بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

#IlmuHadis
APAKAH ILMU HADIS BARU LAHIR SEJAK DUA RATUS TAHUN LALU?
Ilmu hadis bukanlah baru lahir sejak dua ratus tahun yang lalu. Akan tetapi ilmu itu sudah dimulai sejak generasi pertama di zaman Nabi ﷺ, dan telah mencakup satu bagian besar dari hadis. Apa yang ditemukan oleh orang yang meneliti kitab-kitab yang disusun tentang para perawi hadis dan teks-teks sejarah yang memberitakan biografi mereka, maka kitab-kitab mereka itu akan menetapkan ilmu hadis itu dengan rupa yang sangat luas. Di mana hal ini menunjukkan akan menyebarnya pengodifikasian hadis, dan banyaknya dalam masa itu.
Di saat kita meneliti secara ilmiah lagi benar, kita akan menemukan, bahwa permulaan penulisan hadis telah dilakukan di awal abad kedua, yaitu antara tahun 120 – 130 H, dengan bukti nyata yang menjelaskan kepada kita. Terdapat sejumlah kitab yang penulisnya telah wafat di tengah abad kedua. Seperti Jami’ Ma’mar bin Rasyid (W. 145 H), Jami’ Sufyan ats-Tsauri (W. 161 H), Hisyam bin Hisan (W. 148 H), Ibnu Juraij (W. 150 H), dan banyak lagi selain mereka.
Para ulama hadis telah meletakkan syarat-syarat demi menerima hadis, yang syarat itu mampu menjamin penukilannya melalui berbagai generasi dengan amanah dan kepastian. Hingga menjadikan hadis tersebut tersampaikan seperti halnya didengar langsung dari Rasulullah ﷺ. Terdapat syarat-syarat yang mereka tetapkan dalam perawi (orang yang menyampaikan hadis), yang mencakup di dalamnya puncak kejujuran, keadilan, dan amanah, disertai dengan penguasaan sempurna bagi perilaku, dan pengembanan tanggung jawab.
Sebagaimana syarat itu mencakup kekuatan hapalan, mengikat dengan dadanya (hapalan), atau dengan tulisannya, atau dengan keduanya secara bersamaan, yang memungkinkan baginya untuk menghadirkan hadis tersebut, serta menunaikannya, sebagaimana dia mendengarnya. Syarat-syarat yang disyaratkan oleh Ahli Hadis untuk hadis yang Shahih dan Hasan itu pun menjadi jelas. Yaitu syarat-syarat yang mencakup terpercayanya perawi hadis, kemudian selamatnya penukilan hadis di antara mata rantai sanad, bersihnya hadis itu dari segala cacad yang tampak maupun yang tersembunyi, serta ketelitian para Ahli Hadis dalam memraktekkan syarat-syarat tersebut, serta kaidah dalam menghukumi hadis dengan Dhai’f, hanya karena tidak ada bukti akan keshahihannya, tanpa harus menunggu datangnya dalil yang berseberangan dengannya.
Para ulama Ahli Hadis tidak mencukupkan diri dengan ini. Bahkan mereka meletakkan syarat-syarat dalam periwayatan yang tertulis. Para ulama Ahli Hadis telah memberikan syarat periwayatan yang tertulis dengan syarat-syarat hadis Shahih. Oleh karena itulah kita menemukan di atas manuskrip, hadis rangkaian sanad (transmisi periwayatan) kitab, dari satu perawi ke perawi yang lain, hingga sampai kepada penulisnya. Kemudian, di atasnya kita menemukan penetapan pendengaran, serta tulisan penulis atau Syaikh yang didengar, yang meriwayatkan satu naskah dari naskah penulis atau dari cabangnya. Maka jadilah metode para Ahli Hadis lebih kuat, lebih hikmah, dan lebih agung, dari segala metode dalam menilai periwayatan, dan sanad yang tertulis.
Para sahabat Nabi ﷺ telah meneliti dan mencari-cari sanad sejak zaman pertama, saat terjadi fitnah pembunuhan terhadap Khalifah ar-Rasyid Utsman radhiallahu ‘anhu tahun 35 H, yang kemudian kaum Muslimin membuat satu contoh istimewa di dunia tentang sanad. Di mana mereka melakukan perjalanan ke berbagai negeri demi mencari hadis, menguji para perawi hadis, hingga perjalanan mencari hadis menjadi syarat pokok penentuan hadis.
Para ulama Ahli Hadis tidak lalai dari apa yang dibuat-buat oleh para pemalsu hadis dari golongan Ahlu Bid’ah, dan mazdhab-mazdhab politik. Bahkan mereka bersegera untuk memeranginya, dengan mengikuti sarana-sarana ilmiah demi membentengi Sunnah. Maka mereka pun meletakkan kaidah-kaidah, serta aturan-aturan bagi para perawi Ahli Bid’ah, serta penjelasan sebab-sebab pemalsuan hadis, dan tanda-tanda hadis-hadis palsu.
Ilmu hadis, dengan berbagai syarat yang ada di dalamnya, tidak pernah ditemukan pada umat mana pun selain umat Islam, satu-satunya umat yang menjaga agamanya. Maka bandingkanlah cara penuh hikmah yang ada pada kaum Muslimin dengan kitab-kitab Nasrani yang merupakan dongeng-dongeng, yang para peneliti menemukan berbagai kesalahan, kontradiksi dan berbagai pengubahan.
Kemudian lihatlah kepada ilmu sanad pada kaum Muslimin, yang dengannya mereka menyendiri dari segenap umat manusia, karena mereka telah menjamin keselamatan rangkaian periwayatan hadis hingga sampai kepada Nabi ﷺ dari segala cacat, dengan ilmu isnad yang tidak ada di umat mana pun. Ilmu ini tidak ada pada orang-orang Nasrani. Maka tidak heran jika kita menemukan dalam kitab-kitab mereka, ‘Yesus berkata’, ‘Paulus berkata’ tanpa ada sanad (jalur periwayatannya), dan tidak ada seorang pun yang tahu, bagaimana hal itu bisa sampai.
 
Penulis: Syaikh Mamduh Farhan al-Buhairi dari situs Majalah Qiblati
Sumber: https://alhilyahblog.wordpress.com/2012/01/23/jawaban-tuduhan-tuduhan-buruk-kaum-nasrani-dan-orang-orang-kafir-terhadap-islam-bag-1/