بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْمِ
BANTAHAN TERHADAP MEREKA YANG MEMBOLEHKAN PERAYAAN MAULID NABI
>> Fadhilatu Asy-Syaikh al-‘Allamah Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah
 
Syubhat Pertama: Pernyataan mereka, bahwa di dalam perayaan Maulid Nabi tersebut terkandung nilai pengagungan terhadap Nabi ﷺ.
 
Jawaban terhadap hal ini (syubhat ini, pen) kita katakan:
Sikap pengagungan terhadap Nabi ﷺ adalah dengan:
▪️ Menaati beliau ﷺ,
▪️ Menjalankan perintah beliau ﷺ,
▪️ Menjauhi larangan beliau ﷺ, dan
▪️ Mencintai beliau ﷺ.
 
Pengagungan terhadap beliau ﷺ bukanlah dengan amalan-amalan bidah, khurafat, dan kemaksiatan.
Dan perayaan Maulid (hari kelahiran, pen) masuk ke dalam bagian yang tercela ini, karena termasuk kemaksiatan.
 
Manusia yang paling kuat sikap pengagungannya kepada Nabi ﷺ adalah para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Urwah bin Mas’ud kepada kaum Quraisy:
“Wahai sekalian kaum! Demi Allah, aku pernah berjumpa dengan kisra, kaisar, dan juga raja-raja yang lainnya, akan tetapi aku tidak pernah melihat seorang raja diagungkan oleh para pengikutnya sebagaimana Muhammad ﷺ diagungkan oleh para sahabatnya. Demi Allah, mereka tidak berani mengangkat pandangan mereka ke arahnya, sebagai bentuk pengagungan terhadap dirinya.”
 
Bersamaan dengan kuatnya sikap pengagungan para sahabat yang seperti ini, mereka tidak pernah menjadikan hari kelahiran beliau ﷺ sebagai hari ‘id dan perayaan. Kalau seandainya hal itu disyariatkan, tentu mereka tidak akan meninggalkannya.
 
Syubhat Kedua: Mereka berdalih, bahwasanya perayaan Maulid Nabi ini diamalkan oleh kebanyakan manusia di berbagai negeri.
 
Jawaban dari syubhat ini kita katakan:
Hujjah (yang bisa diterima, pen) adalah keterangan yang telah pasti datangnya dari Rasulullah ﷺ.
 
Keterangan yang telah pasti dari Rasul ﷺ adalah LARANGAN terhadap amalan-amalan bidah secara umum, dan (amalan Maulid ini) termasuk salah satunya.
 
Amalan manusia, jika menyelisihi dalil, maka BUKANLAH hujjah, walaupun banyak yang mengamalkannya.
 
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang ada di muka bumi, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” [QS al-An’am: 116]
 
Senantiasa ada, segala puji hanya bagi Allah, pada setiap masa, orang-orang yang mengingkari amalan bidah ini, dan menjelaskan kebatilannya. Maka tidak ada lagi hujjah yang tersisa bagi mereka-mereka yang masih terus melakukan bidah ini, setelah jelas kebenaran bagi mereka.
 
Di antara para ulama yang mengingkari perayaan bidah ini:
• Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah di dalam kitab “Iqtidha’ ash-Shirath al-Mustaqim”,
• Al-Imam asy-Syathiby di kitab “al-I’thisham”, Ibnu al-Hajj di “al-Madkhal”,
• Asy-Syaikh Tajuddin ‘Ali bin ‘Umar al-Lakhmy menulis pengingkaran beliau pada satu kitab tersendiri,
• Asy-Syaikh Muhammad Basyir as-Sahsuwany al-Hindy di kitab beliau “Shiyanat al-Insan”,
• Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh menulis sebuah risalah tersendiri pula,
• Samahatu Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz,
 
Dan yang selain mereka dari para ulama yang tak henti-hentinya menulis pengingkaran terhadap bidah ini setiap tahunnya di berbagai surat kabar dan majalah pada waktu dilakukannya perayaan bidah ini.
 
Syubhat Ketiga: Mereka berkata, “Sesungguhnya dengan mengadakan perayaan Maulid Nabi itu, kita menghidupkan upaya mengingat/menyebut nama Nabi ﷺ”.
 
Jawaban dari syubhat ini kita katakan:
Menghidupkan upaya untuk mengingat/menyebut (nama) Nabi ﷺ haruslah sesuai dengan apa yang Allah syariatkan, seperti:
Menyebut nama (mengingat nama beliau ﷺ) dalam azan, iqamah, khutbah-khutbah, dalam shalat-shalat, ketika Tasyahhud, ketika bershalawat atas beliau ﷺ, membaca sunnah (hadis-hadis) beliau ﷺ, dan dengan mengikuti ajaran yang beliau ﷺ diutus dengannya.
 
Amalan-amalan tersebut terus-menerus terulang siang dan malam, bukan hanya sekali dalam setahun.
Syubhat Keempat: Mungkin mereka mengatakan: “Perayaan Maulid Nabi ini pertama kali yang mengadakannya adalah seorang raja yang adil dan berilmu dalam rangka untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah!
 
Jawaban dari syubhat ini, kita katakan:
• Amalan bidah tidak akan diterima dari siapapun yang mengamalkannya.
• Niat yang baik tidak bisa menjadi dalih untuk membolehkan amalan yang jelek.
• Kondisi orang yang mengamalkannya itu berilmu dan adil bukanlah jaminan, bahwa dia terjaga dari kesalahan.
 
Syubhat Kelima: Mereka mengatakan: “Sesungguhnya perayaan Maulid Nabi itu termasuk jenis ‘bidah hasanah’. Karena dengan perayaan tersebut kita bisa mengungkapkan rasa syukur kita kepada Allah atas nikmat berupa diutusnya Nabi yang mulia ini!
 
Syubhat ini dijawab:
TIDAK ADA KEBAIKAN sedikit pun dalam amalan-amalan bidah. Nabi ﷺ telah bersabda:
“Barang siapa membuat-buat amalan baru di dalam agama ini yang bukan bagian darinya, maka amalan tersebut tertolak.”
 
Kita katakan juga:
Mengapa perayaan yang terkandung padanya ungkapan rasa syukur ini, menurut persangkaan kalian, baru diadakan di akhir-akhir abad ke-6 Hijriyah?!
Dan tidak pernah diadakan oleh generasi utama umat Islam dari kalangan sahabat, tabi’in, dan atba’ at-tabi’in. Padahal mereka itu lebih kuat kecintaannya kepada Nabi ﷺ, dan lebih semangat di dalam mengamalkan kebaikan dan merealisasikan rasa syukur.
 
Apakah mungkin orang-orang yang membuat-buat bidah perayaan Maulid itu lebih terbimbing dan lebih bisa bersyukur kepada Allah daripada mereka (sahabat, tabi’in, dan atba’ at-tabi’in, pen)?!
Hal ini tidaklah mungkin, dan sekali-kali tidak!
 
Syubhat Keenam: Mereka mengatakan: “Sesungguhnya perayaan Maulid Nabi ﷺ ini adalah salah satu cara untuk mengungkapkan/menampakkan rasa cinta kepada beliau ﷺ. Dan menampakkan kecintaan kepada beliau ﷺ adalah sesuatu yang disyariatkan!
 
Jawabannya, kita katakan:
Tidaklah diragukan, bahwasanya kecintaan kepada beliau ﷺ wajib atas setiap muslim, dengan kecintaan yang lebih besar daripada kecintaan kepada diri sendiri, anak, orang tua, dan manusia seluruhnya.
 
Namun, hal itu bukan berarti kita boleh membuat-buat amalan bidah yang tidak pernah beliau ﷺ syariatkan untuk kita.
 
Bahkan kecintaan kepada beliau ﷺ memberikan konsekuensi bagi kita untuk MENAATI dan MENGIKUTI beliau ﷺ. Karena sesungguhnya hal itulah di antara bukti terbesar kecintaan kepada beliau ﷺ, sebagaimana disebutkan dalam sebuah syair:
 
Kalau seandainya kecintaanmu jujur, niscaya engkau akan mengikutinya.
Sesungguhnya orang yang mencintai itu kepada orang yang dicintai patuh.
 
Maka kecintaan kepada beliau ﷺ berkonsekuensi untuk:
▪️ Menghidupkan sunnah beliau ﷺ,
▪️ Menggigit sunnah tersebut dengan gigi-gigi geraham, dan
▪️ Menjauhi segala sesuatu yang menyelisihinya, baik berupa perkataan maupun perbuatan.
 
Tidak diragukan lagi, bahwasanya segala sesuatu yang menyelisihi sunnah beliau ﷺ, maka itu adalah BIDAH yang TERCELA dan KEMAKSIATAN yang sangat tampak. Dan diantaranya adalah perayaan Maulid Nabi ini dan yang selainnya dari perkara-perkara bidah.
Niat yang baik bukanlah dalih untuk membolehkan al-ibtida’ (membuat-buat bidah, pen) di dalam agama, karena agama Islam dibangun di atas dua prinsip utama:
• Ikhlas, dan
• Mutaba’ah (mengikuti sunnah Nabi ﷺ, pen).
 
Allah ta’ala berfirman:
 
(بلى من أسلم وجهه لله وهو محسن فله أجره عند ربه ولا خوف عليهم ولا هم يحزنون) البقرة:١١٢
 
“Bahkan barang siapa yang menghadapkan wajahnya kepada Allah dalam keadaan dia berbuat ihsan, maka baginya pahala di sisi Rabbnya dan tidak ada ketakutan atas mereka dan tidak (pula) mereka bersedia hati.” [QS al-Baqarah: 112]
 
 
> Islamu al-wajh (Menghadapkan wajah, pen) adalah ikhlas kepada Allah, dan
> Al-ihsan adalah al- mutaba’ah (mengikuti) Rasulullah ﷺ dan mencocoki as-sunnah.
 
 
Ikuti kami selengkapnya di:
WhatsApp: +61 (450) 134 878 (silakan mendaftar terlebih dahulu)
Website: https://nasihatsahabat.com/
Facebook: https://www.facebook.com/nasihatsahabatcom/
Instagram: NasihatSahabatCom
Telegram: https://t.me/nasihatsahabat
Pinterest: https://id.pinterest.com/nasihatsahabat
#bidah, #maulidnabi, #perayaanmaulidnabi, #RabiulAwal #fatwaulama #mawlid #mawleed #ulangtahunnabi #bantahan, #syubhat, #kerancuan, #hukum #rayakan