بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ 

#DakwahSunnah

AGAR PRAKTIK POLIGAMI TIDAK MENCORENG WAJAH SYARIAT

Oleh: Ustadz Mas’ud Abu Abdillah

(Narasumber Acara Konsultasi Rumah Tangga di Wesal TV)

Belum lama ini kita disuguhi berita heboh tentang tuntutan cerai dari istri seorang ustadz yang cukup sering tampil di layar kaca. Ia digugat cerai oleh sang istri yang sudah belasan tahun dinikahinya. Alasannya Karena ia berpoligami secara diam-diam. Usia pernikahannya dengan istri kedua sudah berjalan sekian tahun, bahkan sudah memiliki keturunan.

Serba salah, karena beliau dikenal sebagai tokoh agama, yang mana kekisruhan rumah tangga menjadi sesuatu yang kurang elok, bahkan bisa berimbas pada nilai yang didakwahkannya selama ini.

Menjalankan kehidupan berumah tangga dengan melakukan poligami yang tanpa izin istri pertama pun sebenarnya sah saja. Tapi bagaimanapun ada hal-hal yang perlu dijadikan renungan bagi pelaku, atau mereka yang hendak berpoligami, agar sunnah ini tidak mencoreng wajah syariat Islam, hanya karena kegagalan dirinya dalam menjalankannya.

1- Poligami itu memang dibolehkan. Tetapi pria yang hendak berpoligami hendaknya mengukur dirinya, kemampuan membimbing, kemampuan menafkahi dan kemampuannya untuk adil. Jika masih satu saja istri dan anak-anak agamanya atau kehidupannya berantakan, maka poligami dalam keadaan ini berpotensi menambah masalah.

2- Izin istri pertama memang bukan syarat sah poligami. Tetapi menikah lagi dengan diam-diam, atau tanpa memberitahukan di awal kepada istri pertama, tentu akan sangat menyakitkan. Apapun yang terjadi, dengan memberitahukan terlebih dahulu, akan jauh lebih selamat untuk jangka panjang. Jika istri pertama menerima alhamdulillah, jika sebaliknya reaksinya diluar dugaan, maka pertanda perlunya dikondisikan terlebih dahulu dengan menunda atau membatalkannya. Poligami diam-diam hampir pasti berdampak pada kebohongan dan ketidakadilan, yang keduanya diharamkan.

3- Syariat poligami dibuat untuk kemaslahatan, bukan untuk menghancurkan. Maka jangan hanya melihat maslahat sendiri, tetapi juga perhatikan kondisi istri dan anak-anak. Pastikan mereka tetap baik-baik saja. Poligami ibarat membangun bangunan yang baik, di samping bangunan yang kokoh dan berkualitas. Bukan malah meruntuhkan dan mengacak-acak bangunan sebelumnya.

4- Sadarilah, bahwa sebelum anak dan istri, maka sesungguhnya suamilah yang pertama merasakan konsekuensi dunia-Akhirat dari poligami. Waktu untuk beribadah mungkin tidak sebanyak jika hanya satu istri (apalagi jika rumah para istri berjauhan, waktu banyak habis di jalan). Perhatian ke anak-anak pun akan berkurang karena terbagi. Tanggungjawab menafkahi semakin bertambah. Tuntutan untuk membina dan mendidik istri semakin bertambah. Pertangungjawaban dan hisab di hadapan Allah semakin banyak, sebanyak anggota keluarga yang ada, dan sebagainya. Dengan begitu, ia akan memiliki kesadaran penuh dan pemahaman yang utuh, untuk melakukan poligami itu atau mengurungkannya, bukan berdasarkan emosi ataupun provokasi.

5- Milikilah motivasi, alasan, dan prinsip yang baik, tulus, sekaligus kokoh, yang lahir dari analisis kemampuan dan kelayakan yang komprehensif. Hindari alibi dan alasan yang dibuat-buat, karena selain menyakitkan, juga jadi lucu. Misalnya alasan menyelamatkan akhwat yang ditinggal mati suaminya. Maka solusinya bisa dengan menikahkannya dengan ikhwan yang masih single dsb.

6- Istrimu adalah anak perempuan dari kedua orang tuanya. Bayangkanlah jika engkau juga memiliki anak perempuan yang sangat kau sayangi. Maka perlakukanlah istrimu sebagaimana engkau ingin anak perempuanmu diperlakukan. Karena engkau pasti sedih dan marah jika putri kesayangnmu yang kau jaga selama dua puluh tahun lebih, kau didik dan kau sayangi sejak kecil, lalu dizalimi dan disakiti perasaanya. Maka begitu pulalah perasaan kedua orang tuanya terhadap putrinya atas sikapmu. Dan jika engkau tetap memutuskan berpoligami, maka ingatlah perasaan para orang tua istri-istrimu, agar kau tahu bagaimana pentingnya bersikap adil, menjaga perasaan, serta menghargai istri-istrimu.

7- Sadarilah, bahwa saat seorang berpoligami, maka secara tidak langsung ia menjadi “Duta” bagi syariat poligami yang dijalaninya. Karena mata msyarakat akan tertuju padanya. Jika gagal berantakan, maka bukan nama kita saja yang rusak, tapi justru syariat poligami yang tertuduh dan menjadi buruk, bahkan diolok-olok musuh Islam. Maka berjalanlah jika merasa bisa menjadi duta yang baik, dan jangan sembrono dan asal-asalan.

Demikian di antara renungan, yang dengannya, minimal seseorang memiliki pandangan yang utuh sebelum berpoligami. Sehingga jika jalan, maka ia berjalan dengan prinsip dan kesadaran serta kemampuan, sehingga tidak merusak citra Islam. Atau jika ia merasa banyak hal yang masih perlu dibenahi, maka dengan sadar pula ia menunda, atau bahkan membatalkannya.

Wallahu a’alam.