”. (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi, Hadis Hasan Shahih)

Dan juga Hadis Hudzaifah bin Al Yaman: Beliau ﷺ bersabda:

« يَكُونُ بَعْدِى أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُونَ بِهُدَاىَ وَلاَ يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِى وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِى جُثْمَانِ إِنْسٍ ». قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ « تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ ».

“Nanti setelah aku akan ada seorang pemimpin yang tidak mendapat petunjukku (dalam ilmu, pen) dan tidak pula melaksanakan sunnahku (dalam amal, pen). Nanti akan ada di tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya adalah hati setan, namun jasadnya adalah jasad manusia.”Aku berkata:”Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan jika aku menemui zaman seperti itu?” Beliau ﷺ bersabda: ”Dengarlah dan taat kepada pemimpinmu, walaupun mereka menyiksa punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan taat kepada mereka.” (HR. Muslim no. 1847 )

Semoga Allah memberikan kepada kita semua kesabaran dan memberikan kepada kita pemimpin yang bertakwa dan baik. Aamiin Ya Rabbal Alaamiin.

 

Diringkas dari”Al-Bidayah wan Nihayah” Karya Al-Imam Ibnu Katsir Rahimahullah.

Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Imam

 

http://www.mukmin.net/2016/12/belajar-dari-sejarah-pemberontakan.html