BAGAIMANA HUKUMNYA MENJUAL KULIT HASIL SEMBELIHAN QURBAN?

Pemanfaatan Hasil Sembelihan Qurban Yang Terlarang

Ada dua bentuk pemanfaatan hasil sembelihan qurban yang terlarang, yaitu:

[1] Menjual sebagian dari hasil sembelihan qurban dan

[2] Memberi upah pada jagal dari hasil sembelihan qurban.

Berikut penjelasannya:

Larangan pertama: Menjual sebagian dari hasil sembelihan qurban, baik berupa kulit, wol, rambut, daging, tulang dan bagian lainnya. Dalil terlarangnya hal ini adalah hadis Abu Sa’id, Nabi ﷺ bersabda:

وَلاَ تَبِيعُوا لُحُومَ الْهَدْىِ وَالأَضَاحِىِّ فَكُلُوا وَتَصَدَّقُوا وَاسْتَمْتِعُوا بِجُلُودِهَا وَلاَ تَبِيعُوهَا

“Janganlah menjual hewan hasil sembelihan hadyu [Hadyu adalah binatang ternak (unta, sapi atau kambing) yang disembelih oleh orang yang berhaji dan dihadiahkan kepada orang-orang miskin di Mekkah] dan sembelian udh-hiyah (qurban).Tetapi makanlah, bershodaqohlah, dan gunakanlah kulitnya untuk bersenang-senang, namun jangan kamu menjualnya.” Hadis ini adalah hadis yang Dho’if (Lemah) [HR. Ahmad no. 16256, 4/15. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadis ini Dho’if (Lemah). Ibnu Juraij yaitu ‘Abdul Malik bin ‘Abdul ‘Aziz adalah seorang Mudallis. Zubaid yaitu Ibnul Harits Al Yamiy sering meriwayatkan dengan Mu’an’an. Zubaid pun tidak pernah bertemu dengan salah seorang sahabat. Sehingga hadis ini dihukumi Munqothi’ (sanadnya terputus)].

Walaupun hadis di atas Dho’if, menjual hasil sembelihan qurban tetap TERLARANG. Alasannya, qurban disembahkan sebagai bentuk taqorrub pada Allah, yaitu mendekatkan diri pada-Nya, sehingga tidak boleh diperjualbelikan. Sama halnya dengan zakat. Jika harta zakat kita telah mencapai Nishob (ukuran minimal dikeluarkan zakat) dan telah memenuhi haul (masa satu tahun), maka kita harus serahkan kepada orang yang berhak menerima, tanpa harus menjual padanya. Jika zakat tidak boleh demikian, maka begitu pula dengan qurban, karena sama-sama bentuk taqorrub pada Allah. Alasan lainnya lagi adalah kita tidak diperkenankan memberikan upah kepada jagal dari hasil sembelihan qurban, sebagaimana nanti akan dijelaskan [Lihat keterangan Syaikh Abu Malik dalam Shahih Fiqh Sunnah, 2/379].

Dari sini, TIDAK tepatlah praktik sebagian kaum Muslimin ketika melakukan ibadah yang satu ini, dengan menjual hasil qurban, termasuk yang sering terjadi adalah menjual kulit. Bahkan untuk menjual kulit, terdapat hadis khusus yang MELARANGNYA. Dari Abu Hurairah, Nabi ﷺ bersabda:

مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَّتِهِ فَلاَ أُضْحِيَّةَ لَهُ

“Barang siapa menjual kulit hasil sembelihan qurban, maka tidak ada qurban baginya.” [HR. Al Hakim. Beliau mengatakan bahwa hadis ini Shahih. Adz Dzahabi mengatakan bahwa dalam hadis ini terdapat Ibnu ‘Ayas yang didho’ifkan oleh Abu Daud. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadis ini Hasan. Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1088].

Maksudnya, ibadah qurbannya TIDAK ADA NILAINYA.

Larangan menjual hasil sembelihan qurban adalah pendapat para Imam Asy Syafi’i dan Imam Ahmad. Imam Asy Syafi’i mengatakan: “Binatang qurban termasuk Nusuk (hewan yang disembelih untuk mendekatkan diri pada Allah). Hasil sembelihannya BOLEH dimakan, BOLEH diberikan kepada orang lain dan BOLEH disimpan. Aku TIDAK menjual sesuatu dari hasil sembelihan qurban (seperti daging atau kulitnya, pen). Barter antara hasil sembelihan qurban dengan barang lainnya termasuk jual beli.” [Lihat Tanwirul ‘Ainain bi Ahkamil Adhohi wal ‘Idain, hal. 373, Syaikh Abul Hasan Musthofa bin Isma’il As Sulaimani, terbitan Maktabah Al Furqon, cetakan pertama, tahun 1421 H].

Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat dibolehkannya menjual hasil sembelihan qurban, namun hasil penjualannya disedekahkan [Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/379]. Akan tetapi, yang lebih selamat dan lebih tepat, hal ini TIDAK diperbolehkan, berdasarkan larangan dalam hadis di atas dan alasan yang telah disampaikan. Wallahu a’lam.

Catatan penting yang perlu diperhatikan: Pembolehan menjual hasil sembelihan qurban oleh Abu Hanifah adalah ditukar dengan barang, karena seperti ini masuk kategori pemanfaatan hewan qurban menurut beliau. Jadi beliau tidak memaksudkan jual beli di sini adalah menukar dengan uang. Karena menukar dengan uang secara jelas merupakan penjualan yang nyata. Inilah keterangan dari Syaikh Abdullah Ali Bassam dalam Tawdhihul Ahkam [Lihat Tawdhihul Ahkam min Bulughil Marom, Syaikh ‘Abdullah Ali Bassam, 4/465, Darul Atsar, cetakan pertama, tahun 1425 H 6] dan Ash Shon’ani dalam Subulus Salam [Lihat Subulus Salam Syarh Bulughul Marom, Muhammad bin Isma’il Ash Shon’ani, 4/177, Darul Fikr, cetakan tahun 1411 H].

Sehingga TIDAK tepat menjual kulit atau bagian lainnya, lalu mendapatkan uang, sebagaimana yang dipraktikan sebagian panitia qurban saat ini. Mereka sengaja menjual kulit agar dapat menutupi biaya operasional atau untuk makan-makan panitia.

Mengenai penjualan hasil sembelihan qurban dapat dirinci:

TERLARANG menjual daging qurban (udh-hiyah atau pun hadyu) berdasarkan kesepakatan (ijma’) para ulama [Lihat Tawdhihul Ahkam, 4/465].

Tentang menjual kulit qurban, para ulama berbeda pendapat:

Pertama: Tetap terlarang. Ini pendapat Mayoritas Ulama berdasarkan hadis di atas. Inilah pendapat yang lebih kuat karena berpegang dengan dzahir hadis (tekstual hadis) yang melarang menjual kulit, sebagaimana disebutkan dalam riwayat Al Hakim. Berpegang pada pendapat ini lebih selamat, yaitu TERLARANGNYA jual beli kulit secara mutlak.

Kedua: Boleh, asalkan ditukar dengan barang (bukan dengan uang). Ini pendapat Abu Hanifah. Pendapat ini TERBANTAH, karena menukar juga termasuk jual beli. Pendapat ini juga telah disanggah oleh Imam Asy Syafi’i dalam Al Umm (2/351). Imam Asy Syafi’i mengatakan: “Aku tidak suka menjual daging atau kulitnya. Barter hasil sembelihan qurban dengan barang lain juga termasuk jual beli.” [Lihat pendapat Imam Asy Syafi’i ini dalam Tanwirul ‘Ainain bi Ahkamil Adhohi wal ‘Idain, hal. 373].

Ketiga: Boleh secara mutlak. Ini pendapat Abu Tsaur sebagaimana disebutkan oleh An Nawawi [Syarh Muslim, An Nawawi, 4/453, Mawqi’ Al Islam]. Pendapat ini jelas LEMAH karena bertentangan dengan dzahir hadis yang melarang menjual kulit.

Sebagai nasihat bagi yang menjalani ibadah qurban:

Hendaklah kulit tersebut diserahkan secara cuma-cuma kepada siapa saja yang membutuhkan, bisa kepada fakir miskin atau Yayasan Sosial. Setelah diserahkan kepada mereka, terserah mereka mau manfaatkan untuk apa. Kalau yang menerima kulit tadi mau menjualnya kembali, maka itu dibolehkan. Namun hasilnya tetap dimanfaatkan oleh orang  yang menerima kulit qurban tadi, dan bukan dimanfaatkan oleh Shohibul Qurban atau Panitia Qurban (Wakil Shohibul Qurban).

Larangan kedua: Memberi upah pada jagal dari hasil sembelihan qurban.

Dalil dari hal ini adalah riwayat yang disebutkan oleh ‘Ali bin Abi Tholib:

أَمَرَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لاَ أُعْطِىَ الْجَزَّارَ مِنْهَا قَالَ « نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا ».

“Rasulullah ﷺ memerintahkanku untuk mengurusi unta-unta qurban beliau. Aku menyedekahkan daging, kulit, dan jilalnya (kulit yang ditaruh pada punggung unta untuk melindungi dari dingin). Aku tidak memberi sesuatu pun dari hasil sembelihan qurban kepada tukang jagal. Beliau bersabda: “Kami akan memberi upah kepada tukang jagal dari uang kami sendiri”.” [HR. Muslim no. 1317].

Dari hadis ini, An Nawawi rahimahullah mengatakan: “Tidak boleh memberi tukang jagal sebagian hasil sembelihan qurban sebagai upah baginya. Inilah pendapat ulama-ulama Syafi’iyah, juga menjadi pendapat Atho’, An Nakho’i, Imam Malik, Imam Ahmad dan Ishaq.” [Syarh Muslim, An Nawawi, 4/453].

Namun sebagian ulama ada yang membolehkan memberikan upah kepada tukang jagal dengan kulit semacam Al Hasan Al Bashri. Beliau mengatakan: “Boleh memberi jagal upah dengan kulit.”  An Nawawi lantas menyanggah pernyataan tersebut: “Perkataan beliau ini telah membuang sunnah.” [Syarh Muslim, An Nawawi, 4/453].

Sehingga yang tepat, upah jagal BUKAN diambil dari hasil sembelihan qurban. Namun Shohibul Qurban hendaknya menyediakan upah khusus dari kantongnya sendiri untuk tukang jagal tersebut.

 

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

 

Dinukil dari: https://rumaysho.com/665-bolehkah-menjual-kulit-hasil-sembelihan-qurban.html