#AkidahManhaj

BAGAIMANA HUKUM PERAYAAN HAUL DI MATA SYARIAT?

Muqoddimah

Di tanah air Indonesia ini, perayaan Haul seorang syaikh, wali, sunan, kiai, habib, atau tokoh lainnya bukanlah hal yang asing bagi kebanyakan kita. Di pinggir-pinggir jalan sering dipajang spanduk bertuliskan “Hadirilah acara peringatan Haul Syaikh Fulan yang ke sekian kalinya.”

Acara Haul sudah merupakan upacara ritual seremonial yang biasa dilakukan oleh umumnya masyarakat Indonesia untuk memeringati hari kematian seseorang. Awalnya, acara ini biasanya diselenggarakan setelah proses penguburan, kemudian berlanjut setiap hari sampai hari ke-7. Lalu diselenggarakan lagi pada hari ke-40 dan ke-100. Untuk selanjutnya acara tersebut diadakan tiap tahun di hari kematian si mayit atau yang masyhur dikenal dengan “Haul” yang berarti “tahun” dalam bahasa Arab.

Perayaan Haul dengan berbagai variasi acaranya cukup memukau banyak kalangan, dihadiri oleh para tokoh agama dan petinggi daerah. Masyarakat pun berjubel-jubel antusias menghadirinya dengan berbagai macam keyakinan dan tujuan, hingga tanpa disadari acara ini seakan menjadi suatu kelaziman. Konsekuensinya, bila ada yang tidak menyelenggarakan acara tersebut, berarti telah menyalahi adat, dan akibatnya diasingkan dari masyarakat. Bahkan lebih jauh lagi, acara tersebut seolah-olah membangun opini muatan hokum, yaitu sunnah atau wajib dikerjakan, dan sebaliknya bid’ah dan salah bila ditinggalkan.

Hal yang sangat mengherankan adalah kurangnya usaha banyak orang untuk mencari kebenaran tentang status hukum perayaan ini ditinjau dari sudut pandang syariat Islam yang mulia. Oleh karena itu, penting sekali adanya penjelasan secara ilmiah dan komprehensif tentang masalah yang menjadi pro dan kontra ini, sehingga tidak menyisakan celah-celah perdebatan dan keraguan pada masyarakat kaum Muslimin tentang hakikat perayaan ini. Berikut ini adalah usaha sederhana dari hamba yang lemah ini untuk mengupas masalah ini. Semoga bermanfaat.

Islam Telah Sempurna

Di antara nikmat terbesar yang Allah anugerahkan kepada umat ini adalah disempurnakannya agama ini sebagaimana dalam firman-Nya:

ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَـٰمَ دِينًۭا ۚ

“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridai Islam sebagai agamamu.” (QS. al-Ma‘idah [5]: 3)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata:

“Ini merupakan kenikmatan Allah yang terbesar kepada umat ini, di mana Allah telah menyempurnakan agama mereka, sehingga mereka tidak membutuhkan agama selainnya, dan (tidak membutuhkan) nabi selain nabi mereka. Oleh karena itu, Allah menjadikan Nabi ﷺ sebagai penutup para nabi, dan mengutusnya kepada jin dan manusia. Maka tidak ada sesuatu yang halal selain apa yang beliau ﷺ halalkan, tidak ada yang haram kecuali yang beliau ﷺ haramkan, tidak ada agama selain apa yang beliau ﷺ syariatkan, dan setiap apa yang beliau ﷺ beritakan adalah benar dan jujur, tiada kedustaan di dalamnya.”

Tidaklah Rasulullah ﷺ meninggalkan dunia ini, melainkan telah meninggalkan kaum Muslimin dalam jalan yang terang-benderang, malamnya seperti siangnya. Semua permasalahan yang dibutuhkan oleh hamba telah dijelaskan dalam syariat Islam, hingga permasalahan yang dipandang remeh oleh kebanyakan manusia seperti adab buang hajat.

Dengan sempurnanya Islam, maka segala perbuatan bid’ah dalam agama dinilai sebagai kelancangan terhadap syariat, dan ralat terhadap Pembuat Syariat, bahwa masih ada permasalahan yang belum dijelaskan. Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah mengeluarkan perkataan emas tentang ayat ini. Beliau berkata:

مَنِ ابْتَدَعَ فِيْ الإِسْلَامِ بِدْعَةً يَرَاهَا حَسَنَةً فَقَدْ زَعَمَ أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ ‏n خَانَ الرِّسَالَةَ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُوْلُ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ فَمَا لَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيْنًا فَلَا يَكُوْنُ الْيَوْمَ دِيْنًا

“Barang siapa melakukan bid’ah dalam Islam dan menganggapnya baik (Bid’ah Hasanah), maka sesungguhnya dia telah menuduh Muhammad ﷺ mengkhianati risalah, karena Allah ta’ala berfirman: ‘Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untukmu agamamu.’ Karena itu, apa saja yang di hari itu (pada zaman Nabi ﷺ) bukan sebagai agama, maka pada hari ini juga TIDAK termasuk agama.” [Al-I’tishom 1/64–65 al-Imam asy-Syatibi (tahqiq: Salim al-Hilali)]

Perayaan dalam Islam

Ketahuilah, bahwa perayaan tahunan dalam Islam hanya ada DUA macam, Idul Fitri dan Idul Adha, berdasarkan hadis:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه قَالَ: كَانَ لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا, فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم الْمَدِينَةَ قَالَ:كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا: يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى

Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata: “Tatkala Nabi ﷺ datang di kota Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari untuk bersenang-senang (bergembira) sebagaimana di waktu jahiliah, lalu beliau ﷺ bersabda:

‘Saya datang kepada kalian dan kalian memiliki dua hari raya untuk bersenang-senang sebagaimana di waktu jahiliah. Dan sesungguhnya Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik, Idul Adha dan Idul Fitri.” [HR. Ahmad: 3/103, Abu Dawud: 1134, dan an-Nasa‘i: 3/179]

Hadis ini menunjukkan, bahwa Rasulullah ﷺ tidak ingin umatnya membuat-buat perayaan baru yang tidak disyariatkan Islam. Alangkah bagusnya ucapan al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah:

“Sesungguhnya perayaan tidaklah diadakan berdasarkan logika dan akal, sebagaimana dilakukan oleh Ahli Kitab sebelum kita, tetapi berdasakan syariat dan dalil.” [Fathul Bari: 1/159, Tafsir Ibnu Rajab: 1/390]

Beliau juga berkata:

“Tidak disyariatkan bagi kaum Muslimin untuk membuat perayaan, kecuali perayaan yang diizinkan syariat, yaitu Idul Fitri, Idul Adha, hari-hari Tasyriq, ini perayaan tahunan, dan Jumat, ini perayaan mingguan. Selain itu, menjadikannya sebagai perayaan adalah bid’ah, dan tidak ada asalnya dalam syariat.” [Latho‘iful Ma’arif hlm. 228]

Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah berkata:

“Perayaan dalam Islam itu terbatas dan diketahui. Hal ini sesuai dengan kaidah syariat, bahwa ibadah itu harus sesuai dengan dalil, sehingga tidak boleh beribadah kepada Allah, kecuali dengan apa yang telah disyariatkan. Dan hal ini juga berdasarkan kaidah haramnya berbuat bid’ah dalam agama. Dan sesuai dengan kaidah haramnya Tasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir dalam hal-hal yang khusus bagi mereka, baik berupa ucapan, perbuatan, mode dan sebagainya.” [Iedul Yuyil Bid’atun Fil Islam hlm. 7–8]

Adapun perayaan dan peringatan pada zaman sekarang, maka tak terhitung jumlahnya, baik di negeri Muslim, apalagi di negeri non-Muslim. Lihatlah betapa banyak perayaan yang diselenggarakan di kuburan, petilasan, tokoh, negara, dan sebagainya dari perayaan-perayaan yang tidak diizinkan oleh Allah. Di India misalnya, berdasarkan penelitian, penduduk Muslim di sana memiliki 144 hari perayaan pada setiap tahunnya. [Ahkam Iedain Fi Sunnah al-Muthohharoh hlm. 14, Ali bin Hasan al-Halabi]

Gambaran Seputar Perayaan Haul

Sebelum memasuki pembahasan lebih lanjut, alangkah baiknya kita mengetahui gambaran perayaan Haul secara singkat, agar kita memahami masalah ini dengan baik: [Diringkas dari buku “Kupas Tuntas Masalah Peringatan Haul” karya Imron AM, hlm. 13–14, cet. al-Fikar, tahun 2005 M]

Definisinya

Haul yang sering disebut dengan Khol adalah berasal dari kata Arab “Haul” yang artinya secara bahasa adalah “Tahun”. Adapun yang dimaksud dengan perayaan Haul sebagaimana yang lazim berjalan di masyakat tanah air, ialah acara peringatan hari ulang tahun kematian.

Waktu dan Tempat

Acara ini biasanya diselenggarakan di halaman kuburan mayit yang diperingati atau sekitarnya, tetapi ada pula yang diselenggarakan di rumah, masjid, dan lain-lain. Adapun waktunya, biasanya diselenggarakan tepat pada hari ulang tahun wafat mayit yang diperingati, yang lazimnya tergolong orang yang berjasa kepada Islam dan kaum Muslimin semasa hidupnya. Acara ini biasanya berlangsung sampai tiga hari tiga malam dengan aneka variasi acara. Dan bagi yang diselenggarakan secara pribadi, biasanya hanya secara sederhana dengan memakan waktu beberapa saat dengan sekadar penyelenggaraan acara tahlilan dan hidangan makan sesudahnya.

Suasana Acara

Apabila acara Haul ini untuk seorang yang berpengaruh besar di masa hidupnya, maka biasanya diselenggarakan besar-besaran dengan dibentuk panitia lengkap dengan bagian-bagiannya. Acara tersebut berjalan dengan meriah dengan berbagai acara seperti Tilawah Alquran, bacaan tahlil secara massal dengan selingan acara kesenian seperti seni Hadhroh (pemukulan rebana dengan bacaan shalawat Nabi). Dan di sepanjang jalan dalam jarak beberapa ratus meter dari pusat penyelenggaraan acara, biasanya penuh dengan aneka macam stan penjualan berbagai macam barang dagangan dan berbagai rupa makanan, di samping penjualan mainan anak-anak yang menambah semaraknya suasana, sehingga situasi pada hari-hari tersebut sangat meriah, tak ubahnya seperti pasar malam.

Maksud dan Tujuan Acara

Maksud penyelenggaraan acara ini antara lain untuk kirim pahala bacaan ayat-ayat suci Alquran dan bacaan-bacaan lainnya, di samping juga untuk tujuan seperti Tawassul, Tabarruk (ngalap berkah), Istighotsah, dan pelepasan nadzar kepada si mayit. Disebutkan, bahwa tujuan inti dari acara tersebut diadakan adalah dalam rangka mengenang sejarah atau biografi seorang yang ditokohkan. Oleh sebab itu, momentum Haul selalu dinanti oleh umat Islam dengan tujuan, menapaktilasi dan meneladani rekam jejak perjuangan orang yang di-Haul-i.

Sejarah Perayaan Haul

Ketahuilah, bahwa perayaan Haul ini TIDAKLAH dikenal di zaman Nabi ﷺ, para sahabat, para tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Perayaan tersebut tidak pula dikenal oleh imam-imam madzhab: Abu Hanifah, Malik, Ahmad, dan Syafi’i. Karena memang perayaan ini adalah perkara BARU dalam agama Islam. Adapun yang pertama kali mengadakannya adalah kelompok Rofidhoh (Syi’ah), yang menjadikan hari kematian Husain pada waktu Asyuro, yang telah diingkari oleh para ulama.

Alangkah bagusnya ucapan al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah:

“Adapun menjadikan hari Asyuro sebagai hari kesedihan (ratapan), sebagaimana dilakukan oleh kaum Rofidhoh karena terbunuhnya Husain bin Ali, maka hal itu termasuk perbuatan orang yang TERSESAT usahanya dalam kehidupan dunia, sedangkan dia mengira berbuat baik. Allah dan Rasul-Nya ﷺ saja tidak pernah memerintahkan agar hari musibah dan kematian para nabi dijadikan ratapan, lantas bagaimana dengan orang yang selain mereka?” [Latho‘iful Ma’arif hlm. 113]

Husain bin Ali bin Abi Thalib adalah cucu Rasulullah ﷺ dari perkawinan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu dengan putri beliau, Fatimah binti Rasulullah radhiallahu ‘anha. Husain sangat dicintai oleh Rasulullah ﷺ. Namun apa pun musibah yang terjadi, dan betapapun kita sangat mencintai keluarga Rasulullah ﷺ, tidak boleh menjadi alasan untuk bertindak melanggar aturan syariat dengan memeringati hari kematian Husain!! Sebab, peristiwa terbunuhnya orang yang dicintai Rasulullah ﷺ sebelum Husain juga pernah terjadi, seperti terbunuhnya Hamzah bin Abdil Mutholib radhiallahu ‘anhu, dan hal itu tidak menjadikan Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum mengenang atau memeringati hari terjadinya peristiwa tersebut, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Syi’ah untuk mengenang terbunuhnya Husain!! [Syahr al-Muharrom wa Yaum ’Asyuro, Abdulloh Haidir, hlm. 29]

Apalagi kalau kita telusuri bersama, sejatinya perayaan kematian seperti ini adalah berawal dari kepercayaan-kepercayaan non-Muslim tentang kembalinya arwah-arwah mayit, sehingga perlu dibuatkan sajen-sajen. Tentu saja, kepercayaan-kepercayaan tersebut adalah BATIL menurut pandangan syariat Islam. [Al-Arba’in wal Khomis wa Dzikro Sanawiyyah hlm. 12–13 oleh Amr Abdul Mun’im. Lihat pula buku “Santri NU Menggugat Tahlilan” oleh Harry Yuniardi dan buku “Muallaf Menggugat Tahlilan” oleh Ustadz  Abdul Aziz (mantan pendeta Hindu)]

Hukum Perayaan Haul

Menghukumi sesuatu ini boleh atau tidak bukanlah perkara yang amat mudah. Tidak boleh kita gegabah dalam menghukumi. Apalagi tentang permasalahan ini yang sudah mendarah daging di masyarakat hingga saat ini. Marilah kita tinggalkan semua fanatisme golongan, hawa nafsu, dan adat yang tidak berdasar. Marilah kita kembalikan semua perselisihan kepada Alquran dan sunnah Rasulullah ﷺ, sebagaimana firman Allah:

فَإِن تَنَـٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍۢ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ ذَ‌ٰلِكَ خَيْرٌۭ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا ﴿٥٩﴾

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. an-Nisa‘ [4]: 59)

Setelah kita mengembalikan masalah ini kepada Alquran dan Sunnah, ternyata tidak kita dapati satu pun dalil yang menunjukkan disyariatkannya perayaan ini. Demikian juga kita TIDAK mendapati, bahwa Nabi ﷺ, para sahabat radhiyallahu ‘anhum, dan para ulama/imam salaf mengadakan perayaan Maulid. Sehingga jelaslah bagi orang yang hendak mencari kebenaran dan jauh dari kesombongan, bahwa perayaan Maulid Nabi ﷺ adalah perbuatan yang TERTOLAK. Sekali lagi, JANGANLAH standar kita adalah KEBANYAKAN ORANG, tetapi jadikan standar hukum kita adalah ALQURAN dan SUNNAH NABI ﷺ.

Ada beberapa argumen yang menguatkan batilnya perayaan Haul ini sebagai berikut:

Pertama:

Seandainya perayaan ini disyariatkan, tentu akan dijelaskan oleh Nabi ﷺ sebelum wafatnya, karena Allah telah menyempurnakan agama-Nya. Allah ta’ala berfirman:

ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَـٰمَ دِينًۭا

Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridai Islam sebagai agamamu. (QS. al-Ma‘idah [5]: 3)

Kedua:

Seandainya perayaan Maulid ini merupakan bagian agama yang disyariatkan, tetapi Nabi ﷺ tidak menjelaskannya kepada umat, maka itu berarti Nabi ﷺ berkhianat. Hal ini TIDAK MUNGKIN, karena Nabi ﷺ telah menyampaikan risalah Allah dengan amanah dan sempurna, sebagaimana disaksikan oleh umatnya dalam perkumpulan yang besar di Arafah ketika Haji Wada’:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ فِيْ قِصَّةِ حَجَّةِ النَّبِيِّ: … وَأَنْتُمْ تُسْأَلُونَ عَنِّي، فَمَا أَنْتُمْ قَائِلُونَ؟ قَالُوا: نَشْهَدُ أَنَّكَ قَدْ بَلَّغْتَ، وَأَدَّيْتَ، وَنَصَحْتَ, فَقَالَ بِإِصْبِعِهِ السَّبَابَةِ يَرْفَعُهَا إِلَى السَّمَاءِ، وَيَنْكُتُهَا إِلَى النَّاسِ: اللَّهُمَّ اشْهَدْ، اللَّهُمَّ اشْهَدْ، ثَلَاثَ مَرَّاتٍ

Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu tentang kisah hajinya Nabi ﷺ (setelah beliau berkhotbah di Arafah). Nabi ﷺ bersabda:

“Kalian akan ditanya tentang diriku, lantas apakah jawaban kalian?” Mereka menjawab: “Kami bersaksi, bahwa engkau telah menyampaikan, menunaikan, dan menasihati.” Lalu Nabi ﷺ mengatakan dengan mengangkat jari telunjuknya ke langit dan mengisyaratkan kepada manusia: “Ya Allah, saksikanlah, ya Allah saksikanlah, sebanyak tiga kali.” [HR. Muslim: 1218]

Ketiga:

Nabi ﷺ bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa mengamalkan suatu amalan yang TIDAK ada contohnya dari kami, maka tertolak.”(HR. Muslim: 3243)

Hadis ini dan yang semakna dengannya menunjukkan tercelanya bid’ah dalam agama, sekalipun dianggap baik oleh manusia. Dan perayaan Haul termasuk perkara yang bid’ah dalam agama, karena TIDAK pernah dicontohkan oleh Nabi ﷺ dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum

Keempat:

Seandainya perayaan Haul ini disyariatkan, niscaya tidak akan ditinggalkan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum dan para generasi utama yang dipuji oleh Nabi ﷺ:

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ

“Sebaik-baik manusia adalah masaku.” (HR. al-Bukhari: 3651, Muslim: 2533)

Seandainya perayaan Haul ini baik, tentu para salaf lebih berhak mengerjakannya daripada kita, karena mereka jauh lebih cinta kepada Nabi ﷺ, dan mereka lebih bersemangat dalam melaksanakan kebaikan.

Kelima:

Perayaan Haul termasuk acara Slametan (selamatan, Jawa) kematian/tahlilan yang DILARANG dalam hadis, dan pendapat ulama dari berbagai madzhab.

عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْبَجَلِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ:كُنَّا نَعُدُّ (وَفِيْ رِوَايَةٍ كُنَّا نَرَى) الإِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَ صَنِيْعَةَ الطَّعَامِ مِنَ النِّيَاحَةِ

Dari Jarir bin Abdillah al-Bajali radhiallahu ‘anhu berkata: “Kami (para sahabat) menganggap (dalam riwayat lain berpendapat), bahwa berkumpul-kumpul kepada ahli mayit dan membuat makanan setelah (si mayit) dikubur termasuk kategori Niyahah (meratapi).” [Shahih. Dikeluarkan Imam Ahmad bin Hambal dalam Musnad-nya (2/204) dan ini lafazhnya dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya (1/514 no. 1612) dan diShahihkan oleh an-Nawawi, al-Bushoiri, asy-Syaukani, Ahmad Syakir, dan al-Albani dalam Ahkamul Jana‘iz hlm. 210 cet. Mkt. Ma’arif]

Dan para ulama dari berbagai madzhab telah menegaskan tentang bid’ahnya acara kematian baik 7 harinya, 40 harinya, 100 harinya atau 1.000 harinya, atau setahunnya. Anehnya, yang paling tegas mengingkari bid’ahnya acara kematian tersebut adalah ulama-ulama madzhab Syafi’i. [Lihat al-Majmu’: 5/290 karya an-Nawawi, al-Amru Bil Ittiba’ hlm. 288 karya as-Suyuthi, I’anah Tholibin: 2/145–146 oleh Syaikh Abu Bakar Muhammad Syatho]. Di antaranya al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

وَ أَكْرَهُ الْمَأَتِمَ وَهِيَ الْجَمَاعَةَ وَ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ بُكَاءٌ فَإِنَّ ذَلِكَ يُجَدِّدُ الْحُزْنَ وَ يُكَلِّفُ الْمُؤْنَةَ مَعَ مَا مَضَى مِنَ الأَثَرِ

“Dan saya membenci berkumpul-kumpul (dalam kematian), sekalipun tanpa diiringi tangisan, karena hal itu akan memerbaharui kesedihan, dan memberatkan tanggungan (keluarga mayit), serta berdasarkan atsar (hadis) yang telah lalu.” [Al-Umm: 1/318]

Ucapan al-Imam asy-Syafi’i di atas sangat jelas menunjukkan, bahwa beliau MELARANG peringatan kematian/slametan/tahlilan/Haul karena tiga alasan:

  1. Mengingatkan kembali rasa kesedihan
  2. Menyusahkan diri
  3. Hadis yang menegaskan bahwa hal itu termasuk meratapi mayit.

Kemungkaran-Kemungkaran Perayaan Haul

Perayaan Haul ini di samping TIDAK ada ajarannya dalam agama Islam, juga banyak mengandung kemungkaran-kemungkaran yang bertentangan dengan syariat. Bila demikian keadaannya, maka mungkinkah syariat Islam yang mulia ini menganjurkan atau membolehkannya?!!

  1. Dalam perayaan Haul terdapat Wasilah Ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap orang-orang saleh dan tempat-tempat keramat [Lihat masalah ini dalam al-Atsar wal Masyahid wa Atsaru Ta’zhimihima ’Ala Ummat Islamiyyah oleh Dr. Abdul Aziz al-Jufar], sehingga berdoa dan memohon pertolongan kepada selain Allah, bertabarruk (ngalap berkah) yang keliru [16] ,dan keyakinan-keyakinan keliru lainnya. Di antara kepercayaan masyarakat yang sampai saat ini masih menebal adalah, bahwa barakah mayit yang diupacarai itu menembus sampai ke berkat (nasi/bubur kharisa hasil kenduri) upacara Haul, sehingga mereka menyimpan berkat tersebut untuk persediaan selama setahun dengan cara dikeringkan, biasanya untuk obat panas dengan cara direndam dalam air, kemudian diminumkan pada si sakit. Atau setiap kali mereka menanak nasi, maka berkat Haul tadi ditaburkan sedikit, agar berasnya tidak habis-habis, karena berkahnya mbah Kyai. (Lihat Buku Putih Kyai NU hlm. 184 oleh Kyai Afrokhi Abdul Ghoni). Dan lihat tentang masalah tabarruk dengan kuburan orang saleh dalam kitab at-Tabaruk oleh Dr. Nashir al-Juda’i hlm. 388–415]

Firman Allah:

يَـٰٓأَهْلَ ٱلْكِتَـٰبِ لَا تَغْلُوا۟ فِى دِينِكُمْ

Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu. (QS. an-Nisa‘ [4]: 171)

Ayat ini, sekalipun ditujukan kepada Ahli Kitab, maksudnya adalah untuk memberikan peringatan kepada umat ini, agar menjauhi sebab-sebab yang mengantarkan murka Allah kepada umat-umat sebelumnya. Nabi ﷺ bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِى الدِّينِ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمُ الْغُلُوُّ فِى الدِّينِ

“Wahai sekalian manusia, waspadalah kalian terhadap sikap berlebih-lebihan dalam agama, karena sikap berlebih-lebihan dalam agama telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.” [HR. an-Nasa‘i: 3057 dengan sanad Shahih]

  1. Bila perayaan ini diselenggarakan di area pekuburan, maka terjatuh dalam larangan menjadikan kuburan sebagai tempat perayaan, dan larangan menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah. Rasulullah ﷺ bersabda:

لَا تَجْعَلُوا قَبْرِي عِيدًا وَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُ كُنْتُمْ

“Janganlah kamu jadikan kuburanku sebagai ’Id (perayaan) dan bershoaawatlah kamu kepadaku, karena shalawat itu akan sampai kepadaku, di mana pun kamu berada.” [HR. Abu Dawud: 1746 dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 7226]

Jika Rasulullah ﷺ melarang kuburannya dijadikan sebagai tempat hari raya, Haul, atau tempat kunjungan beramai-ramai, bagaimana dengan kuburan selainnya?!! Tentu saja DILARANG juga.

Rasulullah ﷺ juga bersabda:

لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ، إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنْ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ

“Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan, karena sesungguhnya setan lari dari rumah yang dibacakan di dalamnya Surah al-Baqarah.” (HR. Muslim: 1300)

Hadis ini mengisyaratkan, bahwa kuburan BUKANLAH tempat untuk beribadah. Oleh karena itu, Nabi ﷺ menganjurkan untuk membaca Alquran di rumah, dan melarang menjadikan rumah sebagai kuburan yang tidak dibacakan Alquran di dalamnya.

  1. Ratapan kepada Mayit

Perayaan kematian ini termasuk meratapi mayit, sebagaimana dalam hadis Jarir bin Abdillah al-Bajali radhiallahu ‘anhu di atas. Sementara itu, meratapi mayit hukumnya adalah HARAM, dengan kesepakatan ulama. Meratapi juga termasuk perkara jahiliah dan dosa besar [Lihat al-Kaba‘ir oleh al-Imam adz-Dzahabi (tahqiq: Masyhur bin Hasan) hlm. 358–359], karena Nabi ﷺ mengancam pelakunya dengan azab [Karena patokan (definisi) dosa besar adalah “setiap dosa yang memiliki hukuman di dunia seperti membunuh, berzina, mencuri, atau yang mendapat ancaman di akhirat berupa azab, murka, atau dilaknat pelakunya oleh Allah atau melalui lisan Rasul-Nya ﷺ”. (Lihat Majmu’ Fatawa: 11/650–657 Ibnu Taimiyyah, al-Kaba‘ir hlm. 89 adz-Dzahabi)]. Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Semua itu adalah haram dan termasuk perkara jahiliah, tanpa ada perselisihan ulama. [Al-Mufhim: 2/577]“

Di antara hikmah di balik larangan ini adalah karena hal itu menyalakan kembali api kesedihan. Dikisahkan, bahwa Ibnu Aqil, seorang ulama, pernah mengantarkan jenazah putra kesayangannya yang bernama Aqil. Tatkala berada di kuburan, ada seorang berteriak seraya membacakan firman Allah:

قَالُوا۟ يَـٰٓأَيُّهَا ٱلْعَزِيزُ إِنَّ لَهُۥٓ أَبًۭا شَيْخًۭا كَبِيرًۭا فَخُذْ أَحَدَنَا مَكَانَهُۥٓ ۖ إِنَّا نَرَىٰكَ مِنَ ٱلْمُحْسِنِينَ

Mereka berkata: “Wahai al-Aziz, sesungguhnya ia memunyai ayah yang sudah lanjut usianya. Lantaran itu ambillah salah seorang di antara kami sebagai gantinya. Sesungguhnya kami melihat kamu termasuk orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Yusuf [12]: 78)

Mendengar hal itu, Ibnu Aqil rahimahullah berkata: “Sesungguhnya Alquran diturunkan untuk menenangkan kesedihan, bukan untuk menyalakan kesedihan.“ [Al-Qoulul Mufid: 2/25 Ibnu Utsaimin]

  1. Pemborosan dan Memberatkan Diri

Islam adalah agama yang mudah. Namun sebagian orang memersulit diri sendiri dan menyusahkan diri sendiri, dengan mengeluarkan dana yang tidak sedikit guna mengadakan perayaan ini, baik karena malu atau takut celaan masyarakat. Dan kadang untuk bergaya, sehingga terjatuh dalam pemborosan dan mengamburkan harta secara sia-sia. Tahukah Anda, bahwa pada sebagian peringatan Haul besar bisa sampai mengeluarkan dana milyaran?!! Bukankah sebaiknya jika disedekahkan kepada fakir miskin atau kebutuhan yang bermanfaat lainnya?!! Allah ‘azza wajalla berfirman:

إِنَّ ٱلْمُبَذِّرِينَ كَانُوٓا۟ إِخْوَ‌ٰنَ ٱلشَّيَـٰطِينِ ۖ وَكَانَ ٱلشَّيْطَـٰنُ لِرَبِّهِۦ كَفُورًۭا

“Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan, dan setan itu sangat ingkar kepada Rabbnya.” (QS. al-Isro‘ [17]: 27)

  1. Ikhtilath

Suatu yang tidak dipungkiri lagi, bahwa perayaan Haul tidak sepi dari kemungkaran seperti ikhtilath (campur baur) antara pria dan wanita, merokok, dan lain sebagainya. [Lihat pula Bid’aul Qubur Anwa’uhu wa Ahkamuhu hlm. 339–340 oleh Syaikh Saleh al-Ushoimi dan at-Tabarruk hlm. 417 oleh Dr. Nashir al-Juda’i, al-Arba’in wal Khomis wa Dzikro Sanawiyyah hlm. 14–46 oleh Amr Abdul Mun’im, 2/260]

Syubhat dan Jawabannya

Pembahasan tentang upacara kematian ini sebenarnya cukup luas, dan syubhat-syubhat tentangnya juga cukup banyak. [Sudah banyak ustadz dan peneliti yang menulis buku tentang hal ini, seperti Ustadzuna Abdul Hakim bin Amir Abdat dalam Hukum Tahlilan Menurut Empat Madzhab, Ustadz Abu Ihsan al-Medani dalam Bincang-Bincang Seputar Tahlilan Yasinan dan Maulidan, ustadzuna Abu Ibrohim dalam Penjelasan Gamblang Tentang Yasinan Tahlilan dan Selametan, Ustadz Hartono Ahmad Jaiz dalam Tarekat Tasawwuf Tahlilan dan Maulidan, Ustadz Abdul Aziz dalam Muallaf Menggugat Tahlilan, saudara Harry Yuniardi dalam Santri NU Menggugat Tahlilan. Dan saya juga memiliki tulisan ringkas mengenai hal ini berjudul Tahlilan Dalam Pandangan Ulama Madzhab, tercetak bersama buku saya Polemik Perayaan Maulid Nabi].

Namun di sini saya akan mencantumkan satu syubhat secara khusus tentang acara peringatan Haul, yang dijadikan dalil oleh sebagian orang yang merayakannya. Berikut kutipan ucapan mereka:

Diriwayatkan, bahwa Rasulullah ﷺ selalu berziarah ke makam para syuhada di Bukit Uhud pada setiap tahun. Demikian juga para sahabat:

وَ رَوَى الْبَيْهَقِي فِي الشَّعْبِ، عَنِ الْوَاقِدِي، قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَزُوْرُ الشُّهَدَاءَ بِأُحُدٍ فِي كُلِّ حَوْلٍ. وَ إذَا بَلَغَ رَفَعَ صَوْتَهُ فَيَقُوْلُ: سَلاَمٌ عَلَيْكُم بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّار

Al-Baihaqi meriwayatkan dari al-Wakidi mengenai kematian, bahwa Nabi ﷺ senantiasa berziarah ke makam para syuhada di bukit Uhud setiap tahun. Dan sesampainya di sana, beliau ﷺ mengucapkan salam dengan mengeraskan suaranya: “Salamun alaikum bima shabartum fani’ma uqbad daar” [QS Ar-Ra’d: 24] – Keselamatan atasmu berkat kesabaranmu. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.

Inilah yang menjadi sandaran hukum Islam bagi pelaksanaan peringatan Haul atau acara tahunan untuk mendoakan dan mengenang para ulama, sesepuh dan orang tua kita.

Lanjutan riwayat:

ثُمَّ أبُوْ بَكْرٍ كُلَّ حَوْلٍ يَفْعَلُ مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ عُمَرُ ثُمَّ عُثْمَانُ. وَ كاَنَتْ فَاطِمَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا تَأتِيْهِ وَ تَدْعُوْ. وَ كاَنَ سَعْدُ ابْنِ أبِي وَقَّاصٍ يُسَلِّمُ عَلَيْهِمْ ثُمَّ يَقْبَلُ عَلَى أصْحَابِهِ، فَيَقُوْلُ ألاَ تُسَلِّمُوْنَ عَلَى قَوْمٍ يَرُدُّوْنَ عَلَيْكُمْ بِالسَّلَامِ

Abu Bakar juga melakukan hal itu setiap tahun, kemudian Umar, lalu Utsman. Fatimah juga pernah berziarah ke bukit Uhud dan berdoa. Saad bin Abi Waqqash mengucapkan salam kepada para syuhada tersebut, kemudian ia menghadap kepada para sahabatnya lalu berkata: “Mengapa kalian tidak mengucapkan salam kepada orang-orang yang akan menjawab salam kalian?”

Demikian dalam kitab Syarah Al-Ihya juz 10 pada pasal tentang ziarah kubur. Lalu dalam kitab Najhul Balaghah dan kitab Manaqib As-Sayyidis Syuhada Hamzah RA oleh Sayyid Ja’far Al-Barzanji dijelaskan, bahwa hadis itu menjadi sandaran hukum bagi orang-orang Madinah untuk yang melakukan Ziarah Rajabiyah (ziarah tahunan setiap bulan Rajab) ke makam Sayidina Hamzah yang ditradisikan oleh keluarga Syeikh Junaid al-Masra’I, karena ia pernah bermimpi dengan Hamzah yang menyuruhnya melakukan ziarah tersebut. [http://www.nu.or.id/]

Jawaban:

Sebetulnya syubhat seperti ini sangat nyata sekali KELEMAHANNYA, bagi seorang yang dikaruniai oleh Allah ilmu agama. Namun karena khawatir adanya saudara kami yang kurang berilmu tertipu dengan syubhat ini, maka izinkanlah kami memberikan komentar terhadap syubhat ini:

  1. Kami telah mengecek kitab Syu’abul Iman karya al-Imam al-Baihaqi, bahkan kami juga melacaknya melalui program “Maktabah Syamilah”. Namun sayangnya hadis dengan redaksi di atas tidak kami temukan. Oleh karena itu, tanpa mengurangi rasa hormat, kami berharap kepada saudara kami yang membawakan hadis di atas untuk mencantumkan sumbernya secara jelas juz dan halamannya, agar kita lihat sanad hadis ini. Sebab bila tanpa sanad, maka semua orang bisa berbicara, sebagaimana kata al-Imam Ibnul Mubarok rahimahullah.
  2. Kalau kita cermati nukilan di atas, kita akan merasakan kejanggalan. Bagaimana al-Waqidi langsung meriwayatkan dari Rasulullah ﷺ? Padahal beliau (al-Waqidi) wafat tahun 207 H. Berarti ada mata rantai sanad yang TERPUTUS. Apalagi, al-Waqidi telah dilemahkan hadisnya oleh Mayoritas Ulama ahli hadis seperti al-Bukhari, an-Nasa‘i, ad-Daroquthni, dan lain-lain. Sehingga al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata menyimpulkan statusnya: “Matruk (ditinggalkan hadisnya), sekalipun dia luas ilmunya. [Tahdzib Tahdzib: 9/364–365. Lihat pula as-Siroh an-Nabawiyyah Fi Dhou‘i al-Mashodir Ashliyyah: 1/32–33 oleh Dr. Mahdi Rizqulloh]
  3. Anggaplah hadis ini Shahih, tetap bisa dijadikan dalil tentang perayaan Haul. Coba kita bayangkan, dari arah mana segi pendalilan hadis ini? Bukankah yang terdapat dalam hadis ini hanya berbicara tentang ziarah kubur saja? Lantas bagaimana bisa disamakan dengan perayaan Haul yang lazim diamalkan manusia zaman sekarang dengan aneka variasi acaranya yang khas? Pernahkah model perayaan seperti diamalkan oleh Nabi ﷺ dan para sahabatnya?! Sungguh, ini adalah penyesatan yang sangat nyata dalam berdalil.
  4. Kami tambahkan di sini, bahwa mimpi Syaikh Junaid al-Masro’i di atas adalah BUKANLAH hujjah sama sekali, karena mimpi bukanlah landasan dalam agama Islam [Lihat masalah ini secara bagus dalam al-Muqoddimat al-Mumahhidat as-Salafiyyat Fi Tafsir Ru‘a wal Manamat hlm. 247–276 oleh Masyhur Hasan Salman dan Umar Abu Tholhah, dan kitab Ushulun Bila Ushulin hlm. 63–76 oleh Dr. Muhammad bin Isma’il al-Muqoddam]. Itu hanyalah bualan kaum Sufi belaka, yang beribadah dengan impian dan hawa nafsu. Demikian juga ritual Rojabiyyah itu TIDAK ada dasarnya dalam agama, bahkan termasuk bid’ah dalam agama. [Lihat Bida’un wa Akhtho‘ 3 hlm. 18 oleh Ahmad as-Sulami]

Penutup

Demikianlah penjelasan singkat tentang perayaan Haul. Semoga tulisan ini dapat menjadi sinar kebenaran bagi para pencari kebenaran. Carilah kebenaran itu dan peganglah erat-erat. Tinggalkan segala belenggu fanatik dan taklid yang acapkali membutakan pandangan orang. Dan yakinlah, bahwa timbangan kebenaran itu bukanlah pada mayoritas atau minoritas, melainkan pada dalil yang dibangun di atas Alquran, hadis Shahih sesuai dengan pemahaman Salaf Sholih. Semoga Allah menjadikan kita termasuk para pencari kebenaran dan penegak kebenaran. Aamiin.

 

Penulis: Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi hafizahullah

Sumber: http://abiubaidah.com/sorotan-tajam-hukum-perayaan-haul.html/