بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
#SifatPuasaNabi
#MutiaraRamadan

24 JAM AMALAN DAN AKTIVITAS  PUASA RAMADAN

Ada beberapa aktivitas yang bisa dilakukan oleh orang yang berpuasa Ramadan sebelum Subuh.

1- Bangun tidur dan segera berwudhu. Tujuannya agar terlepas dari ikatan setan.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda:

عَقِدَ الشَّيْطَانُ عَلَى قَافِيَةِ رَأْسِ أَحَدِكُمْ إِذَا هُوَ نَامَ ثَلاَثَ عُقَدٍ ، يَضْرِبُ كُلَّ عُقْدَةٍ عَلَيْكَ لَيْلٌ طَوِيلٌ فَارْقُدْ ، فَإِنِ اسْتَيْقَظَ فَذَكَرَ اللَّهَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ ، فَإِنْ تَوَضَّأَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ ، فَإِنْ صَلَّى انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَأَصْبَحَ نَشِيطًا طَيِّبَ النَّفْسِ ، وَإِلاَّ أَصْبَحَ خَبِيثَ النَّفْسِ كَسْلاَنَ

“Setan membuat tiga ikatan di tengkuk (leher bagian belakang) salah seorang dari kalian ketika tidur. Di setiap ikatan setan akan mengatakan: “Malam masih panjang, tidurlah!” Jika ia bangun lalu berzikir pada Allah, lepaslah satu ikatan. Kemudian jika dia berwudhu, lepas lagi satu ikatan. Kemudian jika dia mengerjakan shalat, lepaslah ikatan terakhir. Di pagi hari dia akan bersemangat dan bergembira. Jika tidak melakukan seperti ini, dia tidak ceria dan menjadi malas.” [HR. Bukhari, no. 1142 dan Muslim, no. 776]

2- Lakukan shalat tahajud walaupun hanya dua rakaat. Lalu menutup dengan shalat Witir jika belum melakukan shalat Witir ketika shalat Tarawih.

Masih boleh menambah shalat malam setelah Tarawih, karena jumlah rakaat shalat malam tidak ada batasannya. Adapun dalil yang menunjukkan, bahwa shalat malam tidak dibatasi jumlah rakaatnya, yaitu ketika Nabi ﷺ ditanya mengenai shalat malam, beliau ﷺ menjawab:

صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى ، فَإِذَا خَشِىَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً ، تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى

“Shalat malam itu dua rakaat salam, dua rakaat salam. Jika salah seorang di antara kalian takut masuk waktu Subuh, maka kerjakanlah satu rakaat. Dengan itu berarti kalian menutup shalat tadi dengan Witir.” [HR. Bukhari, no. 990 dan Muslim, no. 749; dari Ibnu ‘Umar). Padahal ini dalam konteks pertanyaan. Seandainya shalat malam itu ada batasannya, tentu Nabi ﷺ akan menjelaskannya

Yang penting tidak ada dua Witir dalam satu malam. Dari Thalq bin ‘Ali, ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:

لاَ وِتْرَانِ فِى لَيْلَةٍ

“Tidak boleh ada dua Witir dalam satu malam.” [HR. Tirmidzi, no. 470; Abu Daud, no. 1439; An-Nasa’i, no. 1679. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini Shahih]

3- Setelah shalat, berdoa sesuai dengan hajat yang diinginkan, karena sepertiga malam terakhir (waktu sahur) adalah waktu terkabulnya doa

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda:

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ

“Rabb kita tabaraka wa ta’ala turun ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam terakhir. Lantas Allah berfirman: “Siapa saja yang berdoa kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan. Siapa yang meminta kepada-Ku, maka Aku beri. Siapa yang meminta ampunan kepada-Ku, maka akan Aku ampuni.” [HR. Bukhari, no. 1145 dan Muslim, no. 758). Ibnu Hajar juga menjelaskan hadis di atas dengan berkata: “Doa dan istighfar di waktu sahur mudah dikabulkan.” [Fath Al-Bari, 3: 32].

4- Melakukan persiapan untuk makan sahur lalu menyantapnya. Ingatlah, dalam makan sahur terdapat keberkahan.

Dari Anas bin Malik, ia berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِى السَّحُورِ بَرَكَةً

“Makan sahurlah kalian, karena dalam makan sahur terdapat keberkahan.” [Muttafaqun ‘alaih]

5- Waktu makan sahur berakhir ketika azan Subuh berkumandang (masuknya fajar Subuh)

Dalilnya disebutkan, bahwa aktivitas makan dan minum berhenti ketika terbit fajar Subuh (ditandai dengan azan Subuh yang tepat waktu), sebagaimana dalam ayat:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” [QS. Al-Baqarah: 187].

Dalam Al Majmu’, Imam Nawawi rahimahullah menyebutkan: “Kami katakana, bahwa jika fajar terbit sedangkan makanan masih ada di mulut, maka hendaklah dimuntahkan, dan ia boleh teruskan puasanya. Jika ia tetap menelannya, padahal ia yakin telah masuk fajar, maka batallah puasanya. Permasalah ini sama sekali tidak ada perselisihan pendapat di antara para ulama. Dalil dalam masalah ini adalah hadis Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ بِلالا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ ، فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ

“Sungguh Bilal mengumandangkan azan di malam hari. Tetaplah kalian makan dan minum sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan azan.” [HR. Bukhari dan Muslim. Dalam kitab Shahih terdapat beberapa hadis lainnya yang semakna]

Adapun hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda:

إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمْ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ

“Jika salah seorang di antara kalian mendengar azan sedangkan bejana (sendok, pen) ada di tangan kalian, maka janganlah ia letakkan hingga ia menunaikan hajatnya.” Dalam riwayat lain disebutkan:

وكان المؤذن يؤذن إذا بزغ الفجر

“Sampai muadzin mengumandangkan azan ketika terbit fajar.” Al-Hakim Abu ‘Abdillah meriwayatkan riwayat yang pertama. Al-Hakim katakana, bahwa hadis ini Shahih sesuai dengan syarat Muslim. Kedua riwayat tadi dikeluarkan pula oleh Al-Baihaqi.

Kemudian Al-Baihaqi mengatakan: “Jika hadis tersebut Shahih, maka mayoritas ulama memahaminya, bahwa azan yang dimaksud dalam hadis tersebut adalah azan sebelum terbit fajar Subuh (untuk membangunkan shalat malam, pen.). Yaitu maksudnya, ketika itu masih boleh minum, karena waktu itu adalah beberapa saat sebelum masuk Subuh. Sedangkan maksud hadis “Ketika terbit fajar”, bisa dipahami, bahwa hadis tersebut bukan perkataan Abu Hurairah, atau bisa jadi pula yang dimaksudkan adalah azan kedua. Sabda Nabi ﷺ: “Jika salah seorang di antara kalian mendengar azan, sedangkan bejana (sendok, pen) ada di tangan kalian”, yang dimaksud adalah ketika mendengar azan pertama. Dari sini jadilah ada kecocokan antara hadis Ibnu ‘Umar dan hadis ‘Aisyah.” Dari sini, sinkronlah antara hadis-hadis yang ada. Wabiilahit taufiq, wallahu a’lam.” [Al-Majmu’, 6: 312]

6- Sambil menunggu Subuh, perbanyak istighfar dan sempatkan membaca Alquran.

Allah ta’ala berfirman:

وَالْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ

“Dan orang-orang yang meminta ampun di waktu sahur.”  [QS. Ali Imran: 17].

Aktivitas baca Alquran dapat dilihat dari aktivitas makan sahur berikut ini.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ – رضى الله عنه – أَنَّ نَبِىَّ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – وَزَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ – رضى الله عنه – تَسَحَّرَا ، فَلَمَّا فَرَغَا مِنْ سَحُورِهِمَا قَامَ نَبِىُّ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِلَى الصَّلاَةِ فَصَلَّى . قُلْنَا لأَنَسٍ كَمْ كَانَ بَيْنَ فَرَاغِهِمَا مِنْ سَحُورِهِمَا وَدُخُولِهِمَا فِى الصَّلاَةِ قَالَ كَقَدْرِ مَا يَقْرَأُ الرَّجُلُ خَمْسِينَ آيَةً

“Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi ﷺ dan Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu pernah makan sahur. Ketika keduanya selesai dari makan sahur, Nabi ﷺ berdiri untuk shalat, lalu beliau mengerjakan shalat. Kami bertanya pada Anas tentang berapa lama antara selesainya makan sahur mereka berdua, dan waktu melaksanakan shalat Subuh. Anas menjawab: ‘Yaitu sekitar seseorang membaca 50 ayat (Alquran).’ [HR. Bukhari, no. 1134 dan Muslim, no. 1097].

7- Bagi yang berada dalam keadaan junub, maka segera mandi wajib. Namun masih dibolehkan masuk waktu Subuh dalam keadaan junub dan tetap berpuasa. Termasuk juga masih boleh masuk waktu Subuh belum mandi suci dari haid.

Istri tercinta Nabi ﷺ, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

قَدْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ فِى رَمَضَانَ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ غَيْرِ حُلُمٍ فَيَغْتَسِلُ وَيَصُومُ.

“Rasulullah ﷺ pernah menjumpai waktu fajar di bulan Ramadan dalam keadaan junub bukan karena mimpi basah, kemudian beliau ﷺ mandi dan tetap berpuasa.” [HR. Muslim, no. 1109]

Hadis di atas diperkuat lagi dengan ayat:

فَالْآَنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

“Maka sekarang campurilah mereka, dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu. Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” [QS. Al Baqarah: 187].

Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Yang dimaksud dengan mubasyaroh (basyiruhunna) dalam ayat di atas adalah jima’ atau hubungan intim. Dalam lanjutan ayat disebutkan “Ikutilah apa yang telah ditetapkan oleh Allah untuk kalian”. Jika jima’ itu dibolehkan hingga terbit fajar (waktu Subuh), maka tentu diduga ketika masuk Subuh masih dalam keadaan junub. Puasa ketika itu pun sah, karena Allah perintahkan “Sempurnakanlah puasa itu sampai datang malam.” Itulah dalil Alquran dan juga didukung dengan perbuatan Rasulullah ﷺ yang menunjukkan bolehnya masuk Subuh dalam keadaan junub.” [Syarh Shahih Muslim, 7: 195].

Catatan:

Mandi junub sebelum fajar Subuh tiba lebih afdhal. Walaupun kalau mandi setelah fajar Subuh terbit, dibolehkan dan boleh menjalankan puasa di hari tersebut. [Lihat bahasan Syaikh Musthafa Al-Bugha dalam Al-Fiqh Al-Manhaji, 1: 348]

Semoga bermanfaat.Tunggu lanjutannya di Rumaysho.Com.

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

 

Sumber: https://rumaysho.com/15654-24-jam-di-bulan-Ramadan-aktivitas-sebelum-Subuh.html